"Tar, buka pintunya. Jangan ngambek begitu!" Mas Damar tengah berdiri di pintu kamar Tari. Seperti ia takut kehilangannya. Ah, muak sekali melihatnya.
"Pergi, Mas! Turuti saja semua permintaan Fatwa. Aku di jadikan babu saja kamu diam saja malah setuju!" terdengar teriakan dari kamar Tari. Membuat gaduh saja.Aku duduk menyeduh kopi. Aku memang penikmat kopi, tak kalah dengan Mas Damar."Mau kopi, Mas?" tawarku dengan senyum. Mas Damar yang tengah menggaruk kepalanya seketika menoleh.Sudah kusiapkan dua cangkir kopi. Aku duduk dan menikmati kopi dengan rileks. Sengaja kubuat nikmat, agar Mas Damar yang masih berdiri didekat pintu tergoda.Benar saja, tanpa menunggu lama ia langsung mengambil kursi dan duduk."Kopi yang sedap! Kopi apa ini, Dek. Baunya harum, beda kaya biasanya?" tanya Mas Damar yang langsung mengecap kopinya."Kopi sianida, Mas!""Uhhuuuukkk!" Mas Damar memuntahkan kopi itu. "Yang benar, Dek. Kamu mau membunuhku?""Kenapa kamu ketakutan seperti itu, Mas? Bukankah dulu kamu percaya jika aku tak mampu menyakitimu?" Sengaja aku tak menjawab langsung jika tadi hanya bercanda.Dia terdiam. Mungkin sedang mengingat masa dulu. Masa di mana saling percaya, saling memiliki dan saling memberi. Kenapa kali ini di bilang kopi sianida saja sudah takut setengah mati."Aku tak sekejam itu, Mas. Aku masih punya anak-anak yang menyayangi ayahnya. Kalau tidak! Sudah kububuhi sianida dari kemarin!" ujarku dengan bibir tersingung. Sakit hati yang kurasa, hanya dengan seperti itu, aku dapat melepaskannya sedikit demi sedikit."Sudah ayo minum! Apa mau tukeran?" tanyaku kemudian Menganti kopi Mas Damar dengan kopi yang kuminum. Baru Mas Damar kembali mau meminumnya."Dek, untuk uang ...." Belum selesai Mas Damar berkata. Tari keluar."Tuh kan! Baru di tinggal ngambek sebentar udah mesra-mesraan sama Fatwa! Pake minum kopi bareng lagi!" ujar Tari."Kamu mau?" tanyaku padanya.Ia mengangguk senang dan langsung memilih tempat duduk tepat di sebelah Mas Damar."Bikin sendiri! Ngga ada ratu yang bikinin kopi buat selir!" ujarku sambil berlalu. Aku puas membuat dia kesal."Ingat, sebentar lagi Wulan pulang. Jaga sikap kalian! Aku mau istirahat. Oh ya, Tar. Jangan lupa ambil baju kotor anak-anak di kamar masing-masing. Kemudian jangan sampai telat gosoknya!" Segera aku naik keatas. Tak kupedulikan raut tak suka pada Tari.Istrihat sejenak. Merefres otak agar tak terasa letih. Letih karena hati yang terluka. Harus pura-pura tegar memang kadang cukup melelahkan.~~~"Hallo, Bu. Ada apa?" tanyaku saat kuterima panggilan Ibu mertua."Hallo, Fat. Kalian akur-akur saja, Kan. Ngga ada adu jotos atau adu banteng!" Aku mengeleng dengan semua ucapan Ibu."Ngga kok, Bu. Ibu langsung saja! Ada apa?" Aku sudah sangat hafal. Jika Ibu menelfon pasti ada sesuatu."Ibu mau minta uang bulan besok di beri sekarang dong. Ibu butuh nih buat bayar arisan." Dia meminta tanpa tahu dosa."Aduh, Ibu. Kebetulan sekali ada yang mau aku sampaikan. Jika uang jatah bulanan Ibu, tak ada lagi karena di alokasikan untuk biaya tambahan harian karena kita kan tambah satu orang di rumah. Tentunya Tari pasti juga menuntut uang nafkah pada Mas Damar. Hingga akhirnya dengan berat hati aku katakan kalau bulan besok Ibu tak lagi terima uang dari Mas Damar!" ucapku panjang lebar kali tinggi agar dia paham."Apa! Ba-bagaimana bisa begitu, Fat? Itu tak adil!" ujarnya di ujung telfon sana."Justru semua ini dilakukan agar adil, Bu. Antara uang yang di kasih ke aku dan uang untuk Tari sama besarnya. Bukankah ibu merestui pernikahan mereka? Jadi siap untuk konsekuensinya! Senang kan dapat menantu baru?"Setelah aku ucapkan itu, tiba-tiba panggilan terputus dengan sendirinya. Pasti Ibu kali ini sangat kesal. Siapa suruh?Malam kembali menyapa, saat Mas Damar akan merebahkan badan tepat di sampingku. Hpnya berdering. Aku yang juga tengah fokus pada benda pipih itu juga, hanya melirik sekilas."Iya, Tar, ada apa?" Mas Damar bangkit. Mungkin tak enak padaku."Sebentar aku turun!" ujarnya yang langsung membuka pintu. Kenapa? Ah ... Pasti sebenarnya Tari minta di kelonin.Aku tak pedulikan lagi dengan mereka. Kembali fokus pada HP yang tengah bermain permainan cacing. Membunuh cacing yang lewat menganggu sama seperti menyingkirkan pelakor itu di rumah ini! tunggu saatnya Tar!Aku haus dan meraih gelas yang ada di nakas. Ternyata kosong. Bagaimana ini, mana malas untuk turun. Lebih malas karena akan melihat kutu kupret dengan Mas Damar. Lebih malas lagi memergoki ia yang tengah bercumbu.Iiihhh!Aku bergidik jijik. Membayangkan mereka dalam satu ranjang dengan peluh membanjiri tubuh mereka.Huhfff ... Tapi haus!Segera aku beranjak. Tak ada pilihan lain selain untuk turun. Terpaksa dan harus tutup mata dan telinga melihat atau mendengar desahan para pencandu nafsu.Menuang air dari galon kegelas, aku melirik kepintu kamar Tari. Terbuka lebar, bagaimana bisa? Apa mereka melakukan itu dengan membuka pintu. Bagaimana kalau Wulan atau Aziz melihat.Aku dilema, harus mendekat kekamar atau membiarkan. Tapi, jika di biarkan aku takut Aziz yang biasanya ambil jajan atau sekedar cari minuman melihatnya. Dia sering turun, setelah Mabar. Bagaimana ini?Kuputuskan untuk menuju kesana. Lebih baik aku makin sakit dari pada harus anakku tahu apa yang bapaknya lakukan.Dengan langkah mantap aku menuju pintu Tari dan ....~~~~®®®~~~~Kumenatap ruangan berukuran 2X2. Tak ada siapapun disana. Hanya ada sprei yang berantakan. Kemana mereka? Aku menerka-nerka, berfikir sejenak. Kira-kira kemana? Jangan-jangan mereka sedang di ruang tamu atau?Segera aku menuju kesana. Saat baru sampai ruang tengah. Aku mendengar suara orang yang tengah sedikit berdebat. Kupelankan langkah. Aku harus tahu apa yang sedang mereka lakukan."Ayo, Pah. Lama bener cuma buka pintu saja!" Terdengar suara Tari.Apa maksudnya? Jangan-jangan ia sedang membuka pintu kamar tamu. Aku segera datang tak lagi mengenap-endap."Apa yang kalian lakukan!" Aku memencet saklar lampu. Sontak mereka terperanjat.Obeng yang di pegang Mas Damar jatuh kelantai. Aku yakin, Mas Damar sedang berusaha membuka kunci kamar. Sedangkan Tari membantu dengan menyenteri agar Mas Damar dapat melihat lubang baud.Mereka berdiri salah tingkah, seperti maling yang ketangkap basah. "Kamu mau buka pintu kamar itu, Mas? Mau buat kelon!" Selidikku."Eee, a-anu, Dek. Tari bilang d
Terdengar deru gerbang di buka. Betulkan apa yang aku katakan. Baru Lima belas menit yang lalu mereka pergi, sudah balik lagi.Mas Damar terlihat masuk dengan gegoboh. Dia sendirian. Kemana Tari?"Loh, Mas. Kok udah balik?" tanyaku pura-pura. Dalam hati bersorak ria."Aku tinggal di jalan. Abis maksa tetap pergi. Padahal badanku gatal semua!" ujar Mas Damar dengan tangan tak henti menggaruk.Apa? Di tinggal di jalan? Duh kasian sekali dia. Bagaimana coba kalau tersesat? Ah ...sudahlah. bukan itu baik. Biar KAPOK! Mas Damar masih terus menggaruk. Bahkan ia sampai melepas bajunya. "Gatal banget nih, Dek. Garukin dong!" Ia meminta tolong padaku. Tadinya aku mau menolak, namun ... Sepertinya suasana tidak tepat. Biar aku garuk saja sekarang. Biar nanti saat Tari lewat akan kupanas-panasi.Mas Damar duduk. Aku menggaruk pungungnya yang sudah merah-merah. Bagaimana akan sembuh kalau terus di garuk. Serbuk ini kan akan lebih efektif jika digaruk. Reaksinya akan nyata.Aku memang sengaja me
"Yah, ngapain Mbak Tari dandan begitu? Apalagi mau ikut kita. Memangnya Ayah mengajaknya!" Wulan bersuara. Entah kenapa aku merasa jika Wulan tak menyukai Tari sejak ia datang kemarin."Apa perlu aku katakan sejujurnya, Mas?!" Bisikku pada telinga Mas Damar."Ja-Jangan, Dek!" jawab Mas Damar bergetar."Kalau begitu, urus dia! Aku tak mau dia menjadi pengacau di acara keluarga seperti ini!" Mas Damar menurut. Iya turun dan menyuruh Tari untuk masuk. Entah apa yang di katakan Mas Damar hingga akhirnya dia keluar sendirian."Ayuk berangkat!" ujar Mas Damar. Aku heran, tapi tak berani bertanya karena posisi sedang bersama anak-anak.Tiba disana, acara sudah mulai. Cukup riuh tamu yang hadir. Dari semua yang hadir, aku hanya kenal beberapa saja. Itu juga karena satu grup di WA."Hai, Fatwa!" Panggil seseorang yang kutahu dia adalah istri direktur."Hai juga, Nay!" Kami berpelukan, tak ketinggalan juga beberapa rekan yang lain. Saling menyalami dan berbasa basi sekedar menanyakan kabar."Ib
"Dek! Aku bisa jelaskan. Apa yang kamu lihat tak seperti yang kamu bayangkan. Tadi itu ...."Mas Damar mencoba mengajakku untuk berdamai. Tapi, hati ini rasanya perih melihat pemandangan itu."Sudahlah, Mas. Tidur! Ini sudah malam." Segera aku meraih selimut. Menutupi hingga keatas bahu. Hawa tubuhku serasa dingin dan bergetar. Tenyata sakit di ulu hati mampu membuat semua tubuh merasakan sakit.Aku masih belum terlelap saat Mas Damar mulai menaiki ranjang. Dia melingkarkan tangannya pada pinggangku. Sakit dan jijik! Namun, aku hanya diam tak merespon ataupun mengambil tindakan untuk menyingkirkan. Tangan yang sama yang tadi ia gunakan untuk memeluk wanita lain. Wanita, sahabatku sendiri yang kalau itu drop karena depresi.Air mata yang sedari tadi kubendung, nyatanya lolos juga dari mataku. Wonder women sekalipun, pasti hatinya lembut. Tak akan bisa sekeras baja. Ada masanya dia terpuruk dan terjatuh.Keputusan yang kuambil untuk mempertahankan pernikahan ini, rasanya membuat nyawaku
PoV Damar"Apa? Fatwa kecelakaan!" Bergegas aku turun kebawah. Aku panik menerima telfon dari pihak rumah sakit yang mengabarkan tentang Fatwa.Ini masih pukul sepuluh pagi, akupun langsung pergi menuju rumah sakit Mitra Siaga. Sampai di sana aku langsung ke IGD. Kata suster Fatwa masih di tangani.Kuhubungi semua keluarga. Tentu aku tak ingin melakukan kesalahan. Ibu Fatwa bilang ia akan segera datang berbeda dengan Ibuku. Dia bilang belum bisa datang karena terkendala ongkos. Aku khawatir, bagaimanapun dia adalah Ibu dari anak-anakku. Selama ini dia tak punya cela. Hanya aku saja yang memang lelaki bodoh. Naluri sebagai lelaki tertantang saat Tari mengungkapkan perasaannya.Ternyata imanku masih lemah. Aku tak kuat menahan godaan setan yang terus berbisik. Terlebih melihat penampilan Tari yang terlihat masih energik di usianya yang sama seperti Fatwa. Mungkin karena Tari belum pernah turun mesin.Saat Tari depresi karena di ceraikan. Memang aku tak pernah melihatnya. Itu semua kar
Aku mencoba membuka mata, rasanya berat sekali. Setelah aku merasa jika aku sudah tidur terlalu lama. Badan sakit, kaki, dada bahkan kepala terasa nyeri. Silau dari cahaya lampu membuat aku mengedipkan mata beberapa kali."Dok, pasien sudah sadar!" terdengar suara perempuan. Aku masih menatap lamat lampu ruangan bernuansa putih hijau."Aku di rumah sakit?" gumamku dalam hati. Mencoba mengingat apa yang terjadi padaku.Ah! Aku kecelakaan, membanting setir saat tiba-tiba ada gerobak yang menyebrang."Kamu sudah sadar, Fat?" Suara Ibu. Aku meliriknya. Tak salah itu suara ibuku."Biar kami periksa dulu!" Seorang dokter langsung menggunakan stetoskopnya.Setelahnya mencabut selang oksigen dan beberapa yang menempel di bagian tubuh. Kini hanya tinggal infus saja."Ibu sejak kapan di sini?" tanya dengan suara masih tertahan."Baru tadi, Fat. Damar yang mengabari," ujarnya membuat aku sadar. Di mana dia? Apa dia menggunakan kesempatan ini untuk berdua dengan Tari. Memang kurang ajar!"Di man
"Jawab, Mar!" Ibu membentak Mas Damar. Baru kali ini selama 15 tahun lebih, ibu membentak menantunya itu."Kamu, Fat! Kenapa tak jujur sama Ibu. Dia itu telah menodai sucinya pernikahan dan kamu ... Justru memasukan dalam istanamu!" Ibu mengeleng keras. Pasti ibu sangat kecewa dengan apa yang aku lakukan."Bu, semua tak seperti yang Ibu pikirkan!" Mas Damar berusaha membela diri. Nyatanya memang dia tetap saja salah. Apapun alasannya."Terus apa? Apa namanya lelaki yang berkhianat! Dia tak lebih dari lelaki yang pengecut!" Ibu berdecis.Mas Damar terlihat frustasi. Mungkin ia merasa begitu tersinggung atas apa yang baru saja di ucapkan oleh Mertuanya."Pokoknya, kamu ceraikan Tari, atau aku bawa pulang Fatwa!" ancam Ibu. Tentu aku terpana. Tak menyangka jika Ibu semarah ini."Bu!" Aku mencoba menenangkan Ibu."Diam kamu, Fat! Kamu itu terlalu membela dia, terlalu patuh padanya dan terlalu cinta. Hingga membuat kamu buta, bahwa laki-laki yang dulunya kere! Sekarang bisa seperti ini kar
"Apa? Tari pingsan di gudang!" Mbak Ani mengabarkan. Dia seperti gemetar ketakutan. Itu pasti karena semalam ia di takuti oleh Ibu dan Mbak Ani."Bu, bagaimana ini? Tari pingsan!" ujarku pada Ibu. Ibu juga sepertinya terlihat bingung."Tolong coba kamu sadarkan dulu! Kalau tidak berhasil, baru hubungi ambulan agar segera di bawa ke RS!" Perintahku pada Mbak Ani. Aku menyuruhnya untuk tenang dan tak panik."Bu, bagaimana kalau Tari kenapa-kenapa?" tanyaku pada Ibu. Tentu aku khawatir."Alah ngga usah terlalu di pikirkan. Pasti dia itu cuma pingsan biasa!" ujar Ibu. Aku menghela nafas."Kalau Mas Damar tahu, pasti dia marah!" "Biar! Suruh marah. Suruh bawa pelakor itu keluar dari rumah! Enak saja mau jadi benalu!" Ibu berdecis. Pikiran Ibu dengan pikiranku tak sejalan. Aku makin bimbang.Sekarang kamu tak usah pikirkan macam-macam. Pikirkan agar kondisimu segera pulih.Aku mengangguk. Tak lama Mbak Ani kembali mengabari jika dia memanggil ambulan. Ternyata Tari terkena gigitan tikus, m
"Bun!" Aziz tahu perubahan expresiku. Dia langsung mendekat kearahku yang merasa Tek bertulang. Sedangkan Wulan juga dengan sigap langsung menopangku."Ada apa, Bu?" tanya Wulan, berbarengan dengan Aziz yang sampai di dekatku. Aku harus kuat. Aku tak ingin sampai Aziz tak punya foto kenang-kenangan atas prestasinya."Ngga papa, ayok! Ayah minta maaf tak bisa datang karena keadaan." Aku berusaha untuk melangkah keatas podium. Menyambut uluran tangan kepala sekolah, menerima penghargaan kemudian berfoto. Setelah selesai dan turun dari podium aku meminta berbicara dengan Aziz kebelakang sebentar sebelum ia masuk kembali ke barisan teman-temannya."Bunda mau bicara sebentar. Bisa?" Dia mengganuk dan mengikuti langkahku. Aku memilih untuk keluar karena suara yang riuh. Wulan juga kubawa."Aziz, Ayahmu kecelakaan saat akan kesini. Dia katanya kritis." ucapku dengan menahan serak didada. Bagaimanapun dia telah mengisi hariku puluhan tahun, aku tak mungkin abai disaat seperti ini."A-ayah?"
"Tak semudah itu, Mas! Kami pikir dengan menalak Tari didepanku, aku akan langsung memaafkanmu? Jangan mimpi!" Aku segera beranjak pergi. Malu, masih ada beberapa polisi yang lewat dan memperhatikan kami."Fat! Dek!" Mas Damar memanggil, aku acuh langsung menuju kendaraan. Tak perduli Mas Damar yang mengetuk kaca keras.Kulajukan mobil dengan sedikit kencang. Kepalaku pusing, memikirkan semua masalah yang ada. Rasanya lelah hidup ini. Menghadapi semua masalah yang terus melanda.Ponsel berdering. Dari Lukman!"Hallo, Assalamualaikum.""Waalaikumsalam, Bu. Saya mau menginformasikan bahwa resto yang berada di jalan mangga di miliki oleh seseorang dari Pakistan dan menurut yang info saya dapatkan jika perempuan yang di nikahi secara mut'ah bernama Saras."Deg!Mendengar penjelasan Lukman aku kaget. Bukan kaget karena pemilik resto adalah Mbak Saras. Tapi kaget tentang pernikahan mut'ah yang dia lakukan."Kamu yakin jika berita ini akurat, Luk?""Yakin, Bu."Aku menutup sambungan telfon d
Aku terperanjat karena terkena cipratan air juga. Ervan pun langsung berdiri."Apa-apaan ini?" Ervan mengadu saat tahu siapa pelaku penyiraman itu. Melisa."Kamu, Mas, yang apa-apaan. Berdua makan dengan babysitter!" Melisa berkata dengan amarah. Beberapa orang melihat, kami menjadi tontonan, bahkan saat Lukman mencoba mendekat aku menahannya dengan isyarat tangan."Tega-teganya aku di luar negri, kamu main sama seorang pengasuh anakmu! Ngga tau malu!" Melisa masih saja berargumen. Ervan bahkan gelagapan karena tak diberi waktu untuk berbicara."Jadi begitu kelakuanmu, Mas. Kamu benar-benar lelaki tak setia! Dan kamu!" Kali ini ia menunjukku, aku hanya bergeming."Kamu tak akan pernah selevel dengan seorang dokter. Kamu hanya pengasuh! Jangan berharap lebih. Palingan juga Mas Ervan mau karena di guna-guna. Kamu cuma mau hartanya saja kan? Mau meninggikan stratamu!" Dengan jari telunjuk ia mengarahkan padaku."Cukup, Mel!" Akhirnya Ervan bersuara. "Kamu ngomong apa? Pulang dari LN ngga
" Ya resto itu berdiri di jalan mangga. Kata pelanggan harganya jauh dibawah kita. Tadi sempat berbincang dengan para grabfood jika itu benar adanya. Mereka meminta kepastian jika itu benar-benar cabang kita." Aku terdiam. Jalan mangga? Itu artinya sekitar seratus meter dari Restoku. Kenapa? Apa benar itu milik Mbak Saras? Aku harus secepatnya mencari tahu."Baik, terima kasih, Luk. Biar aku cari tahu. Kamu tetap kerja dengan baik!" "Baik, Bu."Segera aku melajukan mobil dengan cepat. Menuju dimana resto itu berdiri. Aku sangat ingin tahu apa benar Resto itu meniru tempat usahaku."Macet lagi!" Aku menggerutu. Ingin cepat sampai malah terjebak macet.Cukup lama dan panjang. Entah apa yang ada didepan sana. Aku hanya bisa bersabar. "Ada apa ya, Pak. Di depan sana?" tanyaku pada seorang tukang sapu jalanan."Oh, ada truk guling, Bu. Mungkin akan memakan waktu lama. Soalnya alat berat belum datang!" Aku mengangguk, kemudian kembali fokus pada jalanan yang mulai terasa panas walau suda
Aku langsung menuju di mana sosok berdiri. Wulan. Ia menatapku dengan pandangan penuh amarah."Kamu belum tidur, Sayang?" tanyaku.Dia menepis tanganku yang hendak menyentuh rambutnya. Kenapa?"Bunda apa-apaan? Pake jalan sama laki-laki lain! Bunda punya pacar?!" Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa Wulan berkata demikian. Apa yang membuat dia menuduhku sedemikian rupa."Kamu ngomong apa, si Wulan?" Aku mencari penjelasan."Bunda jangan ngelak! Wulan sudah tahu semua dari ayah!" Nadanya ia naikkan.Kupastikan Mas Damar mengadu pada Wulan. Mencuci otak anak yang masih belum memiliki pikiran dewasa."Bunda cuma pergi sama anak temen Bunda. Dia anak kecil, baru sekolah paud. Ituloh, yang saat Bunda di rumah sakit. Anaknya pak dokter." Aku berusaha menjelaskan. Namun wajah kusut Wulan tak berubah."Iya, makanya Wulan tahu! Bunda dan Dokter tengil itu mulai pacaran kan?"Astaghfirullah. Aku menyebut, apa yang sudah di katakan Mas Damar pada Wulan?"Tidak, Wulan. Kita cuma sahabat. Maklum la
"Tari?" Apa aku tak salah lihat. Tari berada di Paud? Anak siapa? Jangan-jangan dia mau menculik?Ah! Kenapa aku jadi berfikir negatif. Kalau anak itu di culik pasti udan teriak.Aku ingin menyambanginya. Menanyakan bahwa aku sudah melaporkan dia pada polisi. Namun, aku tersadar saat akan membuka pintu."Tante!" Panggil Sifa. Aku tak mungkin meninggalkannya."Iya, Sayang." Aku urung keluar, Sifa terlihat juga menatap ke Tari."Sifa kenal anak itu?""Kenal, Tan. Dia namanya Ines.""Terus itu siapa?" tanyaku memastikan tentang Tari."Dia itu babycitternya. Galak banget!" ujar Sifa polos."Kok tahu kalau dia galak?" ucapku memancing."Iya, Ines sering kena marah-marah sama dia, dia itu kata Ines nenek lampir!"Aku tertawa mendengar penuturan Sifa. Bocah kecil sudah tahu maklampir. Setelah melihat Tari masuk sebuah mobil, akhirnya aku juga melajukan mobilku menuju pusat perbelanjaan. Ada beberapa kebutuhan yang memang ingin kubeli, sekaligus mengajak Sifa main di Playground. Menghabiskan
Aku terperangah karena tak menyangka jika yang datang itu si Bocah T3ngik. Lagian, kenapa coba tadi karyawan tak bilang. Aku menabok keningku sendiri."Kenapa kamu masuk kesini? Ini tempat pribadi! Tak ada yang boleh kesini kecuali keluarga dan karyawan!" gerutuku padanya.Dia tampak kelimpungan, "aku disuruh masuk kesini! Bukan inisiatif kusendiri."Aku mengkerutkan kening. Apa mungkin? Ah ... Sudahlah."Kan bisa nyuruh karyawan panggilkan bukan masuk." Aku masih mencoba mencari kesalahannya walau sebenarnya aku juga yang salah. Entah kenapa aku ingin dia serba salah. "Ada apa datang?" tanyaku padanya cuek."Tadinya mau bawa Sifa. Dia kepengen ketemu kamu katanya!" ujarnya.Aku celingukan. "Mana dia?""Dia sedang sekolah. Dia minta aku jemput kamu dan jemput dia saat pulang." Aku memijit pelipis. Bukan menolak, aku juga suka sekali dengan Sifa. Karena pada dasarnya aku pencinta anak-anak."Bagaimana?" tanyanya kemudian.Aku mengangguk, tak dapat kutolak permintaan anak kecil yang m
Aku tak bisa menolak ibu mertua. Kubiarkan saja, aku hanya butuh memantau dan melihat gerak geriknya. Aku memiliki perasaan jika Ibu mertua memiliki niat tertentu.Dua hari sudah aku tidak meninjau Resto, juga Aziz, aku menyuruhnya fokus belajar karena akan menghadapi ujian. Jadi tak kuizinkan dia pergi ke Resto.Aku sudah merasa enakkan hingga ada keniatan untuk menghilangkan jenuh yang sudah hampir satu minggu tak melakukan rutinitas apapun. Aku pergi ke Resto.Tiba di sana suasana tegang tak seperti biasanya. Wajah pada karyawan yang biasanya ramah tersenyum kini serius bahkan terlihat takut.Ada apa ini?"Sisil! Bagaimana kondisi Resto?" tanyaku dengan ramah. Dia yang biasa paling supel."Alhamdulilah, Bu. Semua baik-baik saja! Permisi." Aku heran dengan perubahan mereka. Kenapa? Bahkan Sisil saja seperti ketakutan setengah mati."Kemana Lukman?" tanyaku kembali pada Sisil yang mau pergi."Dia-dia sudah di pecat kemarin, Bu." Aku tersentak kaget. Bagaimana bisa karyawan seramah L
"Siapa, Si?" tanya Mas Damar penasaran."Lah kan tahu dari seragamnya? Dokter lah!" Aku tak mengatakan sejujurnya. Biarlah ini menjadi rahasiaku dulu. Toh, palingan Mas Damar tak peduli."Oh ... Kenapa si kamu masuk rumah sakit ngga kabarin aku?" Mas Damar kemudian menatap Aziz dan Wulan yang tengah duduk di sofa. "Wulan, Aziz, kenapa ngga beritahu ayah tentang ini?"Wulan terlihat membisu, sambil sesekali menatap kakaknya. Pasti sudah di setir oleh Aziz dan Wulan dilema."Kenapa kalian diam?" tanya Mas Damar kembali."Aku yang menyuruh mereka tak mengabarimu, Mas. Aku baik-baik saja!" ujarku agar dia Tek mencerca anak-anak.Aziz beranjak, kemudian langsung pergi meninggalkan ruangan ini dengan pintu sedikit dibanting."Sampai di rawat begini kok bilang ngga papa. Kamu kenapa? Sakit apa?" tanya Mas Damar memberondong."Cuma kelelahan saja, Mas. Ini juga udah membaik. Palingan besok sudah boleh pulang." Aku meriah HP, tak ingin terlalu serius menanggapi obrolan bersama Mas Damar."Lain