Malam ini, rumah mertuaku sangat ramai. Kerabat langsung berdatangan begitu mendengar kabar duka kematian Adrian, bungsu dari dua bersaudara. Aku-pun bersama Nadine, serta Raline langsung meluncur ke tempat yang hanya berjarak setengah jam dari tempat tinggal kami dengan mengendarai sepeda motor.
Suara tangis, berbaur dengan ramainya obrolan yang memperbicangkan penyebab kematian adik kandung Mas Danang. Aku bersama beberapa saudara mempersiapkan tikar serta tempat untuk membaringkan jenazah.
Tepat pukul satu malam, suara sirine ambulans diiringi deru beberapa mobil, terdengar mendekat. Kami semua kompak berdiri, menyambut kedatangan jasad pria berusia tiga puluh tahun itu.
Isak tangis semakin pecah, manakala beberapa orang laki-laki mengangkat tubuh Adrian yang sudah membeku. Berjalan di belakang, Ibu mertua yang dipapah dua orang wanita. Dan juga, Firna, istri Adrian yang menggendong putri semata wayangnya yang masih berusia empat tahun. Mereka, tentu sangat kehilangan dengan kepergian anak serta suami dengan cara tiba-tiba.
Nadine dan Raline yang berdiri di samping kanan dan kriku, memegang erat lengan ini. Mas Danang, datang tak lama setelah jenazah Iyan dibaringkan.
Setelahnya, suara pelayat yang membacakan Yasin serta tahlil yang dipimpin Ustadz, bergema di rumah megah ini. Karena hari sudah larut malam, pemakaman baru akan dilakukan esok pagi.
***
Selepas kepergian Iyan, ada yang berbeda dari suasana di rumahku. Sepi, karena Mas Danang jarang pulang. Ibu mertua sangat shock dan terluka atas kepergian anak bungsu kesayangannya. Beliau menderita depresi, sehingga sering tiba-tiba teriak malam-malam. Untuk alasan itulah, suamiku sering menginap di sana.
“Kalau tidak ada aku, Ibu tidak bisa dikendalikan saat kambuh depresinya, Mah …” Begitu kata suamiku suatu hari. Aku maklum saja, karena mereka hanya dua bersaudara.
“Ibu diajak ke sini, bisa kan?”
“Tidak mau, Ma … aku sudah berusaha membujuknya. Ibu tidak ingin meninggalkan tempat yang mengukir banyak kenangan dengan Adrian.”
“Tapi, di rumah itu ada Firna, Pa … bisa menimbulkan fitnah bagi orang-orang yang tahu.” Naluri sebagai istri mengatakan ketidakrelaan, bila suamiku berada satu atap dengan adik iparnya.
“Ma … jangan berpikir macam-macam, ya? Percaya sama Papa … di rumah itu masih ada Ibu, juga Bapak yang juga tinggal di sana. Tidak akan terjadi sesuatu yang di luar batas, percayalah!” Aku hanya mengangguk ragu.
Tidak ada yang berubah dari sikap suamiku, kami masih mesra walau tidak setiap hari berjumpa. Anak-anak yang semula keberatan, kini mulai terbiasa dengan kondisi ayah mereka yang harus menjaga sang eyang. Sesekali, kami bertiga ikut menginap di sana, namun tidak bisa setiap hari, karena kedua buah hatiku harus sekolah dan mengaji. Firna sebenarnya sudah pamit, akan pulang ke rumah orang tuanya, akan tetapi, keinginannya ditentang keras oleh Bapak juga Ibu.
“Kami tidak mau jauh dari darah daging Adrian. Lagipula, ini rumah sudah menjadi miliknya, mau buat siapa kalau kamu pergi? Tinggallah di sini! Sekalipun kamu sudah menikah. Kami akan mencarikan calon suami untukmu, yang masih ada hubungan kerabat.” Firna, perempuan yang memang penurut hanya mengangguk saja.
Tiga bulan telah terlewati setelah kematian Adrian. Semakin ke sini, Mas Danang semakin jarang pulang. Alasannya, Ibu semakin parah depresinya. Memang benar, beberapa saat suamiku pulang pada kami, selalu ditelpon untuk kembali ke sana dengan alasan, Ibu mangamuk.
Lambat laun, aku merasa, tidak memiliki hak lagi atas suamiku sendiri. Juga kedua putriku yang seringkali merindukan ayahnya kembali bersama kami seperti dulu …
Hari menjelang sore, saat Mas Danang pulang setelah hampir seminggu tidak menginjakkan kaki di rumah ini. Mukanya, nampak kusut. Kujabat dan mencium dengan takzim tangan yang dulu digunakan untuk mengikatku dalam janji suci sebuah pernikahan.
Dia hanya berdiri mematung sembari menatap diriku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Setelahnya merengkuh tubuh ini dengan erat. Apakah ada sesuatu yang terjadi? Pikiranku berkecamuk.
Mas Danang merenggangkan pelukan, dan berjalan cepat menuju kamar. Aku yang melihat keanehan itu tak berani bertanya.
Malam harinya, aku diajak mengunjungi mertua tanpa anak-anak, alasannya cuma sebentar saja. Sesampainya di sana, kedua orangtua Mas Danang serta Firna sudah menunggu di ruang tamu. Perasaanku mulai tidak tenang. Seperti ada sesuatu yang akan terjadi.
Aku duduk bersisihan dengan Mas Danang, Bapak duduk sendiri, dan Firna, berdampingan dengan Ibu. Setelah berbasa-basi sebentar menanyakan kabar anak-anak, Bapak mulai berbicara sesuatu hal yang serius.
“Rasti, ada yang ingin kami sampaikan.” Lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih itu berhenti sejenak. Terlihat mengatur kata-katanya. “Sepertinya, keadaan Ibu sulit untuk sembuh. Hal itu membuat Danang, mau tidak mau harus sering menginap di sini. Jujur saja, ini membuat kami tidak enak terhadap pandangan orang, sehingga, dengan berbagai pertimbangan, kami memutuskan untuk …” Kata-katanya menggantung. Berbagai pikiran buruk berkecamuk dalam otakku.
Degup jantung terasa mulai lebih kencang. Aku menelan saliva, tenggorokan ini seketika tercekat, menanti apa yang akan terucap dari pria yang menjadi mertuaku selanjutnya.
“Menikahkan Danang dengan Firna.” Aku mematung mendengar kalimat terakhir yang diucapkan kakek dari anak-anakku itu.
Dalam tubuh terasa panas, akan tetapi, tangan serta seluruh badan mendadak dingin. Mas Danang menggenggam erat telapak tanganku. Setetes air hangat, jatuh di telapak tangannya yang menggenggam erat jemari ini.
“Kami harap kamu menerima ini dengan ikhlas, Rasti! Ingatlah, kamu berhutang budi pada keluarga ini.” Aku tidak menyangka, beliau sosok yang kuanggap sebagai ayahku sendiri tega mengungkit hal itu.
Jemari ini saling meremas. Terasa sakit hati ini, membayangkan harus membagi kasih sayang suami, dengan Firna menantu yang memiliki tempat special di keluarga ini.
"Bagaimana, Rasti?" tanya ibu Mas Danang penuh harap.Dengan pandangan mengabur karena tertutup air mata, aku menatap wanita yang juga sudah aku anggap sebagai ibuku sendiri."Bila Ibu di posisi aku, apa yang akan Ibu putuskan?" tanyaku balik. Membuat wanita yang sekarang ini mulai kurus itu terlihat menelan saliva. Memandang pada suaminya yang duduk di sebelah.Tangan yang tergenggam erat oleh telapak Mas Danang, aku tarik paksa untuk menyapu titik-titik air yang tidak sabar ingin jatuh."Dan kamu, Firna? Apa kamu siap untuk dimadu dengan aku? Orang yang katamu sudah dianggap sebagai kakak sendiri?" tatapanku beralih pada wanita berkulit putih yang sekarang sudah tidak pernah berhias sejak suaminya meninggal.Firna tidak menjawab. Hanya menunduk dan terlihat bimbang."Rasti! Kamu tidak perlu bertanya pada semua orang. Setiap orang memiliki pemikiran yang ber
Malam itu, Mas Danang tidur dengan memeluk tubuhku erat sekali. Aku hampir tidak bisa bernapas bila tidak kupaksa dirinya agak sedikit melonggarkan tangan.Di tengah malam, aku terbangun. Kembali menatap wajahnya yang pulas."Apa yang harus aku lakukan, Mas? Apa yang harus aku putuskan? Aku tidak mau berbagi sekalipun itu hanya formalitas menurutmu. Aku tidak yakin," lirihku.Hidup memang selalu penuh kejutan. Kita tidak akan pernah tahu apa yang terjadi esok hari. Sebelum kematian Adrian, aku adalah wanita yang sangat bahagia. Tidak pernah kurang kasih sayang apalagi uang. Mas Danang memanjakanku dengan berbagai fasilitas yang cukup. Meskipun dia bukan seorang milyarder tapi, penghasilannya lebih dari cukup untuk menafkahi kami bertiga.Orang tuanya cukup berada sehingga, tidak pernah merepotkan kami perihal keuangan. Memang, perlakuan mereka tidaklah sama antara aku dan Firna. Mungkin
Pak Cokro, ayah Firna dan mertuaku terdengar mengurai tawa. Tawa yang berarti lara bagi hati ini. Pun dengan kedua bocah yang saat ini berada di rumah. Andai mereka tahu malam ini, ayah mereka, orang yang sangat mereka sayangi dan andalkan, mengikrarkan janji suci dengan wanita lain, entah seperti apa hancurnya rasa itu.Aku menepi sejenak, menyingkir mencari tempat untuk sekadar membuat diriku merasa nyaman di tengah bahagia yang mereka rasa.Di teras belakang, aku bisa melihat kelap kelip lampu pabrik jauh di depan sana. Belakang rumah keluarga Mas Danang terdapat hamparan sawah yang luas.Yang padinya sudah mulai menguning. Namun, aku jelas tidak bisa melihatnya karena tertutup pekatnya langit malam. Sejenak, kuhirup udara malam dengan sebanyak-banyaknya.Apa aku wanita yang bodoh? Membiarkan suamiku dimiliki oleh wanita lain? Atau, aku hanya sekadar membalas budi seperti yang mereka minta? Atau,
“Kamu sedang apa? Aku cari kemana-mana,” ucap Danang mengulang pertanyaannya. Langkah kaki jenjang lelaki itu menyusul Rasti yang masih terduduk di tepi teras.“Aku sedang ingin sendiri dan menepi,” jawab rasti parau.“Kenapa tidak mengajakku?” tanya Danang lagi.Rasti menggeleng. Tatapannya kembali ia lempar pada kelap kelip lampu di seberang sana. “Aku ingin memberikan ruang untuk kamu menikmati waktu bersama keluarga besar kamu, Mas,” ucap Rasti lirih. Hatinya tertusuk belati, kala mengingat, beberapa saat yang lalu, pria yang amat ia sayangi dan cintai, mengikat janji suci terhadap wanita lain. Meski itu hanya sebuah formalitas seperti yang suaminya katakan, tapi tetap saja, pernikahan adalah bukan sesuatu hal yang bisa dimainkan.Telapak tangan Rasti yang dingin merasakan sebuah kehangatan saat tangan kekar sang suami menggenggamnya dengan lembut.
POV RASTIAnak-anak diajak serta tidur bersama kami di kamar. Sepertinya, Mas Danang ingin menghabiskan malam bersama mereka. Aku sampai menggelar sebuah kasur di bawah. Karena tempat tidur tidak muat untuk menampung kami berempat.“Papa, jangan tinggalkan aku, ya?” pinta Raline saat Mas Danang sudah tidak bersuara.“Hemh,” gumam Mas Danang lirih.Aku berdiri di tepi ranjang, mengamati tiga orang yang sangat berharga dalam hidupku. Rasanya, aku tidak sanggup berbagi. Meski Mas Danang menganggap pernikahan mereka hanya sebatas formalitas semata. Siapapun wanitanya, tentu tidak ada yang mau dimadu, dengan cara dan niat apapun itu. Terlebih, wanita yang menjadi madunya, masih sesame menantu.Pagi hari, kami beraktivitas seperti biasanya. Mas Danang bersiap kerja, sementara anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah.“Jaga rumah, ya?
“Coba jawab! Jangan diam saja!” Aku berkata dengan nada suara yang tetap dingin. “Aku, aku tidak seburuk itu, Mbak. Aku tidak akan meminta hal yang memalukan seperti yang Mbak Rasti katakan. Aku hanya butuh sosok ayah untuk Yasmin. Mas Danang adalah pria yang sangat tepat menggantikan sosok Mas Adrian sebagai ayah kandungnya. Mas Danang kakak kandung mendiang suamiku. Aku yakin, dia akan bisa dengan tulus menyayangi Yasmin. Sementara bila aku mencari lelaki lain, belum tentu dia akan bisa menerima Yasmin dengan tulus.” Ucapan Firna benar-benar membuat aku semakin didorong emosi. “Jadi, benar dugaanku, bukan? Kamu memang menikmati pernikahan ini?” “Aku hanya berusaha ikhlas dan berdamai menerima takdir, Mbak. Apapun yang menimpa kita, bukankah itu sudah menjadi sebuah garis hidup yang kita smeua harus mau menerimanya? Begitupun dengan aku dan Mbak Rasti. Kita ditakdirkan memiliki suami yang sama, Mbak. Kita ditakdir
POV RASTI"Bukankah aku sudah pernah bilang? Kalau Bapak menyakiti Rasti, maka aku yang akan mencari keadilan untuknya."Ucapan pungkasan yang disampaikan Mas Danang membuat perasaanku terbelah menjadi dua. Di satu sisi, aku tidak lagi ragu terhadapku cintanya. Namun, di sisi lain, aku menjadi berpikir kalau ada sesuatu hal yang mereka sembunyikan dariku.Dengan langkah berjingkat, aku kembali ke peraduan. Mata ini sulit terpejam. Namun, selimut sengaja aku tarik hingga menyisakan ujung kepala saja. Kumiringan tubuh agar Mas Danang mengira kalau aku sudah tidur. Tak berapa lama, deritamu pintu terdengar. Lalu ditutup pelan-pelan. Dan, sebuah tangan melingkar memeluk erat tubuh ini.Sejak percakapan yang aku dengar antara Mas Danang dan bapaknya semalam, hati ini menjadi penasaran. Seakan ada sebuah bisikan untuk aku mencari tahu sesuatu hal.Namun, hal apa itu? Pert
Pukul empat sore, aku sudah menyerah menghubungi Mas Danang. Aku memilih membaca artikel bisnis yang ada di internet. Rasanya, aku harus mulai mengenali tata cara mencari uang. Karena apapun yang akan terjadi, kita tak pernah tahu. Seperti saat ini , aku tiba-tiba harus hidup dengan memiliki seorang madu.Layar gawai berkedip. Nama Mas Danang memanggil di sana. Seketika, hatiku berdegup kencang. Dengan tangan bergetar, kuangkat panggilan telepon dari lelaki yang sangat kucintai itu.“Halo, Mas,” sapaku.“Halo, Rasti. Maaf dari tadi pagi aku tidak sempat bermain handphone. Ibu harus dibawake rumah sakit. Dan ini sudah masuk ruang perawatan,” jelas Mas danang.“Mas danang sama siapa di sana?” tanyaku cemas.“Aku sama bapak, Ras. Kamu mau nyusul ke sini? Kalau iya, Nadine sama raline biar dititipkan Bibik,” ujar Mas Danang membuatku le
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny