“Kamu sedang apa? Aku cari kemana-mana,” ucap Danang mengulang pertanyaannya. Langkah kaki jenjang lelaki itu menyusul Rasti yang masih terduduk di tepi teras.
“Aku sedang ingin sendiri dan menepi,” jawab rasti parau.
“Kenapa tidak mengajakku?” tanya Danang lagi.
Rasti menggeleng. Tatapannya kembali ia lempar pada kelap kelip lampu di seberang sana. “Aku ingin memberikan ruang untuk kamu menikmati waktu bersama keluarga besar kamu, Mas,” ucap Rasti lirih. Hatinya tertusuk belati, kala mengingat, beberapa saat yang lalu, pria yang amat ia sayangi dan cintai, mengikat janji suci terhadap wanita lain. Meski itu hanya sebuah formalitas seperti yang suaminya katakan, tapi tetap saja, pernikahan adalah bukan sesuatu hal yang bisa dimainkan.
Telapak tangan Rasti yang dingin merasakan sebuah kehangatan saat tangan kekar sang suami menggenggamnya dengan lembut. “Jangan pernah merasa sendiri. Aku akan selalu ada untukmu. Jangan menjauh, karena aku sangat membutuhkanmu. Maafkan aku bila hatimu terluka,” ujar danang seraya memegang dagu Rasti dan memalingkan wajah untuk berhadapan dengannya.
“Mereka terlihat bahagia, Mas. Bapakmu dan juga bapak Firna. Seolah, pernikahan ini adalah sebuah anugerah. Aku merasa kecil di tengah keluargamu dan keluarga Firna yang lengkap. Aku merasa hanya menjadi sebuah daun kering diantara buah-buahan yang ranum,”
“rasti! Berhentilah berkata demikian. Aku sangat mencintai kamu. Kamu tahu itu, bukan? Kita akan melewati ini sama-sama. Ayo, kita pulang. Anak-anak sudah menunggu di rumah,” ajak Danang.
Netra Rasti berkaca-kaca, segala sedih ingin ia tumpahkan. Akan tetapi, sadar saat ini berada di mana. Seulas senyuman terukir di bibirnya. Menyambut niat baik sang suami yang lebih mementingkan anak-anaknya di malam yang dianggap bahagia oleh keluarganya.
Dengan pelan, wanita berhijab hitam itu mengangguk.
Sepasang suami istri itu bangkit secara bersamaan. Dengan masih bergandengan tangan, keduanya melangkah pelan menuju pintu yang menjadi pembatas teras belakang dengan ruang keluarga. Rumah besar milik keluarga Hartawan memang mempunyai dua buah ruang keluarga. Satu berada di dekat ruang tamu, dan satunya lagi berada sebelum teras belakang. Kedua ruang keluarga itu dipisahkan oleh dapur yang menyatu dengan ruang makan.
“Mas, aku mencarimu kemana-mana. Kamu dari tadi belum makan, ‘kan? Aku menunggumu untuk makan bersama.” Tiba-tiba, Firna muncul dari balik pintu, membuat hati Rasti kembali merasa dipukul. Pria yang kini menggenggam erat tangannya telah memilki tambatan lain. Itu knytaan pahitnya.
Seolah tahu apa yang dirasakan sang istri, Danang semakin menggenggam erat tangan Rasti. “Aku akan makan di rumah dengan anak-anak. Kamu makan saja, tidak perlu menungguku,” jawab danang dingin.
‘Untuk sementara, aku mungkin memenangkan hatimu, Mas. Tapi, apa ini akan terjadi untuk selamanya?’ tanya hati Rasti ragu.
Terlihat raut kecewa dari wajah Firna. Tatapan matanya tertuju pada tangan sepasang suami istri yang saling bergenggaman. Sejurus kemudian, anggukan pelan terlihat bergerak dari kepala yang masih bersanggul. “Baiklah, Mas. Hati-hati,” ujarnya penuh dengan kekecewaan.
Danang hanya menatap sekilas Firna, lalu berjalan melewati perempuan yang tatapan matanya tidak pernah lepas darinya itu. Sementara di sisinya, berjalan Rasti yang tentu sangat tidak suka dengan cara Firna memandang sang suami.
“Mas …,” panggil Firna lembut saat tubuh Danang melangkah beberapa langkah kaki darinya.
“Kenapa?” tanya Danang dingin. Meskipun ia terpaksa berhenti, tapi tatapannya tetap tidak menoleh.
Firna berjalan tergopoh menuju sang suami. Ia lalu mengulurkan tangan mengajak Danang bersalaman. Wajah Rasti berpaling. Tidak kuat rasanya, berdiri di hadapannya, seorang perempuan yang berlaku demikian terhadap pria yang paling ia cintai dalam hidup saat ini.
Dengan tangan kaku dan tatapan menoleh pada Rasti, Danang mengulurkan tangannya pada wanita yang baru saja ia nikahi itu.
“Aku akan menunggumu pulang ke sini, Mas,” ucap Firna tanpa rasa malu membuat dada Rasti semakin bergemuruh.
Danang tak menjawab apapun. Lelaki itu mengabaikan Firna yang masih menatap penuh harap, lelaki yang baru saja menikahinya akan tetap tinggal meski hanya untuk menutupi rasa malu di hadapan keluarga yang masih bertahan di rumah besar itu.
“Nang!” seru sang ibu saat Danang melewati ruang tamu. “Mau kemana kamu?” tanyanya kemudian.
“Aku mau pulang, Bu,” jawab Danang tegas.
“Ini ,kan juga rumah kamu. Biarkan Rasti pulang sendirian. Hormatilah tamu yang datang untuk menghadiri acara bahagiamu ini,” ujar wanita yang terlihat menjaga penampilan agar terlihat ningrat itu tak kalah tegas.
“Anak-anak menungguku di rumah. Aku sudah cukup lama di sini,’ jawab Danang pasti. “Ayo, kita pulang,” ajaknya pada sang istri.
Sepasang suami istri itu lalu melenggang pergi. Ibu Danang tidak bisa mencegah karena tidak ingin terlibat dalam pertengkaran di depan beberapa kerabat yang masih di sana.
Sampai di rumah, Raline dan Nadine sudah menunggu di teras. “Kakak dan Adek kenapa belum tidur? Kenapa di luar?” tanya Danang setelah turun dari mobil.
“Mbok Nah tadi cucunya nangis, terus pulang. Kami takut di dalam. Akhirnya menunggu Mama dan Papa di sini,’ ujar si sulung Nadine.
“Papa …,” rengek Raline manja. Tubuhnya langsung menghambur ke pelukan Danang. “Aku kangen Papa. Aku takut ditinggal Papa,” lanjutnya dengan nada sedih.
Rasti menghela napas panjang. Ia yang baru saja menginjakkan kaki di teras, menarik tubuh Nadine ke dalam pelukan.
Ikatan batin diantara ayah dan anak menjadikan Raline dan Nadine seolah meraskan gundah yang tengah terjadi di dalam keluarga kecil itu, meskipun mereka berdua tidak tahu menahu tentang apa yang sebenarnya tengah terjadi.
POV RASTIAnak-anak diajak serta tidur bersama kami di kamar. Sepertinya, Mas Danang ingin menghabiskan malam bersama mereka. Aku sampai menggelar sebuah kasur di bawah. Karena tempat tidur tidak muat untuk menampung kami berempat.“Papa, jangan tinggalkan aku, ya?” pinta Raline saat Mas Danang sudah tidak bersuara.“Hemh,” gumam Mas Danang lirih.Aku berdiri di tepi ranjang, mengamati tiga orang yang sangat berharga dalam hidupku. Rasanya, aku tidak sanggup berbagi. Meski Mas Danang menganggap pernikahan mereka hanya sebatas formalitas semata. Siapapun wanitanya, tentu tidak ada yang mau dimadu, dengan cara dan niat apapun itu. Terlebih, wanita yang menjadi madunya, masih sesame menantu.Pagi hari, kami beraktivitas seperti biasanya. Mas Danang bersiap kerja, sementara anak-anak bersiap untuk berangkat sekolah.“Jaga rumah, ya?
“Coba jawab! Jangan diam saja!” Aku berkata dengan nada suara yang tetap dingin. “Aku, aku tidak seburuk itu, Mbak. Aku tidak akan meminta hal yang memalukan seperti yang Mbak Rasti katakan. Aku hanya butuh sosok ayah untuk Yasmin. Mas Danang adalah pria yang sangat tepat menggantikan sosok Mas Adrian sebagai ayah kandungnya. Mas Danang kakak kandung mendiang suamiku. Aku yakin, dia akan bisa dengan tulus menyayangi Yasmin. Sementara bila aku mencari lelaki lain, belum tentu dia akan bisa menerima Yasmin dengan tulus.” Ucapan Firna benar-benar membuat aku semakin didorong emosi. “Jadi, benar dugaanku, bukan? Kamu memang menikmati pernikahan ini?” “Aku hanya berusaha ikhlas dan berdamai menerima takdir, Mbak. Apapun yang menimpa kita, bukankah itu sudah menjadi sebuah garis hidup yang kita smeua harus mau menerimanya? Begitupun dengan aku dan Mbak Rasti. Kita ditakdirkan memiliki suami yang sama, Mbak. Kita ditakdir
POV RASTI"Bukankah aku sudah pernah bilang? Kalau Bapak menyakiti Rasti, maka aku yang akan mencari keadilan untuknya."Ucapan pungkasan yang disampaikan Mas Danang membuat perasaanku terbelah menjadi dua. Di satu sisi, aku tidak lagi ragu terhadapku cintanya. Namun, di sisi lain, aku menjadi berpikir kalau ada sesuatu hal yang mereka sembunyikan dariku.Dengan langkah berjingkat, aku kembali ke peraduan. Mata ini sulit terpejam. Namun, selimut sengaja aku tarik hingga menyisakan ujung kepala saja. Kumiringan tubuh agar Mas Danang mengira kalau aku sudah tidur. Tak berapa lama, deritamu pintu terdengar. Lalu ditutup pelan-pelan. Dan, sebuah tangan melingkar memeluk erat tubuh ini.Sejak percakapan yang aku dengar antara Mas Danang dan bapaknya semalam, hati ini menjadi penasaran. Seakan ada sebuah bisikan untuk aku mencari tahu sesuatu hal.Namun, hal apa itu? Pert
Pukul empat sore, aku sudah menyerah menghubungi Mas Danang. Aku memilih membaca artikel bisnis yang ada di internet. Rasanya, aku harus mulai mengenali tata cara mencari uang. Karena apapun yang akan terjadi, kita tak pernah tahu. Seperti saat ini , aku tiba-tiba harus hidup dengan memiliki seorang madu.Layar gawai berkedip. Nama Mas Danang memanggil di sana. Seketika, hatiku berdegup kencang. Dengan tangan bergetar, kuangkat panggilan telepon dari lelaki yang sangat kucintai itu.“Halo, Mas,” sapaku.“Halo, Rasti. Maaf dari tadi pagi aku tidak sempat bermain handphone. Ibu harus dibawake rumah sakit. Dan ini sudah masuk ruang perawatan,” jelas Mas danang.“Mas danang sama siapa di sana?” tanyaku cemas.“Aku sama bapak, Ras. Kamu mau nyusul ke sini? Kalau iya, Nadine sama raline biar dititipkan Bibik,” ujar Mas Danang membuatku le
POV DANANGRasti, sesosok gadis lugu yang aku kenal karena Bapak membawanya ke rumah saat kedua orang tuanya meninggal dalam sebuah tragedi kecelakaan. Kala itu, ia yang masih duduk di bangku kuliah, datang dengan wajah yang kosong. Aku paham akan hal itu. Karena tidak udah berada dalam posisinya yang harus menjadi yatim piatu dan hidup sebatang kara tanpa sanak saudara.Usiaku dan Rasti terpaut empat tahun. Pertemuan pertama dengannya menghadirkan rasa kasihan yang teramat dalam. Wajah Rasti yang manis dan lugu, membuat hati ini begitu terluka kala memandangnya. Kala itu, aku sudah bekerja di showroom mobil yang Bapak dirikan sejak beberapa bulan. Latar belakang pendidikanku yang mengambil jurusan ekonomi, dirasa Bapak cukup cocok untuk terjun dalam bisnis yang tengah digeluti.“Rasti, dia anak teman Bapak yang meninggal. Ia akan tinggal di sini bersama kita. Karena, Rasti sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. Di
POV RASTIMas Danang menatapku sayu. Aku tersenyum seraya mengangguk. Senyum yang aku paksakan.“Nang, nanti kalau Yasmin nangis, kamu antar ke sini, ya? Sekalian, Ibu pengin ditemani Firna sebentar saja.” Ucapan Ibu lagi-lagi ingin menegaskan, kalau aku tidak punya tempat di hatinya.Mengapa wanita itu berubah seketika? Dulu, meskipun lebih menyayangi Firna, sikap Ibu masih ramah terhadapku.“Iya, Nang. Bapak juga pengin ketemu sama Yasmin,” timpal Bapak mertua.Tidak ada nama anakku disebut di sana. Fix. Pernikahan yang bagi Mas Danang hanyalah sebuah formalitas belaka, nyatanya kedua orang tuanya menganggap itu sesuatu yang membahagiakan.Tiada yang lebih menyakitkan daripada harus menyaksikan orang yang kita cintai seakan dianggap milik wanita lain.“Baik, Bu. Tapi, aku juga akan mengajak Nadine, Raline,
Mas Danang berusaha mengikuti dan merangkul pundakku. “Tinggalkan motor kamu di sini, kita pulang sama-sama,” kata Mas Danang saat kami telah berada di tempat parkir. “Pulang ke rumah Ibu, Mas,” ujarku menolak. Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Mas Danang mengalah. Aku menaiki mobilnya dan meluncur menuju rumah dimana Firna, maduku tinggal. Menginjakkan kaki di teras rumah yang megah itu rasanya seperti kesemutan. Hati juga berdegup kencang. Andai pernikahan Mas Danang terjadi tanpa sepengetahuanku, tentulah aku akan segera masuk dan menjambak rambut wanita berkulit putih itu. Bukan tanpa sebab, hari ini aku memaksa ke rumah ini. Entahlah, seakan ada bisikan yang mendorong untuk aku melakukannya. “Ayo, masuklah,” ajak Mas Danang seraya mengamit lenganku. Aku tersenyum dan mengangguk. Sebesar apapun rasa amarah dan benciku terhadap Firna saat ini, aku harus
“Ras, sudah belum?” Teriakan dari Mas Danang membuat aku kaget.“Eh, iya, Mas. Aku lagi cari yang pas,” jawabku seraya ikut berteriak.Tangan ini lalu berpindah ke bagian paling atas, dimana ada tumpukan kaus dan juga baju-baju Bapak. Aku tertarik mengambil yang paling bawah. Lalu menariknya. Dan di saat bersamaan, sebuah stofmap jatuh.Dengan tangan bergetar, aku mengambil benda berwarna biru yang sudah sangat usang. Benda itu sepertinya sudah lama. Warnanya sudah memudar. Tertera sebuah tulisan di bagian depan dengan huruf capital, sertifikat showroom.Dengan cepat, aku membukanya, dan dalam kertas itu tertera nama pemiliknya. Rusdi.Deg. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Nama itu nama bapakku yang telah tiada. Ekor mata ini mencari alamat dari tempat yang dimaksudkan. Dan lagi, jantungku seperti dihantam sebuah benda keras. Alamat yang terte
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny