Mas Danang berusaha mengikuti dan merangkul pundakku.
“Tinggalkan motor kamu di sini, kita pulang sama-sama,” kata Mas Danang saat kami telah berada di tempat parkir.
“Pulang ke rumah Ibu, Mas,” ujarku menolak.
Setelah perdebatan yang cukup panjang, akhirnya Mas Danang mengalah. Aku menaiki mobilnya dan meluncur menuju rumah dimana Firna, maduku tinggal.
Menginjakkan kaki di teras rumah yang megah itu rasanya seperti kesemutan. Hati juga berdegup kencang. Andai pernikahan Mas Danang terjadi tanpa sepengetahuanku, tentulah aku akan segera masuk dan menjambak rambut wanita berkulit putih itu. Bukan tanpa sebab, hari ini aku memaksa ke rumah ini. Entahlah, seakan ada bisikan yang mendorong untuk aku melakukannya.
“Ayo, masuklah,” ajak Mas Danang seraya mengamit lenganku. Aku tersenyum dan mengangguk. Sebesar apapun rasa amarah dan benciku terhadap Firna saat ini, aku harus
Assalamualaikum, adakah banyak pembaca yang mengikuti cerita ini? Bila iya, mohon vote dan juga gem-nya ya .... cerita ini akan diupdate setiap hari bila cerita Balada Cinta Fani sudah tamat. Tapi, kalau banyak yang komentar dan memberi dukungan rate, maka akan saya uploud dari sekarang.
“Ras, sudah belum?” Teriakan dari Mas Danang membuat aku kaget.“Eh, iya, Mas. Aku lagi cari yang pas,” jawabku seraya ikut berteriak.Tangan ini lalu berpindah ke bagian paling atas, dimana ada tumpukan kaus dan juga baju-baju Bapak. Aku tertarik mengambil yang paling bawah. Lalu menariknya. Dan di saat bersamaan, sebuah stofmap jatuh.Dengan tangan bergetar, aku mengambil benda berwarna biru yang sudah sangat usang. Benda itu sepertinya sudah lama. Warnanya sudah memudar. Tertera sebuah tulisan di bagian depan dengan huruf capital, sertifikat showroom.Dengan cepat, aku membukanya, dan dalam kertas itu tertera nama pemiliknya. Rusdi.Deg. Jantungku kembali berpacu dengan cepat. Nama itu nama bapakku yang telah tiada. Ekor mata ini mencari alamat dari tempat yang dimaksudkan. Dan lagi, jantungku seperti dihantam sebuah benda keras. Alamat yang terte
“Eyang …,” teriak Yasmin kala melihat Pak Har berada di parkiran menyambut kedatangan kami.Aku begitu malas menyebutnya Bapak lagi.“Yahh, cucu Eyang Kung, gak ketemu baru sehari saja sudah kangen,” ucap lelaki yang rambutnya sudah mulai memutih dengan gembira.Diraihnya tubuh kecil Yasmin dan mengangkat tinggi sekali. Sehingga anak itu menjerit-jerit kegirangan. “Eyang, Eyang Kung, aku takut,” ucapnya diiringi derai tawa yang membuatku iri.Kulirik kedua anakku tersenyum lebar, melihat kakek mereka memperlakukan adik sepupunya sedemikian rupa.“Ayo, salim sama Eyang Kung,” ucap Mas Danang pada mereka.Nadine dan raline maju beberapa langkah, menuju kakeknya berada. Keduanya kompak mengulurkan tangan. Namun, bapak dari ayah mereka tetap saja dengan posisi mengangkat tubuh Yasmin. Bahkan, kali ini seraya
Aku bangkit, mencari Nadine dan Raline, mengajak mereka untuk mkembali ke tempat dimana kami dan ayahnya berpisah.Dalam jarak beberapa meter, kulihat Mas danang dan Firna sudah menunggu di sana. Dan pemandangan tidak enak, terpampang di hadapan. Firna tengah mengambil sesuatu di rambut suamiku.“Mas!” seruku membuat mereka kaget.“Eh, Rasti. Dari mana saja, aku menunggumu di sini?” tanya Mas Danang gugup.“Kenapa tidak mencariku? Kamu tahu bukan, tempat dimana aku biasa menunggu kamu saat kita berkunjung ke rumah sakit?” tanyaku ketus.“Taman?” Mas Danang bertanya balik.“Itu tahu. Atau sengaja?” tanyaku menuduh.“Mbak, maaf, Tadi ada semut di rambut Mas Danang.” Firna ikut menyahut.Terdengar langkah kaki berlari.“Bun
“Rasti. Namaku Rasti,” tegasku. “Oh, maaf, Rasti. Aku hanya ….” “Hanya memikirkan Firna,” tukasku. Kupindahkan badan ini, duduk di samaping pria yang telah memberiku dua orang anak itu. Mas Danang merubah raut mukanya. Kali ini tidak sedingin tadi. “Apa yang Ibu minta?” Kuulang pertanyaanku. “Kamu harus meniduri Firna?” “Rasti!” “Oh, syukurlah, namaku tidak berganti menjadi Firna. Apa lagi selain itu, Mas? Inti dari sebuah pernikahan adalah melakukan hubungan. Kamu menidurinya?” “Rasti! Kamu keterlaluan. Itu pertanyaan yang terlalu fulgar.” “Baiklah, aku bertanya hal lain saja. Apakah Mas mengenal orang tuaku sebelum meninggal? Atau, Pak Har, maksud aku, Bapak, mengenal bapakku dulu?” “Kenapa tiba-tiba kamu bertanya seperti itu?” Kulihat ekspresi kaget di wajah Mas Danang.
Kulajukan kendaraan roda dua matic menyusuri jalan yang penuh kenangan. Hingga tak kuat menahan sebuah sesak yang aku rasa, motor kutepikan. Aku kembali menelungkupkan kepala di atas kemudi.Ada sebuah sesal, mengapa aku dulu begitu mudahnya pergi, mengikuti seseorang yang tidak aku kenal sebelumnya serta asal usulnya.Setiap jengkal tanah yang aku lewati selalu terlihat kenangan semasa aku masih menjadi sosok yang sangat beruntung.Beberapa pohon yang berdiri di sepanjang jalan mengingatkanku pada saat aku masih berjalan bersama beberapa teman ketika berangkat ataupun pulang sekolah.Iya, jalan kaki. Karena sekolah kami terletak di jalan besar sebelum masuk jalan gang menuju komplek rumah tempat aku tinggal.Dulu, saat bulan puasa, kami sering berteduh di bawahnya. Bukan karena lelah, hanya mengulur waktu sampai di rumah.Teman? Kemana mereka semua? Aku suda
Maryam berlari ke dalam dan memberitahukan akan kedatanganku dengan suara yang sangat keras. Bik Sum sontak kaget, dan berlari tergopoh. Wanita yang aku perkirakan umurnya telah melewati enam puluh tahun itu menangis seketika saat melihatku berada di depannya.“Ya Allah, rasti. Rasti, ini benarkah kamu? Rasti kamu kemana saja? Kenapa menghilang?” tanya Bik Sum bertubi-tubi setelah memelukku erat sekali.Untuk sejenak, aku menikmati rasa damai ini. Telah lama aku tidak merasakan pelukan hangat dari seorang keluarga. Karena setahuku, keluargaku hanyalah Bapak dan Ibu yang telah lama tiada. Kedua tanganku ikut mendekap tubuh Bik sum yang gempal. Bau bumbu dapur yang menguar dari tubuhnya sama sekali tidak aku hiraukan. Tak terasa, air mataku kembali tumpah. Meski taka da ikatan darah, mereka adalah orang dekat keluargaku yang aku miliki.“Ayo, masuk. Bik Sum bau, ya? Maaf, ya? Bik Sum sangat bahagia meliha
“Kamu yakin, Mar?” tanyaku memastikan.“Iya, Mbak. Aku selalu mengawasi rumah Mbak Rasti setelah Mbak pergi. Aku selalu berharap, orang yang datang, itu adalah Mbak Rasti. Meskipun kita tidak akrab, tapi aku sangat menyayangi ibu Mbak Rasti yang sudah baik banget sama aku. Sering kok, Mbak, orang itu sama istrinya datang,” jelas Maryam membuatku sangat sedih.Sedih karena penjelasan Maryam dan juga kenyataan lain, mertua yang aku kira sebagai penolong, ternyatadia telah membohongi aku sesuatu hal.“Rumah kamu sudah disita pihak bank. Jadi, tinggallah di sini.” Ucapan Pak Har kala itu kembali terngiang di telinga ini.Aku memang bodoh. Mengapa tidak mencari tahu perihal kematian mereka? Tentang apa saja yang mereka tinggalkan untukku?Rasa sedih akan kenangan indah dulu, serta trauma dengan orang-orang yang menyebut mereka rentenir, membuatku en
Setelah puas melepas rindu, aku pamit pada Bik Sum, juga Maryam. Tidak lupa, kuselipkan beberapa lembar uang ratusan pada Maryam. Ia menolak, tapi aku memaksa. “Buat jajan anak kamu. Aku tidak bisa bertemu dengannya,” ucapku membuat Maryam tidak bisa menolak.Kulajukan kembali sepeda motor menembus jalan yang penuh kenangan. Merapatkan jaket, memakai masker dan juga memastikan helm menutup kepala dengan sempurna. Ah, rasanya aku seperti maling saja.Entah kenapa, aku berpikir untuk berkeliling kompleks sejenak. Ingin mengetahui rumah beberapa temanku. Toh, anak-anak ada sama Mas Danang, mereka pasti tidak akan kesepian.Motorku berhenti di depan sebuah rumah yang sudah berubah modelnya. Hunian itu adalah milik Restu, kakak kelas yang pernah aku taksir.Dulu, aku harus berjalan jauh saat Ibu memintaku membeli sabun. Meskipun ada toko yang lebih dekat, aku memilih yang jauh karena melewati
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny