“Sayang, nanti kita nginep di losmen, ya? Soalnya, tadi itu mama kejar-kejar tikus, ada banyak. Mama bunuh itu, dan saat membersihkan rumah, mama jatuh. Rumahnya kacau. Mama mau suruh tukang bersih-bersih. Jadi, sementara kita menginap di sana, ya?”“Tapi, Ma ….” Hendak menolak, perkataan Raline langsung dipotong oleh kakaknya.“Iya, Ma. Gak papa. Kita sekalian refreshing, ya? Daripada suntuk di rumah terus,” ucap Nadine.“Uluh-uluh, anak mama tahu dari mana itu kata refreshing?” goda Rasti. Nadine hanya tersipu malu.“Tapi, baju kita?” tanya Raline. Ia masih terlihat enggan bila diajak menginap.“Nanti kita beli, ya?”Setelah Raline setuju, Rasti mengajak kedua anaknya pergi ke sebuah losmen. Ia memilih tempat yang paling bersih di tengah kota. Tidak lupa, meletakkan tas sekolah di kamar tempat mereka akan menginap, sebelum ketiganya mengunjungi salah satu toko pakaian.Mereka pun kembali dengan membawa beberapa potong baju, juga makanan.“Mama, kita apa akan menginap di sini lama?
Menunggu gilirannya untuk masuk ruang poli, Rasti iseng berjalan mengelilingi rumah sakit. Beberapa pasang mata mengamatinya karena di bibirnya terlihat bengkak parah. Namun, perempuan beranak dua itu tidak peduli.Mata Rasti tertuju pada satu bangunan yang terpisah dengan bangunan utama rumah sakit. Di atas bangunan tersebut, terdapat sebuah kubah kecil. Sejenak, ia berdiri mematung. Ada sebuah getar yang memanggilnya untuk segera berjalan ke sana.Dengan pelan dan tatapan tanpa kedip, Rasti terus melangkah, mendekati tempat ibadah orang muslim yang sengaja disediakan rumah sakit. Langkahnya langsung menuju tempat air wudhu. Dan ia tersadar, jika sedari Dzuhur, dirinya belum menunaikan ibadah wajibPerih ia rasa, saat air ia usapkan ke bagian wajah dan mengenai bibir.Rasti duduk bersimpuh setelah selesai sholat. Nyaman ia rasakan, saat menunaikan kewajibannya dengan perasaan pasrah sepenuhnya pada Sang Pemilik hidup.Mulanya ia hanya menitikkan air mata. Namun, lambat laun, isak tan
“Bapak telah bertindak gegabah. Bapak sudah membuat Rasti sakit dan terluka. Apa Bapak tidak berpikir ke depan?” ujar Danang kesal.“Jangan dikte bapak, Danang! Sampai detik ini, bapak masih curiga, istri kamu yang mengambil sertifikat itu,”“Tapi tidak harus dengan menganiaya dia, ‘kan, Pak?” tanya Danang lirih. Sorot matanya memperlihatkan kemarahan. Namun, ia tidak berani mengungkapkan itu.“Sudah sepantasnya dan waktunya, bapak mengembalikan dia ke tempat yang seharusnya. Jangan menasehati bapak. Bapak tahu, apa yang harus bapak lakukan. Dan ingat! Saya Hartono, tidak akan kalah dengan siapapun. Apalagi dengan Rasti yang hanya seorang perempuan yatim piatu,” tegas Hartono. Ia lalu bangkit dan masuk ke kamarnya, diikuti Wening.“Sudah ketemu sama pengacara, Pak?” tanya Wening begitu pintu ditutup.“Sudah. Masalah yang mudah untuk diatasi. Untuk urusan kekerasan yang aku lakukan, kamu tidak perlu khawatir,” jawab Hartono.“Syukurlah. Jangan sampai, bapak kalah,” ucap Wening mengusap
“Kenapa?” tanya Aris setengah tersenyum.“Oh, gak papa,” jawab Rasti berbohong.“Kamu takut sesuatu hal?” tanya Aris lagi. “Jangan pernah takut, bila kamu berada dalam posisi yang benar,” sambungnya lagi.“Saya sendirian di sini, Pak,” aku Rasti jujur. “Saya harus berjuang seorang diri untuk mendapatkan keadilan,”“Kamu saja yang tertutup. Jangan khawatir. Tunggulah sebulan lagi. Ketika semua sertifikat berhasil diblokir dan kamu sudah maju untuk pembuatan sertifikat baru, kamu sudah bisa melakukan semuanya. Atau membongkar tengan semua hal yang kamu tahu. Sekarang, pulanglah! Lanjutkan hidup dan temani anak-anakmu. Kamu tidak perlu ke sini lagi. Saya yang menguruskan semuanya. Dan bila sudah waktunya tiba, kamu akan saya hubungi.”“Masalah pengacara itu, bagaimana, Pak? Soalnya, saya kemarin melihat mertua saya ada di rumah itu. Sepertinya, rumah Pak Hanung.”“Pulanglah! Tenangkan hati kamu. Segala yang menjadi milikmu, pasti akan jatuh ke tanganmu. Bila ada orang-orang zalim yang se
Menunggu adalah hal yang sangat membosankan bagi Rasti. Karena dalam masa itu, ia harus tetap bertahan satu rumah dengan Danang. Pria yang tidak bisa melindunginya dari amukan Hartono. Aris pun tidak memberikan kabar apapun terkait pengacara yang akan ia sewa. Sampa pada suatu malam, Danang mendekati dirinya yang sedang menonton tayangan televisi. Seperti biasanya, ia mencoba mengajak Rasti berbincang, tapi diabaikan.“Apa kamu akan seperti ini selamanya, Rasti? Terus, rumah tangga seperti apa yang kita jalani, bila kamu terus menerus begini? Lelah, Danang mengungkapkan kekesalannya.“Anggap saja begitu, Mas. Jalani saja semuanya. Seperti kamu menjalani pernikahan keduamu dengan Firna, yang tidak ada keputusan untuk mengakhiri.” Selepas berkata seperti itu, Rasti bangun dari duduk dan masuk ke kamar anak-anaknya.Kesal terus menerus diabaikan, Danang menyambar kunci dengan kasar. Dan pergi menuju rumah orang tuanya.Rumah Hartono terlihat sudah sepi. Ragu untuk membangunkan orang tuan
Firna tersipu malu, saat Danang memundurkan wajah. Denag cepat, jari jemarinya mengusap bibir yang basah. Ayah Nadine dan Raline itu memalingkan wajah pada hamparan sawah di depannya. Ia juga terlihat malu. “Maaf,” ujarnya.“Untuk apa? Aku halal buatmu,” jawab Firna. Sorot matanya terlihat sebuah harapan, untuk mendapatkan hal yang lebih dari yang mereka lakukan sebelumnya.Lama mereka saling diam. Danang yang masih memandang lurus ke arah depan. Sementara Firna, tidak menggeser lirikan bola matanya pada arah lain selain pada lelaki yang ada di sampingnya.“Aku masuk dulu,” pamit Firna yang terlihat putus asa.Saat kakinya hendak melangkah di ambang pintu, panggilan dari sang suami membuatnya terhenti. “Apa?” tanyanya setengah kesal.“Aku lapar,” jawab Danang sambil menarik sedikit kedua ujung bibirnya.“Mau makan apa?” tanya Firna dingin.“Terserah kamu,” sahut Danang.Dengan langkah malas, Firna mengayunkan kaki menuju dapur.Sepiring nasi dengan lauk rendang daging yang sudah dipan
“Saya tidak bisa menceritakannya, Pak. Yang jelas, sesuatu hal yang membutuhkan banyak waktu,” jelas Rasti.“Suami kamu selingkuh? Atau menikah lagi? Atau apa? Ceritalah, siapa tahu, saya punya jalan keluar lain selain resign. Aku mohon, baru kali ini aku nemu orang yang seperti kamu.”“Tapi, Pak, saya tidak bisa atur waktu.”“Baiklah, kamu boleh ijin. Atau, lakukan pekerjaan kamu di rumah. Yang penting, bantulah kami untuk beberapa waktu lagi. Setidaknya, sambil mencari pengganti kamu. Kalau kamu menolak, kami akan menempuh jalur hukum. Kamu akan kami laporkan atas tuduhan mempermainkan hati perusahaan.” Rasti memicingkan mata. Merasa aneh dengan apa yang dikatakan Hardi. Namun, beberapa saat kemudian, ia menyetujui permintaan itu. Hanya karena merasa bersalah sudah masuk lalu pergi.Danang kembali ke rumah seperti biasa. Namun, ia tidak segigih dulu mengajak istrinya berbincang. Kali ini, ia ikut diam. Namun terkadang, ia juga memperhatikan gerak-gerik Rasti. Rasa bersalah karena te
Aris : Rasti, semua sertifikat sudah berhasil diblokir.Pesan dari Aris membuat Rasti yang sedang mengerjakan laporan tempatnya bekerja melonjak kaget. Di tengah rasa gundah atas kepergian Danang, kabar yang ia dapat memberi sedikit kebahagiaan. Entah mengapa, untuk kali ini, dirinya merasa ada keganjilan dengan perginya sang suami.Ia lalu melirik jam yang ada di dinding. “Masih jam sepuluh. Masih ada waktu sebelum jemput anak-anak,” gumamnya.Dengan gerakan cepat, Rasti melangkah keluar rumah, mengendarai sepeda motor menuju ke rumah Maryam. Tempat yang beberapa hari ini sudah tidak ia datangi.***“Kapan mertua kamu pulang, Mar?” tanya Rasti saat ia dan Maryam bersama-sama memotong sayuran. Sumarti sedang tidak ada di rumah.“Katanya sih, mau pulang cepet, Mbak, setengah bulan lagi.” Jawaban dari Maryam membuat senyum Rasti mengembang. Hari ini, sudah dua kabar bahagia ia dapat.“Kabari aku ya, Mar, kalau sudah mau jalan ke sini bapaknya,”“Iya, Mbak ….”Mereka berdua saling bercer
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny