Maaf ya, telat uploud terus. karena sedang ada kerjaan di dunia nyata. Cerita ini sudah mau tamat di aplikasi KBM app. Dan menyusul di GN ....
Firna tersipu malu, saat Danang memundurkan wajah. Denag cepat, jari jemarinya mengusap bibir yang basah. Ayah Nadine dan Raline itu memalingkan wajah pada hamparan sawah di depannya. Ia juga terlihat malu. “Maaf,” ujarnya.“Untuk apa? Aku halal buatmu,” jawab Firna. Sorot matanya terlihat sebuah harapan, untuk mendapatkan hal yang lebih dari yang mereka lakukan sebelumnya.Lama mereka saling diam. Danang yang masih memandang lurus ke arah depan. Sementara Firna, tidak menggeser lirikan bola matanya pada arah lain selain pada lelaki yang ada di sampingnya.“Aku masuk dulu,” pamit Firna yang terlihat putus asa.Saat kakinya hendak melangkah di ambang pintu, panggilan dari sang suami membuatnya terhenti. “Apa?” tanyanya setengah kesal.“Aku lapar,” jawab Danang sambil menarik sedikit kedua ujung bibirnya.“Mau makan apa?” tanya Firna dingin.“Terserah kamu,” sahut Danang.Dengan langkah malas, Firna mengayunkan kaki menuju dapur.Sepiring nasi dengan lauk rendang daging yang sudah dipan
“Saya tidak bisa menceritakannya, Pak. Yang jelas, sesuatu hal yang membutuhkan banyak waktu,” jelas Rasti.“Suami kamu selingkuh? Atau menikah lagi? Atau apa? Ceritalah, siapa tahu, saya punya jalan keluar lain selain resign. Aku mohon, baru kali ini aku nemu orang yang seperti kamu.”“Tapi, Pak, saya tidak bisa atur waktu.”“Baiklah, kamu boleh ijin. Atau, lakukan pekerjaan kamu di rumah. Yang penting, bantulah kami untuk beberapa waktu lagi. Setidaknya, sambil mencari pengganti kamu. Kalau kamu menolak, kami akan menempuh jalur hukum. Kamu akan kami laporkan atas tuduhan mempermainkan hati perusahaan.” Rasti memicingkan mata. Merasa aneh dengan apa yang dikatakan Hardi. Namun, beberapa saat kemudian, ia menyetujui permintaan itu. Hanya karena merasa bersalah sudah masuk lalu pergi.Danang kembali ke rumah seperti biasa. Namun, ia tidak segigih dulu mengajak istrinya berbincang. Kali ini, ia ikut diam. Namun terkadang, ia juga memperhatikan gerak-gerik Rasti. Rasa bersalah karena te
Aris : Rasti, semua sertifikat sudah berhasil diblokir.Pesan dari Aris membuat Rasti yang sedang mengerjakan laporan tempatnya bekerja melonjak kaget. Di tengah rasa gundah atas kepergian Danang, kabar yang ia dapat memberi sedikit kebahagiaan. Entah mengapa, untuk kali ini, dirinya merasa ada keganjilan dengan perginya sang suami.Ia lalu melirik jam yang ada di dinding. “Masih jam sepuluh. Masih ada waktu sebelum jemput anak-anak,” gumamnya.Dengan gerakan cepat, Rasti melangkah keluar rumah, mengendarai sepeda motor menuju ke rumah Maryam. Tempat yang beberapa hari ini sudah tidak ia datangi.***“Kapan mertua kamu pulang, Mar?” tanya Rasti saat ia dan Maryam bersama-sama memotong sayuran. Sumarti sedang tidak ada di rumah.“Katanya sih, mau pulang cepet, Mbak, setengah bulan lagi.” Jawaban dari Maryam membuat senyum Rasti mengembang. Hari ini, sudah dua kabar bahagia ia dapat.“Kabari aku ya, Mar, kalau sudah mau jalan ke sini bapaknya,”“Iya, Mbak ….”Mereka berdua saling bercer
“Dari mana Ibu beli rumah ini? Kenapa tanya akta jual beli? Ya, itu bukti sah yang harus Ibu miliki-lah. Harus banget aku menjelaskan?” ujar Rasti dengan menekan seluruh emosi.“Rasti, kamu jangan macam-macam di rumahku!” Rianti berlagak mengancam.“Baiklah, akui saja. Silakan berhalusinasi sepuas anda, Ibu. Tapi mulai sekarang, Ibu harus bersiap-siap, jika suatu ketika, kamu dan keluarga kamu akan aku tending dari sini,” ancam Rasti tidak main-main.“Tidak akan ada yang bisa menendangku, Rasti. Kamu yang akan ditendang dari trah keluarga Pak Hartono. Keluarga terhormat, yang akan menjadi mertua seutuhnya anakku,” ucap Rianti dengan penuh percaya diri.“Itu sebabnya foto itu sudah terpampang di sana? Di dinding rumahku? Orang yang kalian dzalimi?” tanya Rasti geram.“Kenapa? Kamu cemburu? Kamu akan lebih cemburu lagi, bila tahu Danang pergi kemana saat ini,” kata Rianti merasa menang.Rasti tersenyum, menutupi lara dalam hatinya. Ia tahu, ada sebuah kesungguhan dan kebenaran, saat Ria
Rasti berdiri mematung, usai Wening pergi. Ia terisak dengan satu tangan memegang dada. Emosi dan lara yang dipendam, tumpah seketika. Tubuhnya jatuh ke lantai, tersungkur tanpa tenaga. Air mata menganak bagai air sungai. Tak ada lagi sesuatu yang harus dijaga. Selagi tidak ada yang melihat, seluruh rasa yang bergejolak harus dikeluarkan. Begitu pikirnya.Entah mengapa, Rasti sangat percaya dengan apa yang dikatakan ibu mertuanya kali ini. Firasat aneh akan kepergian Danang, terjawab sudah dengan informasi yang diberikan Wening.Setelah agak tenang, ia masuk ke dalam kamar. Memindai seluruh ruangan pribadinya. Tempatnya memadu kasih dan berkeluh kesah banyak hal dengan sang suami.Tidak ada penghianatan yang tidak menyakitkan. Meski itu dilakukan dalam keadaan Rasti tengah marah pada sang suami. Bagaimanapun, membina biduk rumah tangga selama satu dekade lebih, tentu memberikan banyak warna. Hatinya memang marah dengan apa yang dilakukan Hartono dan Danang mengetahui. Namun, mendenga
Danang mencoba mengejar. Sampai akhirnya, dingin yang Firna rasa sudah tidak dapat ia tahan. Tubuhnya terkulai lemas. Beruntung, Danang segera menangkap, mengangkatnya dengan susah payah dari dalam air dan membaringkan sementara di tepi kolam renang.Tubuh Firna masih menggigil meski sudah dipindah ke kamar. Ia yang tanpa sehelai benangpun menutupi badan, terbungkus selimut tebal. “Pulanglah, Mas, jangan permainkan perasaanku. Aku mohon. Atau, bila kamu mau menceraikan aku malam iini pun, aku sudah ikhlas,” ujar Firna lirih. Ia masih sadar rupanya.Danang yang hanya memakai handuk yang dililitkan sampai pinggang, mendekati Firna yang masih menangis. “Maafkan aku. Aku janji, aku tidak akan membuat kamu marah lagi. Maafkan aku. Jangan tinggalkan aku. Aku membutuhkanmu,” bisiknya di telinga Firna.Ia masuk ke dalam selimut yang sama dengan Firna. Berusaha keras meluluhkan kembali hati wanita itu. Hingga akhirnya, malam itu, keduanya kembali memadu kasih.***“Saya ingin memberikan sedikit
“Semua orang yang berada di sini tahu, siapa saya. Dan rumah ini milik siapa. Saya hanya membakar apa yang seharusnya tidak ada di rumah ini, dan apa juga yang seharusnya tidak kalian gunakan. Sepuluh tahun lebih saya telah menjadi wanita bodoh. Dan kali ini, saya akan merebut apa yang seharusnya menjadi milik saya,” teriak Rasti di hadapan semua orang.“Pak RT, kenapa diam?” Cokro menghampiri ketua RT yang berdiri di antara kerumunan warga.“Iya kayaknya belum dijual. Kami juga bingung, habis itu Rasti pergi gak kembali-kembali,”“Kalau dijual, pasti ada akta jual belinya dan disaksikan Pak RT,”“Tiba-tiba saja ada orang itu datang menghuni. Rastinya hilang ditelan bumi,”“Disita bank barangkali?”“Kalau disita bank, pasti ada garis-garisnya atau keterangannya. Biasanya ‘kan begitu.”“Bingung ya, kita mau bertindak apa.”“Ya sudah, biarkan Pak RT saja yang menyelesaikan.”Kasak-kusuk diantara warga terdengar di telinga Rasti, juga Cokro.Ketua RT terlihat bingung mengambil sikap. “Be
Adik laki-laki semata wayang Firna memang akan menikah. Calonnya bahkan sudah diiming-imingi akan diwarisi rumah yang mereka tempati. Rianti jadi khawatir, jika ia mereka akan menanggung malu akan hal itu,“Papa ke rumah Pak Hartono saja, Pa. memastikan, sebenarnya rumah ini milik siapa. Minta mereka jujur, agar kita tidak menanggung malu di kemudian hari. Kalau memang rumah ini milik Rasti, kita harus segera angkat kaki dan, kita bilang saja yang sebenarnya pada calon mertua Farhan.” Rianti memberi saran. Cokro mengangguk paham.***“Rasti melakukan hal brutal seperti itu?” tanya Wening tidak percaya, setelah Cokro menceritakan hal yang baru saja ia alami.“Iya, Bu. Bahkan, warga sekitar tidak berani berbuat apa-apa karena Rasti berbicara seolah-olah, kami penjahat yang merampas rumah dia. Sebenarnya, rumah itu apakah benar sudah menjadi milik Pak Hartono?” Cokro bertanya penuh ke-sanksian.“Kan sudah saya jelaskan, kami menanggung hutang orang tua Rasti yang begitu banyak. Dan rumah
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny