“Kenapa kamu hanya bisa bersikap tegas sama aku, Mas? Tidak pada ibu kamu. Sekarang jawab pertanyaan aku! Apa kamu sudah menceraikan Firna? Mengucapkan talak pada dia yang sudah kamu nikahi secara agama itu?” Bola mata Rasti menatap tajam wajah Danang yang hanya berjarak dua puluh senti darinya.
“Rasti, ini berbeda. Aku adalah pemimpin kamu. Jangan mengaitkan dengan hal itu,” ujar Danang membela diri.
“Jawab pertanyaan aku! Apa kamu jadi menceraikan Firna? Atau justru, kamu menikmati peran seorang suami saat berdua dengannya di rumah sakit?” tegas Rasti.
“Rasti, aku tidak mungkin melakukan hal itu di saat Firna sakit.”
“Ok, jadi, aku juga tidak bisa berhenti bekerja di saat kondisiku dan anak-anak berada di ujung tanduk. Dan kami terancam harus angkat kaki dari rumah ini.”
“Itu tidak akan terjadi, rasti. Kamu harus
“Sampai kapan kamu akan diam seperti ini, Rasti?” tanya Danang suatu malam saat anak-anak sudah tertidur.Rasti masih berkutat dengan laptop dan laporan pembelian bahan baku.“Rasti!” panggil Danang keras.“Kenapa, Mas? Tidak bisakah kamu memberikan aku sebuah waktu, untuk aku bisa hidup dengan alam pikiranku sendiri? Toh, selama bertahun-tahun, aku sudah menjadi istri yang menuruti semua aturan kamu? Aku juga pribadi yang ingin memiliki senggang waktu untuk hidupku sendiri,” jawab Rasti datar. Tatapannya masih tertuju pada layar di hadapannya. Namun, jemari telah berhenti mengetik.“Apa kamu punya rahasia?” tanya Danang lagi. Ia mendekatkan wajah pada wajah Rasti yang duduk di lantai.“Apa kamu menyembunyikan rahasia dari aku, Mas?” Rasti melempar pertanyaan yang sama.“Rahasia apa? Bahkan, pe
“Mah, nanti acaranya jam dua siang, ya? Kamu kalau bisa jangan kerja. Aku jemput ke rumah pas Zuhur,” ucap Danang saat akan pergi bekerja.“Iya,” jawab Rasti singkat.“Tas yang ada di kamar, itu buat kado. Nanti kamu bungkus, ya?”“Maaf, Mas, aku sibuk sekali. Kan harus pulang cepat. Kamu aja yang mbungkus, ya? Sekalian berangkat kerja. Mampir aja di toko aksesori,” tolak rasti halus.“Hemh, baiklah.” Danang tersenyum dan membelai pipi sang istri, kemudian pergi.“Sudah siap?” tanya Rasti saat melihat dua anaknya ke teras dalam keadaan berseragam dan memakai tas.“Sudah,” jawab mereka kompak.Sebelum pergi, tidak lupa, Rasti mengunci pintu terlebih dahlu.“Mah …,” panggil Nadine ketika sang ibu baru selesai mengunci
Part 35“Iya, Pak, saya ingat diajak ke sini. Itu sebabnya, saya datang untuk meminta bantuan.”“Hal yang dapat kamu lakukan hanya memblokir sertifikat itu. Dan menggantinya dengan yang baru. Karena memang, pergantian sertifikat tanah bagi orang yang sudah meninggal, itu harus dilakukan oleh ahli waris. Apabila kasusnya seperti kamu, sertifikat ada pada mereka, maka, yang dapat kamu lakukan ya itu, memblokir semua sertifikat dan menggantinya yang baru. Masalahnya, apa kamu tahu, berapa asset yang dimiliki orang tuamu?”Rasti menggeleng.“Rasti, kamu ini terlalu lugu atau bodoh?” ujar Aris setengah kesal. “Baiklah, nanti, saya coba cari file yang bertahun-tahun lalu. Semoga masih ada ya? Tapi, saya memang menyimpan berkas satu tahun itu dalam sebuah flashdisk. Dan untuk data yang tahun-tahun sebelum ada benda itu, juga ada file-nya
“Papah, nanti Eyang pasti senang lihat kita datang, ya?” celoteh Raline girang.“Iya, dong, ‘kan ini hari bahagia Eyang. Jadi, kalau semua cucunya datang pasti bahagia,” jawab danang seraya melirik wanita di sampingnya.“Aku nanti mau foto berdua sama Eyang, di depan kue dan tumpeng. Ada kue dan tumpengnya ‘kan, Pah? Aku juga nanti mau minta disuapi Eyang. Nanti, fotonya dipajang ya, Yah? Yang berdua aku sama Eyang. Nanti, aku mau tersenyum, Eyang juga tersenyum. Kakak nanti mau foto juga sama Eyang?” Raline, anak yang masih duduk di bangku kelas satu SD itu terus berceloteh.“Kakak, nanti yang fotoin kamu aja, Dek,” jawab Nadine dingin. Dalam hatinya sudah penuh rasa takut, bila neneknya akan memperlakukan mereka dengan tidak baik.“Ah, Kakak gitu deh. Gak asik!” Raline cemberut.Mobil mereka memasuki halama
Danang menatap Rasti dengan tatapan mengasihani. Namun, kepalanya segera berpaling saat sebuah suara memanggil.“Sini, cepat! Kita ambil foto dulu,” teriak Wening. Namun, Danang menggeleng. Sampai akhirnya, ibunya datang dan menggeretnya.Beberapa keluarga dekat yang berada di dekat mereka, masih menatap bingung. Namun, tidak ada satupun yang berani berbicara. Hartono adalah sosok yang paling ditakuti.“Ibu, tapi ….” Belum selesai Danang berbicara, Wening sudah menarik paksa lengannya.“Rasti, Nadine, Raline, kemarilah, kita berfoto bersama,” ajak danang. Ia dalam keadaan dicekal lengannya oleh Wening. Posisinye berdiri di samping san g nyonya yang juga diapit Hartono. Sementara Firna, duduk di hadapan Wening dengan didampingi Yasmin.“Ini untuk acara sekolah Yasmin dulu. Dia disuruh gurunya membawa foto keluarga lengkap. Berhentilah untuk bersikap arogan, Danang. Hanya sebuah foto, demi mendiang adikmu,” bisik Wening. “Atau, Ibu akan beberkan semuanya sekarang,” ancamnya lagi.Dengan
Seketika, Raline merasa bahagia, karena namanya disebut. Ia melangkah dengan gembira, melupakan pertanyaan tentang seragam yang berbeda. Ingin rasanya Rasti mencekal lengan kecil putrinya, tapi ia sadar, itu akan membuat luka lagi. Biarlah, segala pedih ditanggungnya bersama Nadine, yang sudah paham akan sikap neneknya.“Raline berdiri di situ.” Wening mengatur formasi. Menyuruh Raline untuk berdiri agak jauh dari kue indah yang ada di meja. Is sendiri duduk diapit Danang dan Hartono. Di samping depan, Yasmin berdiri. Sementara Firna, ia berdiri di samping dan Hartono.“Nadine tidak mau?” tanya Wening dengan nada yang dibuat ramah.Anak sulung Rasti menggeleng.“Baiklah, acara akan segera dimulai. Ayo, semuanya menyanyi,” ajak Wening.Lagu khas ulang tahun dan tiup lilin bergema. Danang hanya bertepuk tangan dengan pelan, sambil terus mengamati anggota keluarganya satu per satu. Hatinya pun turut merasakan sakit. Akan tetapi, ia seolah terikat dengan sebuah rahasia yang dirinya pernah
“Biarkan dia pergi, tidak usah kamu kejar, Danang!” ujar Hartono saat langkah kaki anak lelakinya hendak melangkah menyusul anak istri.“Tapi, Bapak ….”“Sudah saatnya mungkin, kamu kembali pada apa yang seharusnya menjadi takdir kamu sejak dulu. Tidak sadarkah kamu, Danang, kalau Firna memang ditakdirkan untuk menjadi jodoh kamu? Masuklah, nikmati hidangan. Lihatlah dan buka mata kamu! Wanita yang kamu perjuangkan, tidak punya adab sama sekali. Bahkan, Firna tidak pernah membentak bapak ibumu. Meskipun dia seringkali diminta untuk bertahan dalam posisi yang menyakitkan, dia tetap patuh. Sementara Rasti? Dia tidak punya siapapun di dunia ini, tapi tidak pernah merasa bersyukur, membangkang pada kita yang telah menyelamatkan dia dulu. Mengambilnya agar memiliki keluarga.”“Tapi, Pak, bukankah kita telah mengambil ….”“Apa yang kita dapatkan sudah menjadi rezeki buat kita. Karena, sesuatu tidak mungkin menghampiri, jika itu bukan takdirnya. Jadi, semua yang kita miliki, itu memang jatah
Danang seolah tertampar dengan pengakuan dari wanita yang selalu memendam rasa cinta untuknya sejak dulu kala. Ia telah memulai sesuatu yang salah dengan Rasti. Dan kini, apa yang terjadi di masa lalu, mengikatnya dalam sebuah belenggu. Dan Firna, juga harus berada dalam lingkaraqn menyakitkan itu. “Maaf,” ujar Danang lirih. Ia sudah berdiri di belakang Firna. Tangannya memegang pundak wanita ayu di depannya. Firna berbalik. Sepsanag mata yang lentik menatap bola mata Danang. “Tetaplah bersikap lembut padaku. Meski aku tidak mendapatkan nafkah batin sebagai istrimu. Karena itu, satu-satunya hal yang bisa membuat aku bertahan,” pintanya penuh harap. Danang menghenbuskan napas kasar. Sebelum akhirnya mengangguk. Dan tanpa sadar, jari jemarinya meremas tangan Firna. “Maafkan aku,” ujarnya lirih. ‘Ingin rasanya aku menghambur ke pelukan kamu, Mas. Menikmati waktu hanya berdua di kamar ini,’ ucap Firna dalam hati. Untuk sejenak, mereka saling tatap. Firna dengan tatapan penuh cinta ber
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny