Rasti menarik napas panjang. Menyeka keringat yang muncul di dahi dengan ujung hijabnya. “Aku menganggap kamu sebagai orang yang paling penting dalam hidupku, Mas. Itu dulu, jelas sekali dulu aku sangat mencintaimu. Namun, tidakkah kamu sadar, jika apa yang kamu lakukan telah mengikis rasa itu secara perlahan dari hatiku? Menurut kamu, apakah oran g yang sudah berkali-kali kamu sakiti, bisa semudah itu memberi maaf? Ok, aku bisa mengatakan iya, aku memaafkan kamu. Tapi di hatiku, rasa sakit itu belum sembuh sedikitpun. Kamu ingat, Mas, saat di hadapanmu, aku dianiaya bapak kamu? Kamu sudah tahu jika semua harta yang keluarga kamu banggakan adalah milik orang tuaku, tapi kamu diam tidak memberikan pembelaan apapun. Kamu laki-laki, Mas. Kamu bisa menyeret aku untuk menyelamatkanku dari amukan bapak kamu. Kenapa tidak kamu lakukan itu? Dan setelah itu, kamu memilih mencari pelampiasan pada Firna. Sementara aku, berjuang menyembuhkan luka hatiku dan anak-anak seorang diri. Kenapa kamu tid
Part 71Rasti hampir saja tertawa lepas atas kebodohan yang Farhan tunjukkan secara langsung di hadapannya. Namun, seketika ia ingat, harus pura-pura bodoh di hadapan orang bodoh.“Farhan, kamu mau melakukan itu?” tanya Rasti pura-pura takut.“Jelas! Aku akan melakukannya. Karena kamu sudah membuat keluargaku menderita,” jawab Farhan memperlihatkan kesombongannya. “Jika kamu tidak mau itu terjadi, maka serahkan sekarang juga, sertifikat rumah keluarga Mas Danang, kakak iparku,” tegas Farhan.Rasti diam, mengamati dan menikmati pemandangan di hadapannya. Ia berpikir jika dirinya orang yang paling bodoh, tapi ternyata, ada yang nyata-nyata lebih bodoh darinya.“Berikan sini kuncinya ….” Farhan mengulurkan tangan meminta kunci. Mirip seperti anak kecil yang sedang meminta uang untuk jajan pada ibunya.“Kamu kuliah?” tanya Rasti mengulur waktu.“Jangan menghina, Rasti! Kamu hanya orang kaya baru yang beruntung,” celetuk Farhan.“Aku orang kaya lama, Farhan. Kamu yang mendadak jadi kaya ka
Selang hanya dua hari, berita tentang Rasti dan Hanung semakin viral. Di rumahnya, Farhan tertawa terbahak-bahak. Ia merasa telah berhasil sudah bisa membuat Rasti malu di jagat maya. Bayangan akan kembali hidup dengan enak di rumah yang megah, sudah tertata rapi dalam benaknya.Firna yang baru saja pulang dengan membawa plastik hitam besar dengan diiringi Yasmin, menatap bingung pada adiknya yang tersenyum lebar menatap layar ponsel.“Kamu kenapa?” tanya Firna sambil mengelap peluh yang ada di dahi.“Mbak dari mana?” tanya Farhan balik. Seketika, mulutnya mengatup tak lagi tertawa—kala melihat Firna yang kelelahan.“Jual nasi,” jawab Firna yang langsung menenggak air mineral dalam jumlah banyak.“Kenapa tadi waktu aku pulang, Mbak gak ada?”“Aku jual nasi keluar. Tadi pagi, ibu penjual nasi gang sebelah datang melabrak dan mengancam kalau masih jual nasi di sini, mau diobrak-abrik.”“Tenang saja, Mbak, sebentar lagi, kita akan kembali seperti dulu lagi,” ucap Farhan penuh keyakinan.
Hidup laksana air yang mengalir. Kita tidak akan pernah tahu, apa yang akan terjadi di depan sana. Batu besarkah yang akan kita tabrak, tebing kah, atau justru arus yang tenang. Kita hanya tinggal mempersiapkan diri untuk siap dengan segala kondisi yang akan kita temui ....Firna menuliskan sebuah kalimat dalam secarik kertas saat malam telah larut. Matanya belum juga bisa terpejam. Banyak beban yang seakan tiba-tiba datang menindih tubuhnya. Ia duduk di bawah jendela dan menatap dinding tinggi yang ada di luar sana. Ditatapnya dua orang yang sangat ia sayangi terbaring tanpa bergerak.Rianti jatuh sakit setelah tahu bila sang suami dan anak lelakinya tersandung kasus hukum hukum. Sementara Yasmin, menjadi lebih susah dikendalikan.Selama Cokro dan Farhan berada di dalam sel tahanan, ia belum sempat sekalipun menjenguk keduanya. Waktunya tersita untuk mengurus sang ibunda yang sakit keras, juga mengais rezeki dengan cara berjualan nasi keliling.Sungguh ironi, itu yang ada dalam benak
Danang menjatuhkan kepala di atas meja. Menangisi sesosok wanita yang telah ia buat hatinya mengeras seperti batu. Kini lelaki itu sadar, bahwa rasanya terhadap Firna, hanyalah nafsu dan pelampiasan sesaat. Namun, penyesalan tidak akan membuat semuanya kembali seperti sedia kala.Di atas kasur yang keras, tubuh Danang meringkuk. Memeluk laranya sendiri. Semuanya telah hancur. Orang tua yang sangat ia sayangi, kini terpisah jauh. Pekerjaan yang hilang. Harta yang lenyap. Dan keluarga yang pergi dari hidupnya, serta dingin dan pengapnya keadaan di dalam penjara laksana sebuah mimpi panjang yang entah kapan akan berakhir.*Firna memasak di tengah rasa kantuk yang masih mendera, akibat tidur hanya dua jam saja. Tangannya yang dulu halus berulang kali terluka saat memarut kelapa. Ini bukan kali pertama tentunya. Kini, jari jarinya yang lentik sudah banyak terdapat bekas goresan. Sesekali, ia menyeka air mata yang keluar. Ingin rasanya menjerit, tapi percuma saja. Karena tidak ada satupun
PART 73Firna berlari kecil menuju rumahnya sambil menenteng sebuah plastic yang berisi sisa nasi bungkus yang tidak laku. Hatinya merasa gelisah memikirkan Rianti yang terbaring di rumah hanya ditemani Yasmin.Kakinya mendadak berhenti, saat melihat kerumunan warga sekitar—yang semua dari mereka tidak ia kenal, rami di depan rumahnya. Setelah tersadar, ia segera berlari dan berusaha menembus orang-orang yang berdiri di depan rumah.“Mama …,” teriaknya kala melihat tubuh Rianti sudah terbaring di atas kasur yang dipindah ke ruang depan dengan ditutup kain.Yasmin menangis di samping kepala Rianti yang sudah tertutup kain.“Mbak anaknya?” tanya salah satu warga.Firna mengabaikan pertanyaan dari salah satu warga. Ia langsung menangis histeris dan menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh Rianti yang sudah tidak bernyawa.***Di atas gundukan tanah yang masih basah, Firna menelungkupkan tubuh. Ia masih memakai celana panjang dan kaos ketat yang digunakan pada saat berjualan. Hanya sebuah keru
“Jangan menyiksa diri kamu. Setidaknya mulai saat ini, belajarlah menerima kenyataan. Kamu dan aku, kita kenal sudah sangat lama bukan? Jika memang aku ditakdirkan untuk kamu, rasa itu pastilah sudah datang sejak dulu, Firna. Namun nyatanya, aku hanya menjadi orang yang selalu menyakiti hati kamu saja,”“Mas, aku bahagia menjadi istri kamu. Meskipun kamu belum mencintai aku. Mas, aku minta maaf jika aku meminta pernikahan kita diresmikan. Aku tidak akan lagi meminta itu. Aku ,minta maaf,” ucap Firna sambil menangis.“Pulanglah! Lanjutkan hidup kamu. Jangan menungguku lagi, apalagi bertahan dalam hubungan yang tidak tentu arah. Aku sangat menyayangi kamu saat ini, tapi tidak lebih dari seorang adik. Aku harus tetap memperjelas status hubungan kita, agar kamu benar-benar bisa menentukan langkah hidupmu setelah ini. Jika keluar nanti, aku akan menjenguk kalian dan tetap ikut bertanggung jawab atas masa depan Yasmin.”“Mas, jangan lakukan apapun. Biarkan aku menjadi istri kamu. Yasmin, d
Kini, Firna harus kembali berada di sebuah ruangan yang menjadi saksi dimana ia mendapat talak dari Danang, lelaki yang sangat ia cintai.Cokro dan Farhan berada dalam lapas yang sama dengan Danang, tapi mereka tinggal dalam sel yang berbeda, sehingga tidak pernah bertemu dengan lelaki yang pernah menjadi suami Firna itu.Ayah dan anak lelakinya itu langsung menangis, saat mendengar kabar bahwa Rianti telah meninggal. Sedih yang sama seperti yang pertama kali Firna rasakan. Bahkan lebih parahnya, mereka tak bisa melihat jasad wanita yang sangat mereka cintai untuk yang terakhir kalinya.“Dan aku juga sudah diceraikan oleh Mas Danang,” aku Firna lirih.Berbeda dengan saat mendengar kabar Rianti meninggal. Kali ini, Farhan tertawa lepas. “Aku bilang apa, Mbak? Kamu terlalu bodoh. Hingga tidak pernah menjenguk kami padahal kami berada dalam satu lapas yang sama dengan Danang,” ujar Farhan sinis.“Aku lupa. Aku ingatnya kalian berada dalam lapas yang berbeda,” kilah Firna.“Kamu bodoh ata
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny