“Mama, papa kenapa tidak pulang? Apa papa di rumah eyang sama Tante Firna dan Yasmin saat ini?” tanya Raline tiba-tiba saat ia sedang belajar dengan didampingi sang ibu.“Tidak, Sayang. Tante Firna sudah pulang ke rumah ….” Rasti terhenti. Alangkah susahnya bila harus menyebutkan rumahnya sendiri sebagai rumah orang tua Firna. “Rumah orang tuanya.” Dengan terpaksa, Rasti melakukannya.“Lalu papa dimana, Ma?” tanya Nadine yang juga ingin tahu.“Mama tidak tahu, Sayang ….”“Apa papa akan selamanya pergi dan tidak akan kembali lagi?” tanya Raline sedih.Bingung, dilema dan sedih membaur menjadi satu dalam dada Rasti. Saat ia tahu bahwa keluarga Hartono melakukan kelicikan dan penipuan terhadapnya, ia ingin sekali membalas mereka semua. Namun, di antara para pelaku, ada ayah dari anak-anaknya yang apabila Danang sampai masuk penjara, tentu saja kedua anaknya akan sedih.“Sudah malam, ayo, kita tidur, Sayang,” ajak Rasti pada kedua anaknya.Malam yang melelahkan bagi Rasti. Harus mengerj
“Sayang ….” Panggilan dari Rasti membuat Raline menoleh. Pipinya sudah basah dengan linangan air mata.“Mama, aku kangen papa. Papa dimana? Apa papa tidur di kasur juga sama seperti kita? Apa papa makan? Mama kenapa tidak telpon papa?” Pertanyaan bertubi-tubi yang Raline ajukan tentu saja membuat hati Rasti bimbang.“Ya sudah, sekarang Raline tidur, ya? Besok kita telpon papa,” hibur Rasti. Ia sudah merangkul pundak Raline.“Maunya sekarang!” Raline ngotot.“Baiklah, tapi Raline yang bilang sama papa, ya?” Demi anak, Rasti mengalah.Beberapa kali mencoba menghubungi nomer Danang, tapi tetap tidak ada jawaban. Nomernya bahkan tidak aktif. Akhirnya, Raline hanya menelan rasa kecewa.***Meski semalaman ditimpa rasa bimbang hendak menentukan sikap seperti apa, melihat kedua anaknya sangat merindukan Danang, tapi hal itu tidak membuat langkah Rasti untuk memenjarakan Hartono surut. Baginya yang sudah terlanjur memelihara rasa benci dan dendam, apa yang sudah dimulai harus diselesaikan.‘U
Tiba-tiba ia teringat seseorang. Aris. Satu nama yang terlintas di kepalanya. Dengan segera, Rasti menelpon notaris itu.“Ok. Jangan khawatir, Rasti. Aku akan menyuruh seseorang bertemu dengannya sekarang juga.”Rasti sedikit bernapas lega setelah mendengar jawaban dari Aris. Ia menunggu dengan gelisah, kabar selanjutnya.Di kantornya, Aris segera meminta Hanung untuk mengajak bertemu dengan Hartono.“Tapi saya sedang sibuk, Om,” jawab Hanung yang memang tengah menghadap setumpuk berkas di atas meja kerjanya,“Yang penting, suruh dia ke kantor kamu. Suruh menunggu saja yang lama,” perintah Aris.“Terus, apa yang saya harus katakan, Om. Saya benar-benar tidak tertarik dengan kasus dia.”“Ya, kamu ‘kan pengacara. Pasti punya bahan pembicaraan dong. Yang penting, usahakan, Hartono berada di kantor kamu cukup lama, ada sesuatu hal yang harus Rasti kerjakan soalnya, Dan Hartono menjadi pengganggu.”“Baik, Om,” jawab Hanung patuh.Hanung, sosok pria yang berasal dari keluarga yang tidak pun
Rasti keluar dari kantor polisi dengan perasaan lega. Setelah menyerahkan semua bukti pada petugas kepolisian, ia berharap laporannya akan segera diproses dan Hartono masuk bui. Urusannya masih banyak, tapi setidaknya, ia merasa jika separuh jalan sudah ia lalui. Meski tentang Danang, pikiran dan hatinya masih bimbang.Sebelum melanjutkan perjalanan ke rumah, tidak lupa, Rasti mampir terlebih dahulu ke showroom untuk melihat situasi di sana.Beruntung, tempat yang dibangun orang tuanya itu tidak memiliki pagar dan pintu gerbang. Sehingga ia bisa melihat secara langsung dari jalan.Rasti menghentikan laju kendaraannya di pinggir jalan. Terlihat di sana Hartono tengah menendang pintu. Rasti yakin, mertuanya itu sedang marah karena menghubungi Diki tidak mendapat jawaban. Meski dalam waktu yang singkat dan dalam keadaan tertekan, Rasti bersyukur, mampu menyelesaikan semuanya.Diki dan keempat temannya sudah diberi uang untuk pulang ke kampung mereka masing-masing. Dan diminta mengganti n
Mendengar harapan Raline, Rasti tak kuasa lagi untuk menahan semuanya. Ia terisak sambil menarik kedua anaknya ke dalam pelukan. “Maafkan mama,” lirihnya.“Mama, aku mau mengaji. Bila besok pindah, kami tidak akan lagi bertemu teman-teman,” pinta Nadine setelah tangis Rasti reda. Tentu saja Rasti mengiyakan permintaan terakhir si sulung.Tak lupa, Rasti meminta bantuan pada ketua RT. Bilamana Hartono datang. Ia akan meminta perlindungan.“Kamu dimana, Mas? Kenapa kamu menjadi seorang pengecut yang lari dari semua kekacauan yang kamu ikut membuatnya? Membiarkan aku menghadapinya seorang diri.” Rasti berujar sambil memeluk lutut. Tangisnya kini pecah karena Nadine dan raline telah pergi.***Malam telah beranjak. Rasti belum juga bisa memejamkan mata. Kedua anaknya telah terlelap setelah menangis bersama. Raline dan Nadine bahkan memeluk bantal mereka satu per satu untuk meluapkan kesedihan karena akan pergi dari rumah itu.Rasti begitu takut, bila Hartono akan datang untuk membuatnya c
Hartono tidak lagi bisa berkutik. Sempat meronta dan memaki Rasti, tapi beberapa anggota polisi langsung meringkusnya membawa ke dalam mobil. Sedangkan Wening, langsung menurut saat dua oknum polisi menggandeng keduanya.Deru suara mobil terdengar di telinga Rasti meninggalkan rumahnya. Ia masih tersungkur dengan menahan sakit. Luka fisik, juga luka hati seketika ia terima. Masih ada satu anggota polisi yang berada di rumahnya, tapi tidak melakukan apapun terhadap Rasti.“Bangunlah!” sebuah suara membuat Rasti yang masih meringkuk, mendongak. Air mata telah kering di matanya, menyisakan darah yang melekat di pipi dan bagian bawah bibir.Lelaki yang tidak Rasti kenal, mengulurkan tangan. “Ayo, kita ke rumah sakit. Kita obati lukamu,” ajaknya.Rasti menggeleng.“Jangan takut! Mereka sudah dibawa pergi. Saya Hanung, pengacara yang disuruh Om Aris buat bantu kamu.” Rasti menatap pria berpakaian rapi yang berdiri di samping tubuhnya. Kini, ia sudah duduk.“Terima kasih. Aku tidak apa-apa.
Rasti kembali kaget. Ia tidak menyangka jika Aris tahu semuanya. “Dari mana bapak tahu semuanya? Dan mengapa Pak Hanung datang ke sini bersama polisi?” Ia bertanya heran. “Saya sudah menyuruh seseorang untuk memata-matai rumah kamu. Dan dia langsung memberi kabar saat ada orang yang datang ke rumah kamu. Saya yang sudah tahu kalau kamu sudah melapor ke polisi, meminta bantuan mereka untuk menangkap Hartono di rumah kamu. Karena khawatir jika lelaki itu melakukan sesuatu hal sama kamu. Dan dugaan saya tepat.” Penjelasan dari Aris semakin membuat Rasti heran, mengapa notaris kenalan ayahnya dulu berbuat sedemikian rupa hanya untuk dirinya yang bukan siapa-siapa. “Mengapa bapak sebaik itu?” tanya Rasti lagi. “Karena bapak kamu dulu pernah berbuat baik sama saya. Kami berteman akrab, Rasti. Hanya saja, saya pikir kamu baik-baik saja ketika menghilang. Saya pikir, apa yang menjadi hak kamu tidak sampai jatuh ke tangan orang lain. Saya sangat bahagia ketika kamu datang kembali. Dan tanpa
Rasti menunggu kabar dari pekerja yang dikirim, dengan santai sambil membuka-buka sebuah tabloid jaman dulu. Matanya terasa sakit bila harus menatap ponsel terus menerus.Menjelang Dzuhur ponselnya berbunyi.“Halo,” ucap Rasti.Ia lalu berhenti, menunggu penjelasan yang disampaikan dari seseorang yang menelponnya.“Baik. Sementara cukup dulu. Semua kamar saja yang direnovasi. Untuk bagian luar, tunggu perintah dari saya. Biarkan saja manusia-manusia licik itu sementara bingung tinggal di sana. Biar merasakan tidur bertumpuk banyak orang. Pokoknya, buat mereka bingung dan menderita secara perlahan.” Usai menutup telepon, Rasti tersenyum sinis. “Aku tidak sedang berbuat jahat, Firna. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku sejak dulu,” ujarnya penuh kemenangan.Rasti menatap koper yang tergeletak di samping televisi. Ia berpikir sejenak, hendak pindah atau tetap tinggal. Namun, pikiran dan hatinya lalu mengatakan kalau itu rumah Danang. Dan dirinya tidak mau lagi menging
Melihat hal itu, tentu saja Rasti merasa lega. Karena ia tidak akan menghabiskan waktu berdua saja dengan Huda di kamar rumah sakit.“Makan dulu, ya? Nanti minum obat,” ucap Huda seolah memberi kesan bahwa ia adalah orang yang menjaga Rasti.“Jangan sentuh makanan itu! Biar aku yang nyuapi mama,” kata Nadine sewot.“Baiklah,” ucap Huda mengalah.Beberapa jam, Danang terpaksa duduk memperhatikan segala gerak-gerik Huda yang begitu perhatian terhadap mantan istrinya. Meski berkali-kali Nadine menunjukkan ketidaksukaannya pada Huda, tapi lelaki itu seolah tidak peduli.Rasti hanya terbaring dalam posisi lemah dengan perasaan yang cemas. Takut, bila terjadi sebuah pertengkaran di saat ia tengah sakit.Danang hanya duduk diam di kursi, merasa dirinya hanya datang untuk menemani Nadine, dan tidak ada hak lagi atas Rasti.“Dari mana kamu tahu aku sakit?” tanya Rasti setelah didudukkan oleh Nadine pandangan matanya tertuju pada Huda. Saat itu, Nadine tengah keluar untuk membeli minuman. Hanya
Mentari pagi terasa hangat menyentuh kulit tangan Rasti yang tengah terampil memetik cabai di kebun. Kesehatan sang nenek sudah memburuk akibat usia yang sudah senja. Ia merasa takut kehilangan Watri, setelah sebelumnya Priono disusul Muryani menghadap Sang Pencipta. Kini, ia lebih memilih fokus merawat ibu dari ayahnya itu.Sebuah suara mobil terdengar memasuki halaman rumah watri. Rasti berhenti dari aktivitasnya, gegas berjalan menuju halaman yang posisinya berada di atas kebun. Ia memicingkan mata, melihat kode plat mobil yang menandakan area Jogjakarta. Tangannya masih memegang sebuah baskom plastic kecil berisi cabai.“Tante!” Sebuah sapaan lembut terucap dari mulut gadis yang baru saja turun dari mobile.“Alea!” Reflex, mulut Rasti menyebut nama seorang gadis yang terlihat kurus.“Tante ….” Alea kembali memanggil Rasti dengan mata berkaca-kaca.“Maaf, menyusul kamu ke sini.” Hanung yang baru saja turun dari mobil langsung menyahut.“Mama, siapa yang datang?” tanya Nadine yang b
“Akhirnya kamu datang, Mbak. Dan baru kali ini kita bertemu,” ucap Huda.Rasti yang kini telah berbalik sedikit mundur.“Jangan takut, Mbak! Aku tidak akan melukai Mbak Rasti lagi. Aku datang untuk minta maaf. Maaf, aku telah berpesan pada tetangga Mbak Rasti untuk menghubungiku saat Mbak datang.”Rasti masih belum percaya apa yang dikatakan Huda. “Untuk apa?” tanyanya ketus.“Aku ingin minta maaf, Mbak. Duduklah sebentar denganku,” ajak Huda.Dengan ragu-ragu, Rasti mengikuti Huda yang duduk di tepi teras. Lantai masih terlihat bersih karena setiap pagi dibersihkan oleh karyawan.“Aku sudah bercerai dari Maryam. Aku benar-benar telah menyakiti hatinya. Tapi, aku tidak berbohong jika rasa cintaku hilang terhadap dia saat Mbak Rasti datang kembali dalam hidupku dulu kala. Dan sampai saat ini, aku masih memendam rasa itu.” Huda berhenti sebentar lalu memandang Rasti dengan posisi kepala menoleh. “Aku masih mencintaimu. Maaf, aku telah berusaha mendapatkanmu dengan cara yang salah. Maaf,
“Saya terima nikah dan kawinnya Rasti Efrianti binti Rusdi dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai ….”Ucapan sah menggelegar di ruang tamu rumah Rasti yang ada di kampung. Senyum Nadine dan Raline mengembang dengan sumringah.Rasti yang memakai hijab syari dengan riasan sederhana mencium takzim tangan lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Mereka lalu saling tatap dan mengurai senyuman.Setitik air mata jatuh dari pria yang memakai kemeja berwarna putih.***Rasti memperhatikan orang yang dibayar untuk memotong rumput yang sudah meninggi di rumahnya yang di Jogja. Anak-anaknya tidak ikut serta karena mereka tidak mau. Setelah pekerjaan orang suruhannya selesai, ia bersiap untuk kembali masuk rumah.“Rasti ….” Sebuah suara membuatrnya urung masuk.Mata Rasti menatap pria yang baru datang tanpa berkedip. “Pak Hanung,” sapanya dingin.“Akhirnya kamu kembali,” sahut Hanung. “Aku sering datang ke sini untuk menunggumu pulang. Dan hari ini, aku bertemu denganmu.”“Unt
Mereka basa-basi sebentar, saling menceritakan hidup yang dialami masing-masing. Setelah lama berbincang, Firna menyampaikan maksud kedatangannya menemui Rasti. “Aku minta maaf atas semuanya, Mbak. Aku telah bersalah sama Mbak Rasti. Aku sudah egois dalam mencintai Mas Danang. Dan pada akhirnya aku sadar, aku hanyalah pelampiasan baginya. Cinta Mas Danang sepenuhnya untuk Mbak Rasti. Aku menikah dengan seorang pria yang hidupnya di jalan, tapi mengajarkanku banyak hal. Kami memulai semua dari bawah. Dia tahu semua kisah hidupku dan perlahan mengubah sifat egoisku. Dia juga pria yang sangat baik. Melindungi dan menyayangi Yasmin seperti anaknya sendiri. Bahkan, saat aku marah sama Yasmin, Mas Dion tak segan memarahiku bali. Aku merasa beruntung. Ini bukan hal yang penting bagi Mbak Rasti. Tapi, perlu aku ceritakan agar Mbak tahu bagaimana aku saat ini,” ucapnya lalu berhenti. Memandang Danang dengan ragu, kemudian mengeluarkan sebuah kotak. Rasti tertunduk. Hampir saja ia berpikir buru
Part 93 Semua sibuk dan larut dengan perasaan masing-masing. Nadine dn Raline yang bahagia bertemu ayahnya. Firna yang terlihat malu-malu pada Rasti. Dan Rasti yang sibuk menenangkan hati. ‘Aku sudah bercerai sama Mas Danang. Aku harus bersikap biasa saja melihat mereka,’ tekan Rasti dalam hati. “Mbak, apa kabar?” tanya Firna sopan. Seyogyanya seorang tamu dipersilahkan masuk, tapi yang terjadi justru tamu Rasti yang menyapa lebih dulu. “Ba-baik. Kamu apa kabar?” tanya Rasti kaku. “Baik, Mbak. Alhamdulillah,” jawab Firna. Rasti mengamati penampilan sederhana dari mantan madunya. Anak Firna menangis merengek di dalam gendongan. “Yas, tolongin Bunda, pegangin adek. Bunda pengen ke belakang,” pinta Firna pada anaknya yang terlihat lemas. “Aku pusing dan mual, Bunda. Ayah saja dipanggil,” tolak Yasmin. Entah mengapa, Rasti serasa tidak kuat melihat pemandangan keharmonisan keluarga Firan dan Danang. Ia mencoba menahan segala rasa yang berkecamuk agak tidak terlihat. “Ayah, ini p
“Kalau ketemu lagi, namaku Dion,” ucap preman itu kemudian melangkah cepat.“Jangan mengemis lagi. Bentar lagi Bunda akan bisa beli mesin cuci. Bunda mau buka laundry saja. Biar bisa bekerja di rumah. Nanti, Bunda akan pasang iklan,” ucap Firna.Hari setelah itu, pria yang mengaku bernama Dion sering datang ke kontrakan. Lama kelamaan, Yasmin menjadi terbiasa dan akrab. Dibalik tubuhnya yang kekar dan sangar, ia ternyata memiliki sebuah kepedulian. Sikap Firna masih cuek. Namun, berkali-kali pria itu datang membawakan setumpuk cucian kotor. Lalu memaksa Firna untuk memberikan cucian yang sudah bersih dan mengantarkannya ke pelanggan.Terkadang Dion datang di pagi hari, membawa cucian kotor, lalu mengantarkan yang bersih sambil mengantar Yasmin ke sekolah. Lalu ia akan pergi dan kembali lagi keesokan harinya. Seolah hal seperti itu adalah rutinitas Dion saat ini.Di dalam sel tahanan, Danang mengenal seorang narapidana yang sangat taat beragama. Hal itu membuat ayah Nadine dan Raline s
Part 91 Gadis kecil memakai seragam itu berlari menuju rumahnya. Segera berganti baju setelah sampai. Berlalu kembali dengan membawa plastic bungkus permen yang sudah using. Ia menengadahkan tangan ada setiap motor dan mobil yang berhenti di perempatan lampu merah. Setelah dirasa cukup, ia lalu bersiap pulang. “Ayo, setoran!” hardik seorang preman membuatnya ketakutan. “Jangan ambil, Om. Aku butuh uang ini,” pinta Yasmin memelas. “Hanya kamu pengemis yang tidak pernah setor. Mau kamu, aku bawakan satpol PP buat menangkap kamu biar masuk penjara?” Yasmin menggeleng. “Tapi aku butuh uang ini,” ucapnya dengan bibir bergetar. “Ibu kamu kemana?” “Bunda mengamen, mau buat beli mesin cuci biar bisa kerja di rumah,” jawab Yasmin jujur. Di saat bersamaan, serombongan satpol PP bergerak menertibkan pengemis yang dirasa semakin banyak. Biasanya akan ada pembinaan dan pelatihan kerja bagi orang dewasa. Preman yang menghardik Yasmin dengan cepat mengangkat tubuh anak kecil dan membawanya
“Aku belum memikirkan itu,” sahut Rasti. “Kamu harus memikirkannya. Kamu harus menikah lagi dan mempunyai seseorang yang menemani dan melindungi kamu. Kamu tidak bisa hidup seorang diri selamanya. Usia kamu masih muda.” “Jangan membahas hal itu, Mas.” Rasti merasa sedih dengan perkataan mantan suaminya. Ada ruang hampa yang seketika hadir dalam hati. “Rasti. aku serius. Anak-anak butuh figur ayah penggantiku. Dengan siapapun, aku akan merestui. Aku yakin sekali, kamu bisa memilih orang yang tepat. Doakan aku, bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi. Tinggalkan alamat. Setelah aku bebas, aku akan mencari Nadine dan Raline. Semoga mereka masih mengingatku.” Danang tersenyum getir. Berusaha keras menahan tangisnya untuk tidak keluar. “Iya. Aku berdoa semoga kamu juga bisa menjadi suami dan ayah yang baik buat Firna dan Yasmin. Salam buat mereka.” Danang tertawa. Namun, saat tawa itu keluar, tangisnya juga pecah. “Aku sudah menceraikannya. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan meny