“Kami datang ke sini, untuk membatalkan pertunangan. Anak kami, Bara, sudah menemukan jodoh yang lebih tepat. Karena itu, saya selaku ibunya, mohon maaf, jika kabar ini membuat keluarga Bu Nilam tidak nyaman.”
Deg!
Kabar itu membuatku tak bisa berkata apa-apa. Senyuman yang sejak semalam terkulum karena mendapat kabar jika keluarga Bara besok akan datang, kini redup.
“Apa saya tidak salah dengar Bu Vamela? Hubungan mereka sudah cukup lama. Jingga---anak saya rela menunggu sampai Bara menyelesaikan S2 nya. Lalu, kenapa seperti ini?” Suara Ibu bergetar. Pasti dia sama kaget dan shocknya seperti aku.
“Tidak, Bu Nilam. Ibu tidak salah dengar. Mulai saat ini, Jingga saya bebaskan dan boleh menerima pinangan lelaki lain. Maafkan kalau keputusan ini melukai keluarga Ibu, hanya saja ... maaf, anak ibu hanya guru SD, gak sebanding dengan putra saya.” Dia tersenyum, suaranya masih terdengar lembut, hanya saja terasa begitu menyakitkan.
“Kami tak bisa lama. Dua minggu lagi, kalian bisa datang ke nikahannya Bara kalau mau. Undangan virtualnya nanti Bara kirimkan.”
***
“Miss, Una sudah selesai.”
Astaghfirulloh!
Aku mengusap wajah. Bayangan menyakitkan yang terjadi sebulan lalu itu seolah rekaman yang terus-menerus diputar dengan sendirinya setiap kali ada celah. Bahkan aku bisa sampai lupa kalau sekarang aku sudah berada di rumah tmilik Pak Banyu. Sudah satu bulan aku mengajar less privat untuk putri sulungnya Pak Banyu yaitu Aluna atau lebih sering kupanggil Una.
“Sini Miss periksa dulu, ya!”
Aku menerima buku catatan bahasa inggris milik Aluna. Tulisannya sudah rapi walau dia baru duduk di kelas satu SD. Setiap sabtu-minggu, aku pasti ke rumahnya. Di rumah besar ini, Una hanya tinggal bertiga dengan Papa dan Omanya.
“Nah, ini sudah betul. Ini kalimat untuk memperkenalkan diri, jadi kalau bahasa Inggrisnya nama saya adalah. My name is ... pintaaar!”
Wajah Aluna tampak sumringah ketika aku memujinya. Selalu seperti ini tekhnik pendekatan yang kugunakan. Aku akan mulai dari kelebihan dia, agar secara alam bawah sadar, Aluna percaya jika dia bisa dan pintar. Usianya masih enam tahun lebih, masih bisa diberikan sugesti positif untuk daya kembangnya.
“Yes, aku bisaaa!”
Aku mengangguk, lalu melihat soal nomor berikutnya yang dia kerjakan.
“Nah kalau yang kedua ini, tadi Miss ada tanya kata bahasa inggrisnya apa kabar, jadi?” Sengaja kupancing agar ada interaksi.
“How are you?” Fasih bibirnya menyebut kalimat tersebut dalam bahasa inggris. Aku acungkan dua jempol, lalu mengoreksi perlahan karena dia ada kesalahan.
“Kalau bahasa Inggris nenek, apa tadi?” Aku kembali bertanya.
Aluna tampak berpikir. Lalu dia nyengir kuda sambil bicara, “He, lupa, Miss!”
“Grand mo-”
“Grandmother!” pekiknya girang.
“Nah betul, jadi kalau yang Miss minta lengkapi tadi, aku cinta nenek. Jadinya I Love ...?”
Aluna menepuk keningnya sambil tertawa.
“Iya, Una lupa, Miss! I Love Grandmother!”
“Anak pintaaar!”
Aku serahkan buku tugas bahasa inggris Una. Lalu dia menghapus kalimat yang tadi dia tulis dan ada kesalahan.
“Nah, jadi Una sudah betulin, ya, Miss?”
"Oke."
"Sudah, Miss."
“Wah pinternya, Una! Miss makin semangat nih ngajar Una.”
“Wah cucu Oma lagi belajar apa?” Suara Oma Fera terdengar. Kami menoleh. Perempuan dengan gamis rumahan itu mendekat. Di tangannya sudah membawakan lagi camilan untuk teman belajar Una.
“Belajar bikin kalimat, Oma. Wah, itu Oma bawa apa?” Mata bulat Aluna berbinar.
“Ini cake cheese kesukaan Una. Oma sendiri yang bikin. Biar cucu Oma makin semangat belajarnya.”
Dia duduk di samping Aluna yang tengkurap bertumpu pada bantal. Tempat belajar kami di gazebo yang menghadap ke kolam ikan. Gemericik air riuh terdengar dari mesin yang memang terpasang dan membuat air mancur di tengah kolam. Semilir angin juga menerobos pintu pagar setinggi dua meter yang terbuat dari besi dan dilapisi cat antigores. Pagar itu mengelilingi rumah megah yang berdiri di tanah yang bagiku sangat luas.
Suasana asri ini ditopang juga dari pepohonan. Di mana rimbun pohon nangka yang dulu ditanam membuat gazebo ini terhalang juga dari terpaan langsung sinar matahari. Selebihnya pohon cemara berjajar, berdiri tinggi seiring dengan pagar.
“Ya sudah, Una rehat dulu, ya! Miss juga mau shalat dulu.” Aku melirik jam yang sudah menunjukkan pukul setengah empat sore.
“Oke, Miss!”
“Ibu Fera, numpang sholat dulu, ya!”
“Iya, Jingga. Jangan lama-lama, nanti makan kue bareng Ibu di sini! Oh, ya, sore ini makan malam di sini, ya! Ibu lagi ulang tahun. Anggap saja hadiah kamu buat Ibu.”
“Oh ya? Selamat ulang tahun, Bu Fera semoga sehat selalu. Baik, Bu. Saya nanti bilang Ibu di rumah kalau pulang agak malam.”
“Alhamdulilah ….” Dia tersenyum sumringah.
Aku mengangguk. Lalu segera masuk ke dalam rumah dan menuju ruangan paling belakang yang biasanya digunakan untuk mushola keluarga.
Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku.
Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang.
“Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!”
Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”
Empat rakaat aku tunaikan. Usai shalat, aku berdoa. Tak banyak, hanya minta luka ini sembuh dulu, itu yang utama. Satu bulan, waktu yang belum lama. Luka ini masih terasa sangat perih, apalagi kalau sedang sendiri. Nama Bara masih memenuhi lubuk hatiku.Usai shalat, aku berjalan kembali ke gazebo di mana Una sedang makan kue keju kesukaannya. Omanya tampak tengah menelpon seseorang.“Pokoknya kamu buruan pulang, Banyu! Mama akan tahan dia biar gak pulang dulu!”Dia terdengar menjeda. Lalu kembali bicara, “Kamu harus lihat sendiri orangnya! Sekarang kamu harus gercep, ini waktu yang tepat. Mama dengar dia sedang patah hati! Dia baru saja ditinggal nikah tunangannya! Kamu gak bisa egois, Banyu. Una butuh Bunda baru. Kamu pulang sekarang atau Mama coret dari KK!”Mendengar obrolan Oma Fera dengan seseorang di seberang telepon membuat aku menerka-nerka arah pembicaraan mereka. Kok ada bilang sedang patah hati, jadi berasa aku yang sedang jadi bahan omongannya. Hanya saja, katanya Bunda ba
Hanya suara denting sendok yang terdengar. Makan malam yang aku kira akan ramai dengan teman-temannya Bu Fera ternyata sama sekali salah. Di ruang makan bernuansa lesehan ini, hanya ada aku, Aluna, Bu Fera dan Pak Banyu. Kami duduk melingkar di sebuah meja kayu yang didesain khusus. Rupanya selain ruang makan dengan kursi dan meja biasa, di teras dapur juga ada tempat bersantai yang memiliki tempat makan lesehan. Setelah kepulangan Pak Banyu tadi, Bu Fera langsung menggiring kami ke ruang makan.“Ayo yang banyak makannya, Jingga. Ini ikan salmon yang dimasak Bi Sesa itu sangat enak.” Bu Fera hendak mengambilkan potongan ikan salmon lagi ke piringku. “Saya sudah kenyang, Bu … makasih.” Aku bukan sudah kenyang sebetulnya, tapi sudah tak nyaman. Sejak kedatangan Pak Banyu, semua jadi terasa canggung apalagi sikap diam dan juteknya Pak Banyu mendominasi. Hanya Bu Fera saja yang mengajakku mengobrol sejak tadi.“Makan kamu kok dikit banget, Jingga, sebelas dua belas sama Banyu.” Dia melir
“Lurus dikit lagi, Pak. Lalu belok ke kiri. Rumah yang catnya warna hijau, depannya ada pohon mangga.” Aku memberikan arahan tanpa dia minta. Biar cepat sampai dan bisa bernapas lega. Namun, pada jarak beberapa meter lagi, aku menautkan alis ketika melihat mobil berwarna silver metalik sudah terparkir di depan rumah dan juga tampak kerumunan para tetangga.“Pak berhenti di sini saja!”Merasa tak enak hati dan takut jadi perhatian para tetangga yang tampak berkerumun di depan rumah, aku meminta turun dalam jarak beberapa meter lagi sebelum sampai. Hanya saja, mobil yang dia kendarai terus saja melaju.“Pak! Turun di sini saja!”Aku bicara agak kencang. Apa dia tuli sampai-sampai tak cukup satu kali aku bicara. Hanya saja, hasilnya masih sama mobil yang ditumpanginya masih melaju saja.Huft!Kini sudah terlambat, meskipun dia menoleh, mobil yang memberiku tumpangan sudah tiba di depan rumah dan beberapa pasang mata sudah melihatnya. Aku bergeming, kok kesel, ya? Kenapa dia pura-pura tul
Deg!Jadi, benar? Kedatangan mereka karena A Andi lagi? Belum habi rasa kagetku, terdengar suara Wak Tika yang muncul dari belakang.“Benar yang Ibu kamu bilang Jingga. Lagian orang gak punya kayak kamu itu jangan ngarepin cowok tajir kayak keluarga Bara. Harus tahu diri. Harus ngaca dan ngukur diri. Kamu itu tak ada apa-apanya buat mereka. Buktinya sekarang, bener ‘kan? Kamu di-PHP doang terus dibuang! Kata orang, kalau sudah gitu, pamali nanti. Bisa-bisa kamu jadi perawan tua dan gak ada yang mau lagi. Jadi terima saja Andi, dia sudah cinta mati sama kamu dari dulu.”Aku memijat pelipis, rasanya sebulan ini saja hidupku sudah terasa berat. Rasa sakit hatiku karena dikhianati keluarga Bara belum juga sirna. Belum lagi gunjingan yang aku tahu ramai di belakang. Ya, namanya hidup di pinggiran kota, aib seperti ini masih umum menjadi konsumsi para ibu yang berbincang setiap pagi di penjual sayuran.“Aku gak mikirin dulu masalah pernikahan, Uwak. Lagian aku dan A Andi ini masih sepupuan.
Aku membuka mata pagi ini dengan sedikit berat. Wangi aroma bawang goreng tercium. Shubuh-shubuh begini, memang biasa kalau Ibu sudah masak. Sejak kecil, Ibu selalu membiasakanku untuk bangun awal, katanya biar rejekinya gak dipatok ayam. Begitupun Ibu sendiri, dia pun setiap jam empat pagi sudah bangun. Apalagi, memang setiap pagi selalu membuat lemper isi ayam dan dititip ke warung Bu Intan. Lumayan uangnya bisa diputar untuk menyambung hidup. Hanya saja entah untuk hari ini.Aku menggeliatkan badan dan memaksa mata untuk terbuka. Lalu berjalan sambil menguap menuju ke arah dapur untuk membasuh wajah sekaligus wudhu. Benar saja, punggung Ibu sudah terlihat berada di dapur. Bunyi wajan beradu spatula terdengar.“Bikin nasi apa, Bu?” Aku berjalan mendekatinya.“Nasi goreng.” Ibu menjawab singkat.“Lemper gak bikin?” Aku celingukan nyari makanan terbungkus daun yang biasanya sudah rapi ditata dalam baskom.“Enggak, tadi kesiangan Ibu bangunnya. Rasanya kepala masih berat juga.”Aku han
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”Dia pun menerima plastik yang
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bis
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo