Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.
“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.
“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.
“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”
Dia pun menerima plastik yang kuulurkan lalu ke dalam lagi. Aku menunggu di depan. Hanya aku dan Pak Banyu. Hening, tak ada percakapan. Air mukanya tampak tenang. Dia berdiri dengan satu tangan masuk ke dalam saku, sedangkan tangan yang lain memegang gawai. Tak sedikitpun melirik ke arahku.
Angkuh dan mahal, itu kesan yang kudapatkan dari sikapnya. Ya, memang harusnya begitu. Dia kaya, pengusaha, sedangkan aku … hanya orang biasa.
“Mbak! Ini uangnya! Makasih banyak, bajunya pas banget.” Dia mengangsurkan satu lembar seratus ribuan, padahal ongkos potong dari tiga gamis itu hanya enam puluh ribu, ditambah ongkir sepuluh ribu.
“Duh, Mbak … ada uang pas? Saya gak bawa kembalian.”
“Ambil saja sisanya, buat tipsnya, Mbak.”
“Baik, terima kasih kalau begitu. Saya permisi!”
Dia mengangguk. Aku pun pergi dengan hati sumringah. Ibu pasti senang ketika tahu mendapatkan tips, meski tak seberapa. Bukan hanya karena nominalnya, tapi karena pastinya pelanggan merasa puas sampai memberikan tips untuk pekerjaan Ibu.
Tiba di rumah, aku menghabiskan waktu untuk hobi berkebunku. Ada beberapa pohon tomat, cabai dan juga leunca yang kutanam dalam media pot dan dijejerkan di samping rumah. Hari ini aku mau menyemai benih terung, lumayan buat tambahan lalapan dan bisa menjadi penopang ketika lagi seret uang. Untuk pohon bunga, aku tak terlalu banyak menanam. Hanya satu pot anggrek bulan dan sekitar tiga pot anggrek biasa yang kugantungkan pada paku-paku yang sengaja kutancapkan di dinding.
Mungkin sudah setengah jam berlalu ketika terdengar mobil berhenti di depan rumah. Aku tak mempedulikannya karena ada Ibu di sana. Tadi kulihat, Ibu sedang menjahitkan beberapa pakaian di depan.
“Jingga! Jingga!”
“Iya, Bu!”
Aku menjawab tanpa berniat beranjak. Tanganku masih belepotan dengan tanah yang kumasukkan ke dalam beberapa polibag.
“Ada tamu!”
Aku menautkan alis. Rasanya gak ada janji dengan siapapun juga. Lekas aku ke depan, tampak lelaki yang tadi di rumah pelanggan Ibu sedang berdiri dengan kedua tangan masuk ke dalam sakunya. Dia berdiri membelakangiku.
“Pak Banyu?”
Lelaki itu menoleh mendengar sapaanku yang mengandung kalimat tanya.
“Loh belum siap?”
Aku menautkan alis lagi, gak paham dengan pertanyaan yang tak ada ujung pangkalnya. Tatapannya seolah memindai penampilanku yang semrawut. Wajah pun berkeringat dan mungkin lusuh karena tersorot sinar matahari.
“Siap ke mana, Pak?”
“Baca pesan dari Mama!”
Bukannya menjawab, dia malah menyuruh. Aku mengutuknya dalam hati. Namun segera aku masuk ke dapur lewat pintu samping dan mencuci tangan setelah itu mencari gawaiku yang kuletakkan dalam kamar.
Eh, kok ada beberapa miscall dari nomor Bu Fera, lalu ada pesan juga.
[Bisa ngajar sebelum makan siang, gak? Siang nanti Aluna ada acara. Banyu jemput kamu sekarang, ya! Bersiaplah!]
Astagaaa! Ini Bu Fera, padahal pesannya saja belum aku baca. Eh, yang jemput malah sudah datang. Mana aku belum apa-apa juga.
[Acaranya jam berapa, ya, Bu? Cancel saja gak apa. Nanti bisa ambil jam tambahan weekend depan.]
Aku segera membalas, sengaja mencari alasan. Jujur, aku malas jika hanya berdua di dalam mobil dengan lelaki angkuh yang ada di depan.
Hanya saja, tak ada balasan. Aku segera memijit tombol panggil, pada dering ketiga barulah kudengar suara Bu Fera dari seberang sana.
“Assalamu’alaikum, Bu! Maaf … saya tadi lagi berkebun, baru baca pesannya. Kalau takut telat, direschedule saja jadwal lessnya.”
“Wa’alaikumsalam! Enggak telat kok, Jingga. Kamu datang sebelum jam makan siang, ya! Jangan lupa dandan yang cantik. Banyu sudah ada di rumah kamu katanya. Ibu tunggu!”
Tut!
Aku baru hendak menjawab lagi ketika dia malah mematikan panggilan.
Huh! Kalau gini, mau gak mau, deh!
Lekas aku menuju kamar mandi dan membasuh diri. Mandi singkat kulakukan karena sudah ditungguin Pak Banyu diluar. Usai mandi berpakaian seperti biasa. Suruh dandan yang cantik, aku hanya menggeleng kepala. Jangankan punya maskara, mbak kara dan teman-temannya, hand body lotion saja yang aku ada dan bedak bayi serta satu buah parfum.
Usai mandi, aku segera ke depan. Loh, kok ada mobilnya saja? Pak Banyunya gak ada. Ibu pun masih sibuk sendiri dengan mesin jahitnya.
“Bu, Jingga pergi dulu, ya! Assalamu’alaikum!” Aku mencium punggung tangan Ibu.
“Iya, hati-hati! Itu tamu kamu lagi di samping rumah!” tukas Ibu seraya menunjukkan ke arah kebunku.
Aku pun berjalan ke arah sana. Benar saja, Pak Banyu ada. Dia sedang berdiri menatap pohon-pohon anggrek yang kugantungkan potnya pada paku.
“Pak, saya sudah siap! Biar pulangnya gak merepotkan! Saya naik sepeda motor saja, ya!” tukasku sopan. Bagaimanapun, tiap bulan dari dialah aku mendapatkan uang tambahan.
“Berangkat bareng saya!” tukasnya datar. Lalu melengos pergi begitu saja.
Baiklah … Tuan Maha Benar!
Namun hanya sebatas dalam hati. Aku pun mengekorinya dan masuk ke dalam mobil pajero hitam miliknya. Aku melirik ke arah Ibu dan melambaikan tangan, sedikit sedih ketika melihat binar matanya melihatku masuk ke dalam mobil bagus milik Pak Banyu. Seperti biasa, aku duduk di belakang. Gak enak rasanya mau duduk bersisian.
Tiba di kediamannya, aku langsung menemui Aluna yang ternyata sudah menungguku di Gazebo.
“Good morning, Una! Sorry I’m late!” Aku menyapa Aluna dan minta maaf karena datang terlambat. Waktu belum menunjukkan pukul sepuluh ketika aku tiba di rumahnya.
“Morning, Miss! Ok, Miss. No problem!” Aluna tersenyum memamerkan gigi depannya.
“Wah ompongnya sudah nambah?” Aku menatap dua gigi depannya yang tanggal.
“Iya, Miss. Makanya siang nanti Oma mau ngadain acara karena gigi Una sudah ompong lagi.” Dia menjawab dengan bersemangat.
“Oh kalau orang kaya gitu, ya? Gigi ompong saja bikin acara. Aneh,” batinku sambil memaksakan tersenyum meski rasanya alasan itu terlalu mengada-ada.
“Ok, kalau gitu kita mulai saja belajarnya, ya! Takutnya nanti Una terlambat!” Aku segera mengalihkan pembahasan dari membahas hal yang terlalu ganjil menurutku.
Aku pun langsung mengajaknya belajar. Untuk materi yang aku sampaikan lebih banyak melatih conversation karena goalnya adalah anak bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Berbeda dengan kurikulum di sekolah, untuk less privat ini memang goalnya ke arah sana.
Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas siang ketika Bu Fera menghampiri kami.
“Una, ayo kita pergi, Sayang! Ajak Miss Jingga sekalian!”
“Oh sudah mau pergi, ya, Bu! Ya sudah saya berkemas kalau gitu!” Aku tersenyum pada perempuan dengan wajah teduh yang sudah berdiri tak jauh dariku.
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.
Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bis
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.Eh, kenapa? Aku lagi?Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu.“Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!”Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin?Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan,
Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu. “B--Bara?” Aku mengucap nama itu hampir tanpa suara. Bara mengulas senyum, lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Gaya coolnya masih sama seperti dulu. “Hai! Gimana kabarnya, Jingga?” Dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Sorot mata itu, menatapku lekat dan masih sama seperti dulu.Awalnya aku sudah hendak berlari dan menghindar. Malas rasanya sekadar menjawab sapaan dari dia. Lelaki pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya itu kini datang. “Baik … permisi! Saya duluan!” Aku menjawab setelah meredam degub jantung yang sudah seperti genderang perang. Ada rasa cinta, benci, sakit hati dan … rindu. Ah, menyebalkan
“Banyu, arahnya ke rumah Jingga dulu saja, baru ke rumah kita!” titahnya. “Ahm, gak usah, Bu! Ke rumah Ibu saja. Saya bisa naik mobil online nanti.” Aku yang terpaksa duduk di depan, menoleh ke arah Bu Fera yang bersuara di kursi penumpang. “Gak apa, Jingga. Ibu sekalian mau silaturahmi dengan Ibu kamu. Kalau kami mampir, boleh ‘kan?” Bu Fera menatapku dan kalimat yang mengandung tanya itu, kini tengah menunggu jawaban. Jujur, hatiku agak was-was kalau sudah berurusan dengan Bu Fera. Pikirannya suka gak bisa ditebak dan juga … dari siang tadi memberiku banyak kejutan juga. Takutnya kedatangannya ke rumahku, memberiku kejutan berikutnya.“Hmmm … tapi sudah malam, Bu. Apa Unanya gak capek?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada kondisi Una. “Gak apa, Jingga. Mampir sebentar doang. Una juga sudah tidur, kok.” Hmmm … ya sudahlah, aku pasrah. Hanya mengangguk untuk menjawabnya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami tiba. Ibu tampak sudah berada di teras. Aku tahu, dia
“Oke pelajaran kita kali ini sudah selesai! Silakan ditutup bukunya dan bersiap pulang!” Aku menutup pelajaran hari ini. Rasa kantuk membuat mataku terasa berat dan berulang kali menguap. Beruntung masih bisa menyelesaikan pelajaran bahasa Inggris di jam terakhir mengajarku. “Silakan dipimpin doa!” Aku mempersilakan ketua kelas dari siswa kelas empat yang kuajar hari ini untuk memimpin doa sebelum pulang. “Baik, Bu!" Garda menjawab tangkas. Mereka pun sibuk membereskan tas dan perlengkapan lainnya. Garda tampak menoleh dan memastikan semua anggota kelas sudah siap. "Sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dulu agar diberikan keselamatan di perjalanan! Siap berdoa, mulai!”Lantang suara Garda---anak lelaki berdarah jawa yang kulihat jiwa leadershipnya sejak kecil ini. Tubuh mungilnya tak serta merta membuatnya lembek. Justru, dia paling aktif, kreatif dan bertanggung jawab dari pada anak lelaki seusianya di kelas ini. Aku pun setuju ketika dia terpilih jadi wali kelasnya.
“Hey, bengong! Ada yang nyusul, tuh!” Imelda mengulangkan tangannya ke depan wajahku. Aku gelagapan. Seraya menoleh ke arah yang ditunjuk Imelda dan sukses membuat hidupku terasa makin sesak. “Astaghfirulloh … dosa apa aku, Mel?”Aku mengusap wajah ketika ternyata A Andi yang hari ini tumben tak terlihat di gerbang sekolah, bisa-bisanya ada di sini. Dandanannya bukan lagi, semakin hari makin aneh saja. Rambutnya kini berubah warna lagi, sedikit ungu dan ada peraknya. Selain anting yang dipakai, kini juga memakai kalung emas. Entah emas asli atau bukan, ukurannya tampak sangat besar dan membuat mencolok karena kontras dengan kulitnya yang hitam. “Energi negatif,” kekeh Imelda seraya mengipasi bakso dalam mangkuk dengan tangannya. “Hai, boleh gabung?” serunya basa-basi sambil tersenyum yang gak ada manis-manisnya. Lalu tanpa bicara lagi, ikutan duduk di bangku panjang dan duduk di sampingku. “Aa mau ngebakso juga?” Imelda yang bertanya duluan. Aku hanya melirik sekilas, malas. “Bo
[Hai, Jingga. Aku yang tempo hari kirim pesan di FB. Kok gak balas lagi, sih? Bisakah kita berteman?] Orang dunia maya yang aku cuekkan, kini punya nomor whatsappku. Sebetulnya siapa dia? Apa kublokir saja? Sebaiknya cari tahu dulu, kalau dia ngelantur, fix blokir. [Siapa kamu? Dari mana dapat nomor aku?] Pesan terkirim, tak berapa lama berubah centang dua warna biru. Lalu tampak orang yang tengah mengetik di sana. [Aku hanya ingin berteman denganmu. Senang sekali kamu mengajakku bertemu. Aku sangat bisa. Kapan kamu ada waktu?] Rupanya dia tak main-main. Mau pun kuajak bertemu. Sebetulnya dia siapa? Aku bergeming, berpikir sejenak karena sebetulnya malas untuk mengurus orang-orang gak jelas seperti ini. Namun, dia terus menerus menggangguku. “Mel! Orang iseng itu punya nomorku. Lihat ini! Gimana, ya?” Aku menyodorkan ponselku pada Imelda. “Cuekin saja!” jawabnya ringan. “Sudah aku cuekkan yang di sosial media, ini ganggu ke WA! Kalau diblokir saja gimana, ya? Aku tantangin bua
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo