Aku membuka mata pagi ini dengan sedikit berat. Wangi aroma bawang goreng tercium. Shubuh-shubuh begini, memang biasa kalau Ibu sudah masak. Sejak kecil, Ibu selalu membiasakanku untuk bangun awal, katanya biar rejekinya gak dipatok ayam. Begitupun Ibu sendiri, dia pun setiap jam empat pagi sudah bangun. Apalagi, memang setiap pagi selalu membuat lemper isi ayam dan dititip ke warung Bu Intan. Lumayan uangnya bisa diputar untuk menyambung hidup. Hanya saja entah untuk hari ini.
Aku menggeliatkan badan dan memaksa mata untuk terbuka. Lalu berjalan sambil menguap menuju ke arah dapur untuk membasuh wajah sekaligus wudhu. Benar saja, punggung Ibu sudah terlihat berada di dapur. Bunyi wajan beradu spatula terdengar.
“Bikin nasi apa, Bu?” Aku berjalan mendekatinya.
“Nasi goreng.” Ibu menjawab singkat.
“Lemper gak bikin?” Aku celingukan nyari makanan terbungkus daun yang biasanya sudah rapi ditata dalam baskom.
“Enggak, tadi kesiangan Ibu bangunnya. Rasanya kepala masih berat juga.”
Aku hanya mengangguk, lantas mengambil wudhu dan segera kutunaikan dua rakaat kewajiban. Satu hal didikan Ibu yang ditanamkan sejak kecil padaku. Dahulukan Allah jika Allah ingin mendahulukanmu. Meski kadang, aku masih suka abai dan shalat di akhir waktu. Namun, seiring berjalan waktu aku berusaha memperbaikinya, meski jujur … untuk konsisten itu yang susah.
Matahari terbit cukup cerah hari ini, aku dan Ibu sudah duduk di meja dapur. Meja kayu berbentuk bundar yang sebagian kakinya sudah dimakan rayap ini masih kuat berdiri. Belum ganti, karena Ibu merasa belum perlu. Satu lagi yang Ibu ajarkan padaku. Belilah barang sesuai kebutuhan, bukan mengikuti keinginan.
Meski tetap saja aku bilang pada Ibu, itu alasan saja karena Ibu gak punya uang. Namun, aku pun merasakan kini jika petuahnya itu benar. Meski gajiku dari ngajar tak seberapa, tapi cukup untuk hidup kami sebulan dan tak mesti sampai harus berhutang untuk makan. Beda halnya dengan temanku yang kerja di pabrik, padahal gajinya UMR, belum lagi lembur, tapi tiap tanggal dua puluh sudah pontang-panting cari pinjaman. Benar lagi yang Ibu bilang, seberapa besar gaju kamu, seberapa banyak pun uang kamu, kalau tak pandai mengendalikannya, maka akan tetap kurang, kurang dan kurang … karena keinginan manusia itu tak terbatas.
Ah, bersyukurnya aku dilahirkan dari rahim perempuan sehebat Ibu. Ya, bagiku … dialah perempuan terhebat yang mengajariku banyak arti kehidupan.
“Assalamu’alaikum, spadaaa!”
Kami masih saling terdiam dan menikmati nasi dalam piring masing-masing ketika terdengar suara salam. Dari deru sepeda motornya aku hapal. Aku menghitung dalam hati, tepat pada hitungan ke sepuluh, terdengar derit pintu yang didorong dari luar. Aku tahu, Imelda ketika selesai memarkirkan motor pasti sibuk membetulkan kerudungnya, terus membuka tempat bedak dan merapikan riasannya.
Imelda, dia sahabatku, mengajar di SD yang sama, hanya bedanya dia sudah PNS dan aku belum. Dia pun memiliki orang tua yang utuh dan memiliki toko sembako yang besar di dekat perempatan sana. Mengajar baginya hanya mengisi waktu dan memang cita-citanya untuk selalu tampil di muka. Imelda paling gak suka kegelapan dan sangat suka keramaian. Dia suka jika menjadi perhatian. Tampilannya selalu cantik dan percaya diri ditambah memang ditunjang oleh keuangan yang memadai.
“Wah, enak, nih! Kebetulan belum sarapan.”
Tak berapa lama, satu tepukan dia hadiahkan pada bahuku, lalu tanpa permisi menarik kursi dan menjatuhkan bobotnya di sampingku.
“Ambil piring!” omelku.
“Hehehehe, iya Nyonya!” Dia tergelak sumringah dan menggodaku. Lalu bangkit menuju rak piring yang terbuat dari kayu dan mengambil piring dan sendoknya.
“Nasinya di wajan, Mel! Ambil sendiri!” Suara Ibu mengarahkannya.
“Udah tahu!” ocehnya, tangannya sudah lebih dulu menyingkap tutup wajan. Karena keseringan Imelda ikut sarapan di sini, Ibu pasti membuat lebih. Tak berapa lama dia duduk bergabung denganku lalu menyeruput teh hangat milikku yang sisa setengah.
“Aku habisin, ya!”
“Kebiasaan! Bikin!” omelku lagi. Namun dia tak menggubrisnya dan langsung saja meneguk teh manis dalam gelas. Lalu melahap nasi goreng buatan Ibu.
“Aku tuh kalau lihat nasi goreng gini suka kagum sama kecap,” tukasnya mulai ngelantur.
“Kenapa harus kagumnya sama kecap?” Aku menoleh padanya. Aku kira dia mau bilang kagum sama Ibu, eh rupanya malah sama kecap. Memang Imelda ini pemikirannya suka out of the box.
“Kecap itu biar hitam, tapi manis, plusnya lagi dia tuh bisa bikin makanan enak. Coba kamu bayangin, andai bikin nasi goreng pakai oli bekas? Hitam boleh sama, tapi rasa emang gak pernah bisa berdusta,” kekehnya. Aku dan Ibu sama-sama tersenyum mendengar celotehannya.
“Terus kamu tahu gak anaknya Pak Sekdes yang baru lahir itu dinamain Kartini tuh karena dia cewek, kalau cowok?” tanyanya lagi.
“Kartono,” jawabku standard. Biasanya kan gitu. Eh, Imelda malah tergelak.
“Salah … kalau cowok, jadinya aneh … masa cowok-cowok dinamain Kartini.”
Begitulah Imelda, selalu saja ada cerita barunya setiap hari. Setidaknya, kehadirannya membuat kebahagiaan tersendiri untukku dan Ibu di rumah ini. Dia pun mulai bercerita, apa saja. Seperti biasa, dialah yang membuat meja makan kami selalu ramai. Katanya kalau di rumah, tak pernah ada kebersamaan seperti ini. Pagi-pagi semua sudah sibuk mengurusi kepentingannya masing-masing. Bisa dibilang kalau Imelda itu kesepian. Ayahnya pekerja keras, Ibunya juga. Abangnya satu sudah nikah dan punya anak kecil, jadi sibuk juga dengan keluarga kecilnya meski masih tinggal di rumah yang sama.
Usai makan, aku diboncengnya menggunakan motor matic warna merah miliknya. Sepeda motor yang larinya lembut, beda sekali dengan sepeda motor tuaku.
“Sudah hubungi Bang Ako-nya?” tanyanya.
“Belum.” Aku menjawab singkat.
“Kenapa?” tanyanya.
“Gak penting.” Aku menjawab lagi.
“Kalau belum buka, gimana?” Imelda kembali menelisik.
“Ya tungguin!” Aku menjawab lagi.
“Kamu itu, ya! Kenapa gak telepon saja, sih?” omelnya.
“Siapa aku, Mel? Kamu pikir, gara-gara aku nelepon, Bang Ako rela buka bengkelnya lebih pagi?” jawabku lagi.
“Ck! Ck! Ck! Kamu itu kenapa malah amensia, sih? Kamu itu kan Jingga Nirmala … malah nanya.”
Duh, susah kadang mau jelasin ke dia. Ya sudahlah … memang benar yang dia bilang. Aku ini Jingga Nirmala dan bukan siapa-siapa.
Kami tiba agak pagi, benar saja bengkelnya belum buka. Barulah setelah setengah jam nunggu, bengkelnya buka. Aku membayar sesuai nominal yang disebutkan. Syukurlah tak terlalu mahal, jadi masih bisa ke kover dengan uang cadangan. Aku dan Imelda pun berpisah. Aku juga harus nganterin gamis pesanan langganan Ibu, sedangkan Imelda katanya mau belanja bulanan. Pagi ini dia sengaja ke rumah hanya untuk nganter aku ngambil Vega di bengkel Bang Ako saja.
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.
Aku sudah berada di depan sebuah rumah yang cukup megah. Parkir di depan gerbang saja, rasanya minder kalau Vega merahku masuk ke dalam pagar. Apalagi ada dua mobil berjejer terparkir di depan rumahnya. Aku pun masuk saja karena pintu pagar sedikit terbuka. Baru aku hendak mengucap salam ketika tampak sepasang lelaki dan perempuan muncul dari dalam rumah, dari gesture tubuhnya sepertinya mereka cukup akrab. Aku mematung sejenak seraya menata hati yang tiba-tiba merasa semakin tak berarti. Pantas saja sikapnya begitu dingin padaku, rupanya memang circel pertemanannya bukan yang selevel denganku. Buktinya dengan perempuan itu, tampak sekali dia akrab dan sesekali tersenyum.“Cari siapa, Mbak?” Perempuan dengan rambut panjang yang diikat asal itu melihat ke arahku. Wajahnya terlihat terawat, berbeda denganku yang hanya disapu bedak bayi.“Nganterin gamis Bu Feni, Mbak!” Aku tunjukkan tentengan plastik berisi gamis pelanggan Ibu.“Oh, gamis Mama, ya? Bentar.”Dia pun menerima plastik yang
“Eh, kenapa berkemas? Kamu juga harus ikut! Una bilang, Miss Jingga juga diundang! Ini Ibu sudah siapkan pakaian ganti buat kamu!” tukasnya seraya memamerkan senyumannya yang bagiku, rasanya mencurigakan. Kebetulan Pak Banyu baru keluar juga dari dalam rumah dan tanpa sengaja kami sejenak beradu pandang, sebelum akhirnya kami sama-sama membuang muka dan aku mengalihkan pandangan pada pakaian yang diulurkan Bu Fera.Ehhh … kok corak bajunya samaan dengan Pak Banyu?“Ahm, saya pakai baju ini saja, apa boleh?” tanyaku, sungkan rasanya harus menerima pemberiannya. Lagi pula, pasti bajunya mahal.“Hmmm … tapi dress codenya warna pastel, Jingga.” Bu Fera menjelaskan.“Oh baik kalau begitu, maaf merepotkan.” Aku pun menerima pakaian yang masih dilipat itu, lalu beranjak minta diri dan berganti pakaian di toilet. Jadi ingat, gamis yang tadi pagi kuantarkan ke pelanggan Ibu juga ada yang bahannya seperti ini dan warnanya juga.Sebuah gamis warna pastel dengan corak hitam, akhirnya kupakai. Bis
“Mamanya Una hari ini bertunangan. Dia mengundang kami untuk datang. Semoga kamu gak keberatan menjadi pasangan Banyu malam ini. Maaf kalau Ibu gak bilang dulu sama kamu, Ibu khawatir, kamu akan menolak. Ibu hanya ingin menunjukkan, Una baik-baik saja tanpa perempuan tak berhati itu.” Suara Bu Fera bergetar. Aku melihat ada rasa sakit yang teramat dalam terpancar.Ya Tuhaaan … jujur, aku merasa kesal. Kenapa harus berbohong sejak awal? Apa Bu Fera pikir aku ini apa?Eh bentar? Berbohong? Rasanya memang tak ada kebohongan yang Bu Fera sampaikan. Dia hanya bilang Una yang mengundangku. Hanya akunya saja yang terlalu, ah, entah. Masa iya aku percaya kalau ada perayaan gigi tanggal versinya Una.“Maafin Ibu, Jingga. Kamu hanya perlu berada di tengah-tengah kami tanpa mengakui apapun, tanpa menjelaskan apapun pada siapapun. Itu saja.” Bu Fera menatapku dengan tatapan memelas. Baru kali ini aku melihat dia begitu lemah. Biasanya apa-apa selalu terlihat bersemangat, sigap dan sat set.Kupeja
“Banyu, di sini kamu rupanya! Mau dansa gak?” Pertanyaan itu membuat kami semua mendongak. Seketika Bu Fera yang mengambil alih jawaban.“Banyu memang akan berdansa, tapi sama Jingga … ini sebentar lagi juga mau maju ke depan. Iya ‘kan Banyu?” Bu Fera memasang senyuman dan menatap tajam pada perempuan itu.Eh, kenapa? Aku lagi?Seketika perempuan tersebut mendongakkan wajah dan menatap ke arahku. Dia menatap lekat sambil menyipitkan mata sekilas dengan alis saling bertaut seolah mengingat-ingat. Namun tak ada kalimat apapun yang dia ucapkan hanya tersenyum dan mengangguk lalu menoleh pada Pak Banyu.“Ya sudah, aku balik ke tempatku dulu kalau kamu sudah ada pasangan!” tukasnya. Tak tersirat rasa kesal maupun kecewa, dia pun mengangguk ke arahku dan berkata, “Titip Banyu, ya!”Aku hanya tersenyum, lebih tepatnya nyengir kuda. Emangnya dia barang yang bisa dititip-titipin?Seperginya wanita itu, Pak Banyu melirik ke arah Bu Fera dengan tatapan yang sepertinya mengatakan, mama apa-apaan,
Setelah merasa lebih baik. Aku pun beranjak dari dalam toilet dengan perasaan yang lebih ringan. Namun, baru saja kubuka pintu toilet perempuan, aku mendapati sosok yang tengah berdiri tak jauh dari sini sambil bersandar pada dinding di lorong toilet dengan tangan bersedekap. Sepasang netra kami pun bertemu. “B--Bara?” Aku mengucap nama itu hampir tanpa suara. Bara mengulas senyum, lalu menegakkan tubuhnya dan berjalan mendekat. Kedua tangannya masuk ke dalam saku celana. Gaya coolnya masih sama seperti dulu. “Hai! Gimana kabarnya, Jingga?” Dia bertanya dengan wajah penuh senyuman. Sorot mata itu, menatapku lekat dan masih sama seperti dulu.Awalnya aku sudah hendak berlari dan menghindar. Malas rasanya sekadar menjawab sapaan dari dia. Lelaki pengecut yang bersembunyi di balik ketiak ibunya itu kini datang. “Baik … permisi! Saya duluan!” Aku menjawab setelah meredam degub jantung yang sudah seperti genderang perang. Ada rasa cinta, benci, sakit hati dan … rindu. Ah, menyebalkan
“Banyu, arahnya ke rumah Jingga dulu saja, baru ke rumah kita!” titahnya. “Ahm, gak usah, Bu! Ke rumah Ibu saja. Saya bisa naik mobil online nanti.” Aku yang terpaksa duduk di depan, menoleh ke arah Bu Fera yang bersuara di kursi penumpang. “Gak apa, Jingga. Ibu sekalian mau silaturahmi dengan Ibu kamu. Kalau kami mampir, boleh ‘kan?” Bu Fera menatapku dan kalimat yang mengandung tanya itu, kini tengah menunggu jawaban. Jujur, hatiku agak was-was kalau sudah berurusan dengan Bu Fera. Pikirannya suka gak bisa ditebak dan juga … dari siang tadi memberiku banyak kejutan juga. Takutnya kedatangannya ke rumahku, memberiku kejutan berikutnya.“Hmmm … tapi sudah malam, Bu. Apa Unanya gak capek?” Aku mencoba mengalihkan perhatiannya pada kondisi Una. “Gak apa, Jingga. Mampir sebentar doang. Una juga sudah tidur, kok.” Hmmm … ya sudahlah, aku pasrah. Hanya mengangguk untuk menjawabnya. Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya kami tiba. Ibu tampak sudah berada di teras. Aku tahu, dia
“Oke pelajaran kita kali ini sudah selesai! Silakan ditutup bukunya dan bersiap pulang!” Aku menutup pelajaran hari ini. Rasa kantuk membuat mataku terasa berat dan berulang kali menguap. Beruntung masih bisa menyelesaikan pelajaran bahasa Inggris di jam terakhir mengajarku. “Silakan dipimpin doa!” Aku mempersilakan ketua kelas dari siswa kelas empat yang kuajar hari ini untuk memimpin doa sebelum pulang. “Baik, Bu!" Garda menjawab tangkas. Mereka pun sibuk membereskan tas dan perlengkapan lainnya. Garda tampak menoleh dan memastikan semua anggota kelas sudah siap. "Sebelum kita pulang, marilah kita berdoa terlebih dulu agar diberikan keselamatan di perjalanan! Siap berdoa, mulai!”Lantang suara Garda---anak lelaki berdarah jawa yang kulihat jiwa leadershipnya sejak kecil ini. Tubuh mungilnya tak serta merta membuatnya lembek. Justru, dia paling aktif, kreatif dan bertanggung jawab dari pada anak lelaki seusianya di kelas ini. Aku pun setuju ketika dia terpilih jadi wali kelasnya.
“Hey, bengong! Ada yang nyusul, tuh!” Imelda mengulangkan tangannya ke depan wajahku. Aku gelagapan. Seraya menoleh ke arah yang ditunjuk Imelda dan sukses membuat hidupku terasa makin sesak. “Astaghfirulloh … dosa apa aku, Mel?”Aku mengusap wajah ketika ternyata A Andi yang hari ini tumben tak terlihat di gerbang sekolah, bisa-bisanya ada di sini. Dandanannya bukan lagi, semakin hari makin aneh saja. Rambutnya kini berubah warna lagi, sedikit ungu dan ada peraknya. Selain anting yang dipakai, kini juga memakai kalung emas. Entah emas asli atau bukan, ukurannya tampak sangat besar dan membuat mencolok karena kontras dengan kulitnya yang hitam. “Energi negatif,” kekeh Imelda seraya mengipasi bakso dalam mangkuk dengan tangannya. “Hai, boleh gabung?” serunya basa-basi sambil tersenyum yang gak ada manis-manisnya. Lalu tanpa bicara lagi, ikutan duduk di bangku panjang dan duduk di sampingku. “Aa mau ngebakso juga?” Imelda yang bertanya duluan. Aku hanya melirik sekilas, malas. “Bo
“Oke, satu kali lagi bersiap! Tiga, dia, sat-”“Mbak!” pekikkan Cakra membuat semua terkaget. Tubuh Aluna akhirnya ambruk juga karena kelelahan. Untung Cakra dan Adrian yang berada di sisi kanan kirinya sigap menangkap sang pengantin. Suasana sedikit kacau. Untung saja, Aluna tak sampai kehilangan kesadaran. Hanya pusing dan berkunang-kunang saja. Adrian yang cemas, meminta Aluna untuk istirahat sebentar. Meskipun demikian beberapa tamu undangan yang kebetulan baru datang bertanya-tanya tentang keberadaan pengantin perempuan. Salah satunya Jenny---sahabat lama Unda Jingga. Seorang psikolog yang dulu menjadi tempat konsultasi saat penyembuhan trauma Aluna.“Loh pengantinnya mana?” Jenny bersama suami dan anaknya menyalami Unda Jingga.“Kecapekan, Jen. Makasih ya sudah datang!” Unda Jingga menerima uluran tangan Jenny. “Oalah, kok bisa? Jangan-jangan diajak lembur terus tiap malam,” kekeh Jennya sambil melirik Adrian. Dalam hatinya mengakui jika Adrian memang lebih tampan dari pada ad
Aluna keluar dari kamar mandi dengan ekspresi datar. Oma Fera yang menunggu tak sabar langsung memburunya dan bertanya, “Gimana hasilnya, Una?” Aluna tersenyum masam, sambil menggeleng, membuat harapan Oma Fera yang sudah meninggi tadi perlahan meredup dengan sendiri. “Ya sudah, gak apa. Masih baru juga. Semangat pokoknya!” Oma Fera mengedipkan mata dan menepuk bahu cucunya dengan senyuman lembut. “Iya, Oma.” Aluna tersenyum. Dia pun kembali meneruskan kegiatannya yang tadi yaitu rebahan.Oma Fera pun mulai mengeluarkan wejangan-wejangan khas orang tua, mulai dari makanan apa saja yang harus dimakan, suplemen, bahkan sampai posisi yang katanya agar bisa hamil. Aluna tak menggubrisnya, tubuh yang lemas membuatnya tak banyak merespon ucapan Oma Fera. Hanya iya-iya dan mengangguk saja.Hari-hari berlalu, semua kesibukkan menjelang resepsi semakin membuat jadwal mereka kian padat. Meskipun dibantu EO, tapi tetap mereka harus terlibat untuk memutuskan ini dan itu. Tak ada hal yang lebih
“Ini rumah siapa, Bang?” Aluna menatap heran. Tiba-tiba Adrian mengajak ke tempat ini. Hanya berbeda beberapa rumah dari tempat Oma Fera.“Kita bulan madu lagi, Dek!” bisik Adrian diselingi kekehan yang membuat Aluna semakin tak paham. Reflek Aluna mencubit pinggang Adrian, tapi tangan Adrian sigap menangkap sang pengganggu dan menggenggamnya. Jemari kokoh Adrian hampir menenggelamkan jari-jari lentik milik Aluna. Keduanya berjalan melewati pekarangan yang masih terhampar pasir dan sisa-sisa paving blok di mana-mana. Setelah berdiri di depan pintu yang dicat pernis itu Adrian mengeluarkan kunci dari dalam saku. Perlahan dia memasukkan anak kunci itu dan membaca basmallah. Daun pintu yang bebentuk model kupu-kupu itu dibuka lebar. Aluna tertegun ketika melihat funiture lengkap sudah memenuhi ruangan yang ada di depannya. Bagian dalam rumah dicat putih membuat kesan yang semakin luas pada ruangan. Tirai-tirai yang terkesan mahal dan elegan menjuntai di sepanjang jendela kaca yang tin
MAAF, ANAK IBU CUMA GURU SD! (117)Adzan ashar berkumandang ketika keduanya baru saja selesai berpetualang. Aluna memberengut di tepi tempat tidur, malu mau keluar. Siang-siang rambutnya basah pula. “Ayo, Dek! Kita jalan-jalan sore!” Adrian tampak cuek dan tak merasa bersalah. Dia bicara sambil menyeka rambutnya yang sama-sama masih basah. “Ck, malu lah, Bang!” Aluna mengisyaratkan pada rambutnya yang masih basah. Adrian terkekeh, wajahnya mendekat. Jiwa jahilnya yang dulu seringkali keluar ketika berdebat dengan Alisha, kini mulai terlihat. Belum semua, Aluna belum tahu semua aslinya Adrian seperti apa. Baru sehari mereka menuai madu manis pernikahan dan sedang manis-manisnya. Semua terpampang masih yang baik-baik saja. “Jadi mau di sini saja? Kita ulangi sampai Isya?” godanya seraya mengangkat alisnya ke atas. Wajahnya tampak cerah seperti langit setelah hujan. Cubitan dari Aluna membuat Adrian terkekeh, lalu dia menarik lengan sang istri perlahan. “Ayolah, bisa jalan ‘kan?” ke
Aluna melingkarkan tangan ke pinggang Adrian. Kepalanya bersandar pada dada bidang yang membuanya nyaman. Mobil yang dikemudikan Mang Parmin mengantar mereka hendak kembali ke kediaman Oma Fera. Satu tangan Adrian merangkul sang istri yang sejak tadi bergelayut tak mau melepasnya. Sesekali satu tangan lainnya mengusap pucuk kepala Aluna.Senyum pada dua sejoli itu terkembang sempurna. Seperti dua orang musafir gurun yang menemukan oase. Seolah mendapat siraman rasa sejuk yang memadamkan gundah yang berkepanjangan. “Mau beli makan gak?” bisik Adrian. Hembusan napasnya bahkan terasa hangat di dahi Aluna. Sesekali kecupan singkat dilabuhkan pada pucuk kepala gadis yang bersandar di dadanya. “Oma gak masak?” tanya Aluna tanpa mengubah posisinya. “Hmmm … masak.” Adrian menjawab singkat. Otaknya sudah tak bisa konsen karena jarak tubuh yang nyaris tanpa celah.“Aku kangen masakan di rumah Oma.” Aluna bicara lagi.“Oh, ya sudah. Kita makan di sana, ya!” Adrian berbicara setenang mungkin.
Sepeninggalnya Vina, Misye sudah terhanyut dalam halusinasinya. Moodnya akan membaik dengan cepat ketika dia bertemu dengan obat-obatan terlarang tersebut. Dia keluar dari kamar apartemen dan membuka pintu. “Vin! Vina!” Tok Tok Tok!Bersamaan dengan itu, pintu diketuk dari arah luar. Otaknya yang sudah setengah tak sadar, tak bisa berpikir kalau itu bukan Vina. “Ngapain kamu ketuk-ketuk pintu, Vin!” omel Misye sambil membuka daun pintu. Namun seketika netranya melihat beberapa orang yang mengarahkan kamera kepadanya. “Bu Misye, ada waktu sebentar!” “Siapa kamu, ya!” “Maaf, saya selebgram lambe-lambean, Bu! Ini kita lagi di acara ngegap aktris! Boleh kami wawancara sebentar terkait kasus yang lagi viral sekarang! Bagaimana tentang menantu Ibu, kok bisa, Ibu gak tahu kalau putri Ibu nikah dengan anak pengusaha?” Pemburu berita itu seperti tebal muka. Dia langsung saja mencecar Misya dengan pertanyaan. Semua itu tak lain dan tak bukan karena gagalnya para wartwan televisi yang men
Misye pontang-panting mencari cara untuk bertemu dengan Pak Dirga. Hanya saja, laki-laki itu sudah menutup semua aksesnya. Bahkan laporan pada kepolisian sudah dilayangkan dengan tuduhan pencemaran nama baik. Karena sejauh ini, pergerakan Misye yang diminta untuk memberikan klarifikasi dan permohonan maaf, tak ada pergerakan. “Mbak Misye, sepertinya lebih aman kalau bikin klarifikasi lagi ke wartawan!” “Vina, kamu gila. Itu sama saja menghancurkan reputasiku. Aku yakin, semua yang awalnya masih ragu, jadinya mereka nanti malah membullyku nanti. Image aku sebagai super mama bisa langsung anjlok!"Keduanya lalu terdiam lagi. Kepala Misye berdenyut nyeri memikirkan semua itu. Vina sudah berulang kali membujuk Misye untuk membuat klarifikasi, tapi tak berhasil. “Minta barangnya, Vin!” “Jangan, Mbak! Kita lagi disorot sekarang!” “Ck, mereka menyorot hal yang beda! Penakut kamu!” tukas Misye seraya merebut tas selempang yang tergeletak di meja kecil, lalu mengambil sebuah kunci dari sa
Usai memberi pernyataan pada media. Misye tersenyum senang. Dia sangat yakin, kalau menantu miskin yang sakit-sakitan itu akan segera hengkang. Misye yakin laki-laki itu akan minder dan kena mental lalu mundur dengan sendirinya. “Ah, Misye memang hebat! Tak percuma punya otak cemerlang,” kekehnya memuji diri sendiri. Dia pun segera pulang ke apartemen yang masa sewanya sudah hampir habis itu. Pastinya setelah menyapa beberapa rekan wartawan yang sengaja dihubunginya tadi. Bagaimanapun dia harus berusaha mendapatkan pekerjaan lagi. Uang untuk kehidupan mewahnya sudah hampir habis.Setibanya di apartemen dia langsung merebahkan diri di atas kasur empuknya. Dia pun segera memantau sosial media, berharap para wartawan itu langsung bergerak cepat sesuai rencananya. Sudah ada postingan yang muncul, meskipun belum ada gambar penyerta. “Start yang bagus.” Misye bicara sendirian. Lalu dia menghubungi managernya yang sama-sama sepi job juga. Misye minta managernya segera memberikan alamat ru
“Abang gak usah dengerin!” tukas Aluna seolah paham. “Tidak, Dek! Kali ini Abang minta izin untuk melawan! Hanya saja Abang minta satu hal. Jangan pernah terpikir untuk mengorbankan rumah tangga kita apapun yang terjadi setelah ini, janji?” Adrian menatap tajam sepasang mata Aluna yang menatapnya penuh rasa bersalah. “Ngomongnyo gitu mulu, sih?” gerutu Aluna samar. “Apa?!” Adrian yang tak mendengar jelas karena volume televisi yang cukup keras menoleh.“Iya,” tukas Aluna malas menjelaskan. “Iya apa?” Adrian menatap Aluna. Satu bulan ini hubungannya sudah lumayan membaik. Hanya saja, Adrian tetap khawatir jika Aluna tiba-tiba pergi karena merasa dibohongi. “Iya, janji!” tukas Aluna sambil mengerucutkan bibirnya dan bicara dalam hati, “Dia itu kenapa, sih? Bahas-bahas ginian melulu. Dia kira aku ini main-main sama pernikahan?” Adrian yang melihat raut wajah Aluna merengutpun menjadi sangsi, “Wajahnya kayak kesal, apa sebenarnya dia merasa tersiksa dengan pernikahan ini, ya?”“Semo