“Mas Danu selingkuh, Ma,” ucap Rena tertunduk di depan Bu Siti – ibu mertuanya.
“A-Apa?” Bu Siti terperanjat, berharap perkataan yang baru saja ia dengar hanyalah bualan belaka.“Mas Danu selingkuh dan wanita selingkuhannya sedang hamil sekarang.” “Kamu enggak bohong, kan?”Rena menggeleng. “Mereka sudah mengakui semua, bahkan tanpa aku tanya.”“Astaga, Danu! Memalukan sekali!”Wanita yang masih terlihat cantik meski hampir memasuki usia senja itu terlihat frustasi. Ia tahu sebuah perselingkuhan apa lagi sampai menghamili anak orang adalah perbuatan yang sangat fatal. Mereka yang berbuat, orang lain yang merasakan sakitnya.“Aku sudah menggugat cerai Mas Danu, Ma, maaf baru bilang sekarang. Aku benar-benar sedang tak bisa berpikir jernih. Apalagi selingkuhan Mas Danu adalah Vani.”“Vani sepupu kamu?” tebak Bu Siti.“Iya, Ma.”“Benar-benar keterlaluan dia! Tega-teganya dia merusak rumah tangga saudaranya sendiri. Dasar wanita tak tahu malu! Meskipun dia mengandung anak Danu, sampai kapan pun aku tak mau menganggapnya cucu.” “Jangan seperti itu, Ma, anak itu tak bersalah. Lagi pula semua itu bukan murni kesalahan Vani, Mas Danu juga bersalah.”“Laki-laki itu ibarat kucing, Ren. Dia enggak akan nolak kalo disuguhi ikan. Pantas saja akhir-akhir ini Danu selalu buru-buru kalo mengantar Hana dan Hafiz ke sini, punya mainan baru ternyata dia.”Rena mengembuskan nafas kasar. Memang Danu itu ibarat kucing, tapi kucing liar, meskipun sudah kenyang di satu rumah, tetap saja mencari makan di rumah yang lain.“Kamu baik-baik saja kan, Ren?” tanya Bu Siti terlihat khawatir.Rena mengangguk. Meski terus bersikap kuat dan biasa saja, tapi tubuh Rena sedikit mengurus setelah menghadapi masalah ini. Ia sering kurang tidur dan tak berselera makan saat mengingat perbuatan Danu dan Vani. Meski begitu, ia tetap memperhatikan penampilan agar tetap terlihat bahagia di tengah masalah yang menderanya.“Kalo nanti aku bercerai dengan Mas Danu, tolong jangan benci aku ya, Ma. Meski kita sudah tak berstatus sebagai keluarga, aku mohon tetap anggap aku sebagai anak.” Rena memohon.“Apa sudah tak bisa diperbaiki lagi, Ren? Demi anak-anak mungkin?” tanya Bu Siti Ragu.“Enggak, Ma. Aku sudah tak bisa memaafkan kesalahan Mas Danu. Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri, Ma. Jika Hafiz dan Hana mau, aku akan membawa mereka berdua, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membesarkan mereka tapi jika mereka memilih tinggal bersama Mas Danu, itupun tak masalah. Mereka bukan barang yang bisa diperebutkan karena suatu saat nanti mereka bisa memilih sendiri di mana tempat ternyaman untuk tinggal. Aku yakin Mama juga akan membantuku.”“Pasti, Nak. Mama pasti akan membantumu. Mama juga akan melakukan hal yang sama jika berada di posisimu. Mungkin tak setegar kamu, tapi sebuah pengkhianatan memang sulit dimaafkan.”“Terima kasih, Ma.” Rena mengambur ke pelukan wanita yang sebentar lagi tak menyandang gelar sebagai ibu mertuanya. Ia tahu jika Bu Siti tak akan membenarkan perbuatan Danu meski lelaki itu adalah anak kesayangannya.“Besok cari suami yang lebih ganteng dan kaya dari pada Danu ya, Nak,” celetuk Bu Siti yang terus membelai rambut Rena.“Maksudnya, Ma?” “Biar Danu menyesal udah mengkhianati kamu.”Nah, yang anak Bu Siti sebenarnya siapa? Benar-benar mertua langka.**“Pacarmu masuk rumah sakit, tuh!” ucap Rena yang baru saja masuk ke dalam rumah.Danu yang sedari tadi asyik bermain ponsel hanya melirik sekilas kemudian kembali fokus pada game di tangannya.“Jangan cuma mau enaknya doang, tapi sakitnya enggak mau tahu,” sindir Rena.“Diam Rena! Iya aku salah, tapi apa harus terus-terus disindir seperti itu?”“Tenang saja, aku akan berkemas sekarang dan segera pergi. Jadi setelah ini kamu tak akan mendengar sindiranku.”“Ini rumahmu, Rena, rumah kita.” “Ini rumah pemberian orang tuamu, Mas. Aku tak pernah merasa membangun apalagi memiliki. Aku datang hanya membawa tubuh, jadi seperti itu pula aku akan keluar. Tenang saja, setelah ini kamu bisa membangun lagi keluargamu dan membesarkan anakmu di sini bersama Vani.”“Rena, Jaga mulutmu!” pekik Danu.Alih-alih takut dengan wajah garang Danu, Rena malah mendekat dan segera membekap mulut lelaki itu saat melihat sepasang mata tengah menatap tajam pada mereka berdua. Anak laki-laki yang kini diam berdiri sambil berkacak pinggang itu seketika membuat Rini dan Danu salah tingkah.“Ada apa, Nak? Lapar, ya?” tanya Rena dengan suara lembut.“Sudah main dramanya? Enggak capek tiap hari pura-pura bahagia?” tanya Hafiz serius.“Maksud kamu apa, Nak? Kami memang bahagia, ya enggak, Ma?” Danu merangkul tubuh Rena dan mencium pipinya sekilas.Rena mendelik menatap tajam Danu yang baru saja memberikan serangan mendadak. “Dasar Buaya!” batin Rena.“Mama sama Papa pikir aku tak tahu kalo kalian akan bercerai?” Perkataan Hafiz membuat wajah dua orang dewasa di depannya seketika menegang. Rena segera melepaskan diri dari Danu dan bergegas menghampiri Hafiz.“Aku sudah besar, Ma. Aku tahu semua yang terjadi di rumah ini. Papa pacaran sama tante Vani lalu mama meminta cerai, kan? Telingaku masih sangat sehat untuk mendengar semua pertengkaran kalian di dalam kamar,” jelas Hafiz.“Maafkan mama, Nak.”“Tak perlu berpura-pura kuat, Ma. Aku tahu wajah mama bengkak setiap pulang kerja. Aku juga tahu mama tak pernah berselera makan. Terima kasih sudah selalu kuat di depan kami, tapi mulai sekarang kalian tak perlu melakukan itu lagi.”“Maafkan Papa juga.” Danu ikut mendekat.“Sekarang juga antar kami ke rumah nenek. Jangan temui aku dan Hana jika masalah kalian belum selesai. Kami tak mau mempunyai orang tua yang harmonis tapi hanya pura-pura.” Hafiz melangkah pergi. Ia beranjak masuk ke dalam kamar menggandeng Hana yang ternyata bersembunyi di balik pintu.Rena dan Danu hanya terdiam melihat keduanya menghilang dibalik pintu kamar. Semuanya sudah terbongkar sebelum mereka sempat diberi pengertian. Mereka yang tak berdosa pun ikut menanggung sakit dari perbuatan buruk yang dilakukan orang tuanya.Maafkan orang tua kalian yang egois, Nak.Waktu baru menunjukkan pukul tujuh malam saat Rena menyeret dua buah koper besar keluar dari kamar yang lebih dari sepuluh tahun ia tempati. Dengan langkah pasti ia langsung melengang menuju taksi online yang sudah nenunggunya di luar. Sejam yang lalu kedua anaknya telah dijemput oleh nenek dan kakeknya untuk tinggal sementara dengan mereka. Meski berat, tapi itu sudah menjadi permintaan keduanya terutama Hafiz.“Jangan khawatir, Ma. Aku sama Hana baik-baik saja, kan kita sudah biasa tinggal di rumah nenek saat Mama dan Papa bekerja,” ucap Hafiz saat berpamitan tadi.“Maafin mama ya, Sayang.” Rena memeluk keduanya. Ia berusaha sekuat mungkin untuk tak mengeluarkan air mata agar anaknya tak terlalu khawatir. Sebenarnya Rena ingin membawa kedua anaknya pergi bersamanya tapi pasti akan menimbulkan masalah baru karena Danu pasti melarangnya. Bukannya tega, tapi ia butuh sedikit waktu untuk mempersiapkan tempat yang nyaman bagi mereka berdua.“Apa kita harus berakhir seperti ini?” tanya D
Vani mengelus perutnya yang masih rata, berkali-kali ia mengecek aplikasi penghitung umur kehamilan di ponselnya dan melihat perkiraan gambar janin yang ada diperutnya. Ia mengoleskan minyak angin aroma terapi untuk sedikit mengurangi sakit kepala dan mual yang selalu dirasakannya. Semenjak berbadan dua, kesehatannya menurun drastis sehingga ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya. Ditambah lagi dengan sindiran demi sindiran yang Rena dan teman-temannya lontarkan, membuatnya tak sanggup lagi jika harus berlama-lama berada di tempat kerja.“Mas, aku hamil,” ucap Vani saat meminta Danu menemuinya sebulan yang lalu.“Apa? Kamu hamil? Bukannya kita selalu hati-hati saat melakukan semua itu?” jawab Danu tak percaya.“Aku juga enggak tahu, Mas. Gimana ini, Mas?” “Oke, aku akan tanggung jawab tapi jangan sampai Rena tahu masalah ini. Sementara kita akan menikah siri dan aku akan menanggung hidupmu mulai saat ini.” “Tapi, Mas, kalo kita hanya menikah siri, anak ini tak akan punya peng
Danu melempar batang rokok kelimanya ke sembarang lalu menginjaknya kasar. Sudah hampir dua jam ia hanya duduk di atas motor sembari memperhatikan rumah besarnya yang kini terasa sunyi dan sepi. Biasanya saat ia pulang, akan di sambut oleh jeritan Hana yang selalu diganggu oleh Hafiz dan disusul teriakan Rena yang sedang melerai mereka berdua. Namun kini semua tak ada lagi, kini ia hanya disambut suara jangkrik dan beberapa binatang malam.“Pulang saja ke rumahmu, kami tak sudi menampungmu di sini,” ucap lelaki yang tak lain adalah ayahnya saat Danu mencoba pulang ke rumah orang tuanya.“Tapi, Yah, di rumah sepi,” tolak Danu.“Sepi malah bagus, biar kamu bisa berpikir jika perbuatanmu telah menghancurkan segalanya. Rena dan kedua anakmu telah menjadi korban perbuatan bejatmu yang tak bisa mengendalikan nafsu!”“Maafin Danu, yah ...”“Percuma saja minta maaf, semuanya sudah berakhir. Sebenarnya apa kurangnya Rena sampai kamu bermain-main dengan wanita lain, hah?”Lelaki yang biasanya
“Mbak, jalan yuk!” ajak Hendri yang baru saja datang.“Tumben waras, manggil mbak.”Rena yang sedang mengepel lantai teras langsung memandang tajam pada lelaki yang baru saja membuka helm. Hampir setiap Sabtu pagi Hendri datang ke rumahnya jika tahu ia tak kerja lembur.“Jangan naik dulu, lantainya masih basah!” cegah Rena yang melihat kaki Hendri hampir naik ke teras rumahnya.“Ish, pelit banget, sih! Kakiku bersih tahu, Lihat, nih!” Hendri menunjukkan telapak kakinya.“Diam situ dulu,” perintah Rena sebelum bergegas masuk.Hampir lima belas menit di dalam rumah, Rena kembali dengan keadaan yang lebih segar karena baru saja mandi. Ia terkejut saat melihat Hendri masih berdiri di tempat yang sama sembari mengutak-atik ponselnya.“Ngapain kamu masih berdiri di situ? Latihan upacara?” tanya Rena ketus.“Jangan galak-galak, Mbak! Nanti cepat tua.”“Emang aku udah tua!”“Tapi masih cantik, kok.” Hendri mengedip-ngedipkan matanya.“Duduk! Aku mau ngomong sama kamu.” Rena menjatuhkan bobotn
Rena mengembuskan nafas lega saat semua pekerjaan rumahnya telah selesai. Ia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air lalu menenggaknya langsung dari botolnya. Seperti biasa di akhir pekan seperti ini ia akan membereskan dan membersihkan setiap sudut rumah yang tak bisa dikerjakan di hari kerja. “Siapa mau mangga?” tanya Rena sembari menyodorkan sepiring buah mangga yang telah dipotong kecil-kecil di depan kedua anaknya.“Aku ...” Hana segera meletakkan bonekanya dan langsung menyambar garpu kecil di atas piring dan mulai menyuapkan sepotong demi sepotong buah beraroma manis itu ke dalam mulutnya.Berbeda dengan Hana, anak sulung Rena yang sedang tidur tengkurap tetap bergeming sambil terus memainkan ponselnya. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, sikap Hafiz memang berubah drastis. Dia yang biasanya banyak bicara dan selalu mengganggu adiknya saat di rumah, kini lebih banyak diam dan menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain ponsel yang beberapa minggu yang lalu dib
Suasana hening menyelimuti sebuah ruangan bernuansa putih berbau menyengat khas obat-obatan tempat Vani dirawat. Dua orang yang berada di ruangan itu terus terdiam seolah tak saling mengenal. Hampir setengah jam bersama, namun tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.“Anak kita sudah enggak ada, Mas. Mulai sekarang kamu bebas menentukan pilihanmu. Aku tak akan memaksa kamu menikahiku, aku tahu lebih dari separuh hatimu masih diisi Mbak Rena,” ucap Vani yang akhirnya membuka suara meski matanya lebih memilih melihat tembok berlapiskan keramik disampingnya ketimbang memandang lawan bicaranya.“Jangan terlalu banyak pikiran, yang terpenting sekarang bagaimana agar kesehatanmu cepat pulih,” jawab Danu lembut.Sejak mengetahui jika janin dalam kandungannya tidak berkembang, Vani memang sudah pasrah jika Danu mungkin saja akan membatalkan rencana pernikahan mereka. Ia bahkan sudah tak bisa berharap lebih karena semenjak awal berhubungan dengan Danu, perasaan lelaki pada istrinya
“Maaf, aku enggak bisa, Mas.” Rena menunduk menimang-nimang kembali apakah jawaban itu tepat dengan kata hatinya. Bukannya tak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya, tapi kembali pada Danu baginya hanya mengulang kesalahan sama yang bisa saja berakhir lebih menyakitkan “Kamu egois, Ren, kamu hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Kamu adalah orang yang paling bersalah jika nanti terjadi hal-hal buruk pada Hana dan Hafiz.” Rena tersenyum kecut mendengar perkataan Danu yang selalu menyudutkannya. Malas berdebat Rena memutuskan keluar dari kamar tempat Hana dirawat dan memilih duduk sebuah bangku panjang di depan ruangan. Jika saja tak memikirkan kedua anaknya yang masih membutuhkan sosok ibu, Rena bisa saja pergi sejauh-jauhnya agak tak lagi bertemu lelaki tak tahu diri yang selalu menyalahkannya dengan semua yang terjadi pada mereka.“Mama ...” panggil Hafiz yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya, Rena tahu jika anak itu terganggu dengan perdebatan orang tuanya meski sudah beru
“Gimana Danu?” tanya Bu Septi mendekati putrinya yang sedang sibuk berkutat dengan kertas-kertas yang berserakan dihadapannya.“Gimana apanya, Ma? Ya enggak gimana-gimana,” jawab Vani santai.Selang beberapa minggu setelah keluar dari rumah sakit, kesehatan Vani memang sudah benar-benar pulih. Sekarang ia sudah siap menjalani masa depan dengan mulai mencari kerja untuk sedikit melupakan semua hal buruk yang kemarin menimpanya. Meski rencana pernikahannya dengan Danu belum menemui titik terang, tapi Ibunya terus saja menanyakannya hingga membuatnya sedikit pusing.“Kalo kamu enggak segera bertindak, biar Ibu yang bertindak sendiri. Benar-benar keterlaluan si Danu, mentang-mentang anaknya udah enggak ada, main tinggal begitu saja. Pasti semua ini gara Vani!” “Jangan begitu, Ma, Mbak Rena kan sudah resmi bercerai dengan Mas Danu, jadi mereka sudah enggak ada hubungan apa-apa,” Vani mencoba menenangkan Ibunya.“Pasti dia kepingin rujuk lagi, buktinya waktu anaknya di rumah sakit, dia en
“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Mas Danu! Jangan tinggalin aku, Mas! Lihat, anak kita sebentar lagi lahir,” teriak Vani sembari terus mengguncangkan tubuh Danu.“Sudah, Sayang. Danu sudah tenang. Ikhlas, Nak, ikhlas.” Bu Siti terus menenangkan menantunya.Memang bohong jika mulutnya terus meminta Vani untuk ikhlas sedangkan hatinya sendiri terus menjerit tak terima dengan keadaan ini. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah kematian, karena saat itu terjadi tak akan ada hal yang dapat mengobatinya rasa rindu yang suatu saat nanti dirasakannya. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?Danu terlibat kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pulang. Tubuh yang lelah dan pikiran tak karuan membuatnya tak fokus hingga motor yang dikendarainya hilang kendali setelah menyerempet sebuah truk. Meski langsung dibawa ke rumah sakit, namun dokter menyatakan nyawanya tak tertolong.“Bangun, Mas! Aku janji enggak akan minta apa-apa sama kamu lagi. Maafin aku, Mas.” Vani terus berteriak.Andai saja tadi ia tak berbicara m
“Kok mukamu pucat? Kamu sakit? Apa berantem sama Vani?”Danu hanya menggeleng. Niat hati ingin mencari ketenangan di luar rumah, perasaannya malah semakin tak jelas setelah bertemu dengan Rena barusan. Bagaimana tidak, bayangan wajah Rena kali ini benar-benar melekat dikepalanya. Ada perasaan tak rela saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa pada lelaki lain di depan matanya. “Woy! Ngelamun aja!” sentak lelaki yang duduk di depan Danu.“Apaan, sih?” “Kamu nyuruh aku datang ke sini, malam-malam ninggalin anak istri Cuma buat liatin kamu melamun?” geram lelaki bernama Bagas itu.“Sory, aku tadi ketemu Rena sama suaminya dan kamu tahulah apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Danu.“Basi tau, enggak? Ingat, kamu itu udah punya Vani dan Rena hanyalah masa lalumu, dia sekarang udah bahagia ditangan lelaki yang tepat. Siapa suruh dulu main-main, sekarang rasakan sendiri akibatnya!”Bagas memang tahu sejarah hubungan Danu dan Rena sejak awal. Sebagai sahabat sekaligus Rekan kerja Dan
Danu mengusap wajahnya kasar, sudah hampir satu tahun ini usahanya menurun drastis. Memang benar kata orang jika beda istri beda rezeki nyata adanya. Meski ia dan Rena telah berdamai namun bukan berarti ia tak merindukan wanita masa lalunya serta semua kehidupannya dulu. Vani memang tak kalah perhatian dibandingkan Rena, namun tetap saja semua itu terasa berbeda.Hari ini dua toko retailnya berhenti beroperasi. Usaha yang ia rintis bersama Rena dulu untuk jaga-jaga di masa tua kini sudah tak ada lagi. Tentu saja hal itu sangat berdampak pada pendapatannya yang semakin hari semakin berkurang.“Mas, kapan kita membeli perlengkapan anak kita?” tanya Vani. “Besok, ya. Aku belum ada waktu.”Saat ini usia kandungan Vani sudah mencapai tujuh bulan, hal itu membuat keduanya harus mulai mencicil membeli perlengkapan bayi serta menabung untuk biaya persalinan. Danu ingat betul saat dulu setiap Rena mengandung entah saat Hana maupun Hafiz rejekinya selalu mengalir deras. Belum lagi Rena yang
“Tak usah datang jika hanya untuk menertawakanku.”Langkah Zain dan Huda terhenti saat lelaki tua itu bersuara. Meski belum menampakkan wajah, keduanya tahu jika Ayahnya telah mengetahui kedatangan mereka.“Apa kalian juga menginginkan nyawaku? Bukankah kalian telah puas menghancurkanku?” Lagi-lagi suara berat itu terdengar.“Kami datang dengan maksud baik. Jika saja bukan Huda yang memaksa, aku tak akan pernah mau melangkahkan kaki ke tempat ini seumur hidupku,” jawab Zain.Lelaki berperawakan kurus itu kemudian berbalik. Bagaimanapun ia bersembunyi, nyatanya kedua lelaki yang tak lain adalah darah dagingnya kini datang bersamaan untuk menemuinya. Kedua anak yang dulu ia telantarkan dan kini telah berhasil menghancurkannya.“Mau apa kalian?” tanya Pramono.Zain menoleh ke arah Huda yang kini tengah memandang tajam lelaki yang baru saja dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Zain tahu jika Huda pasti punya kenangan tersendiri dengan lelaki tua itu, tak seperti dirinya yang ditinggalkan sej
“Ini Tania, calon istri Zain.”Bu Rahmi memindai penampilan wanita yang berdiri di hadapannya. Ia tak habis pikir jika Zain jatuh hati dengan wanita berpenampilan sederhana sama seperti Huda. Melihat penampilan Tania untuk pertama kali, Bu Rahmi seolah mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Rena. Wanita yang kini menjadi anak perempuan kesayangannya itu bahkan terlihat lebih sederhana dari penampilan Tania saat ini yang mengenakan blus berwarna peach dipadukan dengan kulot berwarna hitam.“Tania ini Mamaku, Mama Rahmi.” Zain memperkenalkan.“Halo, Tante, saya Tania.” Tania meraih tangan Bu Rahmi dan menciumnya.Sejak menapakkan kaki di pelataran rumah yang ditinggali Zain, Tania memang sibuk menata hati dan sikap agar tak terlihat memalukan di depan calon mertuanya. Meski Bu Rahmi bukan Ibu kandung Zain, namun Tania tahu jika wanita itu adalah seseorang terpenting dalam hidup lelaki yang sebentar lagi akan menikahinya.“Panggil Mama saja. Ayo silakan duduk, mama udah nunggu k
“Sayang, kata temenku ada seorang tabib yang bisa mengusahakan pasangan yang belum memiliki keturunan, bagaimana kalo kita ke sana?” ucap Huda setelah memosisikan diri berbaring di samping Rena.“Enggak usah aneh-aneh deh, Mas. Udah berkali-kali aku bilang, aku udah bahagia dengan hidup kita sekarang.” Rena meletakkan ponselnya lalu memiringkan tubuhnya menghadap suaminya.“Tapi selama ini kita belum pernah konsultasi, kan? Siapa tahu setelah sama kamu aku bisa punya anak.”“Mas! Cukup!” Rena meninggikan suaranya namun sesaat kemudian ia terdiam.Sebenarnya Rena sangat malas membahas semua ini, sejak awal menikah ia tak terlalu memikirkan ada atau tidaknya anak di antara ia dan Huda. Di tambah lagi dengan kondisi suaminya yang sudah ia tahu sejak awal, Rena sudah sangat pasrah dan siap jika di antara mereka memang tak akan pernah ada anak lagi. Rena bahkan sempat berpikir untuk melakukan KB steril agar kondisinya sama dengan Huda.“Maaf, tapi jujur saja aku masih berharap bisa mempuny
“Terima kasih.”Zain melirik pada wanita yang kini duduk di jok sebelahnya. Satu tangannya terus memegang tangan Tania sedangkan tangan yang lain memegang kemudi. Sesekali ia melempar senyum pada wanita yang sering kali mengenakan kostum berwarna hitam. “Kita mau kemana?” tanya Tania sedikit bingung saat mobil yang Zain kendarai memasuki area rumah sakit dipinggir kota.“Ketemu Ibuku,” jawab Zain.Tania hanya mengangguk, ia sudah tahu jika lelaki yang baru saja melamarnya itu ingin membagi kebahagiaannya pada wanita yang melahirkannya. Tania terus memandang wajah Zain yang tengah serius menyetir sembari mencari tempat parkir. Ia tak menyangka jika rumah sakit jiwa saat ini terlihat begitu ramai, itu berarti semakin hari semakin banyak orang yang menderita penyakit kejiwaan. “Kamu mau, kan, ketemu Ibu?” tanya Zain memastikan.“Te-Tentu saja.” Tania mencoba menyunggingkan senyum.“Kamu enggak akan berubah pikiran, kan, kalo nanti tahu kondisi Ibuku yang sebenarnya?” Zain bertanya lag