Rena mengembuskan nafas lega saat semua pekerjaan rumahnya telah selesai. Ia membuka lemari pendingin dan mengambil sebotol air lalu menenggaknya langsung dari botolnya. Seperti biasa di akhir pekan seperti ini ia akan membereskan dan membersihkan setiap sudut rumah yang tak bisa dikerjakan di hari kerja. “Siapa mau mangga?” tanya Rena sembari menyodorkan sepiring buah mangga yang telah dipotong kecil-kecil di depan kedua anaknya.“Aku ...” Hana segera meletakkan bonekanya dan langsung menyambar garpu kecil di atas piring dan mulai menyuapkan sepotong demi sepotong buah beraroma manis itu ke dalam mulutnya.Berbeda dengan Hana, anak sulung Rena yang sedang tidur tengkurap tetap bergeming sambil terus memainkan ponselnya. Semenjak kedua orang tuanya bercerai, sikap Hafiz memang berubah drastis. Dia yang biasanya banyak bicara dan selalu mengganggu adiknya saat di rumah, kini lebih banyak diam dan menghabiskan sebagian waktunya untuk bermain ponsel yang beberapa minggu yang lalu dib
Suasana hening menyelimuti sebuah ruangan bernuansa putih berbau menyengat khas obat-obatan tempat Vani dirawat. Dua orang yang berada di ruangan itu terus terdiam seolah tak saling mengenal. Hampir setengah jam bersama, namun tak ada satu pun kata yang keluar dari mulut mereka.“Anak kita sudah enggak ada, Mas. Mulai sekarang kamu bebas menentukan pilihanmu. Aku tak akan memaksa kamu menikahiku, aku tahu lebih dari separuh hatimu masih diisi Mbak Rena,” ucap Vani yang akhirnya membuka suara meski matanya lebih memilih melihat tembok berlapiskan keramik disampingnya ketimbang memandang lawan bicaranya.“Jangan terlalu banyak pikiran, yang terpenting sekarang bagaimana agar kesehatanmu cepat pulih,” jawab Danu lembut.Sejak mengetahui jika janin dalam kandungannya tidak berkembang, Vani memang sudah pasrah jika Danu mungkin saja akan membatalkan rencana pernikahan mereka. Ia bahkan sudah tak bisa berharap lebih karena semenjak awal berhubungan dengan Danu, perasaan lelaki pada istrinya
“Maaf, aku enggak bisa, Mas.” Rena menunduk menimang-nimang kembali apakah jawaban itu tepat dengan kata hatinya. Bukannya tak mau memberikan yang terbaik untuk anaknya, tapi kembali pada Danu baginya hanya mengulang kesalahan sama yang bisa saja berakhir lebih menyakitkan “Kamu egois, Ren, kamu hanya memikirkan perasaanmu sendiri. Kamu adalah orang yang paling bersalah jika nanti terjadi hal-hal buruk pada Hana dan Hafiz.” Rena tersenyum kecut mendengar perkataan Danu yang selalu menyudutkannya. Malas berdebat Rena memutuskan keluar dari kamar tempat Hana dirawat dan memilih duduk sebuah bangku panjang di depan ruangan. Jika saja tak memikirkan kedua anaknya yang masih membutuhkan sosok ibu, Rena bisa saja pergi sejauh-jauhnya agak tak lagi bertemu lelaki tak tahu diri yang selalu menyalahkannya dengan semua yang terjadi pada mereka.“Mama ...” panggil Hafiz yang tiba-tiba sudah berdiri disampingnya, Rena tahu jika anak itu terganggu dengan perdebatan orang tuanya meski sudah beru
“Gimana Danu?” tanya Bu Septi mendekati putrinya yang sedang sibuk berkutat dengan kertas-kertas yang berserakan dihadapannya.“Gimana apanya, Ma? Ya enggak gimana-gimana,” jawab Vani santai.Selang beberapa minggu setelah keluar dari rumah sakit, kesehatan Vani memang sudah benar-benar pulih. Sekarang ia sudah siap menjalani masa depan dengan mulai mencari kerja untuk sedikit melupakan semua hal buruk yang kemarin menimpanya. Meski rencana pernikahannya dengan Danu belum menemui titik terang, tapi Ibunya terus saja menanyakannya hingga membuatnya sedikit pusing.“Kalo kamu enggak segera bertindak, biar Ibu yang bertindak sendiri. Benar-benar keterlaluan si Danu, mentang-mentang anaknya udah enggak ada, main tinggal begitu saja. Pasti semua ini gara Vani!” “Jangan begitu, Ma, Mbak Rena kan sudah resmi bercerai dengan Mas Danu, jadi mereka sudah enggak ada hubungan apa-apa,” Vani mencoba menenangkan Ibunya.“Pasti dia kepingin rujuk lagi, buktinya waktu anaknya di rumah sakit, dia en
Rena sedang sibuk berkutat dengan penggorengan saat anaknya yang sedang menonton televisi tiba-tiba riuh dan terdengar sedang berbicara dengan seseorang. Ia meninggalkan aktivitasnya lalu memutuskan mengecek sebentar siapa yang datang.“Papa datang, Ma,” ucap Hana yang sudah bergelayut manja pada Danu. Di sampingnya, Hafiz sedang sibuk menikmati martabak manis yang dibawa oleh Danu.Rena hanya mengangguk lalu kembali menuju dapur. Sebenarnya ia sebal dengan Danu yang sering tiba-tiba datang dan seenaknya saja langsung masuk rumah. Meski sudah tahu lelaki itu datang untuk anaknya, paling tidak Danu juga harus menghormati Rena sebagai mantan istrinya. Ia takut para tetangga menganggap keduanya masih bebas tinggal bersama padahal sudah tak berstatus suami istri.“Lain kali kalo mau datang telepon dulu, kita bisa bertemu diluar atau meminta Shela dan Bela untuk datang,” ucap Rena setelah ia selesai memasak.“Kenapa? Takut Hendri marah?”“Kok Hendri? Aku cuma takut para tetangga salah paha
“Woy, ngapain kamu mondar-mandir gitu? Kayak ayam mau bertelor aja,” pekik Bela yang sedari tadi memperhatikan Rena yang terlihat gelisah.Semenjak kejadian Hana dan Hafiz kabur, pikiran Rena memang tak bisa tenang sedikit pun. Sudah tiga hari berlalu tapi seseorang yang ia tunggu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Bukan karena rindu ingin bertemu, Rena merasa ia perlu bicara dengan lelaki itu karena secara tidak langsung lelaki itu telah dekat dengan Hafiz setelah anak itu mengakui jika Huda adalah lelaki yang sering ditemuinya saat bolos sekolah dulu. Belum lagi masalah ganti rugi kerusakan motor yang tak sengaja ia tabrak tempo hari, mau tak mau ikut menambah beban pikiran Rena.“Aku mau cari cowok itu di mana ya, Bel?” tanya Rena serius.“Kamu yakin mau nyari cowok itu? Tampangnya aja serem gitu, apa enggak cari mati namanya?” “Itulah masalahnya, aku takutnya dia terlalu dekat sama Hafiz terus mencekoki pikiran yang
Hendri mencekal tangan Rena saat wanita itu hanya berjalan melewatinya saat ia mencegatnya di depan tempat kerjanya. Hatinya terus terasa panas setelah ia memergoki wanita yang menjadi incarannya tengah duduk bersama lelaki lain. Ia merasa jalannya untuk merebut hati Rena semakin sulit karena saingannya sekarang bukan hanya Danu.“Makan sama siapa tadi siang?” tanya Hendri ketus.“Lepas, malu dilihat orang!” Rena mendelik tajam seraya berusaha melepaskan tangannya.“Siapa lelaki itu?” “Oh, itu orang yang nolongin Hafiz dan Hana kemarin,” jawab Rena santai.“Akrab banget!” sindir Hendri.“Ya namanya sedang berterima kasih ya harus dengan cara baik. Ada yang salah?” Rena berbicara sesantai mungkin.“Dia menemui kamu di sini untuk meminta kamu berterima kasih, gitu? Apa enggak kebalik?”“Kamu kenapa, sih?” Rena mulai sebal dengan pembicaraan Hendri yang mulai ngelantur. Jika saja mereka sedang tak berada di depan kantor dan di tepi jalan, ingin rasanya Rena mendebatnya seperti biasa.“A
Danu menjambak rambutnya seraya mengembuskan nafas kasar saat ia tak sengaja melihat beberapa barang yang berderet di meja ruang tamu rumahnya. Parsel seserahan dalam wadah bertutup mika telah dihias cantik dan siap dibawa saat acara pernikahannya dengan besok. Berbeda dengan pernikahan pertamanya, Danu merasa pernikahan keduanya terasa biasa saja. Tak ada rasa deg-degan atau euforia apa pun yang terasa di hatinya padahal dulu, ia sampai tak bisa tidur dan tak selera makan bahkan sejak seminggu sebelum menikahi Rena.Danu merebahkan badannya berharap bisa segera memejamkan mata. Besok ia akan memenuhi janjinya untuk menikahi Vani, sebuah rencana besar yang berawal dari sebuah kesalahan. Meskipun terpaksa, tapi ini adalah bentuk sebuah tanggung jawab dari ajang coba-cobanya yang membawa petaka.[Ren, aku besok akan menikah, maaf dan terima kasih untuk semuanya. Jangan benci aku, Ren]Danu mengetik pesan dan segera mengirimkannya pada kontak bertuliskan ‘honey’ karena semenjak dulu, ia
“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Mas Danu! Jangan tinggalin aku, Mas! Lihat, anak kita sebentar lagi lahir,” teriak Vani sembari terus mengguncangkan tubuh Danu.“Sudah, Sayang. Danu sudah tenang. Ikhlas, Nak, ikhlas.” Bu Siti terus menenangkan menantunya.Memang bohong jika mulutnya terus meminta Vani untuk ikhlas sedangkan hatinya sendiri terus menjerit tak terima dengan keadaan ini. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah kematian, karena saat itu terjadi tak akan ada hal yang dapat mengobatinya rasa rindu yang suatu saat nanti dirasakannya. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?Danu terlibat kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pulang. Tubuh yang lelah dan pikiran tak karuan membuatnya tak fokus hingga motor yang dikendarainya hilang kendali setelah menyerempet sebuah truk. Meski langsung dibawa ke rumah sakit, namun dokter menyatakan nyawanya tak tertolong.“Bangun, Mas! Aku janji enggak akan minta apa-apa sama kamu lagi. Maafin aku, Mas.” Vani terus berteriak.Andai saja tadi ia tak berbicara m
“Kok mukamu pucat? Kamu sakit? Apa berantem sama Vani?”Danu hanya menggeleng. Niat hati ingin mencari ketenangan di luar rumah, perasaannya malah semakin tak jelas setelah bertemu dengan Rena barusan. Bagaimana tidak, bayangan wajah Rena kali ini benar-benar melekat dikepalanya. Ada perasaan tak rela saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa pada lelaki lain di depan matanya. “Woy! Ngelamun aja!” sentak lelaki yang duduk di depan Danu.“Apaan, sih?” “Kamu nyuruh aku datang ke sini, malam-malam ninggalin anak istri Cuma buat liatin kamu melamun?” geram lelaki bernama Bagas itu.“Sory, aku tadi ketemu Rena sama suaminya dan kamu tahulah apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Danu.“Basi tau, enggak? Ingat, kamu itu udah punya Vani dan Rena hanyalah masa lalumu, dia sekarang udah bahagia ditangan lelaki yang tepat. Siapa suruh dulu main-main, sekarang rasakan sendiri akibatnya!”Bagas memang tahu sejarah hubungan Danu dan Rena sejak awal. Sebagai sahabat sekaligus Rekan kerja Dan
Danu mengusap wajahnya kasar, sudah hampir satu tahun ini usahanya menurun drastis. Memang benar kata orang jika beda istri beda rezeki nyata adanya. Meski ia dan Rena telah berdamai namun bukan berarti ia tak merindukan wanita masa lalunya serta semua kehidupannya dulu. Vani memang tak kalah perhatian dibandingkan Rena, namun tetap saja semua itu terasa berbeda.Hari ini dua toko retailnya berhenti beroperasi. Usaha yang ia rintis bersama Rena dulu untuk jaga-jaga di masa tua kini sudah tak ada lagi. Tentu saja hal itu sangat berdampak pada pendapatannya yang semakin hari semakin berkurang.“Mas, kapan kita membeli perlengkapan anak kita?” tanya Vani. “Besok, ya. Aku belum ada waktu.”Saat ini usia kandungan Vani sudah mencapai tujuh bulan, hal itu membuat keduanya harus mulai mencicil membeli perlengkapan bayi serta menabung untuk biaya persalinan. Danu ingat betul saat dulu setiap Rena mengandung entah saat Hana maupun Hafiz rejekinya selalu mengalir deras. Belum lagi Rena yang
“Tak usah datang jika hanya untuk menertawakanku.”Langkah Zain dan Huda terhenti saat lelaki tua itu bersuara. Meski belum menampakkan wajah, keduanya tahu jika Ayahnya telah mengetahui kedatangan mereka.“Apa kalian juga menginginkan nyawaku? Bukankah kalian telah puas menghancurkanku?” Lagi-lagi suara berat itu terdengar.“Kami datang dengan maksud baik. Jika saja bukan Huda yang memaksa, aku tak akan pernah mau melangkahkan kaki ke tempat ini seumur hidupku,” jawab Zain.Lelaki berperawakan kurus itu kemudian berbalik. Bagaimanapun ia bersembunyi, nyatanya kedua lelaki yang tak lain adalah darah dagingnya kini datang bersamaan untuk menemuinya. Kedua anak yang dulu ia telantarkan dan kini telah berhasil menghancurkannya.“Mau apa kalian?” tanya Pramono.Zain menoleh ke arah Huda yang kini tengah memandang tajam lelaki yang baru saja dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Zain tahu jika Huda pasti punya kenangan tersendiri dengan lelaki tua itu, tak seperti dirinya yang ditinggalkan sej
“Ini Tania, calon istri Zain.”Bu Rahmi memindai penampilan wanita yang berdiri di hadapannya. Ia tak habis pikir jika Zain jatuh hati dengan wanita berpenampilan sederhana sama seperti Huda. Melihat penampilan Tania untuk pertama kali, Bu Rahmi seolah mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Rena. Wanita yang kini menjadi anak perempuan kesayangannya itu bahkan terlihat lebih sederhana dari penampilan Tania saat ini yang mengenakan blus berwarna peach dipadukan dengan kulot berwarna hitam.“Tania ini Mamaku, Mama Rahmi.” Zain memperkenalkan.“Halo, Tante, saya Tania.” Tania meraih tangan Bu Rahmi dan menciumnya.Sejak menapakkan kaki di pelataran rumah yang ditinggali Zain, Tania memang sibuk menata hati dan sikap agar tak terlihat memalukan di depan calon mertuanya. Meski Bu Rahmi bukan Ibu kandung Zain, namun Tania tahu jika wanita itu adalah seseorang terpenting dalam hidup lelaki yang sebentar lagi akan menikahinya.“Panggil Mama saja. Ayo silakan duduk, mama udah nunggu k
“Sayang, kata temenku ada seorang tabib yang bisa mengusahakan pasangan yang belum memiliki keturunan, bagaimana kalo kita ke sana?” ucap Huda setelah memosisikan diri berbaring di samping Rena.“Enggak usah aneh-aneh deh, Mas. Udah berkali-kali aku bilang, aku udah bahagia dengan hidup kita sekarang.” Rena meletakkan ponselnya lalu memiringkan tubuhnya menghadap suaminya.“Tapi selama ini kita belum pernah konsultasi, kan? Siapa tahu setelah sama kamu aku bisa punya anak.”“Mas! Cukup!” Rena meninggikan suaranya namun sesaat kemudian ia terdiam.Sebenarnya Rena sangat malas membahas semua ini, sejak awal menikah ia tak terlalu memikirkan ada atau tidaknya anak di antara ia dan Huda. Di tambah lagi dengan kondisi suaminya yang sudah ia tahu sejak awal, Rena sudah sangat pasrah dan siap jika di antara mereka memang tak akan pernah ada anak lagi. Rena bahkan sempat berpikir untuk melakukan KB steril agar kondisinya sama dengan Huda.“Maaf, tapi jujur saja aku masih berharap bisa mempuny
“Terima kasih.”Zain melirik pada wanita yang kini duduk di jok sebelahnya. Satu tangannya terus memegang tangan Tania sedangkan tangan yang lain memegang kemudi. Sesekali ia melempar senyum pada wanita yang sering kali mengenakan kostum berwarna hitam. “Kita mau kemana?” tanya Tania sedikit bingung saat mobil yang Zain kendarai memasuki area rumah sakit dipinggir kota.“Ketemu Ibuku,” jawab Zain.Tania hanya mengangguk, ia sudah tahu jika lelaki yang baru saja melamarnya itu ingin membagi kebahagiaannya pada wanita yang melahirkannya. Tania terus memandang wajah Zain yang tengah serius menyetir sembari mencari tempat parkir. Ia tak menyangka jika rumah sakit jiwa saat ini terlihat begitu ramai, itu berarti semakin hari semakin banyak orang yang menderita penyakit kejiwaan. “Kamu mau, kan, ketemu Ibu?” tanya Zain memastikan.“Te-Tentu saja.” Tania mencoba menyunggingkan senyum.“Kamu enggak akan berubah pikiran, kan, kalo nanti tahu kondisi Ibuku yang sebenarnya?” Zain bertanya lag