Dengan sigap Rena merapikan meja yang sudah lebih dari lima tahun menemaninya. Hari ini adalah hari terakhirnya bekerja ditempat yang selama ini menjadi lantaran jalan rezekinya. Setelah mengonfirmasi keadaan Bapak melalu orang suruhan Huda, Rena jadi tahu jika Bapaknya sudah hampir setahun menderita komplikasi penyakit dalam dan sudah hampir tiga bulan ia hanya tergeletak tak berdaya menunggu antara hidup atau mati. Oleh karena itu Rena memutuskan berhenti bekerja demi menemui orang tuanya. Meskipun terasa berat karena ia hanya mengandalkan bantuan Huda, tapi ia tak menjadi anak durhaka yang enggan merawat dan memedulikan ayahnya.“Kamu yakin, Ren? Bukan hanya masa depan kamu yang menjadi taruhannya, loh, tapi masa depan anak-anakmu juga,” ucap Shela mencoba menasihati wanita yang telah dianggapnya sebagai saudara.“Aku enggak punya pilihan lain, Shel. Selama ini aku belum pernah berbakti pada Bapak dan mungkin inilah saatnya,” jawab Rena.Sebagai seorang sahabat, tentu Shela tahu
“Bapak,” lirih Rena yang langsung duduk di sebuah kursi di samping ranjang tempat Bapak berbaring.Ia meraih tangan lelaki itu yang kini hanya tulang berbungkus kulit lalu menciumnya sekilas. “Ini Rena, Pak, anak bapak. Rena datang, Pak.” Rena membawa tangan itu menyentuh wajahnya.Anak macam apa yang tak pernah peduli bahkan sampai tak mau tahu keadaan orang tuanya. Mungkin semua cobaan dalam rumah tangga yang Rena terima selama ini adalah teguran dari Tuhan yang menunjukkan jika tak ada orang tua yang sempurna. Ada kalanya seseorang harus mengorbankan seorang anak untuk mendapatkan kebahagiaannya sendiri dan nahasnya sekarang ia tengah mengalaminya.Tak kuasa melihat keadaan Bapak, Rena akhirnya mengambur memeluk lelaki itu. Air matanya kini tak terbendung, dadanya terasa sesaki melihat tubuh lelaki yang dulu sering menggendongnya kini hanya bisa terbaring tak berdaya. Jangankan memandang, bahkan untuk membuka mata saja su
Setelah berbicara dengan Bu Sati, akhirnya pernikahan Rena dan Huda dilaksanakan saat itu juga. Mereka menikah di hadapan Bapak dan pemuka agama yang sengaja di undang sebagai perantara sekaligus saksi pernikahan mereka. Suasana bahagia sekaligus haru menyelimuti saat para saksi mengatakan kata ‘sah’ yang berarti Rena dan Huda kini telah resmi menjadi suami istri. Meski baru secara agama, paling tidak hubungan mereka kini telah terikat. “Terima kasih, Pak.” Rena memegang tangan Bapaknya yang semakin hari semakin lemah.Rena tak kuasa menahan air matanya saat melihat lelaki itu berusaha tersenyum seolah ikut merasakan kebahagiaan yang Rena rasakan. Meski dengan pandangan kosong, namun ia tahu jika Bapaknya pasti ikut mendoakan yang terbaik untuk anaknya.“Bu, apa enggak sebaiknya Bapak kita bawa ke kota untuk berobat? Kami akan tanggung semua biayanya. Paling tidak, kami bisa membantu merawat Bapak di sana,” ucap Huda setelah semua rangkaian acara ijab qobul selesai.“Terima kasih,
“Terima kasih sudah datang.”Huda hanya mengangguk sembari menyeruput kopi yang baru saja disajikan. Di tengah kemelut hubungannya dengan Rena, ia terpaksa memenuhi undangan Gea untuk bertemu. Namun bukan berarti masih cinta, ia hanya sedang meyakinkan diri jika ia sudah tak punya perasaan apa-apa dengan mantan istrinya.“Ayo di makan,” perintah Gea yang sejak awal telah memesan udang asam manis serta cah kangkung kesukaannya.Sebagai orang yang pernah hidup bersama, Gea memang tahu betul apa kebiasaan mantan suaminya yang tak akan pernah mau makan jika tidak ditemani dan diambilkan, oleh karena itu ia sengaja mengajaknya bertemu di jam makan siang.“Di mana anakmu?” tanya Huda yang heran melihat Gea tak membawa anaknya.“Sama pengasuhnya.”“Ada perlu apa?” Huda mulai tak nyaman.“Aku ingin kembali, aku tak pernah bahagia dengan Rafi.”Huda tersenyum sinis, wanita macam apa yang baru menyadari jika ia tak bahagia setelah menikah lebih dari sepuluh tahun dan beranak dua. Yang ada dia
Rena merasa tubuhnya semakin berat setelah menikah dengan Huda. Bagaimana tidak kerjaannya yang hanya makan, tidur mau tak mau membuat berat badannya naik drastis. Tak seperti dulu saat ia selalu disibukkan dengan pekerjaan rumah atau kantor yang selalu menguras tenaga, kini Rena benar-benar sedang menikmati indahnya menjadi ibu rumah tangga yang sebenarnya.“Mas, aku kerja, ya?” tanya Rena sembari mengelus rambut lelaki yang kini berbaring di pangkuannya.“Enggak!”“Tapi, Mas, aku bosen di rumah terus. Kamu enggak lihat badanku udah bengkak semua kayak gini?” Rena menunjukkan pipi dan perutnya yang berlemak.“Olahraga dong. Lagian aku suka kalo kamu gemuk.” Huda mencubit perut Rena yang kini mulai berlipat.Selalu seperti itu saat Rena meminta izin untuk bekerja. Namun ia tetap tak bisa memaksa, toh tanpa bekerja sekalipun segala kebutuhannya sudah terpenuhi. Rena tak menyangka jika hidupnya akan sampai di titik ini, setelah perjuangannya menjalani hidup dan bertahan di tengah rasa
Hari-hari Bu Septi saat ini lebih banyak dihabiskan dengan duduk melamun. Wanita yang biasanya cerewet kini berubah pendiam karena terlalu memikirkan keadaan anak lelakinya yang kini mendekam di penjara. Ia seperti kehilangan setengah nyawa karena tak bisa bertemu dengan anak yang selama ini ia banggakan.“Maafkan mama, Hend,” gumam Bu Septi sembari mengusap air matanya yang menetes.Selalu seperti itu saat ia mengingat kesulitan yang sedang di hadapi anaknya. Ia merasa ini adalah karma yang harus ia terima atas semua perlakuan buruknya pada Rena dan keluarga adiknya. Berawal dari pernikahan adiknya dengan seorang lelaki yang tak lain adalah orang tua Rena. Bu Septi merasa kalah saing karena ia yang terlebih dahulu mengenal lelaki yang biasa Rena panggil dengan sebutan Bapak. Sejak saat itu, ia menganggap Bu Sati bak seorang musuh karena tega merebut lelaki incarannya.Tak hanya Bu Sati dan suaminya yang ia benci, Rena yang tak lain adalah anak sambung Bu Sati juga terkena imbasnya.
Rena menatap lekat wajah lelaki yang kini duduk tertunduk di hadapannya. Bagai penjahat yang tertangkap basah, ia sedang menunggu sebuah pengakuan dari tersangkanya. Berkali-kali Huda mendongak mencari kata yang pas untuk memulai penjelasannya“Baiklah akan aku jelaskan,” ucap Huda.“Cepat!” geram Rena.“Tespek itu milik Gea.”“Tapi katamu, kamu ... ““Tapi bukan anakku.”Kini Rena dibuat semakin bingung. Untuk apa Huda menyimpan tespek milik Gea jika itu bukan anaknya. Sebegitu terobsesikah suaminya pada mantan istrinya hingga menyimpan hal tak penting seperti itu.“Gea pernah bermain gila dengan membayar seorang lelaki untuk menghamilinya demi mempertahankan rumah tangga kami. Setelah berhasil hamil, dia mengatakan jika aku telah sembuh.”Rena hanya diam setengah tak percaya dengan pengakuan Huda. Jika itu benar adanya bukankah Gea sama saja telah melakukan perselingkuhan?“Tapi aku tak bisa percaya begitu saja lalu diam-diam memeriksakan diriku lagi dan hasilnya masih sama, aku ya
“Bisa kita bicara sebentar?” Hendri menghalangi Rena yang hendak melangkah menuju pintu mobil.“Maaf, anak-anak sudah menunggu,” jawab Rena cuek.“Hanya sebentar.”Rena mengangguk.“Aku cuma mau minta maaf atas semua kelakuanku juga berterima kasih ... ““Sama-sama, aku juga sudah maafin kamu. Maaf aku permisi.”Rena melewati Hendri begitu saja, ia tak mau anak-anaknya menunggu lama karena mamanya tak kunjung menjemput. Selain itu Rena juga masih sedikit takut berhadapan dengan Hendri secara langsung walaupun mungkin lelaki itu memang sudah berubah.Rena melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, suasana hatinya tiba-tiba kacau setelah di datangi Hendri. Kenangan-kenangan kedekatan mereka seolah melintas begitu saja di benaknya. Belum lagi kejahatan yang pernah dilakukannya sungguh membuat semuanya menjadi rumit. Pertemanan dan persaudaraan yang mereka lalui sejak masa remaja akhirnya harus kandas karena sebuah rasa bernama cinta. Andai saja semua itu tak terjadi, pasti semua tak aka
“Ka-Kamu hamil? Hamil anak siapa?”Bagaikan tersambar petir, pertanyaan itu berhasil meruntuhkan hati Rena. Bertahun-tahun mendamba dengan sebuah keyakinan jika keturunan mutlak pemberian Tuhan, tapi saat permintaannya dikabulkan, Huda seakan tak mempercayai jika janin dalam kandungan Rena adalah darah dagingnya.“Anak jin,” jawab Rena sinis.“Mak-Maksudku, bukankah aku mandul.”“Ya, kamu memang mandu dan tak mungkin bisa menghamiliku!”Rena melempar kasar benda pipih ditangannya. Entah keyakinan apa yang selama ini bercokol di kepala Huda jika nyatanya kini ia tak bisa menerima kebesaran dan kekuasaan Tuhan karena nyatanya semua yang Huda perjuangkan selama ini hanya untuk menutupi kekurangannya saja. Ia tak terima dianggap mandul karena setiap orang melihatnya sebagai lelaki sempurna.“Kamu mau kemana? Bukankah kita bisa tes DNA dulu untuk membuktikan itu anak siapa? Kalo benar itu anakku, tentu aku akan menerimanya,” ucap Huda saat melihat Rena memasukkan bajunya ke dalam koper.“
“Sah.”Suara itu menggema di pengeras suara diikuti dengan lantunan doa yang mengiringi kebahagiaan dalam suasana haru di rumah Bu Rahmi yang saat ini sedang dilaksanakan akad nikah Zain dan Tania.Acara yang bisa terbilang sederhana malah membuat suasana terasa lebih sakral. Tak ada dekorasi megah, hanya hiasan bunga-bunga berwarna putih serta pita-pita yang terpasang hampir di setiap sudut area rumah. Atas kesepakatan keduanya, Zain maupun Tania hanya mengundang beberapa keluarga serta teman terdekat yang seluruhnya tak lebih dari lima puluh orang. Meski begitu Bu Rahmi serta Rena tetap mempersiapkan semuanya dengan sangat baik dan teliti. Keduanya ingin Zain dan Tania tetap berkesan di hari pernikahannya.“Selamat, Sayang.” Bu Rahmi tersenyum lalu memeluk Zain.“Terima kasih, Ma. Terima kasih untuk semuanya.” Zain membalas pelukan Ibu angkatnya.Bu Rahmi tak menyangka bisa setulus ini mengurus anak yang tak lain adalah hasil dari perselingkuhan suaminya. Ia ingat betul saat pertama
“Mas Danu! Jangan tinggalin aku, Mas! Lihat, anak kita sebentar lagi lahir,” teriak Vani sembari terus mengguncangkan tubuh Danu.“Sudah, Sayang. Danu sudah tenang. Ikhlas, Nak, ikhlas.” Bu Siti terus menenangkan menantunya.Memang bohong jika mulutnya terus meminta Vani untuk ikhlas sedangkan hatinya sendiri terus menjerit tak terima dengan keadaan ini. Perpisahan yang paling menyakitkan adalah kematian, karena saat itu terjadi tak akan ada hal yang dapat mengobatinya rasa rindu yang suatu saat nanti dirasakannya. Namun jika Tuhan sudah berkehendak kita bisa apa?Danu terlibat kecelakaan lalu lintas saat perjalanan pulang. Tubuh yang lelah dan pikiran tak karuan membuatnya tak fokus hingga motor yang dikendarainya hilang kendali setelah menyerempet sebuah truk. Meski langsung dibawa ke rumah sakit, namun dokter menyatakan nyawanya tak tertolong.“Bangun, Mas! Aku janji enggak akan minta apa-apa sama kamu lagi. Maafin aku, Mas.” Vani terus berteriak.Andai saja tadi ia tak berbicara m
“Kok mukamu pucat? Kamu sakit? Apa berantem sama Vani?”Danu hanya menggeleng. Niat hati ingin mencari ketenangan di luar rumah, perasaannya malah semakin tak jelas setelah bertemu dengan Rena barusan. Bagaimana tidak, bayangan wajah Rena kali ini benar-benar melekat dikepalanya. Ada perasaan tak rela saat ia melihat wanita itu tersenyum dan tertawa pada lelaki lain di depan matanya. “Woy! Ngelamun aja!” sentak lelaki yang duduk di depan Danu.“Apaan, sih?” “Kamu nyuruh aku datang ke sini, malam-malam ninggalin anak istri Cuma buat liatin kamu melamun?” geram lelaki bernama Bagas itu.“Sory, aku tadi ketemu Rena sama suaminya dan kamu tahulah apa yang aku rasakan saat ini,” ujar Danu.“Basi tau, enggak? Ingat, kamu itu udah punya Vani dan Rena hanyalah masa lalumu, dia sekarang udah bahagia ditangan lelaki yang tepat. Siapa suruh dulu main-main, sekarang rasakan sendiri akibatnya!”Bagas memang tahu sejarah hubungan Danu dan Rena sejak awal. Sebagai sahabat sekaligus Rekan kerja Dan
Danu mengusap wajahnya kasar, sudah hampir satu tahun ini usahanya menurun drastis. Memang benar kata orang jika beda istri beda rezeki nyata adanya. Meski ia dan Rena telah berdamai namun bukan berarti ia tak merindukan wanita masa lalunya serta semua kehidupannya dulu. Vani memang tak kalah perhatian dibandingkan Rena, namun tetap saja semua itu terasa berbeda.Hari ini dua toko retailnya berhenti beroperasi. Usaha yang ia rintis bersama Rena dulu untuk jaga-jaga di masa tua kini sudah tak ada lagi. Tentu saja hal itu sangat berdampak pada pendapatannya yang semakin hari semakin berkurang.“Mas, kapan kita membeli perlengkapan anak kita?” tanya Vani. “Besok, ya. Aku belum ada waktu.”Saat ini usia kandungan Vani sudah mencapai tujuh bulan, hal itu membuat keduanya harus mulai mencicil membeli perlengkapan bayi serta menabung untuk biaya persalinan. Danu ingat betul saat dulu setiap Rena mengandung entah saat Hana maupun Hafiz rejekinya selalu mengalir deras. Belum lagi Rena yang
“Tak usah datang jika hanya untuk menertawakanku.”Langkah Zain dan Huda terhenti saat lelaki tua itu bersuara. Meski belum menampakkan wajah, keduanya tahu jika Ayahnya telah mengetahui kedatangan mereka.“Apa kalian juga menginginkan nyawaku? Bukankah kalian telah puas menghancurkanku?” Lagi-lagi suara berat itu terdengar.“Kami datang dengan maksud baik. Jika saja bukan Huda yang memaksa, aku tak akan pernah mau melangkahkan kaki ke tempat ini seumur hidupku,” jawab Zain.Lelaki berperawakan kurus itu kemudian berbalik. Bagaimanapun ia bersembunyi, nyatanya kedua lelaki yang tak lain adalah darah dagingnya kini datang bersamaan untuk menemuinya. Kedua anak yang dulu ia telantarkan dan kini telah berhasil menghancurkannya.“Mau apa kalian?” tanya Pramono.Zain menoleh ke arah Huda yang kini tengah memandang tajam lelaki yang baru saja dipanggilnya dengan sebutan Ayah. Zain tahu jika Huda pasti punya kenangan tersendiri dengan lelaki tua itu, tak seperti dirinya yang ditinggalkan sej
“Ini Tania, calon istri Zain.”Bu Rahmi memindai penampilan wanita yang berdiri di hadapannya. Ia tak habis pikir jika Zain jatuh hati dengan wanita berpenampilan sederhana sama seperti Huda. Melihat penampilan Tania untuk pertama kali, Bu Rahmi seolah mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan Rena. Wanita yang kini menjadi anak perempuan kesayangannya itu bahkan terlihat lebih sederhana dari penampilan Tania saat ini yang mengenakan blus berwarna peach dipadukan dengan kulot berwarna hitam.“Tania ini Mamaku, Mama Rahmi.” Zain memperkenalkan.“Halo, Tante, saya Tania.” Tania meraih tangan Bu Rahmi dan menciumnya.Sejak menapakkan kaki di pelataran rumah yang ditinggali Zain, Tania memang sibuk menata hati dan sikap agar tak terlihat memalukan di depan calon mertuanya. Meski Bu Rahmi bukan Ibu kandung Zain, namun Tania tahu jika wanita itu adalah seseorang terpenting dalam hidup lelaki yang sebentar lagi akan menikahinya.“Panggil Mama saja. Ayo silakan duduk, mama udah nunggu k
“Sayang, kata temenku ada seorang tabib yang bisa mengusahakan pasangan yang belum memiliki keturunan, bagaimana kalo kita ke sana?” ucap Huda setelah memosisikan diri berbaring di samping Rena.“Enggak usah aneh-aneh deh, Mas. Udah berkali-kali aku bilang, aku udah bahagia dengan hidup kita sekarang.” Rena meletakkan ponselnya lalu memiringkan tubuhnya menghadap suaminya.“Tapi selama ini kita belum pernah konsultasi, kan? Siapa tahu setelah sama kamu aku bisa punya anak.”“Mas! Cukup!” Rena meninggikan suaranya namun sesaat kemudian ia terdiam.Sebenarnya Rena sangat malas membahas semua ini, sejak awal menikah ia tak terlalu memikirkan ada atau tidaknya anak di antara ia dan Huda. Di tambah lagi dengan kondisi suaminya yang sudah ia tahu sejak awal, Rena sudah sangat pasrah dan siap jika di antara mereka memang tak akan pernah ada anak lagi. Rena bahkan sempat berpikir untuk melakukan KB steril agar kondisinya sama dengan Huda.“Maaf, tapi jujur saja aku masih berharap bisa mempuny
“Terima kasih.”Zain melirik pada wanita yang kini duduk di jok sebelahnya. Satu tangannya terus memegang tangan Tania sedangkan tangan yang lain memegang kemudi. Sesekali ia melempar senyum pada wanita yang sering kali mengenakan kostum berwarna hitam. “Kita mau kemana?” tanya Tania sedikit bingung saat mobil yang Zain kendarai memasuki area rumah sakit dipinggir kota.“Ketemu Ibuku,” jawab Zain.Tania hanya mengangguk, ia sudah tahu jika lelaki yang baru saja melamarnya itu ingin membagi kebahagiaannya pada wanita yang melahirkannya. Tania terus memandang wajah Zain yang tengah serius menyetir sembari mencari tempat parkir. Ia tak menyangka jika rumah sakit jiwa saat ini terlihat begitu ramai, itu berarti semakin hari semakin banyak orang yang menderita penyakit kejiwaan. “Kamu mau, kan, ketemu Ibu?” tanya Zain memastikan.“Te-Tentu saja.” Tania mencoba menyunggingkan senyum.“Kamu enggak akan berubah pikiran, kan, kalo nanti tahu kondisi Ibuku yang sebenarnya?” Zain bertanya lag