"Tuan, ada kiriman untuk Tuan!" Seorang asisten rumah tangga datang menghampiri Hamdan yang sedang berada di ruang bermain bersama Alifah. Art tersebut menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Hamdan yang di dapatnya tadi dari seorang kurir. Hamdan menerima amplop tersebut dari tangan artnya, "Terimakasih, Bi." ujarnya sambil meletakkan amplop yang diterimanya di belakang tubuhnya, karena saat ini Alifah sedang berada dalam pangkuannya. Takutnya Alifah meraih amplop tersebut dan menyobeknya sehingga Hamdan meletakkannya di belakang tubuhnya. "Oh, ya, jangan lupa sekarang sudah waktunya ibu minum obat. Tolong di bantu ya!" Titahnya. "Siap, Tuan. Makan siang pun sudah siap dihidangkan." "Baik, Bi. Sebentar lagi saya ke sana."Dua hari sudah Salwa pulang dari rumah sakit setelah lima hari di rawat inap. Wanita itu masih tak bisa beraktivitas terlalu banyak, bahkan dokter menyarankan untuk bedreast total karena luka operasinya menjalani dua kali jahitan. Alifah kini di ambil alih ole
"Kamu sudah sangat yakin dengan keputusanmu itu, Nduk?"Sekali lagi, untuk kesekian kalinya sang umi bertanya perihal keputusan Najma yang memilih untuk berpisah dengan Hamdan. Bukan karena apa, sebagai orang tentu Umi Habibah berharap rumah tangga anaknya masih bisa diselamatkan.Meskipun begitu, ia pun juga ingin yang terbaik untuk Najma. Ingin Najma hidup tenang dan bahagia dengan pilihannya sendiri."Umi, sudah berapa kali Umi nanya seperti itu kepada si Ning. Aku ajah mendukung kok keputusan Ning buat pisah dengan lelaki pengecut itu."Bukan Najma yang menjawab, melainkan Firdaus Abang pertama Najma yang memang sejak tadi mereka berkumpul bersama di ruang keluarga. Ada Najma, Umi Habibah, umi Fatimah, kyai Hasan serta Firdaus. Sedangkan istri Firdaus sedang membawa Bilal jalan-jalan di sekitar pesantren bersama putranya sendiri, Syihab.Jika Firdaus dan keluarganya sangat sering bermain ke pesantren milik orang tua Firdaus, berbeda dengan Fauzan, Abang kedua Najma, yang sangat ja
"Jika nun mati atau tanwin bertemu dengan huruf min hukumnya apa? Yang paling cepat jawabnya dan jawabannya benar dia boleh pulang duluan!"Semua santri di kelas satu madarasah Diniyah Ula tampak berpikir dengan keras, mereka adalah para santri baru yang pendidikan madrasah dimulai dari madrasah Diniyah Ula kelas satu. Mereka masih tampak berpikir dan kadang ada yang menatap buku pelajarannya dengan lekat seolah bisa menembus dan membaca tulisan yang ada di dalam buku tersebut, karena Najma melarang mereka melihat jawabannya di buku. Najma memang saat ini tengah mengajar kelas satu Madin Ula, ia diperintahkan oleh sang Abi untuk turut serta mengajar, dan Najma pun sangat setuju agar ia bisa membantu di pesantren dan ia bisa menghilangkan rasa bosan karena tak ada kegiatan."Saya, Ning!""Saya, Ning!"Dua santri putri yang duduk di paling belakang dan di barisan tengah mengacungkan tangannya membuat Najma bingung karena mereka benar-benar bersamaan mengacungkan tangannya."Karena kali
"Ning, jangan lewat situ, banyak batu karang!""Jangan lewat di situ juga, ombaknya gede!"Najma memutar kedua matanya dengan malas mendengar ke posesif-an kedua abangnya, "Abang, Najma udah gede loh, bukan anak kecil lagi!" Protesnya pada Firdaus dan Fauzan. "Ya, tapi 'kan kita takut si Ning kenapa-napa!" Kedua justru semakin kompak menyanggah protesan dari sang adik membuat Najma menghela napas dengan kasar. Pantai Goa Cina, adalah tempat wisata yang menjadi pilihan Najma dan keluarga untuk berlibur. Selepas masa iddahnya dan akte cerai sudah di dapatkan, Najma mengajak keluarganya berlibur sebagai bahan refreshing setelah berbulan-bulan fokus pada perceraian Najma dan Hamdan. Apalagi di pesantren sedang berada dalam kondisi stabil dan tak ada kegiatan penting sehingga kepengurusan bisa diwakilkan kepada santri lama yang bertugas sebagai pengurus putra dan putri. Ada Firdaus beserta Nafisah serta syihab, Abi Hasan, Umi Habibah, Ummi Fatimah, Fauzan, Naysilah, Arumi, putri dari Fa
"Tuan, beberapa klien membatalkan kerjasamanya dengan perusahaan kita. Bahkan mereka menarik kembali dana yang sudah mereka investasikan kepada perusahaan kita." Baru juga duduk di kursi kebesarannya, tapi Hamdan sudah disuguhkan dengan kabar tak sedap yang disampaikan oleh Ardi, sekertarisnya. Hamdan menerima tablet dari Ardi dan mengecek siapa saja kliennya yang memutuskan kerja sama. Setelah memeriksa, Hamdan kembali menyerahkan tablet itu kepada Ardi seraya membuang napas kasar. "Apa kamu ada solusi akan hal ini? Kamu sudah tahu penyebab semua itu terjadi?" "Untuk solusi saya belum ada, Tuan. Kalau penyebabnya saya tahu, menurut mereka karena Tuan tidak konsisten dalam bekerja. Beberapa kali Tuan tidak menghadiri rapat penting yang harus anda sendiri hadiri. Itu yang membuat mereka membatalkan kerjasama ini, mereka merasa direndahkan dan dipermainkan oleh Anda. Meskipun saya sudah menjelaskan, tapi mereka menolak untuk mengerti. Maafkan saya, Tuan." Lagi, Hamdan menghela napa
"Bagaimana aku mau menyusul Najma ke Malang, kalau kondisi perusahaanku seperti ini?" 'Pyaaarrrrr' "Apa? Mau menyusul Najma?" Suara benda pecah di lantai diiringi suara teriakan wanita membuat Hamdan yang semula duduk di kursi di ruang kerjanya dengan menghadap ke jendela sontak terkejut. Hamdan gegas membalikkan badannya dan mendapati Salwa berdiri di ambang pintu dengan wajah yang merah padam karena amarah. Lalu, Hamdan mengalihkan pandangannya ke lantai, dan mendapati sebuah cangkir dan lepek sudah pecah tak berbentuk dengan cairan kopi mengenangi pecahan tersebut. "Kamu berniat menyusul Najma ke Malang? Kamu lupa kalau kamu sudah bercerai darinya?" Lagi, Salwa berteriak meluapkan kemarahannya. Salwa yang hendak mengantarkan kopi untuk Hamdan setelah lelaki itu baru pulang kerja, justru mendengar kata yang sangat menyakitinya. Suaminya berniat menemui mantap madunya. "Ya, apa ada yang salah?" jawab Hamdan dengan santai. "Ya jelas salah dong, Mas! Istri kamu itu aku. Dia suda
"Kapan kita akan berangkat ke Malang?" Tanya Mamanya Risfan dengan tak sabaran setelah meletakkan tiga cangkir kopi untuk anak, suami serta dirinya. Sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga Risfan, setiap selesai makan malam mereka akan berkumpul bersama membagi cerita keseharian mereka. Kadang di ruang tengah, taman belakang, teras, ataupun di gazebo yang ada di samping kanan rumah mereka. Semenjak mendengar putranya sudah membuka hati dan menambatkan pilihan hatinya pada sosok Najma, wanita paruh baya itu sering kali mendesak sang putra untuk segera melamar putri kyai tersebut. Ia sudah tak sabar membayangkan akan kembali memiliki seorang menantu yang bisa diajaknya masak, belanja, serta perawatan bersama. Di tambah sang cucu akan mendapatkan ibu sambung yang sangat cocok membuat wanita yang sudah melahirkan Risfan ke dunia itu tak sabar untuk segera meminang Najma menjadi menantunya.Riasfan yang sedang mengecek email masuk di ponselnya seketika menghentikan aktivitasnya, kemudi
Hamdan kini tak sabar untuk segera sampai di kediaman Najma. Hatinya sangat yakin kalau Najma akan menerima dirinya kembali. Berawal dari dirinya yang mengirim pesan kepada Najma untuk menanyakan kabar Najma dan Bilal, hingga pada suatu ketika Hamdan kembali membahas rasa sakit yang pernah di torehkan oleh dirinya kepada Najma disertai permintaan, dan dari situlah ketika Najma mengatakan bahwa wanita itu sudah memaafkan Hamdan dan meminta untuk tidak membahas masa lalu lagi karena Najma sudah ikhlas, membuat Hamdan besar kepala mengartikan maaf yang diberikan Najma, yang mengira bahwa itu pertanda kalau Najma mau kembali padanya.Sekitar satu setengah jam perjalanan melalui jalur udara, kini pesawat yang ditumpangi Hamdan sudah tiba di bandara Abdurrahman Saleh. Kening Hamdan mengkerut saat melihat seseorang yang tak asing juga turun dari pesawat yang sama dengannya."Bukankah itu pengacara Najma kala itu?" Gumamnya sambil terus memperhatikan sosok lelaki yang tengah berdiri bersama k
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota