"Kapan kita akan berangkat ke Malang?" Tanya Mamanya Risfan dengan tak sabaran setelah meletakkan tiga cangkir kopi untuk anak, suami serta dirinya. Sudah menjadi kebiasaan di dalam keluarga Risfan, setiap selesai makan malam mereka akan berkumpul bersama membagi cerita keseharian mereka. Kadang di ruang tengah, taman belakang, teras, ataupun di gazebo yang ada di samping kanan rumah mereka. Semenjak mendengar putranya sudah membuka hati dan menambatkan pilihan hatinya pada sosok Najma, wanita paruh baya itu sering kali mendesak sang putra untuk segera melamar putri kyai tersebut. Ia sudah tak sabar membayangkan akan kembali memiliki seorang menantu yang bisa diajaknya masak, belanja, serta perawatan bersama. Di tambah sang cucu akan mendapatkan ibu sambung yang sangat cocok membuat wanita yang sudah melahirkan Risfan ke dunia itu tak sabar untuk segera meminang Najma menjadi menantunya.Riasfan yang sedang mengecek email masuk di ponselnya seketika menghentikan aktivitasnya, kemudi
Hamdan kini tak sabar untuk segera sampai di kediaman Najma. Hatinya sangat yakin kalau Najma akan menerima dirinya kembali. Berawal dari dirinya yang mengirim pesan kepada Najma untuk menanyakan kabar Najma dan Bilal, hingga pada suatu ketika Hamdan kembali membahas rasa sakit yang pernah di torehkan oleh dirinya kepada Najma disertai permintaan, dan dari situlah ketika Najma mengatakan bahwa wanita itu sudah memaafkan Hamdan dan meminta untuk tidak membahas masa lalu lagi karena Najma sudah ikhlas, membuat Hamdan besar kepala mengartikan maaf yang diberikan Najma, yang mengira bahwa itu pertanda kalau Najma mau kembali padanya.Sekitar satu setengah jam perjalanan melalui jalur udara, kini pesawat yang ditumpangi Hamdan sudah tiba di bandara Abdurrahman Saleh. Kening Hamdan mengkerut saat melihat seseorang yang tak asing juga turun dari pesawat yang sama dengannya."Bukankah itu pengacara Najma kala itu?" Gumamnya sambil terus memperhatikan sosok lelaki yang tengah berdiri bersama k
Hamdan memasuki area pesantren dengan sedikit tergesa, sebelum masuk ke dalam rumah duka, Hamdan mengatur nafasnya terlebih dahulu. Setelah sekitar satu menit menormalkan nafasnya yang kelelahan akibat berlari, kini perlahan Hamdan melangkahkan kakinya menuju pintu utama kediaman sang kiyai.Pandangannya ia edarkan mencari sosok yang setiap saat berkelana dipikirannya. Di sana di ruang tengah, Hamdan melihat Ummi Habibah yang menangis tergugu sambil di peluk di oleh Abi Hasan di sisi kanannya, kemudian Ummi Fatimah yang ada di sisi kiri sambil mengelus punggung wanita paruh baya yang terlihat sangat rapuh itu. Kemudian Hamdan melihat kedua Abang Najma yang penampilannya tidak kalah kacau dari kedua orang tuanya.Lalu, kemana Najma?Lagi, Hamdan mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, tapi tetap saja Hamdan tak menemukan wanita yang dicarinya. Ia hanya melihat Mbah Yai yang berada di pojok ruangan sedang duduk di sebuah kursi goyang dengan menatap sendu ke arah jenazah yan
"Tidak, tak mungkin! Najma pasti hanya pingsan, ya dia hanya pingsan. Aku saja yang terlalu cemas." racaunya meskipun air mata sudah mengalir deras membanjiri kedua pipinya.Abi Hasan dan Ummi Fatimah yang mendengar teriakan Ummi Habibah gegas menyusul ke kamar Najma."Ada apa, Ummi?" Tanya Abi Hasan yang terlihat panik melihat putrinya yang ada dalam dekapan sang istri."Mbak, kenapa dengan Ning Najma?"Suami dan madunya turut duduk di samping ummi Habibah. Bilal sudah tak ada di samping Ummi Habibah karena bocah lelaki itu sedang bermain di pojok kamarnya yang terdapat tumpukan mainan miliknya."Najma hanya pingsan, Abi. Dia tak mungkin meninggalkan Ummi. Dia hanya pingsan, ya dia pingsan!"Kedua orang dewasa di sampingnya mengernyitkan dahi mendengar racauan ummi Habibah. Gegas Abi Hasan memegang tangan sang putri yang menyingkap sedikit mukenanya setelah menyimpan Al-Qur'an yang di pegang Najma ke atas meja yang tak jauh dari tempatnya duduk."Innalilahi wa Inna ilaihi Raji'un!" S
Seasons 2Dua puluh tahun berlalu begitu cepat, tapi tidak bagi remaja yang kini tengah duduk di balkon kamarnya ditemani secangkir kopi dan satu bungkus kripik kentang. Remaja itu merasa waktu begitu lambat untuk dirinya yang ingin segera pergi jauh dari tempatnya saat ini. Bukan dia tak bersyukur atas kehidupannya selama ini, kehidupan yang diberikan oleh Umi dan Abinya. Tapi, karena kebaikan merekalah yang membuat Remaja itu merasa tak enak hati, karena mereka terlalu baik padanya. Dia bukan tak betah, melainkan sangat betah tinggal bersama kedua orang tua dan saudaranya. Namun, jati dirinya membuat remaja itu sungkan jika terus menerus berada di sana. Merasa hari sudah semakin petang, Remaja itu bangkit dan meninggalkan balkon kamarnya. Tak lupa cangkir bekas kopi di bawanya ke luar kamar untuk diletakkannya di wastafel dapur. "Ada yang kamu butuhkan, Nak?" Suara wanita yang hampir paruh baya menginterupsi remaja yang seketika menolehkan kepalanya ke asal suara. "Umi, tidak ada
"Mas, uang kontrakan udah nunggak tiga bulan. Ibu pemilik kontrakan tadi datang dan marah-marah sama aku." wanita yang berusia 47 tahun itu mengadu kepada sang suami yang kini tengah duduk melamun di atas kursi roda. Wajah yang kusam dan menghitam, serta daster panjang yang sudah lusuh menjadi pelengkap penampilan wanita yang wajahnya tampak sendu. Kerudung instan yang warnanya pun sudah pudar selalu bertengger di kepala menutupi rambutnya. Sedangkan sang suami kini tampak tinggal tulang dan kulit saja, dengan jambang yang memenuhi rahangnya. Lelaki yang berusia lebih setengah abad itu mengalami kecelakaan sekitar empat bulan yang lalu. Pada kecelakaan itu, mengakibatkan lumpuhnya kedua kakinya. Jika mengikuti saran dokter untuk terapi, tentu kondisi itu tak akan berlarut sedemikian lama. Namun, karena terhalang biaya, jadilah kondisinya di biarkan saja. Menunggu keajaiban tuhan yang akan menyembuhkannya. Lelaki itu melirik sang istri yang duduk di sebuah kursi di samping kursi roda
"Jika memang kamu sudah bulat dengan keputusanmu itu, Umi dan Abi tak bisa melarangnya. Umi dan Abi akan merestui setiap langkah yang kau ambil asalkan itu masih dalam kebaikan. Kami berharap kamu masih mau kembali ke sini lagi."Setelah tiga hari berpikir ulang, Bilal tetap pada keputusannya dan itu membuat kedua orang tua angkatnya harus merelakan kepergian anak asuhnya tersebut."Tentu, Umi. Bilal tentu akan kembali ke sini lagi. Di sini rumahku, dan tempatku untuk pulang." ujar Bilal sambil memeluk Nafisah. Wanita yang tak lagi muda, tapi masih terlihat cantik itu."Kamu sudah packing?" Firdaus bertanya.Bilal mengangguk, "Sudah, Abi." jawabnya."Ternyata putra Abi sudah sangat siap ya untuk pergi." ujar Firdaus dengan tersenyum, tapi matanya berkaca-kaca.Putra pertama dari Kyai Hasan dan Nyai Habibah tersebut tak bisa lagi menyembunyikan kesedihannya perihal kepergian Bilal. Setiap melihat Bilal, Firdaus akan selalu teringat kepada adik perempuannya yang telah pergi terlebih dah
Alifah terbangun ketika suara alarm di ponselnya berbunyi dengan begitu nyaringnya. Alifah mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang untuk mengumpulkan nyawanya. Merasa pikirannya sudah menyatu dengan penuh, Alifah gegas mengambil handuk yang terletak di gantungan di belakang pintu, kemudian ia keluar menuju kamar mandi yang ada di ruang belakang, di samping dapur. Melihat pintu kamar kedua orang tuanya yang masih tertutup rapat, pertanda kedua orang itu belum bangun, memhuat Alifah seketika menghembuskan napas dengan lega. Selesai mandi dan melakukan kewajibannya sebagai umat muslim, Alifah segera pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Memang ini masih sangat pagi, bahkan matahari pun masih betah berada di peraduannya dan belum ada siluet sebagai pertanda akan muncul. Alifah sengaja bangun lebih pagi agar ia bisa segera selesai dengan segala tugas di rumahnya agar Alifah segera keluar dari rumah itu, yang memang setiap harinya Alifah akan seperti itu. Alifah mulai menyibukkan diriny
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota