Bilal tertunduk lesu dipinggiran ranjangnya. Sudah dua bulan berlalu sejak keberangkatannya ke ibu kota, tapi dia masih terus terbayang-bayang perkataan Ning Wardah kala itu. Padahal sebelumnya dia tak tertarik sama sekali kepada putri kedua dari pamannya tersebut, apalagi Wardah yang terkenal pendiam dan pemalu serta jarang berinteraksi dengan sepupu-sepupunya membuat yang lain tak begitu akrab dengan gadis itu pun termasuk Bilal sendiri.Entah, Bilal tak mengerti ada apa dengan hatinya, kenapa dia selalu memikirkan perempuan itu. Kenapa di setiap kesendiriannya, bayang-bayang wanita itu yang selalu menemani dirinya. Padahal tak ada kenangan khusus antara Ning Wardah dengan dirinya, selain satu kali itu di waktu dirinya berpamitan akan berangkat.Bilal kembali mengenang saat saat tak sengaja dirinya berpapasan dengan Wardah. Hanya anggukan yang wanita itu berikan sebagai bentuk menyapa dirinya. Dan hanya sepatah dua patah kata yang disampaikan ketika ada kepentingan, "Titipan Abi." b
Pada akhirnya Bilal terpaksa menyetujui ajakan Laura untuk makan siang bersama. Keduanya kini memasuki kantin dan sontak mereka kini menjadi pusat perhatian, karena Bilal yang sangat tampan, bersanding dengan Laura yang cantik jelita yang paras wajahnya menuruni ras ayahnya yang seorang bule. Bahkan rambut wanita itu berwarna pirang dan itu adalah rambut aslinya."Kita duduk di sana!" ajak Laura sambil menunjuk meja kosong yang ada di pojok kantin."Di sana saja." Tolak Bilal sambil menunjuk sebuah meja yang hanya diisi oleh satu orang karyawan lelaki yang beda divisi dengan mereka."Kenapa duduk dengan orang lain?""Dalam agamaku, lelaki dan perempuan yang bukan muhrim tidak boleh berduaan, itu akan menimbulkan fitnah." jelas Bilal sambil melangkahkan kakinya menuju meja yang ditunjuknya tadi."Boleh saya gabung duduk di sini?" Tanya Bilal pada lelaki di hadapannya."Silahkan!""Kita duduk sana saja ya, Bilal?" Laura masih terus memaksa Bilal agar lelaki itu mau duduk berdua saja den
Hamdan berniat untuk menunggu sang putri di teras rumah sambil menikmati angin malam, ia begitu khawatir karena sudah lepas Maghrib tapi Salwa tak kunjung datang, Hamdan memicingkan matanya melihat ada sebuah taksi yang berhenti di halaman rumahnya. Seseorang yang keluar dari taksi tersebut membuat Hamdan membelalakkan matanya. "Salwa!" Serunya. Penampilan Salwa tak kalah membuat Hamdan kaget, bagaimana tidak, wanita yang selama bertahun-tahun ini selalu memakai daster atupun gamis, kini keluar dengan penampilan yang cetar. Salwa memaki rok spans di atas lutut dan baju atasan yang pas body. Tak lupa hils setinggi 7 cm menjadi pelengkap penampilan wanita itu. Rambut yang bergelombang dan di gerai serta di cat pirang membuat Hamdan berkali-kali melantunkan istighfar dihatinya. Wajahnya tak lagi kusam, bahkan kerutan yang ada disekitar pipinya tampak hilang ditutupi make up yang membuat Salwa terlihat lebih muda dari usianya. "Ada apa ini?" gumam Hamdan dengan penuh rasa penasaran.
"Bilal, pulang bareng aku yuk!" Tanpa menoleh pun, Bilal sudah tahu siapa yang menghampiri mejanya. Bilal membuang napas kasar, sambil terus melanjutkan pekerjaannya yang tinggal sedikit lagi. Lelaki itu terus fokus pada laptop di hadapannya seolah tak mendengar ajakan Laura. "Bilal, ngerjain apaan sih? Ini sudah waktunya pulang loh." Laura beralih ke samping Bilal dan menundukkan tubuhnya untuk melihat apa yang sedang Bilal kerjakan. Bilal yang kaget karena posisi Laura sangat dekat dengannya, otomatis menjauhkan tubuhnya hingga membuat Bilal hampir terjatuh. "Astagfirullah!" Seru Bilal sambil mengusap dadanya. Laura mengernyit heran mendengar seruan Bilal, ditambah lelaki itu yang menjauh darinya. Namun, ia yang tak mengerti tetap bertahan pada posisinya, "Ini tinggal save doang kan?" Tanyanya."Hm." "Ya udah buruan di save, kenapa malah diam?" "Bisa agak menjauh dariku? Aku risih dengan posisimu sekarang, Laura." pinta Bilal tanpa menatap sedikitpun pada wanita yang ada di s
"Al, mumpung gajian kita ke salon yuk, sekali-kali me time dengan memanjakan diri!" Ajak Nofi pada Alifah saat mereka mengambil tas di loker karyawan saat jam pulang kerja."Iya, Al. Selama ini kamu gak pernah ikut kita-kita loh. Jadi sekarang ya?" Timpal RitaAlifah menunduk sejenak, memikirkan jawaban yang pas untuk menolak ajakan teman-temannya untuk yang kesekian kalinya."Maaf, teman-teman, a-aku ....""Gak bisa? Bapak nungguin di rumah? Cucian menumpuk?" potong Rita yang seakan sudah hapal dengan jawaban Alifah.Sedangkan Nofi hanya memutar bola matanya jengah seraya membuat napas kasar, "Kamu tuh selalu nolak kalau kita ajah jalan. Kapan bisanya kamu nyenengin diri kamu sendiri, Al? Uang itu hasil jerih payah kamu loh. Hasil keringat kamu, tapi kamu seolah takut untuk menggunakan uang itu." Nofi terdiam beberapa saat, lalu melanjutkan perkataannya, "Oke, aku faham kalau itu untuk biaya hidup kamu dan bapakmu untuk sebulan ke depan, tapi kalau cuma dipakai sebagian saja gak masa
"Cepat bawa dia masuk, dan pastikan jangan sampai dia kabur!" Titah Salwa sambil melangkah anggun memasuki rumah besar yang ada dihadapannya."Baik, Bu."Seorang pengawal membuka pintu bagian tengah dan mengangkat tubuh Alifah yang entah tertidur atau pingsan, yang jelas wanita itu saat ini tak sadarkan diri. Sedangkan Salwa sudah duduk dihadapan lelaki yang usianya beberapa tahun di atasnya. Lelaki itu tersenyum miring seraya menatap rendah pada Salwa, "Dasar wanita matre. dulu ajah sok-sokan nolak gue, sekarang giliran lakinya bangkrut, eh, malah datangin gue. Beruntung sih aku bisa dapat daun muda sebagai istri ke empatku. Dan wanita tua ini aku jadikan pemuas ran-jangku, karena dari dulu aku begitu tergila-gila pada bodynya yang aduhai. Hahahahahahha." ujarnya dalam hati. Lelaki itu adalah Riko, lelaki yang pernah di tolak oleh Salwa di masa silam. Lelaki yang sampai saat ini pun masih gemar dengan kebiasaan buruknya dari sejak remaja, yakni bermain perempuan dan minuman keras.
"Kemana aku harus mencari putriku?" Lirih Hamdan yang kini dirinya sudah berada di persimpangan di jalan raya untuk mencari Alifah yang di bawa paksa oleh Salwa.Hamdan tak lagi menggunakan kursi roda, melainkan menggunakan tongkat kayu untuk membantunya berjalan. Tak perduli rasa nyeri yang menusuk-nusuk pinggangnya, Hamdan terus berjalan demi menyelamatkan putrinya yang entah saat ini ada dimana. Firasatnya mengatakan bahwa Alifah kini sedang tidak baik-baik saja. Alifahnya sedang dalam bahaya meskipun berada di tangan ibunya."Tuhan, bantu aku menemukan putriku, aku mohon. Aku sadar dosaku begitu banyak, tapi untuk satu ini aku mohon kabulkan doa hamba ya, Allah. Selamatkanlah Alifah, bantu hamba menemukan dan menyelamatkan putri hamba ya, Allah."Sakit pada pinggangnya semakin menjadi, membuat Hamdan terpaksa berhenti dan duduk di trotoar jalan. Satu tangannya menyanggah tubuh agar tak rubuh, satu tangannya lagi memijat pinggangnya berharap bisa mengurangi rasa nyeri yang semakin
"Nona, apakah anda ada di dalam?" Tanya Raisa sambil mengetuk pintu kamar mandi.Karena tak mendengar suara apapun dari dalam kamar mandi, gegas Hanni membuka pintu dan tak mendapati Laura di dalam sana."Oh, God, kemana Nona Laura?" Serunya dengan panik. Lantas, Hanni gegas keluar menemui dua penjaga yang di tempatkan di depan pintu kamar Laura."Harry, Tian, kalian tahu kemana Nona Laura? Kenapa dia gak ada di kamarnya?"Kedua bodyguard tampak terkejut karena pertanyaan Hanni. "Kami gak tahu, sedari semalam kami berjaga tak ada Nona keluar kamar. Apakah kalian sudah mencarinya dengan sangat teliti?""Sudah, bahkan di kamar mandi pun tak ada." Sahut Raisa yang kini sudah gemetar ketakutan karena takut disalahkan oleh Nyonya Maurin."Ada apa ini? Kenapa kalian tampak cemas seperti itu?"Sontak pertanyaan yang muncul dari arah tangga membuat keempat orang yang ada di depan kamar Laura menegang. Mereka menunduk takut."Raisa, Hanni, Harry, Tian, katakan ada apa? Apa terjadi sesuatu pada
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota