Setelah menelpon Salwa, Najma bergegas mengendarai mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia begitu khawatir melihat Alifah yang semakin terlihat lemas di gendongan si mbok. Alifah masih sesenggukan dengan mulut yang berkali-kali memanggil sang ummi dengan suara lemah. Sedangkan Bilal tetap berada di gendongannya sambil meminum susu sehingga bocah lelaki itu terlihat anteng dan tak menyusahkan ummanya yang sedang menyetir.Rasa cemas sekaligus takut bercampur menjadi satu. Najma cemas akan kondisi Alifah, sekaligus takut kalau dirinya nantinya akan disalahkan. Tidak! Dia tidak lalai menjaga Alifah, dia tidak abai menjaga anak suaminya tersebut."Astagfirullah, Allah, Engkau maha tahu ya, Allah!"Sedangkan di tempat lain, Salwa yang baru saja mendapat telepon dari Najma seketika merasa lemas tak bertenaga. Ia begitu shock mendengar kabar bahwa anaknya terluka.Kenapa bisa?Terkena apa sehingga bisa terluka?"Ada apa, Nduk?" Tanya ibu Salwa yang masih kebingungan melihat putrinya
"Ibu tak tahu, setelah ini hubungan kalian bertiga akan baik-baik saja atau malah renggang.""Hamdan, lekaslah susul Najma, sapa tahu dia masih ada di rumah sakit ini. Tunjukkan kalau kamu masih suaminya yang mencintainya. Tunjukkan kalau kamu menyesal atas sikapmu yang tadi, ini juga sudah petang, takut terjadi apa-apa pada Najma. Alifah biar ibu dan Salwa yang menungguinya."Dia memang ibu Salwa, tapi dia tak akan membela anaknya ketika salah. Besannya sudah tiada, jadi sudah menjadi tugasnya menasehati anak-anaknya agar tidak salah jalan. "Mbak Najma sudah ada si Mbok. Tetaplah di sini, Abah. Alifah pasti akan mencarimu ketika bangun nanti." Permintaan Salwa membuat Hamdan seketika tanpa pikir panjang menyetujui permintaan wanita yang menjadi istri keduanya tersebut. Hamdan sangat mengkhawatirkan Alifah. Ia ingin tahu kondisi Alifah bagaimana, karena dokter belum juga keluar sampai saat ini."Baiklah. Najma biar menenangkan diri dulu. Dia sudah ada si Mbok yang menemani."Entahla
"Ya Allah, Anakku Alifah. Maafkan Ummi, Nak. Maafkan Ummi yang sudah meninggalkanmu sehingga kamu menjadi seperti ini sekarang. Bangun sayang. Ummi sedih lihat Alifah seperti ini.""Sabar, Sayang. Ini ujian untuk kita. Kita berdoa semoga anak kita segera sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala.""Dengan kejadian ini, aku semakin mantap untuk keluar dari rumah itu, Abah." Ucapan Salwa membuat Hamdan terbelalak. Dia sudah mengartikan lain maksud dari perkataan istri keduanya tersebut."Apa maksud Ummi? Apa Ummi berniat meninggalkan Abah?""Bukan seperti itu, Abah. Ummi ingin kembali ke rumah ummi yang dibelikan Abah. Ummi ingin tinggal di sana saja bersama ibu dan Alifah. Ini demi kenyamanan dan kebaikan Alifah, Bah. Beberapa hari ini ummi memang berpikir seperti itu, karena sering kali Alifah terganggu karena rewelnya Bilal, tapi agak ragu. Dan sekarang tak ada keraguan lagi. Aku tak ingin anakku mengalami kejadian lebih parah lagi dari ini."Seribu kebaikan, hilang karena satu ke
"Abi, tak di jawab. Ya Allah, semoga anakku tidak apa-apa." kata Ummi dengan pandangan redup."Ummi, kita coba berpositif thinking ajah ya, sapa tahu Najma sedang menemani Bilal dan Alifah bermain." Abi berusaha berpikir positif, meskipun hatinya juga diliputi kegelisahan, tapi kyai Hasan tak ingin menunjukkannya di depan sang istri agar Nyai Habibah tidak semakin khawatir."Apa kita ke Jakarta saja ya, Bi, untuk memastikan kondisi putri kita?" Usul Ummi Habibah membuat Abi terbelalak.Sungguh beliau benar-benar khawatir akan kondisi putrinya. Putri satu-satunya juga kesayangannya."Ummi, apa Ummi lupa kalau besok ada acara wisuda anak didik kita?""Tapi, Ummi begitu khawatir sama Najma, Abi. Tak biasanya Ummi se-khawatir ini kepada Najma." ujarnya dengan suara parau."Sabar ya, tunggu sekitar setengah jam atau satu jam lagi kita hubungi kembali Najma."Ummi Habibah menatap Abi Hasan lama, sedetik kemudian ia mengangguk pelan. Ia mendesah pelan, kemudian matanya menatap lekat nomor sa
Tiga hari sudah semenjak kepulangan Alifah, tak sekalipun Hamdan datang menemuinya walau hanya untuk melihat kabarnya dan kabar Bilal. Hanya pesan singkat yang berisikan permintaan maaf dari Hamdan yang tak bisa pulang ke rumah Najma karena Alifah tak mau di tinggalkan olehnya. Hanya pesan itu, dan itu di dapatkan Najma kemaren siang, dan sampai sekarang tak ada lagi pesan atau panggilan dari Hamdan. Padahal ketika Najma menghubungi orang kantor, kata sekretarisnya Hamdan, Hamdan sudah mulai masuk kerja lagi sejak kemaren. Bagaimana luka itu tak semakin menganga lebar, jika belati terus menerus menghujam hatinya tanpa ampun. Mendapati sikap dingin Hamdan saja waktu itu sudah sangat menyakitinya, apalagi di tambah lelaki itu tak pernah pulang dan lebih betah di rumah madunya. Berusaha memaklumi apa yang dilakukan Hamdan adalah demi Alifah, tapi hatinya menolak keras. Kesakitan itu semakin membuatnya tak berdaya. "Allah, kenapa harus seperti ini jalannya? Padahal sebelumnya kami baik-
"Kenapa lama nyampenya, Abah? Padahal sejam yang lalu Abah bilang sudah otw pulang dari kantor."Baru juga duduk, tapi Salwa sudah menanyai perihal keterlambatan Hamdan pulang dari kantor, padahal telatnya tak sampai berjam-jam. Salwa kini berubah menjadi istri yang posesiv, seolah Hamdan hanyalah miliknya."Bukannya dibuatkan kopi atau apa, tapi langsung di cerca dengan pertanyaan yang seharusnya gak usah di pertanyakan, toh Abah telatnya gak sampe malam bukan?" Kata Hamdan marah karena dirinya masih lelah, tapi Salwa tak menaruh pengertian padanya."Ummi kan cuma bertanya, Abah, apa salahnya Abah menjawab? Alifah dari tadi rewel terus selalu nanyain Abah." jawab Salwa dengan ketus."Kamu bisa kan mengalihkan dulu perhatian Alifah agar tak selalu mencariku? Abah harus kerja, kalau di rumah terus mau makan apa kita?Memang kantor itu milik Abah, tapi Abah tak bisa semena-mena dalam bekerja. Lagian tadi mampir ke rumah Najma ... ""Abah masih m
Dua hari setelah pertengkaran Salwa dengan Hamdan, Hamdan memilih tinggal di rumah Najma untuk beberapa hari ke depan karena kondisi Alifah pun sudah sangat baik. Salwa sebenarnya ingin protes, tapi ia takut ibunya marah pun Hamdan kembali marah. Ia takut apa yang dikatakan sang ibu benar kalau Hamdan akan meninggalkannya jika dia terlalu egois dan keras kepala."Hati-hati, Bah. Jangan lupa untuk selalu mengabari kami. Alifah masih sangat butuh kehadiranmu untuk masa pertumbuhannya." ujar Salwa sore itu ketika Hamdan berpamitan untuk pulang ke rumah Najma, tak lupa wanita satu anak itu mencium tangan Hamdan."Tentu, Ummi. Jaga diri baik-baik ya, jaga Alifah juga. Salam untuk ibu jangan terlalu lelah mengerjakan pekerjakan rumah karena sudah ada Bibi yang akan mengerjakannya."Sejak dua hari yang lalu memang Hamdan memutuskan untuk menyewa jasa art untuk keluarganya yang ada di sini, agar istri dan mertuanya tak kelelahan mengurus rumah serta Alifah y
Hamdan tercekat, sungguh ia tak menyangka kalau Najma harus memohon sampai sebegitunya kepada Hamdan hanya demi agar dirinya tetap tinggal. Apakah Najma merasa se-terabaikan itu sehingga Najma memohon dengan sangat seperti itu dan itu sungguh membuat hati Hamdan merasakan bersalah yang teramat besar untuk yang kesekian kalinya."Abah tak bisa?"Najma tersenyum pahit, mengartikan kalau keterdiaman Hamdan adalah bentuk penolakan akan keinginannya. Dia merebahkan tubuhnya dan kembali menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Tapi itu tak berlangsung lama, karena Hamdan kembali menarik selimut itu sehingga wajah Najma terlihat."Ada apa, Abah? Pulanglah, ini sudah malam. Aku ngantuk mungkin karena efek obat yang aku minum tadi.""Maafkan Abah, Sayang. Maafkan Abah yang membuatmu merasa terasingkan seperti ini. Maafkan Abah yang belum bisa berbuat adil kepadamu. Jangan risau, karena mulai malam ini dan untuk seminggu ke depan, Abah akan di sini bersama Umma. Abah tak akan meninggalkan Umm
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota