Dua hari setelah pertengkaran Salwa dengan Hamdan, Hamdan memilih tinggal di rumah Najma untuk beberapa hari ke depan karena kondisi Alifah pun sudah sangat baik. Salwa sebenarnya ingin protes, tapi ia takut ibunya marah pun Hamdan kembali marah. Ia takut apa yang dikatakan sang ibu benar kalau Hamdan akan meninggalkannya jika dia terlalu egois dan keras kepala.
"Hati-hati, Bah. Jangan lupa untuk selalu mengabari kami. Alifah masih sangat butuh kehadiranmu untuk masa pertumbuhannya." ujar Salwa sore itu ketika Hamdan berpamitan untuk pulang ke rumah Najma, tak lupa wanita satu anak itu mencium tangan Hamdan.
"Tentu, Ummi. Jaga diri baik-baik ya, jaga Alifah juga. Salam untuk ibu jangan terlalu lelah mengerjakan pekerjakan rumah karena sudah ada Bibi yang akan mengerjakannya."
Sejak dua hari yang lalu memang Hamdan memutuskan untuk menyewa jasa art untuk keluarganya yang ada di sini, agar istri dan mertuanya tak kelelahan mengurus rumah serta Alifah y
Hamdan tercekat, sungguh ia tak menyangka kalau Najma harus memohon sampai sebegitunya kepada Hamdan hanya demi agar dirinya tetap tinggal. Apakah Najma merasa se-terabaikan itu sehingga Najma memohon dengan sangat seperti itu dan itu sungguh membuat hati Hamdan merasakan bersalah yang teramat besar untuk yang kesekian kalinya."Abah tak bisa?"Najma tersenyum pahit, mengartikan kalau keterdiaman Hamdan adalah bentuk penolakan akan keinginannya. Dia merebahkan tubuhnya dan kembali menarik selimut menutupi seluruh tubuhnya. Tapi itu tak berlangsung lama, karena Hamdan kembali menarik selimut itu sehingga wajah Najma terlihat."Ada apa, Abah? Pulanglah, ini sudah malam. Aku ngantuk mungkin karena efek obat yang aku minum tadi.""Maafkan Abah, Sayang. Maafkan Abah yang membuatmu merasa terasingkan seperti ini. Maafkan Abah yang belum bisa berbuat adil kepadamu. Jangan risau, karena mulai malam ini dan untuk seminggu ke depan, Abah akan di sini bersama Umma. Abah tak akan meninggalkan Umm
Adzan subuh membangunkan Najma, istri pertama Hamdan itu mulai membuka matanya dan merasakan kalau tubuhnya tak se-lemas semalam, pun kepalanya sudah tak begitu pusing. Najma menoleh ke sisi tempat tidurnya dan mendapati Hamdan di sana. Ia menyibak selimut dan mulai turun dari ranjang, seketika rasa dingin menyapa tapak kakinya dan merambat ke seluruh tubuhnya. Meksipun dingin, Najma tetap melangkah mencari sandal yang biasa ia pakai di dalam rumah."Astagfirullah, Abah, Bilal!" Serunya saat mendapati Hamdan dan Bilal tidur di lantai dengan beralaskan kasur lantai yang tak begitu tebal.Kepalanya di penuhi tanda tanya besar kenapa Hamdan dan Bilal bisa tidur di lantai seperti itu. Najma gegas meraih remote AC dan mengubah suhu ruangan agar lebih hangat. Setelahnya Najma menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya yang sejak kemaren malam tak mandi sama sekali.Selesai mandi dan berwudhu, Najma membangunkan Hamdan agar bisa sholat berjamaah dengannya."Abah, ayo bangun, sudah subuh."
Seharian Hamdan meluangkan waktunya untuk Najma dan Bilal, niatnya Hamdan ingin mengajak anak serta istrinya jalan-jalan, tapi kondisi Najma yang masih belum sembuh total membuat Hamdan mengurungkan niatnya. Mereka hanya melakukan piknik kecil-kecilan di belakang rumah dengan menggelar tikar serta menyiapkan beberapa camilan juga minuman.Hal sesederhana ini, tapi sudah mampu menyegarkan bunga-bunga di hati Najma yang selama ini sudah layu bahkan hampir mati. Taman di hatinya terasa begitu sejuk dengan aroma bunga yang menguar menenangkan hati dan pikiran Najma. Ia sangat bersyukur masih bisa merasakan kebahagian seperti ini, di tengah retaknya rumah tangga mereka beberapa hari ini. Najma tak berharap kebahagiaan ini selalu bersamanya, karena ia menyadari kalau suaminya harus memberikan kebahagiaan serupa untuk madu dan anaknya.Harapannya adalah Hamdan selalu bersikap adil padanya dan adik madunya, dan ia juga berharap hubungannya dengan sang madu kembali membaik. Najma pun sangat be
"Abah, makasih ya udah bawa kita liburan ke sini."Salwa memeluk manja lengan Hamdan saat mereka sedang jalan-jalan sore di pinggir pantai."Sama-sama, Ummi. Ini juga mumpung kantor lagi gak terlalu banyak pekerjaan, jadi bisa meluangkan waktu untuk menyenangkan anak istri." jawab Hamdan sambil mengelus tangan Salwa yang memeluk lengannya dengan satu tangannya yang bebas."Sebentar lagi Alifah sudah dua tahun, sudah mau berhenti menyusu, gimana kalau kita program lagi, Abah?"Salwa ingin memiliki anak lagi bersama Hamdan, selain ingin memberikan keturunan lagi untuk Hamdan, Salwa juga ingin mengambil perhatian Hamdan sepenuhnya."Apa gak terlalu dekat, Ummi? Ummi tak lelah selesai menyusui Alifah lalu mau menyusui anak kita lagi nantinya?" Meskipun hal yang lumrah yang terjadi di dunia ini, tapi Hamdan merasa belum siap memiliki anak lagi dalam jarak usia dua tahun. Bukan dirinya sendiri, yang lebih utama yaitu kasihan pada Salwa yang harus berturut-turut mengurus bayi. Ia ingin sang
"Abah, bisakah aku meminta waktumu minimal satu malam saja?" Pinta Najma dengan sendu, setelah sedikit berbasa-basi menanyakan kabar suaminyaHari-hari yang dilalui Najma tanpa kepedulian dari Hamdan membuat wanita itu nekat datang ke kantor suaminya di sore hari yang mendung ini."Umma?" Hamdan masih tak bisa mengerti akan maksud perkataan Najma. Ia masih terlalu terkejut akan kehadiran Najma di kantornya sat ia menjelang pulang."Hanya sekarang aku menuntut waktumu untukku, Abah. Bisakah kau meluangkan waktumu untuk istri pertamamu ini walau hanya sebentaaaar saja?" Pinta Najma dengan penuh harap.Hamdan mengangguk, merasa bersalah dengan sang istri yang harus memohon seperti itu demi luangnya waktu dirinya untuk sang istri pertama. Bukan Hamdan tak ingat akan Najma, tapi kondisi Salwa yang tengah hamil muda membuat Hamdan harus terfokus kepada Salwa dan mengabaikan Najma. Najma pun sudah tahu akan kehamilan adik madunya, sehingga hal ini yang membuat Najma nekat menemui sang suami
"Bebaskan aku dari pernikahan ini, Abah!" Ucap Najma dengan penuh keyakinan.Duaarrrr!!Bagai disambar petir di siang bolong. Hamdan seolah kehilangan semua tenaganya setelah mendengar ucapan Najma. Ketakutan yang tadi muncul kini menjadi kenyataan. Kenapa harus ini yang dipinta Najma? Hamdan menggelengkan kepalanya sambil menunduk menatap lekat pada wanita yang baru saja meminta cerai darinya."Jangan bercanda, Umma!" Sanggahnya menolak untuk percaya akan keseriusan ucapan sang istri pertama."Aku tak sedang bercanda, Abah." kata Najma sambil mengangkat kepalanya dari pangkuan Hamdan. Kemudian wanita berdiri dan melangkah menuju pembatas rooftop, memandangi suasana kota dari ketinggian di bawah langit yang mendung. Sedangkan Hamdan tetap berada di posisi semula dengan pikiran yang berkecamuk."Aku sudah pikirkan ini dari jauh-jauh hari. Aku sudah mantap dengan permintaanku ini, Abah." ujar Najma."Kenapa harus seperti ini, Umma?" Lirih Hamdan."Mungkin jodoh kita hanya sampai di sini
Hamdan pulang dengan wajah lesu serta penampilan yang kusut. Niatnya tadi Hamdan ingin membujuk Najma, tapi nyatanya setelah kembali ke hotel Najma sudah tidak ada di sana, menurut resepsionis Najma sudah cek out lebih dulu. Hamdan tak putus asa, ia pulang ke rumahnya bersama Najma, tapi rumah itu kosong melompong bahkan lampunya pun tak ada yang menyala. Salwa yang melihat penampilan Hamdan yang sangat buruk merasa heran sekaligus bertanya-tanya, ada apa dengan suaminya ini. Padahal sebelumnya Hamdan selalu berpenampilan rapi."Abah kenapa?" Tanyanya. "Najma ..." Hamdan tak mampu untuk melanjutkan perkataannya, hatinya terasa begitu sesak dan lidahnya seolah tak sudi untuk mengatakan perihal permintaan Najma yang begitu menyakitkan itu. "Ada apa dengan mba Najma, Abah?" Salwa semakin penasaran."Najma ... minta cerai, Ummi." kata Hamdan lirih dengan kepala yang semakin menunduk.Salwa terbelalak, "Cerai?"Hamdan mengangguk membuat Salwa terdiam karena keterkejutannya. Perlahan ter
"Abah, kenapa sering melamun? Lagi mikirin mbak Najma?"Sudah tahu jawabannya, tapi Salwa masih tetap menunggu jawaban dari Hamdan. Wanita itu merasa terabaikan karena sang suami sering melamun dan lebih banyak diam, bahkan jarang konek jika di ajak ngobrol.Terhitung sudah satu Minggu lebih Najma pergi, sampai sekarang tak ada kabar apapun dari wanita itu membuat Hamdan semakin takut. Takut di tinggalkan oleh Najma. Tadi Salwa mencari-cari keberadaan Hamdan, pasalnya sejak pulang kerja Hamdan tak terlihat di tempat biasanya lelaki berada, hingga akhirnya Salwa menemukan Hamdan di ruang kerjanya."Abah, ih! Abah boleh sedih karena mbak Najma minta cerai, tapi gak harus mengabaikan aku gitu juga kali! Aku butuh perhatian Abah. Lagian Abah hanya kehilangan satu istri kan, sedangkan aku tetap ada sama Abah kok. Aku lagi hamil, Bah. Aku butuh perhatian Abah."Hamdan menghela nafas pelan, kemudian ia tatap Salwa sesaat, "Ummi, please biarkan Abah menenangkan diri beberapa waktu ini, sambi
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota