"Abang, Akak, MasyaaAllah, Najma kangen bangeettt!" Seruan Najma membuat Firdaus dan nafisah menoleh ke arah kiri, dan mendapati Najma yang sedang melangkah ke arah mereka. Najma menyalimi Firdaus, lalu tangannya di tarik oleh firdaus hingga sedetik kemudian Najma sudah berada dalam rengkuhan Abang pertamanya itu, pelukannya sangat erat seolah firdaus enggan melepaskan sang adik. Ciuman hangat diberikan firdaus pada kening Najma. "Abang, jangan erat-erat ih meluknya, aku gak bisa nafas!" Seru Najma.Firdaus segera melonggarkan pelukannya, "Aduh, maaf Ning. Maafkan Abang? Abang terlalu kangen sama adik Abang yang paling cantik ini!" ujarnya sambil menjawil hidung Najma. Kemudian Najma menghampiri Nafisah dan memeluk kakak iparnya, "Akak, Najma kangen banget. Kok udah gak pernah main-main sih ke rumah Najam?"Ning, adalah panggilan yang tetap tersemat kepada Najma sejak ia baru lahir. Abang-abangnya tak ada yang memanggilnya adik, melainkan memanggil dengan sebutan Ning, sehingga ist
Minggu ke dua puluh delapan dari kehamilan Salwa kini sudah mereka lalui. Artinya perut Salwa sudah semakin membesar di usia kehamilan yang memasuki bulan ke tujuh. Dengan segala paksaan dai Najma yang memintanya untuk tinggal bersama di rumah Najma dan Hamdan, akhirnya Salwa setuju, pun dengan ibu Salwa yang juga ikut tinggal di rumah istri pertama Hamdan. Sedangkan rumah Salwa yang di belikan Hamdan di pasrahkan kepada art untuk mereka rawat.Weekend kali ini Hamdan beserta kedua istrinya berencana untuk pergi ke mall guna membeli perlengkapan bayi yang sebentar lagi akan lahir ke dunia.Berkali-kali Hamdan melantunkan puji syukur kepada sang pencipta karena kedua istrinya yang tampak akur dan tak pernah bersitegang. Ia pun tiada hentinya berterimakasih kepada kyai sepuh yang telah mengajarkan dirinya serta kedua istrinya tentang poligami serta tetek-bengeknya selama sebulan penuh sewaktu mereka berada di Malang.Tak hanya hamdalah yang selalu terlontar dari mulut Hamdan, tapi juga
"Maaf, pasien sudah tiada,"DegSemua terpaku mendengar jawaban sang dokter. Otak mereka masih di paksa untuk berpikir keras mencerna satu kalimat yang baru saja terlontar dari bibir dokter paruh baya di hadapan mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat membuat kesadaran mereka sangat lambat untuk kembali. Namun, satu dari keterlambatan itu yang tak bisa keluar dengan lambat, yaitu air mata. Meskipun pikiran mereka kini masih belum sadar sepenuhnya, tapi air mata sudah membanjiri pipi mereka yang kini tampak menatap dengan kosong.Hamdan menggeleng, "Nggak mungkin, Dok! Ibu saya hanya jatuh di kamar mandi, ibu hanya pingsan!" racau Hamdan yang berusaha menyanggah kabar yang baru saja di dengarnya. Ia berusaha untuk tidak percaya bahwa sang ibu telah tiada."Maaf, Pak. Ini sudah kuasa Allah,""Istighfar, Abah! Ini kuasa Allah, jika memang sudah tiba waktunya maka dimana pun, kapanpun, siapapun dan dengan cara apapun pasti tak akan lewat dari jadwalnya.""Umma, aku masih tak percaya i
Seminggu sudah semenjak kepergian ibu Hamdan, tapi hamdan masih terlihat begitu berduka atas kepergian sang ibu. Ia kini tengah duduk di kursi yang berada di taman belakang rumah di temani secangkir kopi yang kini asapnya sudah tidak mengepul lagi, bahkan kopi itu masih belum di sentuhnya sama sekali. Terasa begitu sulit baginya mengikhlaskan kepergian ibunda tercinta. Mengingat perjuangannya bersama sang ibu dari ia masih kecil hingga ia menyandang kesuksesan bahkan sampai bisa memiliki perusahaan sendiri. Tak mudah melewati perjalanan hingga sampai di titik ini. Bahkan ia teringat dulu saat batu setahun kepergian sang Ayah, ia harus berhenti sekolah karena terkendala biaya sedangkan saudaranya yang lain seolah menutup mata akan keadaannya saat itu. Namun, beruntung karena kegigihan sang ibu yang bekerja terlampau keras sehingga ia bisa kembali melanjutkan sekolahnya. Tak hanya mengerjakan satu pekerjaan, bahkan kadang dalam satu hari ibunya bisa mengerjakan lebih dari lima pekerja
"Hus! Istighfar, nggak boleh ngomong gitu, nggak baik. Memang kalian mau jadi janda?" "Ya nggak lah!" jawab keduanya kompak. "Ya sudah, jangan bahas janda, kalian berdua nggak akan jadi janda kecuali kalau Abah sudah di panggil Allah." Hamdan merangkul bahu kedua istrinya sambil mencium pucuk kepala keduanya dengan bergantian. "Oh, iya, Abah, Mbak, aku boleh nggak minta satu permintaan?" "Boleh banget, mau minta apa?" jawab Najma "Aku ingin saat aku lahiran nanti, kalian berdua yang menemaniku saat persalinan," pinta Salwa penuh harap "Bukannya hanya Abah yang akan mendampingimu persalinan?" "Aku juga ingin mbak Najma menemaniku menantikan buah hati kita, ini anak kita," "Apakah boleh?" Najma bertanya dengan ragu. "Ya tentu boleh banget dong, Mbak," Najma tersenyum sambil mengangguk samar, bukan ia tak enak hati untuk ikut menemani Salwa ketika persalinan nanti, tapi yang ia takutkan adalah hatinya yang takut tak siap jika menemani proses persalinan Salwa. Najma takut, keiria
Bukan Najma tak menghargai pemberian Hamdan, tapi ia sungguh sangat menyayangkan makanan yang ada di atas meja belum tersentuh sama sekali. Jika ia makan bubur itu, maka masakan yang ia masak bersama ibu salwa tadi akan mubazir. Meskipun nanti masih akan bersisa, karena mereka memasak untuk porsi lima orang, setidaknya tidak terlalu banyak sisanya, ia bisa meminta si Mbok membungkusnya dan memberikan kepada satpam kompleks.Setelah mandi, Najma pun turun dan mendapati ibu Salwa sudah menunggu di meja makan, entah kemana Hamdan dan Salwa sehingga mereka tak terlihat di ruang tengah maupun di ruang tamu."Hamdan dan Salwa belum datang?" Tanya ibu Salwa mengedarkan pandangannya tak melihat keberadaan anak serta menantunya. "Tadi sudah datang, Bu. Mungkin mereka masih di kamar, mari kita mulai sarapan kita." jelas Najma sambil meraih piring dan mulai mengisinya dengan nasi serta lauk. "Loh, nggak menunggu mereka dulu?""Mereka katanya sudah sarapan bubur ayam tadi, Bu,"Ibu Salwa mengan
"Ah, kamu pasti lupa sama aku. Aku Nofi, tetangga kamu di rumah orang tuamu, juga kita pernah belajar di bangku SMA yang sama dan juga pernah satu fakultas tapi beda jurusan,""Ah ya, aku ingat sekarang. Apa kabar? Kamu bekerja di sini?"Senyum wanita yang bernama Nofi itu mengembang di kala lelaki di hadapannya kini sudah mengingat tentang dirinya."Alhamdulillah, baik. Iya, baru seminggu disini. Kamu ngapain disini? Siapa yang sakit?""Istriku mau melahirkan,""Wah, Najma udah mau lahiran? Selamat ya,""Bukan Najma, tapi Salwa, istri keduaku.""What? Istri kedua?" Dokter itu membulatkan matanya, lama tak berjumpa, sekalinya berjumpa malah dapat kabar kalau lelaki di hadapannya ini sudah memiliki dua istri."Iya, ya sudah aku duluan, kasian mereka nungguin dari tadi,""Boleh aku ikut? Sekalian aku juga ingin menjenguk istrimu. Apa Najma juga ada di sini?""Boleh. Iya, dia juga di sini,"Merekapun mel
"Abah, Mbak Najma mana?" Tanya Salwa sesaat setelah bayinya selesai di adzani dan kembali di ambil oleh perawat untuk di pakaikan baju dan bedong. Hamdan mengedarkan pandangannya baru menyadari bahwa istri pertamanya sudah tak ada bersama mereka, bahkan ia ingat hanya dirinya dan Salwa yang begitu asyik berbicara dengan putri mereka dan dia sudah ... mengabaikan Najma. "Apa mungkin keluar ya?" gumam Handan yang masih mampu di dengar oleh Salwa."Coba Abah cek dulu!" Pandangan Hamdan tertuju pada sepasang kaki dengan gamis warna cream yang berdiri di balik tirai tempat Salwa berbaring. Ia langkahkan kakinya perlahan menuju tirai tersebut dan mengintip dari balik sana apa yang sedang di lakukan oleh istri pertamanya tersebut. Belum juga tahu apa yang Najma lakukan, suara dokter sudah mengalihkan perhatian Hamdan, sekilas Hamdan melihat sang istri pertama mengusap sudut netranya. "Kondisi ibu sudah membaik, sebentar lagi sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat." Mendengar perkataan do
Kamu pantas mendapatkan itu, karena kamu manusia yang tidak tahu diri!" ujar Kinan dengan penuh emosi. "Pergi sebelum aku memanggil satpam untuk mengusirmu! Jangan sampai atasanku keluar dan memberimu sanksi atas keributan yang kau lakukan. Jangan pernah ganggu hidupku lagi. Jangan pernah ikut campur urusanku lagi. Tante hanyalah orang asing yang kebetulan dinikahi papa karena hamil duluan!" Ucapan pedas Maira membuat Kinan semakin naik pitam. "Heh, semakin kurang ajar kamu ya sama orang tua!" Geram Kinan sambil menjambak rambut Maira dari balik kerudung yang dikenakan wanita itu. "Panggil selingkuhanmu ke sini! Gara-gara dia kamu kehilangan Reno dan gara-gara dia kamu semakin tak bisa diatur!" "Aauuwwhh, sakiiiit! Lepasin, Mak lampir! Dasar Gila!" Maira berusaha melepaskan cekalan ibu tirinya pada rambutnya. Sungguh saat ini kepalanya terasa kebas dan kulit kepalanya terasa mau copot. Sontak saja mereka di hampiri orang beberapa orang termasuk para pelayan di restoran tersebu
"Kenapa anak nakal itu belum juga di temukan?!"Entah kemana perginya Laura yang sesungguhnya, sehingga orang punya kuasa sekuat ayahnya saja tak dapat menemukan keberadaannya. Bahkan detektif handal yang biasanya tak pernah gagal dalam misinya, juga tak dapat menemukan keberadaan wanita muda itu. Jangan menemukan Laura, mendapatkan jejak kepergiannya saja tidak.Tuan Derial mulai ketakutan, ia takut kalau Laura di culik oleh musuhnya. Dia adalah pebisnis yang besar, tentu tak sedikit orang yang membencinya, sisi gelap dalam dunia bisnis salah satunya adalah bersaing dengan kotor, dan itu sudah menjadi rahasia umum."Tapi, siapa yang sudah memanfaatkan Laura demi bisa menyaingi ku? Selama lima bulanan ini tak ada yang berusaha menekan atau menyenggol diriku dengan kepala menunduk, dan satu tangan yang memikat pangkal hidungnya. Ia terlalu pusing memikirkan kemana perginya Laura. Ditambah sang istri yang sering jatuh sakit akibat kepikiran kepada putri mereka satu-satunya.Tak mau piki
"Bil, maafkan aku, gara-gara aku kamu jadi korbannya Reno." Kini Bilal dan Maira tengah duduk di sebuah kursi yang terletak di teras minimarket di seberang restoran. Maira memaksa untuk membantu Bilal mengompres wajah lelaki itu yang memar dan mengobatinya. Saat terjadi adu jotos tadi, teman-teman yang semula hanya menonton kini turun tangan untuk memisahkan Bilal dan Reno, begitupun satpam dan kang ojol yang di pesan Bilal. "Gak papa, Mai. Lagian aku memang geram sama lelaki yang beraninya hanya sama perempuan, apalagi sampai main fisik segala. Beruntunglah kamu sudah bebas dari lelaki seperti itu." Jawab Bilal sambil mengompres wajahnya sendiri, karena ia tak mau jika Maira yang melakukannya. Tentu Bilal masih sangat ingat akan batasan-batasan dalam agamanya. Bilal membantu Maira bukan karena apa, tapi ia tak suka saja melihat kekerasan yang dilakukan oleh lelaki kepada perempuan, apalagi kejadian itu tepat berada di depan matanya. Bilal tak bisa untuk pura-pura tak melihat, apa
Kamu gak ada rencana buat pulang, Nak?" Tanya Nafisah saat menghubungi Bilal."InsyaaAllah awal Ramadhan ini Hamdan pulang, Mi, tapi belum tahu pastinya tanggal berapa." jawab Bilal.Satu bulan lagi sudah memasuki bulan Ramadhan, dan tanpa disadarinya sudah empat bulan Bilal bekerja di restoran."Syukurlah kalau begitu. Abi dan Umi sangat merindukan kamu, Nak." ujar Nafisah dari seberang sana dengan raut wajah yang begitu kentara menatap penuh rindu kepada sang putra."Bilal juga sangat merindukan Abi dan Umi. Kalian sehat-sehat kan di situ?""Alhamdulillah, kami semua sehat, Nak.""Alhamdulillah kalau umi dan Abi sehat semua."Setelah mengobrol lama dengan sang ibu, Bilal mengakhiri panggilannya dikarenakan ia sudah tiba di tempat kerjanya. Bilal turun dari angkot setelah membayar ongkos. Dihalaman depan, Bilal berpapasan dengan beberapa rekannya yang juga baru tiba di restoran. Bilal menyapa dengan ramah, dan mereka juga membalas sapaan Bilal tak kalah ramahnya. Namun, ada satu oran
"Halo, Baby, mau aku temani?" Tanya Salwa dengan suara yang dibuat sesensual mungkin di dekat telinga pada salah satu pengunjung yang kini tengah menenggak anggur merah.Salwa kini tengah berdiri di belakang pria itu sambil mengalungkan tangannya pada leher pria itu. Tubuhnya bergerak bergoyang kesana-kemari mengikuti alunan musik DJ yang berputar."Owwhh, yees babyy." jawab lelaki tersebut sambil menarik tangan Salwa dan mendudukkan Salwa di atas pangkuannya.Semenjak kematian sang putri, lebih tepatnya kematian Riko, Salwa tak memiliki ladang uang lagi. Bukannya menyesal atas apa yang menimpa Alifah, tapi Salwa justru semakin menjadi-jadi. Bahkan kini wanita itu bekerja sebagai kupu-kupu malam di sebuah klub terkenal di ibukota. Tanpa ada sedikitpun rasa risih atau malu mengenakan pakaian yang begitu mini dan mencetak seluruh lekuk tubuhnya itu. Bahkan dengan bangganya ia memamerkan tubuhnya pada setiap pengunjung yang datang. Sekalipun usianya tak lagi muda, tapi bentuk tubuh Salwa
"Ini adalah surat pemecatanmu, silahkan ambil gaji terakhirmu dan juga bonusnya. Maaf saya tak dapat membantumu untuk bertahan dalam pekerjaan ini."Sesuai dengan permintaan tuan Derial, jikalau dalam tiga hari Laura belum juga ditemukan, maka Bilal harus dikeluarkan dari kantor ini. Dan saat ini, dengan berat hati Tuan Xavier memberikan surat pemecatan untuk Bilal. Pernah kemarin tuan Xavier berusaha membela Bilal dan berusaha mempertahankan Bilal di perusahaan, tapi tanpa kata, satu proyek besar mengalami kegagalan dan kekacauan. Dan tentu itu menimbulkan kerugian yang fantastis.Dengan berat hati, Tuan Xavier mengeluarkan surat pemecatan untuk Bilal."Tidak apa-apa, Pak. Jangan mengorbankan banyak orang hanya demi satu orang, saya sungguh tidak apa-apa. Saya bisa mencari pekerjaan di tempat lain." jawab Bilal yang berusaha berlapang dada dengan apa yang diterimanya hari ini.Tuan Xavier semakin menatap iba kepada Bilal, "Tapi, namamu sudah di blacklist di seluruh perusahaan manapun
"Kamu tahu kenapa saya memanggilmu kesini?" Tanya Tuan Xavier yang kini sudah berdiri dari duduknya.Berbeda dengan orang yang duduk di depan meja tuan Xavier yang tetap duduk di tempatnya tapi kursinya ia putar agar bila melihat ke arah Bilal."Tidak, Tuan!" Jawab Bilal sambil menunduk."Ada yang ingin bertemu denganmu." ujar Tuan Xavier sambil melangkahkan kakinya menuju sofa.Bilal sontak mendongak dan menatap seseorang yang baru saja memutar kursinya. Lelaki itu! Ya, Bilal masih sangat ingat siapa lelaki yang sedang menatap tak ramah kepadanya tersebut."Dimana kamu menyembunyikan putriku?" Pertanyaan tanpa basa basi tersebut membuat Bilal menyerukan dahinya.Ya, lelaki itu adalah tuan Derial, orang tua dari Laura, yang seminggu yang lalu membuat Bilal babak belur."Putri Anda? Maksud Anda Laura? Kenapa Anda bertanya pada saya?"Tuan Derial yang tak mendapatkan jawaban atas pertanyaan, dan justru di balas dengan pertanyaan pula, seketika amarahnya semakin memuncak. Tuan Derial ban
Hamdan masih terpaku menatap batu nisan dengan tanah yang masih merah di hadapannya. Sekalipun air matanya tak lagi menetes, tapi kesedihan masihlah tergambar jelas di wajah lelaki yang usianya sudah lebih dari kepala enak tersebut. Jika dilihat lebih dekat lagi, kedua sudut mata Hamdan masih basah oleh sisa-sisa air mata.Sungguh, semua ini masih seperti mimpi buruk bagi Hamdan, lelaki itu sangat berharap ada yang membangunkannya dan membuktikan bahwa semua ini hanyalah mimpi. Namun, rintik-rintik hujan yang semakin deras membasahi bumi dan mengguyur tubuhnya membuat Hamdan tersadar bawa semua ini adalah nyata adanya."Om, ayo pulang, hujannya sudah semakin deras!" Ajak Airi yang sejak tadi setia menemani Hamdan beserta kedua orang tuanya."Iya, mari pulang Pak Hamdan, belajarlah mengikhlaskan Alifah, karena dia sudah tenang di sana." sahut pak Herman, papanya Airi."Kalian pulanglah terlebih dahulu, saya masih ingin disini. Terimakasih sudah menemani saya dari tadi." tolak Hamdan t
"Bu, beli es batunya ya, dua," kata Hamdan saat baru pulang dari pertemuannya dengan papanya Laura.Hamdan membeli es batu di warung dekat kontrakannya untuk mengompres wajahnya yang terasa sakit akibat terkena bogeman dua kali dari nak buah tuan Derial."Ini, Mas, 4000 ribu ya." Ibu pemilik warung menyodorkan satu kantung plastik berisi dua es batu yang terbungkus plastik setengah kilo kepada Bilal.Bilal mengambil uang di dalam dompetnya dan menyerahkan uang pecahan sepuluh ribuan kepada pemilik warung, "Ini, Bu, sisanya beli soklin yang 5000 ya Bu, seribunya kasih permen dah." Bilal teringat jika di kontrakannya sudah tidak ada sabun cuci baju. Ya, Bilal memang terbiasa mencuci bajunya sendiri sejak ia remaja.Si pemilik warung mengambilkan pesanan Bilal dan menyerahkannya kepada si empunya. "Itu kenapa wajahnya, Mas? Habis berantem ya?""Gak apa-apa, Bu, ini cuma terjadi kesalahpahaman saja tadi.""Walahh.. Mau heran tapi ini Jakarta, Mas Bilal harus terbiasa ya sama kerasnya kota