Karena tidak ada tanggapan dari Arka, Ocha membuka matanya. Arka masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Matanya membelalak lebar dan mulutnya terbuka.
“Ka! Kok kamu malah bengong sih?” tanya Ocha memelas.Ocha mengharapkan bibir Arka mengeluarkan kata-kata hiburan dan penyemangat umtuknya. Bukankah suami istri seharusnya saling mendukung dan menguatkan saat keadaan buruk terjadi? Bahkan Indra lebih tahu cara menghibur Ocha.Arka tergeragap. “Ke-gu-guran? K-kamu hamil?” Kening Arka berkerut.“Tadinya aku hamil sekarang sudah nggak,” jawab Ayesha sendu.“Tapi… kenapa kamu nggak bilang padaku kalau sedang hamil?” Sama seperti Ocha tadi, Arka juga sulit mencerna informasi ini.“Bukannya aku nggak mau bilang ke kamu, Ka. Tapi aku juga nggak sadar kalau sedang hamil,” terang Ocha tidak sabar. “Aku juga baru tahu setelah dokter memeriksa dan bilang ternyata aku keguguran.”Ocha menghela napas panjang. Bercerita tentang kejadian ini seperti membuka sakit hatinya.Perlahan Arka duduk di samping Ocha. Tangannya mengusap-usap bahu istrinya.“Maaf ya, Cha. Aku nggak sensitif banget. Sampai nggak tahu kamu sedang hamil….” Kesedihan Ayesha menular. Arka ikut merasakan hatinya sesak. Orangtua mana yang tidak sedih kala kehilangan buah hatinya.“Jangankan kamu, Ka. Aku yang ibunya saja tidak sadar ada calon anak kita tumbuh dalam rahimku.”“Tapi jadwal menstruasimu memang terlambat?” tanya Arka sambil mengusap-usap rambut Ocha.“Memang sudah dua bulan ini menstruasiku nggak datang. Aku kira terlambat biasa saja, karena capek, habis nikah, honey moon, lanjut kerja,” ucap Ayesha panjang sambil terisak.Arka membiarkan Ayesha bicara, menumpahkan isi hatinya. Mereka berpelukan merasakan kesedihan yang sama***“Mana mungkin Ocha hamil? Kalian kan baru dua bulan menikah?!”Suara tajam itu menarik Ocha dari alam mimpi. Rinta, ibu mertuanya. Mau apa dia di rumah sakit?Ocha tidak tahu jam berapa sekarang. Tapi sinar surya yang mengintip dari balik tirai, berarti hari sudah siang.Semalaman Ocha tidak bisa tidur karena gelisah. Sedih, marah, dan bingung campur aduk dalam hatinya akibat kehilangan calon buah hati di usia kehamilan muda.“Menurut dokter bisa saja terjadi, Mi. Kemungkinan Ocha langsung hamil, begitu kami menikah.” Suara Arka terdengar menyampaikan penjelasan dokter pada Rinta.Ocha tetap pura-pura tetap tertidur supaya bisa mencuri dengar pembicaraan Arka dan maminya. Mereka berdua berbisik-bisik di dekat pintu. Suara mereka pelan, tapi masih bisa Ocha dengar dengan jelas.“Nggak mungkin Arka. Coba kamu pikir menggunakan logika. Masa sih, baru nikah langsung hamil? Jangan-jangan…”Ocha menajamkan pendengarannya, penasaran menunggu ujung kalimat Rinta.“Jangan-jangan apa, Mi?”“... jangan-jangan itu bukan anak kamu,” desis Rinta seperti ular berbisa. Kata-katanya beracun. Toksik.Nyeri sekali hati Ocha mendengar kata-kata ibu mertuanya. Fisiknya belum pulih benar karena keguguran. Kini psikisnya dibuat menderita lebih parah.Tega sekali maminya Arka memfitnah Ocha seperti itu. Ocha tahu dia bukan menantu idaman mami. Tapi bukan begitu caranya menunjukkan rasa tidak suka.“Mami. Jangan begitu,” bantah Arka masih berbisik. Dia menoleh ke arah Ocha. “Nggak enak nanti kalau Ocha dengar.”“Dia nggak akan dengar. Masih tidur karena pengaruh obat, Lagipula kenapa harus merasa nggak enak kalau kamu benar? Kamu harus berani memperjuangkan satu kebenaran loh, Ka. Mami nggak suka anak Mami satu-satunya dibohongin seperti itu,” ucap Rinta dengan keyakinan seribu persen. Seolah dia tahu benar masalah kehamilan Ocha.Kalau saja badan Ocha sudah sehat dan psikisnya normal pasti ia akan melompat dari tempat tidur untuk membantah semua itu. Tapi kali ini ia masih terlalu lemah untuk menentang mami. Ocha tidak ingin kena mental sekali lagi. Ia harus memguatkan diri dulu sebelum bertindak.“Ocha nggak mungkin berbohong, Mi. Dia istri yang setia.”“Halah, kamu tahu dari mana dia setia? Coba kamu pikir, Ka. Katamu waktu kamu datang ada bos Ocha yang namanya Indra itu. Dia yang membawa Ocha ke rumah sakit. Dia juga membayarkan biaya perawatan Ocha di kamar VIP yang pasti mahal sekali. Apa nggak mungkin si indra-indra itu ayahnya bayi di rahim Ocha? Kalau nggak, mana mungkin dia sebaik itu? Sampai rela membayar bisya rumah sakit segala.” Rinta terus melancarkan tuduhan keji pada menantunya“Mi. Kita nggak boleh berprasangka buruk. Ocha sudah cerita semuanya. Pak Indra membayari biaya pengobatannya karena Ocha sakit saat sedang bekerja sama dengannya.”“Halah, itu pasti cuma alasan untuk menutupi perbuatan mereka yang sebenarnya. Kamu itu jangan gampang percaya dengan omongan istri kamu. Pokoknya kamu harus tanya sama Ocha ya, Ka. Benih siapa yang sesungguhnya ada di rahimnya.” Rinta berkeras.“Iya… iya, Mi. Nanti aku tanyakan.” Arka asal berjanji supaya Mami tidak mendesak lagi. “Sekarang aku antar Mami pulang ya. Mami nggak boleh terlalu lama di rumah sakit. Bahaya. Di sini banyak kuman,” bujuk Arka.Pulang? Ocha heran. Arka akan mengantar Mami pulang kemana? Rumah Mami kan perlu satu jam naik pesawat. Nggak mungkin Arka mengantar Mami ke rumahnya. Apa Mami tinggal di rumah Ocha dan Arka? Sampai berapa lama?Ocha merinding membayangkan harus serumah dengan Mami, setelah mertuanya melontarkan kata-kata beracun seperti itu“Begini deh kalau kamu nggak nurut sama omongan Mami. Dari awal Mami sudah bilang supaya jangan nikah dengan Ocha. Yasmin itu lebih cocok dengan kamu.” Rinta masih belum puas bicara.Ocha, yang masih mencuri dengar, tambah sakit hati. Ia tahu Mami tidak terlalu menyukainya. Tapi sampai membandingkan dengan Yasmin, sahabatnya sendiri? Sungguh Ocha tak menyangka.“Mami kok bawa-bawa Yasmin….” Arka menarik napas panjang. Sebagai anak tunggal dia selalu berusaha memenuhi keinginan Mami. Hanya untuk urusan pernikahan saja, Arka berkeras menikahi Ocha, walaupun Mami nggak setuju.Ocha, Yasmin dan Arka sudah bersahabat sejak di bangku kuliah. Yasmin dan Arka bahkan sudah berteman sejak sekolah menngah. Orangtua mereka juga sangat akrab dan berasal dari lingkungan pergaulan yang sama. Tidak heran bila Rinta menginginkan Arka berjodoh dengan Yasmin.“Karena peristiwa seperti ini nggak mungkin kejadia kalau kamu nikah sama Yasmin. Heran deh selera kamu itu memang aneh. Yasmin yang cantik, putih dan tinggi-langsing malah kamu tolak. Dia juga kalem dan lemah lembut. Hati Mami tuh adem kalau lihat dia.”Dari dulu Ocha selalu merasa insecure bila ada yang membandingkannya dengan Yasmin. Apa lagi yang melakukannya adalah sang mertua.Ocha selalu merasa rambutnya yang ikal, kulitnya yang sawo matang dan tubuh yang tidak terlalu tinggi ini tidak terlalu menarik bila dibandingkan dengan penampilan Yasmin yang seperti model profesional.“Ya, sekarang, aku kan sudah nikah sama Ocha, Mi. Jangan sebut-sebut Yasmin dong. Dia juga sudah punya pacar.”“Ah baru pacar ‘kan bisa putus.” Mami melambaikan tangannya, memandang enteng. “Yang nikah saja bisa cerai.”Arka membelalak kaget. Ia mengerti arah pembicaraan maminya. “Mami menyuruh aku bercerai dengan Ocha?” Arka menggeleng tidak percaya. Masa bulan madu belum juga lewat, dia sudah disuruh bercerai.“Arka, dengar. Mami nggak akan menyampaikan usulan ekstrim seperti ini, kalau Ocha setia. Kamu buka mata hati kamu dong, Ka. Jangan dibutakan cinta. Buat apa mempertahankan istri yang suka selingkuh. Mumpung pernikahan kamu baru sebentar. Tidak akan ada yang terlalu tersakiti.”Arka menyugar rambutnya. Mendadak dia merasa pening. Kenapa mami harus datang saat ini? Waktu Arka dan Ocha sedang menghadapi masalah. Arka merasa kehadiran Mami membuat masalahnya makin rumit. Tapi tidak mungkin meminta Mami pergi.“Nanti saja kita bicarakan soal itu ya, Mi. Sekarang Arka mau fokus menjaga kesehatan Ocha. Mami sebaiknya pulang dulu saja. Istirahat juga di rumah ya.”“Loh kamu ini bagaimana sih, Ka? Mami ke sini kan mau menjenguk Ocha. Masa’ langsung disuruh pulang.” Rinta jadi kesal. Padahal dia berniat bertanya langsung tentang peristiwa kehamilan dan keguguran ini pada menantunya. Dia ragu Arka akan berani bertanya langsung. Anaknya itu kadang kurang tegas.“Ocha juga masih tidur. Sekarang M
“Aduuuh… perutku…. sakiit…” keluh Ocha lirih. Spontan ia mencengkram bagian depan kemejanya karena perutnya mendadak nyeri.Ini bukan sakit perut biasa. Perutnya seperti kejang hebat dan diremat-remat. Rasanya seratus kali lebih sakit daripada nyeri bulanan yang sering Ocha rasakan. Aku nggak boleh sakit sekarang. Aku nggak boleh sakit sekarang, kata Ocha berulang-ulang dalam hati, seperti mengucapkan mantra sakti supaya rasa sakitnya langsung hilang.Ocha tidak ingin pekerjaannya berantakan. Dia sedang berada di ballroom hotel bintang lima. Restoran miiknya mendapat kesempatan emas, melayani catering di acara pertemuan Prakasa Group. Jaringan bisnis milik pengusaha muda dan sukses bernama Indra Prakasa.“Are you ok, Cha?” tanya Indra yang berdiri di samping Ocha. Ocha dan Indra sedang membicarakan rencana acara group Perkasa selanjutnya. Sudah setahun ini perusahaan Indra selalu menggunakan layanan catering dari restoran Ocha.“Nggak pa-pa, Pak Indra. Saya baik-baik saja. Cuma sedi
Kelopak mata Ocha bergerak-gerak. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. “D-dimana saya..?” lirih Ocha bertanya karena dia berbaring di ruangan yang tidak dikenalnya. Suaranya serak. Kerongkongannya kering sekali, sampai terasa nyeri.“Halo, Bu Rosa. Kenalkan, saya Dokter Arman, yang merawat Ibu.”Seorang lelaki paruh baya berdiri di sisi tempat tidurnya. Ia memakai jas putih dan mengantongi stetoskop.Ocha memandang wajah dokter Arman yang teduh. Samar Ocha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia sedang mengurus catering Group Perkasa, lalu perutnya nyeri, cairan merah, lalu dia tak ingat apa-apa lagi.“A-apa saya pingsan, Dok?” Ocha memandang nanar selang infus yang menancap di lengannya. “Iya, Bu. Tadi ibu pingsan sebentar. Tapi jangan khawatir. Sekarang kondisi ibu sudah mulai membaik.”“Saya sakit apa, Dok?” Ocha cemas sekali. Darah hampir selalu berkaitan dengan penyakit yang tidak ringan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Ibu sehat-sehat saja.” Arman menil
Pandangan Ocha menerawang ke luar jendela rumah sakit. Dia sedang merenung di tempat tidur. Mencoba meredakan denyut nyeri di hatinya yang datang setiap kali ia teringat pada anak pertamanya yang tak sempat hadir ke dunia.Bunyi pintu terbuka membuat Ocha menoleh. Matanya berkaca-kaca, berharap Arka yang datang. Ia ingin sekali menangis di pelukan Arka. Menumpahkan isi hatinya.“Eh, Pak Indra. Nggak jadi pulang, Pak?” Ocha berbasa-basi. Suaranya masih lemah. Tubuhnya juga lemas seperti tak bertulang.Hari sudah menjelang sore. Tadi Indra sudah berpamitan akan pulang. Ada acara yang harus dihadirinya malam ini. Tapi sudah sampai di lobby rumah sakit, dia membatalkan niatnya.Indra duduk di samping tempat tidur Ocha, lalu menggeleng. “Saya nggak tega membiarkan kamu sendirian. Suami kamu sudah bisa dihubungi?”Ocha menggeleng sambil menggigit bibir. “Belum, Pak.”“Kamu mau saya bantu mencari suamimu? Berikan saya fotonya dan informasi kemana dia pergi tadi pagi. Saya bisa menyuruh anak
“Arka, dengar. Mami nggak akan menyampaikan usulan ekstrim seperti ini, kalau Ocha setia. Kamu buka mata hati kamu dong, Ka. Jangan dibutakan cinta. Buat apa mempertahankan istri yang suka selingkuh. Mumpung pernikahan kamu baru sebentar. Tidak akan ada yang terlalu tersakiti.”Arka menyugar rambutnya. Mendadak dia merasa pening. Kenapa mami harus datang saat ini? Waktu Arka dan Ocha sedang menghadapi masalah. Arka merasa kehadiran Mami membuat masalahnya makin rumit. Tapi tidak mungkin meminta Mami pergi.“Nanti saja kita bicarakan soal itu ya, Mi. Sekarang Arka mau fokus menjaga kesehatan Ocha. Mami sebaiknya pulang dulu saja. Istirahat juga di rumah ya.”“Loh kamu ini bagaimana sih, Ka? Mami ke sini kan mau menjenguk Ocha. Masa’ langsung disuruh pulang.” Rinta jadi kesal. Padahal dia berniat bertanya langsung tentang peristiwa kehamilan dan keguguran ini pada menantunya. Dia ragu Arka akan berani bertanya langsung. Anaknya itu kadang kurang tegas.“Ocha juga masih tidur. Sekarang M
Karena tidak ada tanggapan dari Arka, Ocha membuka matanya. Arka masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Matanya membelalak lebar dan mulutnya terbuka.“Ka! Kok kamu malah bengong sih?” tanya Ocha memelas. Ocha mengharapkan bibir Arka mengeluarkan kata-kata hiburan dan penyemangat umtuknya. Bukankah suami istri seharusnya saling mendukung dan menguatkan saat keadaan buruk terjadi? Bahkan Indra lebih tahu cara menghibur Ocha.Arka tergeragap. “Ke-gu-guran? K-kamu hamil?” Kening Arka berkerut.“Tadinya aku hamil sekarang sudah nggak,” jawab Ayesha sendu.“Tapi… kenapa kamu nggak bilang padaku kalau sedang hamil?” Sama seperti Ocha tadi, Arka juga sulit mencerna informasi ini.“Bukannya aku nggak mau bilang ke kamu, Ka. Tapi aku juga nggak sadar kalau sedang hamil,” terang Ocha tidak sabar. “Aku juga baru tahu setelah dokter memeriksa dan bilang ternyata aku keguguran.”Ocha menghela napas panjang. Bercerita tentang kejadian ini seperti membuka sakit hatinya.Perlahan Arka duduk
Pandangan Ocha menerawang ke luar jendela rumah sakit. Dia sedang merenung di tempat tidur. Mencoba meredakan denyut nyeri di hatinya yang datang setiap kali ia teringat pada anak pertamanya yang tak sempat hadir ke dunia.Bunyi pintu terbuka membuat Ocha menoleh. Matanya berkaca-kaca, berharap Arka yang datang. Ia ingin sekali menangis di pelukan Arka. Menumpahkan isi hatinya.“Eh, Pak Indra. Nggak jadi pulang, Pak?” Ocha berbasa-basi. Suaranya masih lemah. Tubuhnya juga lemas seperti tak bertulang.Hari sudah menjelang sore. Tadi Indra sudah berpamitan akan pulang. Ada acara yang harus dihadirinya malam ini. Tapi sudah sampai di lobby rumah sakit, dia membatalkan niatnya.Indra duduk di samping tempat tidur Ocha, lalu menggeleng. “Saya nggak tega membiarkan kamu sendirian. Suami kamu sudah bisa dihubungi?”Ocha menggeleng sambil menggigit bibir. “Belum, Pak.”“Kamu mau saya bantu mencari suamimu? Berikan saya fotonya dan informasi kemana dia pergi tadi pagi. Saya bisa menyuruh anak
Kelopak mata Ocha bergerak-gerak. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. “D-dimana saya..?” lirih Ocha bertanya karena dia berbaring di ruangan yang tidak dikenalnya. Suaranya serak. Kerongkongannya kering sekali, sampai terasa nyeri.“Halo, Bu Rosa. Kenalkan, saya Dokter Arman, yang merawat Ibu.”Seorang lelaki paruh baya berdiri di sisi tempat tidurnya. Ia memakai jas putih dan mengantongi stetoskop.Ocha memandang wajah dokter Arman yang teduh. Samar Ocha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia sedang mengurus catering Group Perkasa, lalu perutnya nyeri, cairan merah, lalu dia tak ingat apa-apa lagi.“A-apa saya pingsan, Dok?” Ocha memandang nanar selang infus yang menancap di lengannya. “Iya, Bu. Tadi ibu pingsan sebentar. Tapi jangan khawatir. Sekarang kondisi ibu sudah mulai membaik.”“Saya sakit apa, Dok?” Ocha cemas sekali. Darah hampir selalu berkaitan dengan penyakit yang tidak ringan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Ibu sehat-sehat saja.” Arman menil
“Aduuuh… perutku…. sakiit…” keluh Ocha lirih. Spontan ia mencengkram bagian depan kemejanya karena perutnya mendadak nyeri.Ini bukan sakit perut biasa. Perutnya seperti kejang hebat dan diremat-remat. Rasanya seratus kali lebih sakit daripada nyeri bulanan yang sering Ocha rasakan. Aku nggak boleh sakit sekarang. Aku nggak boleh sakit sekarang, kata Ocha berulang-ulang dalam hati, seperti mengucapkan mantra sakti supaya rasa sakitnya langsung hilang.Ocha tidak ingin pekerjaannya berantakan. Dia sedang berada di ballroom hotel bintang lima. Restoran miiknya mendapat kesempatan emas, melayani catering di acara pertemuan Prakasa Group. Jaringan bisnis milik pengusaha muda dan sukses bernama Indra Prakasa.“Are you ok, Cha?” tanya Indra yang berdiri di samping Ocha. Ocha dan Indra sedang membicarakan rencana acara group Perkasa selanjutnya. Sudah setahun ini perusahaan Indra selalu menggunakan layanan catering dari restoran Ocha.“Nggak pa-pa, Pak Indra. Saya baik-baik saja. Cuma sedi