“Arka, dengar. Mami nggak akan menyampaikan usulan ekstrim seperti ini, kalau Ocha setia. Kamu buka mata hati kamu dong, Ka. Jangan dibutakan cinta. Buat apa mempertahankan istri yang suka selingkuh. Mumpung pernikahan kamu baru sebentar. Tidak akan ada yang terlalu tersakiti.”
Arka menyugar rambutnya. Mendadak dia merasa pening. Kenapa mami harus datang saat ini? Waktu Arka dan Ocha sedang menghadapi masalah. Arka merasa kehadiran Mami membuat masalahnya makin rumit. Tapi tidak mungkin meminta Mami pergi.“Nanti saja kita bicarakan soal itu ya, Mi. Sekarang Arka mau fokus menjaga kesehatan Ocha. Mami sebaiknya pulang dulu saja. Istirahat juga di rumah ya.”“Loh kamu ini bagaimana sih, Ka? Mami ke sini kan mau menjenguk Ocha. Masa’ langsung disuruh pulang.” Rinta jadi kesal. Padahal dia berniat bertanya langsung tentang peristiwa kehamilan dan keguguran ini pada menantunya. Dia ragu Arka akan berani bertanya langsung. Anaknya itu kadang kurang tegas.“Ocha juga masih tidur. Sekarang Mami istirahat dulu. Besok pagi kan bisa ke sini lagi.” Arka menggamit lengan Rinta dan mengajaknya keluar kamar***Ocha baru membuka matanya setelah Rinta dan Arka meninggalkan ruangan. Dia menggigit bibirnya. Memutuskan tidak akan membiarkan mertuanya atau bahkan Arka menyakitinya lagi.Ponsel Ocha berdering, nama Indra muncul di layar. Kebetulan, Ocha kembali meminta pertolongan dari Indra.***Selesai mengantar Mami sampai rumah, Arka langsung memacu motornya kembali ke rumah sakit.“Ocha?” Arka memanggil karena tempat tidur Ocha kosong. “Cha?!” panggil Arka lagi, sambil membuka pintu toilet.Kosong. Arka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ocha tidak ada di kamarnya. Kemana dia? Apa mungkin Ocha sedang menjalani pemeriksaan di ruangan lain?“Ners, maaf ya. Pasien Ibu Rosa sedang kemana ya? Kok ruangannya kosong?” Arka bertanya pada perawat yang berjaga di nurse station.Dua orang perawat wanita itu bertukar pandang. Heran.“Maaf, Bapak siapanya Ibu Rosa ya?” Salah seorang perawat itu bertanya.“Saya Arka, suaminya Ibu Rosa.”“Loh, Ibu Rosa ‘kan sudah pulang, Pak,” kata perawat itu.“Ha? Sudah pulang? Kapan? Tadi pagi saya kesini Ibu Rosa masih ada kok. Dia sedang tidur. Masa’ tahu-tahu sekarang sudah pulang?!” Nada suara Arka meninggi. Ia merasa dipermainkan.“Sungguh, Pak. Baru saja Ibu Rosa pulang dijemput Pak Indra.”Emosi Arka naik begitu mendengar nama Indra disebut. Dis lagi, dia lagi. Tidak ada habisnya Indra menjadi duri yang mengusik pernikahannya dengan Ocha.Segera Arka mengambil ponsel dan menekan nomor Ocha. Seperti karma yang sekarang diterimanya, ponsel Ocha tidak bisa dihubungi.Arka menarik rambutnya frustrasi. Kemana Ocha pergi? Dan kenapa?Tiba-tiba Arka menyadari satu hal. Cemas mencengkram benak Arka. Jangan-jangan Ocha mendengar omongan mami.***“Aku boleh tinggal sementara di sini kan, Yas?” tanya Ocha setelah duduk di sofa apartemen Yasmin. Dia ingin menghindar dari Arka tapi terlalu lemah untuk pergi jauh.“Tentu saja boleh. Kamu bisa tinggal di sini sampai kapan pun. Tapi apa kamu sudah sembuh?” Yasmin selalu menyambut kedatangan sahabatnya dengan tangan terbuka.Sejak dulu Ocha selalu menggunakan apartemen Yasmin sebagai tempat berlindung kalau sedang bertengkar dengan Arka.Yasmin sama sekali tidak tahu namanya juga terseret dalam masalah rumah tangga Arka dan Ocha. Tentu saja Ocha tidak marah padanya. Bukan salah Yasmin bila mertua Ocha menginginkan dia jadi menantunya. Yasmin memang sosok menantu idola para mertua.Selama ini sikap Yasmin pada Arka wajar saja. Tidak genit apalagi menggoda. Apalagi ada Dhani, pacar Yasmin.“Saya sudah menyarankan Ocha untuk pindah rumah sakit saja. Supaya bisa dirawat sampai benar-benar sehat. Tapi Ocha menolak dan memilih pulang paksa. Padahal saya punya rumah sakit di kaki gunung. Pemandangannya indah, cocok untuk perawatan masa pemulihan.” Indra ikut bicara.Ocha tersenyum sopan. “Terima kasih, Pak Indra. Bapak sudah banyak membantu saya, tapi saya sedang tidak ingin sendirian. Dengan ditemani Yasmin, pasti masa pemulihan saya bisa makin cepat,” ucap Ocha memberikan alasan.Padahal yang sebenarnya Ocha tidak ingin Rinta dan Arka mendapat kesan tuduhannya tentang perselingkuhan Ocha dan Indra adalah benar. Kalau sekali Indra membiayai perawatan Ocha, mereka akan benar- benar curiga.Tadi saja kebetulan Indra menelepon dan Ocha memberitahu niatnya pindah ke apartemen Yasmin. Sebenarnya Ocha hanya ingin bertanya mengenai urusan administrasi rumah sakit, tapi Indra malah berkeras menjemput dan mengantar Ocha ke rumah Yasmin. Karena merasa masih terlalu lemah untuk menggunakan taksi, Ocha menerima tawaran Indra.Dalam hati, Ocha berjanji tidak akan merepotkan Indra lagi. Kasihan orang sebaik itu malah terkena fifnah dari Rinta.“Kamu bertengkar dengan Arka, Cha?” tanya Yasmin setelah Indra pulang. Dia duduk di sisi pembaringan Ocha.“Ya begitu lah, Yas. Dalam kondisi fisik dan psikis aku yang belum sehat, dia malah ngajak ribut. Di rumah juga ada mertuaku. Aku sedang segan bertemu mereka.”Yasmin memandang sahabatnya dengan raut prihatin. “Aku ikut prihatin ya, Cha. Setelah apa yang kamu alami, Arka dan Tante Rinta malah kurang mendukung masa pemulihan kamu. Padahal biasanya Tante Rinta baik. Arka juga suami yang bertanggungjawab ‘kan?”Ocha mengangguk. Membenarkan. “Mungkin aku yang sedang sensitif, Yas.” Ocha tidak ingin menjelaskan lebih jauh karena nama Yasmin juga terlibat dalam masalah ini.“Ya sudah, sekarang kamu istirahat saja sampai benar-benar sehat.”Baru saja Yasmin selesai bicara. Ponselnya berdering. “Arka…’ katanya sambil memandang Ocha dengan tatapan bertanya.“Angkat saja, Yas. Tolong bilang aku sedang tidak ingin diganggu.”Kalau teleponnya tidak diterima, Arka akan menelepon terus. Kasihan Yasmin nanti terganggu.Yasmin mengangguk. “Hai, Ka,” sapamya pada Arka..“Yas, apa Ocha ada di apartemen kamu?” Tanpa basa-basi Arka langsung bertanya.Yasmin menggunakan speaker hingga Ocha bisa ikut mendengar suara Arka. Ocha jadi tidak tega mendengar Arka sangat cemas.“Ada, Ka. Ocha sedang istirahat di sini.*“Boleh aku naik ke kamarmu, Yas? Aku perlu bicara dengan Ocha,” pinta Arka memelas. “Aku sudah di resepsionis apartemen kamu.”Arka tidak bisa langsung naik ke tempat Yasmin karena perlu kartu akses khusus untuk menggunakan lift. Jadi tidak sembarang orang bisa masuk ke apartemen.Yasmin menatap Ocha, meminta pendapatnya. Ocha menggeleng sambil menggigit bibirnya. Sebenarnya ia juga ingin bicara dengan Arka. Tapi tidak sekarang. Hatinya masih sakit.“Jangan sekarang ya, Ka. Biarkan Ocha istirahat dulu. Nanti kalau dia sudah sehat, kalian bisa ngobrol panjang lebar.”Arka tidak punya pilihan lain. “Ya sudah, tolong bilang Ocha untuk menelepon aku ya, Yas. Kalau tidak bisa bertemu langsung, paling tidak aku bisa sedikit lega dengan mendengar suaranya.”Ternyata sampai tiga hari, Ocha belum juga mau menerima telepon dari Arka. Dan puluhan pesan darinya juga tidak dijawab. Malah tidak dibaca. Tapi Arka tidak kenal putus asa. Dia terus mengirim pesan ke ponsel Ocha.“Sebenarnya kalian ini bertengkar gara-gara apa?” tanya Yasmin pada Arka yang duduk di depan meja kerjanya. Sejak Ocha menolak berkomunikasi dengan Arka, coaok itu jadi sering nongkrong si kantor Yasmin untuk mendapat informasi tentang keadaan Ocha.“Aduuuh… perutku…. sakiit…” keluh Ocha lirih. Spontan ia mencengkram bagian depan kemejanya karena perutnya mendadak nyeri.Ini bukan sakit perut biasa. Perutnya seperti kejang hebat dan diremat-remat. Rasanya seratus kali lebih sakit daripada nyeri bulanan yang sering Ocha rasakan. Aku nggak boleh sakit sekarang. Aku nggak boleh sakit sekarang, kata Ocha berulang-ulang dalam hati, seperti mengucapkan mantra sakti supaya rasa sakitnya langsung hilang.Ocha tidak ingin pekerjaannya berantakan. Dia sedang berada di ballroom hotel bintang lima. Restoran miiknya mendapat kesempatan emas, melayani catering di acara pertemuan Prakasa Group. Jaringan bisnis milik pengusaha muda dan sukses bernama Indra Prakasa.“Are you ok, Cha?” tanya Indra yang berdiri di samping Ocha. Ocha dan Indra sedang membicarakan rencana acara group Perkasa selanjutnya. Sudah setahun ini perusahaan Indra selalu menggunakan layanan catering dari restoran Ocha.“Nggak pa-pa, Pak Indra. Saya baik-baik saja. Cuma sedi
Kelopak mata Ocha bergerak-gerak. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. “D-dimana saya..?” lirih Ocha bertanya karena dia berbaring di ruangan yang tidak dikenalnya. Suaranya serak. Kerongkongannya kering sekali, sampai terasa nyeri.“Halo, Bu Rosa. Kenalkan, saya Dokter Arman, yang merawat Ibu.”Seorang lelaki paruh baya berdiri di sisi tempat tidurnya. Ia memakai jas putih dan mengantongi stetoskop.Ocha memandang wajah dokter Arman yang teduh. Samar Ocha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia sedang mengurus catering Group Perkasa, lalu perutnya nyeri, cairan merah, lalu dia tak ingat apa-apa lagi.“A-apa saya pingsan, Dok?” Ocha memandang nanar selang infus yang menancap di lengannya. “Iya, Bu. Tadi ibu pingsan sebentar. Tapi jangan khawatir. Sekarang kondisi ibu sudah mulai membaik.”“Saya sakit apa, Dok?” Ocha cemas sekali. Darah hampir selalu berkaitan dengan penyakit yang tidak ringan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Ibu sehat-sehat saja.” Arman menil
Pandangan Ocha menerawang ke luar jendela rumah sakit. Dia sedang merenung di tempat tidur. Mencoba meredakan denyut nyeri di hatinya yang datang setiap kali ia teringat pada anak pertamanya yang tak sempat hadir ke dunia.Bunyi pintu terbuka membuat Ocha menoleh. Matanya berkaca-kaca, berharap Arka yang datang. Ia ingin sekali menangis di pelukan Arka. Menumpahkan isi hatinya.“Eh, Pak Indra. Nggak jadi pulang, Pak?” Ocha berbasa-basi. Suaranya masih lemah. Tubuhnya juga lemas seperti tak bertulang.Hari sudah menjelang sore. Tadi Indra sudah berpamitan akan pulang. Ada acara yang harus dihadirinya malam ini. Tapi sudah sampai di lobby rumah sakit, dia membatalkan niatnya.Indra duduk di samping tempat tidur Ocha, lalu menggeleng. “Saya nggak tega membiarkan kamu sendirian. Suami kamu sudah bisa dihubungi?”Ocha menggeleng sambil menggigit bibir. “Belum, Pak.”“Kamu mau saya bantu mencari suamimu? Berikan saya fotonya dan informasi kemana dia pergi tadi pagi. Saya bisa menyuruh anak
Karena tidak ada tanggapan dari Arka, Ocha membuka matanya. Arka masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Matanya membelalak lebar dan mulutnya terbuka.“Ka! Kok kamu malah bengong sih?” tanya Ocha memelas. Ocha mengharapkan bibir Arka mengeluarkan kata-kata hiburan dan penyemangat umtuknya. Bukankah suami istri seharusnya saling mendukung dan menguatkan saat keadaan buruk terjadi? Bahkan Indra lebih tahu cara menghibur Ocha.Arka tergeragap. “Ke-gu-guran? K-kamu hamil?” Kening Arka berkerut.“Tadinya aku hamil sekarang sudah nggak,” jawab Ayesha sendu.“Tapi… kenapa kamu nggak bilang padaku kalau sedang hamil?” Sama seperti Ocha tadi, Arka juga sulit mencerna informasi ini.“Bukannya aku nggak mau bilang ke kamu, Ka. Tapi aku juga nggak sadar kalau sedang hamil,” terang Ocha tidak sabar. “Aku juga baru tahu setelah dokter memeriksa dan bilang ternyata aku keguguran.”Ocha menghela napas panjang. Bercerita tentang kejadian ini seperti membuka sakit hatinya.Perlahan Arka duduk
“Arka, dengar. Mami nggak akan menyampaikan usulan ekstrim seperti ini, kalau Ocha setia. Kamu buka mata hati kamu dong, Ka. Jangan dibutakan cinta. Buat apa mempertahankan istri yang suka selingkuh. Mumpung pernikahan kamu baru sebentar. Tidak akan ada yang terlalu tersakiti.”Arka menyugar rambutnya. Mendadak dia merasa pening. Kenapa mami harus datang saat ini? Waktu Arka dan Ocha sedang menghadapi masalah. Arka merasa kehadiran Mami membuat masalahnya makin rumit. Tapi tidak mungkin meminta Mami pergi.“Nanti saja kita bicarakan soal itu ya, Mi. Sekarang Arka mau fokus menjaga kesehatan Ocha. Mami sebaiknya pulang dulu saja. Istirahat juga di rumah ya.”“Loh kamu ini bagaimana sih, Ka? Mami ke sini kan mau menjenguk Ocha. Masa’ langsung disuruh pulang.” Rinta jadi kesal. Padahal dia berniat bertanya langsung tentang peristiwa kehamilan dan keguguran ini pada menantunya. Dia ragu Arka akan berani bertanya langsung. Anaknya itu kadang kurang tegas.“Ocha juga masih tidur. Sekarang M
Karena tidak ada tanggapan dari Arka, Ocha membuka matanya. Arka masih menatapnya dengan pandangan tak percaya. Matanya membelalak lebar dan mulutnya terbuka.“Ka! Kok kamu malah bengong sih?” tanya Ocha memelas. Ocha mengharapkan bibir Arka mengeluarkan kata-kata hiburan dan penyemangat umtuknya. Bukankah suami istri seharusnya saling mendukung dan menguatkan saat keadaan buruk terjadi? Bahkan Indra lebih tahu cara menghibur Ocha.Arka tergeragap. “Ke-gu-guran? K-kamu hamil?” Kening Arka berkerut.“Tadinya aku hamil sekarang sudah nggak,” jawab Ayesha sendu.“Tapi… kenapa kamu nggak bilang padaku kalau sedang hamil?” Sama seperti Ocha tadi, Arka juga sulit mencerna informasi ini.“Bukannya aku nggak mau bilang ke kamu, Ka. Tapi aku juga nggak sadar kalau sedang hamil,” terang Ocha tidak sabar. “Aku juga baru tahu setelah dokter memeriksa dan bilang ternyata aku keguguran.”Ocha menghela napas panjang. Bercerita tentang kejadian ini seperti membuka sakit hatinya.Perlahan Arka duduk
Pandangan Ocha menerawang ke luar jendela rumah sakit. Dia sedang merenung di tempat tidur. Mencoba meredakan denyut nyeri di hatinya yang datang setiap kali ia teringat pada anak pertamanya yang tak sempat hadir ke dunia.Bunyi pintu terbuka membuat Ocha menoleh. Matanya berkaca-kaca, berharap Arka yang datang. Ia ingin sekali menangis di pelukan Arka. Menumpahkan isi hatinya.“Eh, Pak Indra. Nggak jadi pulang, Pak?” Ocha berbasa-basi. Suaranya masih lemah. Tubuhnya juga lemas seperti tak bertulang.Hari sudah menjelang sore. Tadi Indra sudah berpamitan akan pulang. Ada acara yang harus dihadirinya malam ini. Tapi sudah sampai di lobby rumah sakit, dia membatalkan niatnya.Indra duduk di samping tempat tidur Ocha, lalu menggeleng. “Saya nggak tega membiarkan kamu sendirian. Suami kamu sudah bisa dihubungi?”Ocha menggeleng sambil menggigit bibir. “Belum, Pak.”“Kamu mau saya bantu mencari suamimu? Berikan saya fotonya dan informasi kemana dia pergi tadi pagi. Saya bisa menyuruh anak
Kelopak mata Ocha bergerak-gerak. Dia berusaha membuka matanya yang terasa begitu berat. “D-dimana saya..?” lirih Ocha bertanya karena dia berbaring di ruangan yang tidak dikenalnya. Suaranya serak. Kerongkongannya kering sekali, sampai terasa nyeri.“Halo, Bu Rosa. Kenalkan, saya Dokter Arman, yang merawat Ibu.”Seorang lelaki paruh baya berdiri di sisi tempat tidurnya. Ia memakai jas putih dan mengantongi stetoskop.Ocha memandang wajah dokter Arman yang teduh. Samar Ocha mengingat apa yang sudah terjadi. Dia sedang mengurus catering Group Perkasa, lalu perutnya nyeri, cairan merah, lalu dia tak ingat apa-apa lagi.“A-apa saya pingsan, Dok?” Ocha memandang nanar selang infus yang menancap di lengannya. “Iya, Bu. Tadi ibu pingsan sebentar. Tapi jangan khawatir. Sekarang kondisi ibu sudah mulai membaik.”“Saya sakit apa, Dok?” Ocha cemas sekali. Darah hampir selalu berkaitan dengan penyakit yang tidak ringan.“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Bu. Ibu sehat-sehat saja.” Arman menil
“Aduuuh… perutku…. sakiit…” keluh Ocha lirih. Spontan ia mencengkram bagian depan kemejanya karena perutnya mendadak nyeri.Ini bukan sakit perut biasa. Perutnya seperti kejang hebat dan diremat-remat. Rasanya seratus kali lebih sakit daripada nyeri bulanan yang sering Ocha rasakan. Aku nggak boleh sakit sekarang. Aku nggak boleh sakit sekarang, kata Ocha berulang-ulang dalam hati, seperti mengucapkan mantra sakti supaya rasa sakitnya langsung hilang.Ocha tidak ingin pekerjaannya berantakan. Dia sedang berada di ballroom hotel bintang lima. Restoran miiknya mendapat kesempatan emas, melayani catering di acara pertemuan Prakasa Group. Jaringan bisnis milik pengusaha muda dan sukses bernama Indra Prakasa.“Are you ok, Cha?” tanya Indra yang berdiri di samping Ocha. Ocha dan Indra sedang membicarakan rencana acara group Perkasa selanjutnya. Sudah setahun ini perusahaan Indra selalu menggunakan layanan catering dari restoran Ocha.“Nggak pa-pa, Pak Indra. Saya baik-baik saja. Cuma sedi