“Jangan bilang kamu suruh Mas buat cari jodoh buat ibu.”
“Kenapa enggak.”Aku sedikit terkekeh, memang tak salah, jika dipikirkan Ibu seakan menaruh cemburu tiap kali aku dan Dilra berdekatan.“Siapa ya yang cocok buat Ibu?” “Gak tahu Mas, tapi yang jelas harus laki-laki yang bisa membimbing Ibu ke jalan yang benar, harus punya dasar agama yang kuat.”“Kenapa kamu masih sebegitu peduli sama ibu, Dil?”“Aku pernah kehilangan orang tua Mas, rasanya gak bisa dijelaskan, apa lagi setelah tahu cerita tentang Ibu, yang di perlakukan enggak baik sama keluarga mertuanya, aku merasa nasibku sama dengan Ibu, tapi kalau suatu hari nanti kita punya menantu aku janji sama diriku sendiri, buat memperlakukan dia dengan baik.”“Harus sayang, jangan bikin anak kita harus memilih ibu atau istrinya, doakan aku panjang umur ya biar aku bisa tetap nafkahi seumur hidup kamu.”"Bagaimana? Ibu saya sudah ketemu?”“Belum Mas.”“Kemungkinan pencarian dilanjut besok Mas, karena sudah larut malam juga.”“Apa enggak bisa dilanjut sampai ketemu Pak?”“Maaf Mas terlalu bahaya kalau kami tetap memaksa, besok kami akan kerahkan relawan lebih banyak lagi.”Kau tahu saat itu, tubuhku bergetar hebat, ketakutan luar biasa memenuhi isi kepala, ketakutan akan kehilangan sosoknya, benar kata Dilra seberapa pun dalamnya luka yang ditorehkan sejak dulu, dia hanya korban, korban ketidakadilan seseorang. Bagaimana mungkin seseorang mampu membahagiakan orang lain, kalau sekali pun dia belum pernah mengecapnya, bagaimana jiwa-jiwa yang memendam lara menahun dituntut, harus mampu bersikap adil, sedang seumur hidupnya akrab dengan begitu banyak ketidakadilan. Saat itu tubuhku luruh ke tanah, kau benar Dilra, semua dibayar tunai hari ini juga, dia orang yang tadi siang kubentak, telah
Luka itu belum sembuh, dia berbohong menutupi sendiri lagi seperti dulu, agar semuanya terlihat baik-baik saja, seringnya dia memikirkanku, ingin membuatku nyaman, untuk terus hidup berdampingan dengan Ibu, dia yang lebih memilih terluka seumur hidup sedang aku masih ragu, ragu untuk menyelamatkan hidupnya lagi dan lagi.~“Sayang kita pindah rumah lagi?”“Iya sayang, gak apa-apa ya, Mas bosen pengen cari pengalaman baru.”“Gak apa-apa sih, tapi kok ngedadak banget, Ibu Mia juga udah di kabarin, kalau kita mau pindahan?"Aku tersenyum padanya, jelas sengaja tak kubari mereka, kalau Ibu tahu bisa saja dia menyusul kita seperti dulu.“Udah.”“Sayang, soal urusan kerjaan aku bagaimana? Masih 2 minggu lagi.”“Kamu kerjakan dulu setelah itu baru kita pindah rumah.”“Iya sayang, terus Ibu kenapa gak pulang ke sini, dia masih di rumah sakit apa di mana?&r
Mia mengundangku untuk bergabung di siaran langsungnya hanya butuh persetujuan maka wajahku akan ikut muncul di layar ponselnya. “Abang doakan dari sini Dek.” Kuketikan pesan itu di kolom komentar, tinggal tekan tombol kirim, maka pesannya akan muncul, dan tentu Mia akan tahu, ini kali pertama setelah 3 bulan aku bertukar komentar dengannya. “Sayaaaang,” suara Dilra terdengar nyaring memanggilku. Aku hampir terperanjat, karenanya aku refleks menyembunyikan ponsel ke bawah bantal, Dilra juga terkejut, dia melempar tatapan heran melihat wajahku yang gugup. “Kenapa? Ada apa sih di hapenya Mas, sampai kaget begitu?” “Gak ada apa-apa sayang.” “Aku sama Dion udah siap loh dari tadi nungguin Mas gak turun-turun, katanya mau lari pagi, kasihan loh dia udah pakai sepatu segala.” “Iya sayang, ayo pergi sekarang.” Dilra tersenyum, senyum yang begitu hangat dan manis, senyum yang hampir tak pernah bisa kunikmati saat dia dengan keluargaku saling berbagi tempat tinggal. Hari ini aku
"Aku enggak mau jadi suami durhaka Dil.”“Lalu mau sampai kapan kita terus menjauhkan diri dari keluargamu Mas?”“Sampai kamu hamil.”“Ini?”Dilra tiba-tiba saja menunjukkan test pack garis dua, sontak saja membuatku terperanjat.Dia hamil, Dilraku hamil.Kurengkuh tubuhnya dengan erat, penantian yang cukup lama ini, akhirnya membuahkan hasil.“Jadi bagaimana Mas?”“Kita enggak akan pulang Dil, tolong jangan tanyakan hal itu pada Mas, biarkan Mas menikmati saat-saat bersamamu Dil, menikmati kehamilanmu,” ucapku sembari mengusap pelan perutnya yang datar.Tanpa sadar seutas senyum perlahan melengkung, menyadari di dalam sini, ada calon anakku.“Aku merasa berdosa dalam posisi seperti ini Mas.”“Aku yang l
Hidup selalu punya pilihan, ada yang memilih mengakhiri segalanya, memulai hidup baru entah dengan orang lain, atau tetap berdiri di atas kaki sendiri. Sebagian lagi memilih bertahan, meski terus diterpa badai juga luka, tekatnya tetap bulat, kokoh meski setiap hari, dinding pertahanannya makin rapuh, diterjang nestapa di segala penjuru.Tak ada batasan dalam bersabar, karena saat mencapai ambang batas maksimal, maka yang hadir hanya keputusasaan. Perkara mudah bagi Tuhan membolak-balikan hati manusia, apa lagi untuk hamba-hamba yang tak pernah lelah menengadahkan tangan, memohon di setiap sujudnya. Tak ada makhluk yang bisa mengubah takdir Sang Khalik, tapi dengan tetap berada di jalannya, maka semuanya akan terasa lebih mudah.~“Sudah sebulan Mas enggak pulang, sebenarnya ada apa? Apa semua baik-baik saja?”“Semua baik-baik saja sayang, Ibu sehat Mia juga sehat, enggak kurang apa pun.""Boleh aku bicara dengan Mia?”
Ini tentang luka turun temurun, lingkungan yang mengubah, kemudian membentuk kepribadian seseorang, kesalahan yang dianggap wajar, kemudian diwariskan pada orang-orang baru yang tak ada kaitannya sama sekali, ketika mereka harus menjadi korban keegoisan diri. Kisah ini tentang pembalasan luka. Tak ada salahnya meluapkan nestapa yang salah jika luka itu dilepaskan dengan amarah yang menggebu, hingga tanpa sadar, kita telah menjelma menjadi sosok yang sama. Sosok yang paling kita benci. “Dil Plis jangan paksa Mas, Mas lagi bingung Dil, kenapa ini terjadi sama keluarga Mas?” “Mas tugas kita hanyamenjalankan takdir dengan ikhlas, jangan pernah tanya kenapa.” “Tapi Mas gak sanggup Dil, Mas pengen nyerah.” Hari itu, aku mendengar kabar tentang wanita itu, wanita yang selama ini jadi sumber masalah dari rumah tangga kami. Wanita yang membawa sejuta luka dan kepedihan, tak ada yang salah dariku tapi tak pernah dibenarkan. Kupikir semua hanya tentang waktu dan semuanya berubah, seiring ka
PoV DilraAku pernah mengatakan kalau tugas makhluk hanya menjalankan takdir yang digariskan Sang Khalik dengan ikhlas, tanpa pernah berpikir kalau aku akan bertukar tempat dengannya, hanya berselang hari, lagi-lagi nestapa menyapa, dari sekian banyaknya makhluk ciptaan-Mu, kenapa Engkau memilih dia untuk kembali pada-Mu hari ini.“Bu, tenang ya, coba saya periksa, apa yang ibu rasakan sekarang?”“Dada saya sakit.”“Coba Ibu ambil nafas dalam-dalam tahan sebentar, ya tahan, keluar lagi pelan-pelan.”Berhasil, dia membuatku jauh lebih tenang.“Lakukan itu tiga kali ya Bu, ayo pelan-pelan saja, relaks.”Aku pasrah, mengikuti arahannya.“Bagaimana nyerinya? Sudah berkurang.”“Sedikit berkurang Dok.”“Boleh saya tanya sesuatu, co
Itu jelas tulisan Hiro, aku cukup dekat dengannya dulu, masalahnya sekarang, ke mana secarik kertas itu, sudah kucari, tapi belum juga ketemu. Hingga malam kian larut, kertas itu belum juga ditemukan. Kami tidur seranjang dengan Dion, katanya kangen dengan Papahnya, tapi dengan begitu jelasnya bisa kurasakan kegelisahan menyelimuti suamiku, tidurnya tak nyenyak, terus bergerak ke kanan dan ke kiri, memaksa terpejam tapi mungkin tak kunjung terlelap, lantas aku yang sudah terlelap sejak tadi jadi terbangun karenanya.“Ada apa Mas? Gak bisa tidur?”“Eh Dil, Mas ganggu kamu ya?” Aku menggeleng lalu berjalan memutar ranjang duduk tepat di sampingnya, raut itu tampak gelisah, sembari berinisiatif mengusap rambutnya, karena hal ini biasanya mampu membuat dia sedikit lebih tenang.“Besok Mas mau jual bengkel yang dekat Pasar buat pengobatan