"Bagaimana? Ibu saya sudah ketemu?”
“Belum Mas.” “Kemungkinan pencarian dilanjut besok Mas, karena sudah larut malam juga.”“Apa enggak bisa dilanjut sampai ketemu Pak?” “Maaf Mas terlalu bahaya kalau kami tetap memaksa, besok kami akan kerahkan relawan lebih banyak lagi.”Kau tahu saat itu, tubuhku bergetar hebat, ketakutan luar biasa memenuhi isi kepala, ketakutan akan kehilangan sosoknya, benar kata Dilra seberapa pun dalamnya luka yang ditorehkan sejak dulu, dia hanya korban, korban ketidakadilan seseorang. Bagaimana mungkin seseorang mampu membahagiakan orang lain, kalau sekali pun dia belum pernah mengecapnya, bagaimana jiwa-jiwa yang memendam lara menahun dituntut, harus mampu bersikap adil, sedang seumur hidupnya akrab dengan begitu banyak ketidakadilan. Saat itu tubuhku luruh ke tanah, kau benar Dilra, semua dibayar tunai hari ini juga, dia orang yang tadi siang kubentak, telahLuka itu belum sembuh, dia berbohong menutupi sendiri lagi seperti dulu, agar semuanya terlihat baik-baik saja, seringnya dia memikirkanku, ingin membuatku nyaman, untuk terus hidup berdampingan dengan Ibu, dia yang lebih memilih terluka seumur hidup sedang aku masih ragu, ragu untuk menyelamatkan hidupnya lagi dan lagi.~“Sayang kita pindah rumah lagi?”“Iya sayang, gak apa-apa ya, Mas bosen pengen cari pengalaman baru.”“Gak apa-apa sih, tapi kok ngedadak banget, Ibu Mia juga udah di kabarin, kalau kita mau pindahan?"Aku tersenyum padanya, jelas sengaja tak kubari mereka, kalau Ibu tahu bisa saja dia menyusul kita seperti dulu.“Udah.”“Sayang, soal urusan kerjaan aku bagaimana? Masih 2 minggu lagi.”“Kamu kerjakan dulu setelah itu baru kita pindah rumah.”“Iya sayang, terus Ibu kenapa gak pulang ke sini, dia masih di rumah sakit apa di mana?&r
Mia mengundangku untuk bergabung di siaran langsungnya hanya butuh persetujuan maka wajahku akan ikut muncul di layar ponselnya. “Abang doakan dari sini Dek.” Kuketikan pesan itu di kolom komentar, tinggal tekan tombol kirim, maka pesannya akan muncul, dan tentu Mia akan tahu, ini kali pertama setelah 3 bulan aku bertukar komentar dengannya. “Sayaaaang,” suara Dilra terdengar nyaring memanggilku. Aku hampir terperanjat, karenanya aku refleks menyembunyikan ponsel ke bawah bantal, Dilra juga terkejut, dia melempar tatapan heran melihat wajahku yang gugup. “Kenapa? Ada apa sih di hapenya Mas, sampai kaget begitu?” “Gak ada apa-apa sayang.” “Aku sama Dion udah siap loh dari tadi nungguin Mas gak turun-turun, katanya mau lari pagi, kasihan loh dia udah pakai sepatu segala.” “Iya sayang, ayo pergi sekarang.” Dilra tersenyum, senyum yang begitu hangat dan manis, senyum yang hampir tak pernah bisa kunikmati saat dia dengan keluargaku saling berbagi tempat tinggal. Hari ini aku
"Aku enggak mau jadi suami durhaka Dil.”“Lalu mau sampai kapan kita terus menjauhkan diri dari keluargamu Mas?”“Sampai kamu hamil.”“Ini?”Dilra tiba-tiba saja menunjukkan test pack garis dua, sontak saja membuatku terperanjat.Dia hamil, Dilraku hamil.Kurengkuh tubuhnya dengan erat, penantian yang cukup lama ini, akhirnya membuahkan hasil.“Jadi bagaimana Mas?”“Kita enggak akan pulang Dil, tolong jangan tanyakan hal itu pada Mas, biarkan Mas menikmati saat-saat bersamamu Dil, menikmati kehamilanmu,” ucapku sembari mengusap pelan perutnya yang datar.Tanpa sadar seutas senyum perlahan melengkung, menyadari di dalam sini, ada calon anakku.“Aku merasa berdosa dalam posisi seperti ini Mas.”“Aku yang l
Hidup selalu punya pilihan, ada yang memilih mengakhiri segalanya, memulai hidup baru entah dengan orang lain, atau tetap berdiri di atas kaki sendiri. Sebagian lagi memilih bertahan, meski terus diterpa badai juga luka, tekatnya tetap bulat, kokoh meski setiap hari, dinding pertahanannya makin rapuh, diterjang nestapa di segala penjuru.Tak ada batasan dalam bersabar, karena saat mencapai ambang batas maksimal, maka yang hadir hanya keputusasaan. Perkara mudah bagi Tuhan membolak-balikan hati manusia, apa lagi untuk hamba-hamba yang tak pernah lelah menengadahkan tangan, memohon di setiap sujudnya. Tak ada makhluk yang bisa mengubah takdir Sang Khalik, tapi dengan tetap berada di jalannya, maka semuanya akan terasa lebih mudah.~“Sudah sebulan Mas enggak pulang, sebenarnya ada apa? Apa semua baik-baik saja?”“Semua baik-baik saja sayang, Ibu sehat Mia juga sehat, enggak kurang apa pun.""Boleh aku bicara dengan Mia?”
Ini tentang luka turun temurun, lingkungan yang mengubah, kemudian membentuk kepribadian seseorang, kesalahan yang dianggap wajar, kemudian diwariskan pada orang-orang baru yang tak ada kaitannya sama sekali, ketika mereka harus menjadi korban keegoisan diri. Kisah ini tentang pembalasan luka. Tak ada salahnya meluapkan nestapa yang salah jika luka itu dilepaskan dengan amarah yang menggebu, hingga tanpa sadar, kita telah menjelma menjadi sosok yang sama. Sosok yang paling kita benci. “Dil Plis jangan paksa Mas, Mas lagi bingung Dil, kenapa ini terjadi sama keluarga Mas?” “Mas tugas kita hanyamenjalankan takdir dengan ikhlas, jangan pernah tanya kenapa.” “Tapi Mas gak sanggup Dil, Mas pengen nyerah.” Hari itu, aku mendengar kabar tentang wanita itu, wanita yang selama ini jadi sumber masalah dari rumah tangga kami. Wanita yang membawa sejuta luka dan kepedihan, tak ada yang salah dariku tapi tak pernah dibenarkan. Kupikir semua hanya tentang waktu dan semuanya berubah, seiring ka
PoV DilraAku pernah mengatakan kalau tugas makhluk hanya menjalankan takdir yang digariskan Sang Khalik dengan ikhlas, tanpa pernah berpikir kalau aku akan bertukar tempat dengannya, hanya berselang hari, lagi-lagi nestapa menyapa, dari sekian banyaknya makhluk ciptaan-Mu, kenapa Engkau memilih dia untuk kembali pada-Mu hari ini.“Bu, tenang ya, coba saya periksa, apa yang ibu rasakan sekarang?”“Dada saya sakit.”“Coba Ibu ambil nafas dalam-dalam tahan sebentar, ya tahan, keluar lagi pelan-pelan.”Berhasil, dia membuatku jauh lebih tenang.“Lakukan itu tiga kali ya Bu, ayo pelan-pelan saja, relaks.”Aku pasrah, mengikuti arahannya.“Bagaimana nyerinya? Sudah berkurang.”“Sedikit berkurang Dok.”“Boleh saya tanya sesuatu, co
Itu jelas tulisan Hiro, aku cukup dekat dengannya dulu, masalahnya sekarang, ke mana secarik kertas itu, sudah kucari, tapi belum juga ketemu. Hingga malam kian larut, kertas itu belum juga ditemukan. Kami tidur seranjang dengan Dion, katanya kangen dengan Papahnya, tapi dengan begitu jelasnya bisa kurasakan kegelisahan menyelimuti suamiku, tidurnya tak nyenyak, terus bergerak ke kanan dan ke kiri, memaksa terpejam tapi mungkin tak kunjung terlelap, lantas aku yang sudah terlelap sejak tadi jadi terbangun karenanya.“Ada apa Mas? Gak bisa tidur?”“Eh Dil, Mas ganggu kamu ya?” Aku menggeleng lalu berjalan memutar ranjang duduk tepat di sampingnya, raut itu tampak gelisah, sembari berinisiatif mengusap rambutnya, karena hal ini biasanya mampu membuat dia sedikit lebih tenang.“Besok Mas mau jual bengkel yang dekat Pasar buat pengobatan
Ada dua jenis cemburu, yang dicintai Tuhan, dan ada pula yang dibenci, sekarang tinggal bagaimana kamu memilihnya. Jangan jadi pencemburu buta, hingga matamu tertutup dari kebenaran.~“Dimakan ya Dil, semoga kamu suka.”Begitulah isi tulisannya.Bingung, apa maksudnya, wajah Dilra juga aneh, dia tampak gugup sekali.“Kita bicara di atas Mas.”~“Itu surat dari Hiro Mas, pas dia kasih buah-buahan.”Aku tersenyum getir, sedang Dilra malah menatap iba, kau tahu Dil, mendengar penuturanmu, kurasa begitu menyedihkannya hidupku sekarang.“Kamu suka sama Hiro?”“Enggak.”“Enggak apa-apa Dil, aku memang tak berguna, hanya pria cacat yang seumur hidup cuma bisa bikin kamu susah.”“Dan aku wanita sakit jiwa yang kamu nikahi entah atas dasar apa.”“Apa yang kamu katakan Dil.”&ldquo
Saat merasakan tubuhnya mulai bergetar Dilra segera menepi. Untunglah Ilham sigap mengambilkan air untuknya. “Maaf bikin kalian repot.” “Sudah tugas kami menjaga Ibu,” kata mereka kompak. Adam baru saja menyusul ke sini, karena penasaran melihat Ilham berlarian di tengah kebun. Dilra menatap hamparan kebun nanas miliknya dengan mata nanar. “Panggil Bi Nunik ke sini ya. Aku kayaknya enggak kuat jalan sendiri,” ucapnya lemah. “Bi Nunik lagi nyusul ke sini Bu, tadi ikut panik juga lihat Ilham lari.” “Ayo, Bu. Saya bantu jalan sampai rumah.” “Makasih, Bi.” “Di rumah sudah saya siapkan makanan, Bu. Kesukaan Ibu semua, coba dimakan sedikit-sedikit. Biar ada tenaga.” “Nanti saya makan, kalau perut saya enakkan. ‘Kan sayang makanan enak yang Bibi masak, malah dimuntahkan lagi.” Dilra masih saja mencoba tersenyum pada Bi Nunik, meski saat itu dadanya semakin sesak. Sampai-sampai mereka terpaksa menghentikan jalannya.
“Ibu, mau ke mana?”“Nyusul Pak Adam.”“Enggak usah, tunggu di mobil saja. Paling lagi diberi penyuluhan sama satpam, sebentar lagi pasti balik.”Dilra tak mampu menutupi kekhawatirannya. Bukan hanya pada Adam juga pada nasibnya dan anak-anak. Pikirannya carut marut, menerka-nerka, siapa kemungkinan yang ingin mencelakakannya.Sebelum pergi ke luar kota dia sempatkan untuk kembali ke rumah lamanya. Melepas rindu juga untuk beberapa barang yang akan dia butuhkan. Langkahnya pelan memandangi setiap sudut rumah beserta isinya, sementara anak-anak berlarian ke ruang bermain. Mengumpulkan barang mereka, sebanyak mungkin. Tiba di depan pintu kamarnya langkahnya terhenti saat mendapati seseorang baru saja masuk tanpa mengetuk. Rupanya Mbak Rina, dia menghampiri majikannya, saling memeluk melepas rindu setelah sekian lama tak berjumpa.Wanita itu mulai mengajak tuannya beristirahat di dalam kamar. Namun, sebelum pergi, d
Ruangan pengap dan lembap berukuran 3x3 dengan dinding yang sebagian berlumut, juga langit-langit yang berlubang menandakan rumah ini memang sudah lama tak terjamah. Pencahayaan yang hanya mengandalkan dari senter, membuatnya semakin suram. Hari ini bahkan harus menjadi saksi biksu, pertumpahan darah yang tak bisa dielakkan lagi. Sorot mata membunuh itu masih menatap tajam pada perempuan yang meringkuk seraya memegangi perutnya. Pakainya telah berubah warna menjadi merah darah. Sayup-sayup terdengar kata tolong keluar dari bibirnya yang memucat.“Sudah kukatakan jangan mengusikku, apalagi dia!” Suara bariton kini mendominasi ruangan. Lengan yang berlumur darah itu mencengkeram dagu, wanita lemah di depannya, memaksa agar dia melihat bagaimana perbuatannya membuat wanita yang berada dalam pangkuannya tergeletak tak berdaya.“Aku enggak akan segan, bahkan untuk menghabisimu.” Wanita itu ingin bicara, tetapi rasa sakit di bagian perut membuatnya te
“Loh, Mas mau ke mana?”“Makasih buat infonya, tolong kabari saya kalau Dilra hubungi kamu.”Tanpa persiapan apa pun Galang pergi ke kota Bandung. Untunglah di perjalanan dia sempat tertidur sebentar, setidaknya tenaganya sedikit memulih.“Pak kalau mau tidur enggak apa-apa. Nanti saya bangunkan kalau sudah sampai Bandung," kata Demian, salah satu staff di kantornya.“Enggak perlu, barangkali saya lihat anak istri saya di jalanan.”“Tapi mata Bapak kelihatan capek.”“Enggak apa, saya baik-baik saja.”Galang tetap membuka matanya lebar-lebar. Menengok ke kiri dan kanan dengan gelisah. Sayangnya yang di cari tak ada di sini. Dia benar-benar hanya membuang waktu.Minggu berlalu Galang masih berada di kota kembang. Seperti orang gila dia terus mencari keberadaan anak dan istrinya. Selama di sana dia menetap di rumah Ibu Rima. Malam hari dia baru pulang untuk tidur, l
Esok hari Galang terbangun, namun tak mendapati Dilra di sampingnya. Dia turun untuk mencari, rupanya Dilra tengah di dapur.“Sayang, masih terlalu pagi kok udah masak aja.”“Lagi kepengen aja, aku buat rendang.”“Tahu aja makanan kesukaan, Mas.”“Makanya itu karena masaknya makan waktu, jadi aku mulainya lebih awal.”Galang meletakkan wajahnya di bahu Dilra yang terbuka, wanita itu memakai daster yang mengekspose kedua bahunya yang putih mulus tanpa celah. Tak cukup sampai situ, Galang melingkarkan perutnya di perut Dilra.“Jangan begini.”“Habisnya kamu bikin Mas pengen nempel terus.”Dilra hanya tersenyum, lekas dia berbalik, sebelum pria itu membuatnya harus kembali mandi.“Mas, belum subuh ‘kan?”
Aku hanya diam menikmati suasana kota di sore hari. Sampai kami tiba di lampu merah, untungnya jalanan belum terlalu padat, ini masih pukul 4 sore setengah jam lagi mungkin akan berbeda.Motor menepi di dekat alun-alun, di sini cukup ramai.“Enggak apa-apa ‘kan duduk di sana sebentar ya.” Aku menunjuk pada bangku di taman.“Memangnya kenapa, di mana pun jadi, Mas. Ayo,” ajaknya. Aku masih menggenggam lengan Dilra. Kami duduk menikmati pemandangan anak-anak remaja yang tengah bermain skate board.“Tinggal dulu ya, Mas mau beli minum buat kamu.” Di sana Dilra lebih banyak diam, hanya bicara tiap kali aku menanyakan sesuatu. Aku masih belum menyerah, mencoba mengalihkan perhatiannya pada beberapa remaja yang berpakaian ala korea. Mereka sepertinya sedang shooting video. Orang-orang ramai berkeremun di dekat anak-anak itu. Aku bisa melihat Dilra pun sesekali terkekeh melihat aksi para penari yang begitu en
“Aku yang egois mengedapankan perasaanku meski itu menyakiti Ayah. Aku yang membuatnya meninggal, Ren.” Dilra masih saja menyalahkan dirinya sendiri.“Kamu yakin ingin meninggalkan suamimu?” tanya Irene.“Harus, Ren. Cepat atau lambat.”“Sanggup?” bukannya menjawab Dilra malah menangkupkan wajahnya pada ke dua telapak tangan.“Yakinkan dirimu, Dil. Bisa jadi kalau Ayah masih hidup dia akan merestui hubungan kalian. Selama melihat putrinya bahagia.”“Enggak mungkin, Ayah membenci Mas Galang dan keluarganya. Dia bahkan memilih mati jika aku nekat rujuk, tapi Allah … memanggilnya lebih dulu,” katanya. Dilra terisak, ah andai aku tidak sedang menyamar sudah kupeluk dia. Saat itu ponsel Dilra berdering. Sepertinya panggilan dari anak-anak.“Loh, memangnya Papah pergi ke mana? Bunda enggak pergi sama Papah kok,” kata Dilra.Gawat. Sepertinya aku
Hari yang ditunggu tiba. Sekalinya dapat job malah di luar kota dengan 2 lokasi berbeda. Sebenarnya aku ingin ikut tetapi di akhir bulan. Kantor selalu banyak pekerjaan. Aku tak mungkin meninggalkannya. Tadi pagi saat Dilra berpamitan. Sesungguhnya aku ingin sekali menahannya. Namun, itu sama saja membuatnya lari dari tanggung jawab. Jam makan siang tiba entah ini teleponku yang ke berapa. Dilra hanya tertawa melihatku terus menerus menghubunginya lewat sambungan video.“Aku masih sendiri, Mas. Enggak ada siapa pun, paling nanti ada Irene yang temani aku,” katanya. Aku hanya tersenyum lalu kembali mematikan telepon. Ingin sekali kutanya kapan dia akan bertemu Hiro, tetapi aku takut dia kira aku begitu protektif. Ini hari pertama dia bekerja seharusnya aku mendukungnya.“Pak, permisi, Ehem!” Ternyata seseorang baru saja berdehem. Itu Vina sekretari
Setahuku akan ada petugas keamanan yang berkeliling setiap 3 jam sekali apalagi setelah keributan yang terjadi di rumahku kemarin siang, keamanan kompleks pasti lebih diperketat. Jadi kurasa kami tak perlu capek-capek mengusirnya. Sudah pasti dia akan kembali di usir. Entah tadi malam dia ke mana, hingga sepagi ini sudah ada di depan rumah. “Mas, lebih cepat dikit,” kata Dilra. “Santai ajalah Dek, kenapa juga harus buru-buru,” sahutku. Andai saja aku bisa melambatkan waktu rasanya aku ingin selalu di sampingmu Dil. Setelah mengutarakan keinginanmu untuk kembali bekerja. Hatiku selalu was-was, seolah kamu akan pergi jauh meninggalkanku dan anak-anak. “Kenapa berhenti, Mas?” kata Dilra. Di depan kami ada sebuah tanah lapang yang cukup besar. Dilra langsung turun lantas memeriksa keadaanku. Dia pikir aku selemah itu. Kalau memang khawatir harusnya kamu di rumah saja, jangan pernah bekerja. Biar aku saja. Aku bahkan rela bekerja lebih giat lagi, demi bisa m