Aku hanya mampu tersenyum, karena detik berikutnya dia menuntut lebih. Sekali lagi dia membisikkan terima kasih setelah satu jam penyatuan kami. Tiba-tiba perutku berbunyi. Mas Zaki tertawa dan mengacak rambutku. "Maaf, udah bikin kamu tambah lapar. Padahal tadi Mbak Jum bilang kalau kamu belum makan malam, tapi aku langsung lupa. Senyum kamu benar-benar udah jadi candu buat aku, Cinta."Aku tertawa. Bahagia benar-benar mengalir dalam setiap helaan napasku saat ini. Menatap Mas Zaki yang sedang berpakaian, aku semakin menyadari bahwa cinta di hati ini pun bertambah subur untuknya. "Diam di sini! Aku ambilkan makanan dulu."Nada suaranya terdengar tak ingin dibantah. Aku hanya menurut dan memilih tetap di balik selimut. Menikmati kebahagiaan yang kini semakin terasa penuh di dada. Lima menit kemudian dia muncul sambil membawa satu porsi makan malam dan segelas air putih. Kenapa hanya satu? Apakah Mas Zaki tidak lapar? Mungkinkah dia sudah makan malam bersama Hana? Kenapa sekarang a
Sampai pagi Mas Zaki belum pulang. Aku bisa mengerti karena kekacauan di gudang pasti membutuhkan kehadirannya dalam upaya penyelidikan. Belum lagi berita terkait video mirip Hana. Untung saja bayi di dalam kandunganku seolah mengerti apa yang sedang terjadi di sekitarnya. Hingga aku tak mengalami banyak hambatan dalam menjalani hari-hari sebagai ibu hamil.Namun, saat sepi seperti ini, aku teringat ayah. Apa daya aku belum bisa menemui lelaki pertama dalam hidupku itu. Saat ini ayah sedang membantu adikku yang baru merintis bisnisnya di Jepang. Sesekali kami melepas rindu melalui pesan, telepon atau video call.Selama banyak kasus yang terjadi, ayah sudah beberapa kali menghubungiku. Seluruh keluarga besarku sudah tahu apa yang terjadi. Mereka menguatkan aku dengan caranya sendiri walau tanpa bertatap muka. Seperti pagi ini, ayah mengirimi aku pesan singkat. "Ayah yakin kamu bisa, Nduk. Kamu wanita kuat yang mampu mendampingi suami dalam jatuh dan bangunnya. Surgamu ada padanya."
"Kenapa kita kayak konvoi begini, Mas?""Rizal bilang terlalu bahaya kalau kita hanya berangkat berdua. Sementara aku cuma ingin berduaan sama kamu di dalam mobil."Jadi itu sebabnya kenapa kami pergi dengan diapit seperti sekarang. Pak Wawan dan Amel di mobil depan, sementara Rizal di belakang bersama Nela. Perjalanan menempuh waktu hampir dua jam hingga kami sampai di lokasi. Ternyata Mas Zaki mengajakku ke kebun miliknya di wilayah Bogor. Di tanah seluas lima hektar itu, Mas Zaki menanam berbagai tanaman buah dan sayur. Aku sempat heran, kenapa dia juga melirik sektor agro. "Aku hanya ingin membantu masyarakat yang tidak memiliki lahan dan ingin bekerja," ujarnya saat aku bertanya. "Sekaligus biar punya tempat buat liburan yang tenang bareng kamu."Mas Zaki juga mendirikan rumah yang sangat besar di tengah kebunnya. Ada sepasang suami istri yang tinggal di rumah ini dan dipercaya untuk menjaga serta mengurus rumah. Sementara pekerja kebun adalah warga yang tinggal tidak jauh di
Dia menatapku dengan ekspresi mengerikan. Bagaimana perempuan itu bisa tahu aku ada di sini? Atau memang rumahnya di daerah ini? Tidak. Mas Zaki tak mungkin membawaku ke wilayah di mana ada orang yang akan membahayakan kami. Rasa takut dan dingin mengcengkeram jantung. Aku mulai bernapas cepat dan merapal dalam hati agar tetap tenang. Perempuan itu memiringkan kepalanya ke satu sisi dan seperti sedang memperhatikanku dengan detail."Bolehkah aku tahu namamu? Mungkin kita bisa berteman?" aku mencoba untuk bicara."Aku tak butuh ocehan, hanya ingin kamu mati.""Bagaimana kamu bisa sampai di sini?" tanyaku berusaha tenang dan lembut meskipun ketakutan seolah mencekik di tenggorokan."Bukan urusanmu."Dia belum membuat gerakan yang berbahaya walau tangannya masih mengarahkan pistol padaku. Ketegangan bahkan kini rasanya sampai ke kulit kepala. Menarik napas dalam-dalam, aku mencoba memenuhi paru-paru dengan udara untuk menenangkan diri. Jika perempuan itu benar-benar berniat membunuh, pa
Seva bergeming, tapi tak juga mengubah posisi tangannya. Perlahan dan pasti, suamiku meraih tangan perempuan itu dan mengambil pistol darinya. Secepat kilat dia melempar senjata itu ke arah belakangku dengan tangan kanannya, sementara yang kiri masih menggenggam jemari Seva. Rizal menangkap pistol yang dilempar Mas Zaki. "Widia, kembali ke rumah bersama Amel. Sekarang!" perintah Mas Zaki tanpa menatapku. “A-aku ....""Jangan membantah," jawabnya lagi.Mata suamiku masih tertuju pada Seva. Perempuan itu berusaha melepas tangannya dari cengkeraman Mas Zaki. Gerakannya justru dibalas dengan pelukan oleh suamiku. Seva meronta."Amel! Bawa Ibu!' Amel mendekat. Dia merengkuh bahuku agar berbalik dan mengikutinya. Aku melangkah dengan pandangan masih tertuju pada dua orang itu. Seva dan suamiku. Senyum tipis terlihat di bibir perempuan itu, sementara Mas Zaki menatapku dingin. Amel melangkah cepat dan setengah menarik lenganku. Kisah apa yang aku belum pahami saat ini?Kami berdua menu
Pagi ini kami masih di rumah kebun. Selesai sarapan, Mas Zaki meminta izin untuk meeting secara online di kamar. Awalnya dia ingin aku tetap berada di sana untuk menemaninya. Namun, karena khawatir istrinya akan bosan, Mas Zaki mengizinkan aku melakukan apa saja asal tetap dalam pengawalan. "Kejadian istri saya hilang dari pengawasan kalian, tidak boleh terulang lagi. Kalau sampai itu terjadi, bisa dipastikan kalian kehilangan pekerjaan. Bukan itu saja, setelahnya kalian tak akan pernah bisa diterima kerja di manapun," pesannya pada Rizal, Pak Wawan, Amel, dan Nela. Tentu nada ancaman dalam kalimat itu bukan hanya gertakan. Mereka berempat tahu siapa suamiku. Mas Zaki tidak pernah main-main dengan perintah dan ucapannya pada semua karyawan.Maka saat ini, aku yang hanya duduk di depan televisi sambil membuka ponsel pun terus menerus dijaga bergantian oleh empat orang kepercayaan Mas Zaki itu. Sebenarnya aku kesal karena tak bisa merasakan kebebasan. Namun, peristiwa ancaman penembak
Perjalanan hampir dua jam itu membuatku tertidur sangat nyenyak di dalam mobil. Bahkan tak tahu kapan sampai di rumah, dan bagaimana bisa tiba-tiba ada di tempat tidur saat aku terbangun."Akhirnya, putri tidur ini bangun juga," seloroh Mas Zaki sambil memencet hidungku."Duh, kamu angkat aku ke sini, Mas?"Dia tersenyum dan mengangguk. "Kenapa nggak bangunin?""Kasihan. Di sana aku udah bikin kamu capek banget, kan?"Wajahku memanas mendengar pertanyaan yang mengingatkan pada momen intim kami. Mengalihkan pembicaraan, aku tak menjawab pertanyaannya, tapi memilih balik bertanya."Nggak berat gendongnya? Aku gendut, kan?"Dia menggeleng. "Aku tidur kayak pingsan, ya? Nggak terasa apa-apa.""Bukan pingsan. Kayak orang mati.""Ih, jahat," seruku sambil melempar bantal ke arahnya. Beberapa menit kami saling memukul dengan bantal dan tertawa. Gerakanku terhenti saat melihat raut wajah Mas Zaki berubah. Aku tak ingin bertanya, tapi menunggu dia mengungkapkan sendiri apa yang sedang dipik
"Aku baru saja menjatuhkan talak tiga pada Hana.""Hah? Kenapa harus talak tiga?"Satu tanda tanya besar terus bergerak di kepalaku. Sebesar apa kesalahan yang telah diperbuat Hana, hingga suamiku tak sekedar menceraikannya, tapi juga menjatuhkan talak yang membuat mereka tidak punya peluang rujuk? Aku khawatir suatu hari Mas Zaki akan menyesali keputusannya. Aku mengusap bagian bawah matanya yang basah oleh peluh dan sedikit bercampur air mata. Aku ingin meraih kepalanya dan membawa ke dalam dekapan. Yang terjadi justru sebaliknya. Dia merengkuhku. Mendekap dengan erat, lalu menciumi rambutku. "Kamu tahu kenapa aku terlihat biasa saja dalam menyikapi video yang diberitakan itu?" tanyanya lirih.Aku menggeleng."Karena aku tahu siapa yang ada di video itu sebenarnya."Ingin rasanya aku melihat wajah Mas Zaki saat ini dan menatap ke dalam manik matanya yang sewarna madu. Namun, dia mendekapku seakan tak ingin melepas sampai kapanpun. Aku hanya merasakan napas dan detak jantungnya yan
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus