Amarahnya telah mencair, tapi bahasa tubuhnya tak lagi seperti kemarin. Masihkah dia marah? Berhari-hari itu menjadi denting pilu dalam gerakku di tengah kebisuan yang menyayat. Hingga aku merasa ada yang sangat aneh. Ya, dia tak pernah menyentuhku sejak kehadiran Dokter Elita. Marahnya tak lagi ia redakan dengan penyatuan yang sangat menuntut seperti biasa, dan aku sungguh kehilangan.Kami masih tidur di ranjang yang sama. Dia tetap memelukku dalam pejamnya. Namun, kalimatnya tak lagi penuh rayu dan menggoda. Kosa katanya jauh berkurang tak seperti yang telah lalu. Aku mencoba menarik perhatiannya. Mengubah pakaian dengan yang sedikit terbuka saat bersamanya di dalam kamar. Selalu tampil dengan wajah cantik full make up ketika Mas Zaki ada di rumah. Sampai memancingnya dengan gerakan dan sentuhan menggoda setiap kami berdekatan. Namun, dia bergeming. Seringkali kulihat kilatan keinginan di matanya, tapi Mas Zaki mampu meredamnya setelah beberapa lama. Hingga malam ini aku tak lagi
Namun, bukan isi perut yang terhambur ke lantai, tapi darah. Sangat banyak dan sulit kuhentikan. Hingga lantai berubah menjadi genangan merah yang berbau anyir. Mas Zaki melompat. Dia langsung menahan tubuhku yang lemas dan masih menyemburkan darah dari mulut. Kali ini cairan kental itu diiringi gumpalan-gumpalan besar seperti hati sapi. Sangat tidak bisa diterima nalar."Ya, Tuhan. Kamu kenapa, Cinta?"Aku berusaha menggeleng, tapi darah masih keluar dari mulut. Jika seluruh cairan merah kental dan gumpalan-gumpalannya disatukan, sepertinya bisa memenuhi satu ember kecil."Amel! Wawan!" teriak Mas Zaki panik.Kedua orang itu muncul hampir bersamaan di pintu kamar. "Ya, Allah," seru Amel dan Pak Wawan bersamaan. Mereka menatapku dengan wajah panik bercampur heran dan takut. Pemandangan di depan mereka memang menyeramkan. "Ibu kenapa, Pak?" tanya Amel dengan khawatir."Saya nggak tahu. Kamu minta bantuan mbak yang di belakang buat bersihkan ini. Wan, bantu Amel.""Baik, Pak."Kedua
"Semuanya demi kebaikan kamu. Ingat itu," ujarnya sebelum berlalu tadi. Saat dia kembali, aku langsung diajaknya menuju ruang rontgen. Setelah dilakukan pemeriksaan bagian thorax, kemudian kami masuk ke ruang dokter spesialis paru. Di sana, seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima tahun dan berpakaian khas dokter sedang memperhatikan foto hasil rontgen thorax milikku. Dokter yang ternyata bernama Andre itu memintaku untuk naik ke atas hospital bed dan melakukan beberapa pemeriksaan. Setelah dirasa cukup, aku turun dan duduk di sebelah Mas Zaki. Kami berdua menatap ke arah Dokter Andre dan menunggu penjelasannya. "Semua pemeriksaan terhadap Bu Widia hasilnya baik. Paru-paru dan jantungnya sehat. Tak ada sesuatu yang mencurigakan dari hasil rontgen ini. Jadi, apa keluhan yang sebenarnya?"Mas Zaki menceritakan apa yang baru saja terjadi di rumah kami dengan runut. Beberapa kali ekspresi wajah Dokter Andre terlihat ngeri, tapi tetap menunjukkan ketidakpercayaan. "Nggak mungkin
Jelas terdengar nada panik dan juga marah dari suaranya. Lelaki yang dipanggilnya seketika mendekat.Lelaki yang dipanggilnya seketika mendekat."Ya, Pak," jawab Pak Wawan sambil melirikku dengan tatapan kasihan. "Kamu jemput Ustadz Azzam sekarang juga. Minta tolong agar beliau berkenan ke sini. Kalau Ustadz sedang ada acara, kamu tunggu sampai selesai.""Baik, Pak."Saat Pak Wawan berlalu, Amel datang membawakan teko berisi air putih dan gelas. Dibantu Mas Zaki, aku berkumur dan membersihkan mulut saat tak ada lagi darah yang keluar. Gaunku sekarang bernoda merah di sana sini. "Ayo, kita ke kamar. Kamu harus mandi dan ganti pakaian," ujar Mas Zaki sambil membimbingku berjalan. "Amel, kamu bisa minta bantuan yang lain untuk membersihkan ini.""Baik, Pak."Entah apa yang sedang terjadi pada tubuhku. Jika benar ucapan Dokter Andre, berarti masih ada yang melakukan serangan hitamnya lagi ke rumah ini. Tepatnya padaku. Mungkinkah itu Hana dan keluarganya? Setelah satu jam, akhirnya Us
Aku melangkah mendekati Wawan dan dua satpam di sebelahnya. Saat berbalik dan menatap ke arah puncak atap rumah, mataku dikejutkan dengan satu bola api besar yang merah menyala. Benda itu beberapa kali sudah hampir menyentuh atap, tapi seperti ada sesuatu yang keras dan menahannya. Begitu terus berulang-ulang. Ya, Allah. Cobaan apa lagi ini? Aku terus berdzikir. Mengucap istigfar berkali-kali dan membaca tiga surat terakhir dalam Al Qur'an.Tiba-tiba Mas Zaki muncul di pintu dan setengah berlari dia melompat ke arah kami. Pandangannya langsung ikut diarahkan ke atas atap. "Astaghfirullah," lirihnya terdengar olehku. "Cinta, sebaiknya kamu masuk ke dalam rumah. Ini bahaya. Akan lebih aman kalau ...."Aku mengabaikan ucapan Mas Zaki dan kini melafalkan sebagian hapalan surat Al Baqarah dengan suara keras. Terus begitu berulang-ulang, hingga entah di menit ke berapa, tiba-tiba bola api itu berbalik melesat pergi ke arah timur. Mas Zaki langsung memelukku. Terdengar ucapan istigfar la
"Iya juga, ya, Pak."Selesai makan, kami semua masuk ke kamar yang sudah disediakan ibu. Rumah ini cukup besar, hingga banyak ruangan yang tidak terpakai di hari biasa. Namun, saat seperti ini, semua tak perlu repot karena bisa menginap dan tidur dengan nyaman. Aku merebahkan tubuh di kamar milik Mas Zaki sejak dia masih SMP. Ruangannya tidak terlalu besar, tapi tertata apik dan menarik. Tak butuh waktu lama untuk kemudian aku terlelap.Esok harinya Mas Zaki mengajak kami semua untuk berburu kuliner. Kangen lentog tanjung katanya. Makanan khas Kudus itu serupa dengan lontong yang dilengkapi dengan sayur nangka muda dan kuah santan. Kami meluncur ke pusat asal lentog tanjung, yaitu di Desa Tanjungkarang, Kecamatan Jati. Setelah melewati Terminal Jati, Mas Zaki mengambil arah Lingkar Selatan Kudus sampai sebelah utara Proliman Tanjung. Di sinilah pusat penjual lentog tanjung. Ada sekitar dua puluh kios yang menjual menu itu.Lentog tanjung dijual dengan harga yang sangat bersahabat.
Perempuan itu berdiri, lalu perlahan melepas kacamata dan maskernya. Seraut wajah menawan kini terlihat jelas. Mata birunya sedang menatap tajam ke arah Mas Zaki. Garis wajahnya sekilas mirip Hana, tapi hidung perempuan ini lebih bangir. "Aku dulu merelakanmu demi Hana, tapi akhirnya dia terlalu bodoh hingga membuatmu lepas ke tangan perempuan seperti dia. Kalau sepupuku diam, bukan berarti kamu bebas Zaki. Jika tak ada satu dari kami yang bisa memilikimu, maka orang lain pun tidak."Jadi, dia sepupunya Hana. Pantas saja aku melihat kemiripan di sana. Termasuk tubuhnya yang indah dan memesona. Ternyata begitu banyak perempuan yang terobsesi pada suamiku. "Kamu gila, Intan.""Terserah kamu mau bilang apa. Ingat, selama aku masih hidup, nggak akan ada yang bisa tenang menjadi istrimu, Indra."Api semakin menyala di mata Mas Zaki. Tangannya mengepal di dua sisi."Aku nggak akan pernah membiarkan siapapun menggores kulit Widia walau satu senti. Hentikan sihir itu, atau kamu sendiri yang
"Justru itu, aku nggak mau kita masih di rumah ini pas kamu lahiran nanti.""Kalau gitu kita balik ke salah satu rumah yang lama aja.""Nggak. Terlalu banyak kejadian aneh di sana. Aku mau bayi kita bersih dari gangguan semacam itu. Dua rumah itu rencananya mau aku jual aja nanti. Atau disewakan mungkin.""Ya udah, terserah kamu aja. Aku ikut mana yang terbaik.""Sekarang, kamu dandan yang cantik. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.""Ke mana?""Kalau dikasih tahu sekarang, bukan kejutan namanya.""Oke, deh. Tunggu sebentar, ya?"Aku melangkah ke kamar untuk bersiap. Sebuah gaun linen yang nyaman dengan motif abstrak menjadi pilihanku kali ini. Dipadu dengan pashmina yang belum lama dibelikan Mas Zaki. Saat itu aku heran karena dia tiba-tiba membawa paper bag dengan nama sebuah brand terkenal tertulis di bagian depannya. "Apa ini?""Cinta, sebenarnya aku lebih suka kalau kamu nggak pakai apa-apa, tapi tadi nggak sengaja lewat di gerai milik desainer ini dan kayaknya bagus-bagus. Jadi
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus