"Justru itu, aku nggak mau kita masih di rumah ini pas kamu lahiran nanti.""Kalau gitu kita balik ke salah satu rumah yang lama aja.""Nggak. Terlalu banyak kejadian aneh di sana. Aku mau bayi kita bersih dari gangguan semacam itu. Dua rumah itu rencananya mau aku jual aja nanti. Atau disewakan mungkin.""Ya udah, terserah kamu aja. Aku ikut mana yang terbaik.""Sekarang, kamu dandan yang cantik. Aku mau ajak kamu ke suatu tempat.""Ke mana?""Kalau dikasih tahu sekarang, bukan kejutan namanya.""Oke, deh. Tunggu sebentar, ya?"Aku melangkah ke kamar untuk bersiap. Sebuah gaun linen yang nyaman dengan motif abstrak menjadi pilihanku kali ini. Dipadu dengan pashmina yang belum lama dibelikan Mas Zaki. Saat itu aku heran karena dia tiba-tiba membawa paper bag dengan nama sebuah brand terkenal tertulis di bagian depannya. "Apa ini?""Cinta, sebenarnya aku lebih suka kalau kamu nggak pakai apa-apa, tapi tadi nggak sengaja lewat di gerai milik desainer ini dan kayaknya bagus-bagus. Jadi
Aku melihat kesungguhan di matanya. Sisi egoisku sebagai istri tentu saja tak ingin dia mendatangi Hana. Namun, bagaimana juga perempuan itu sudah mendampingi Mas Zaki jauh sebelum aku mengenalnya. Selain itu, sebagai sesama manusia tentu salah satu haknya adalah untuk dijenguk saat sakit. "Semua terserah kamu, Sayang.""Dengar, aku nggak akan pergi, kalau kamu yang melarang."“Bagaimana juga, ini bagian yang pernah ada di hidupmu. Jadi lakukan saja sesuai hati kecilmu,” gumamku.“Jangan seperti itu,” katanya sambil mengusap kepalaku. "Hidup yang kuinginkan sekarang adalah tentang kita. Bersama-sama."Ya, Tuhan. Mungkinkah dia tahu bahwa ada sisi ketakutanku tentang hal ini? Bahwa knyataannya aku menjadi paranoid?Dia merengkuhku ke dalam pelukannya. “Sudahlah. Lupakan. Aku nggak bakal nemuin dia. Kita punya urusan yang lebih besar saat ini.""Tentang?""Tunggu sebentar lagi."Sekitar satu setengah jam kemudian kami sampai di depan sebuah rumah dengan danau kecil di depannya. Ini se
Tubuh suamiku sedikit menegang tapi tidak terlalu terlihat. Ela pun mungkin tidak menyadarinya.Aku yakin Mas Zaki selama ini sadar bagaimana reaksi wanita terhadapnya. Terbukti dengan banyaknya orang-orang yang mengganggu kami saat ini. Hampir semuanya perempuan. "Aku ingin ada penambahan banyak dinding kaca untuk rumah ini. Itu lebih menghemat energi listrik karena kami tak harus menyalakan lampu-lampu di siang hari. Selebihnya aku tak ingin perubahan yang berlebihan. Karena bentuk awal rumah ini sudah membuatku jatuh cinta."“Aku mengerti.”"Oh, iya. Warna dindingnya aku minta diubah menjadi putih.""Kenapa?" tanya Ela ingin tahu. "Karena seperti cinta kami yang juga putih."Itu bukan aku yang bersuara, melainkan Mas Zaki. Dia menjawab pertanyaan Ela, tapi matanya tetap lurus ke arahku. Ada kilatan hangat di sana. Arsitek muda itu kini pipinya memerah. Aku tersenyum pada Mas Zaki yang menatap intens. Aku tahu Mas Zaki tidak sepenuhnya setuju akan ide tersebut, tapi dia tidak menj
Dalam perjalanan pulang, Mas Zaki masih terus tersenyum mengingat sikapku pada Ela. "Kenapa nggak bilang sebelumnya? Jadi aku nggak harus bersikap seperti itu ke dia, kan?""Aku nggak terpikir kamu bakalan cemburu, Cinta. Bahkan selama ini sama Hana pun kamu kelihatan biasa aja. Nggak pernah ada tanda-tanda jealous gitu.""Memangnya kalau cemburu harus dikasih lihat?""Kadang perlu seperti itu, Sayang. Seperti hari ini."Lagi-lagi dia senyuman geli tergambar jelas di matanya, dan itu sangat menyebalkan. Kuhadiahi dia dengan cubitan kecil di pinggangnya hingga menjerit. Amel dan Pak Wawan yang duduk di depan hanya tersenyum melihat sambil melirik ke arah kami berdua.Dua tanganku tiba-tiba ditangkap Mas Zaki. Dia kemudian meraih tubuhku ke dalam dekapannya."Walau kamu lucu banget hari ini, tapi aku senang," bisiknya. "Selama ini aku nunggu-nunggu kapan kamu cemburu."Ingin aku mendaratkan cubitan di perutnya, tapi apa daya kedua tangan dijepit olehnya."Kapan-kapan kamu harus ikut ke
Aku berusaha untuk terjaga, dan sakit itu semakin terasa. Dokter Elita mengarahkan aku untuk menarik napas dan mendorong di sana. Terus berulang beberapa kali. Entah mengapa rasa kantuk ini kembali datang. Mataku kembali hampir terpejam hingga sebuah tepukan di pipi kembali terasa. "Jangan tidur, Bu Widia. Kasihan bayinya. Ayo, ikuti saya."Dia berseru padaku agar menarik napas dan mendorong di sana. Aku mencengkeram apapun yang bisa teraih oleh tangan. Seakan dengan begitu aku bisa menyalurkan rasa sakit ini. Beberapa kali sepertinya tangan Mas Zaki yang menjadi objek cengkeraman tanganku, tapi dia sama sekali tak mengasuh. Bahkan terus menyemangati dengan senyumnya. Beberapa kali dia mengusap keringat di wajahku."Sedikit lagi, Bu. Rambutnya sudah terlihat. Ya, terus dorong seperti itu. Bagus. Terus. Ya, Alhamdulillah."Semua suara itu terdengar samar, tapi aku tetap mengikuti arahan yang diberikan. Menit berikutnya suara tangis bayi memecah ruangan, tapi kemudia seperti menjauh.
Dia tertawa, dan aku ngeri melihat Cyra dalam gendongannya. Sejenak berusaha berpikir cepat. Memanggil Mas Zaki sangat tidak mungkin. Bahkan untuk meraih ponsel di meja pun, bisa saja akan membahayakan posisi bayiku. Sebisa mungkin aku tak membuat gerakan yang mencurigakan, agar Hana tak berbuat nekat. Perlahan aku beringsut hendak meraih tombol yang biasa digunakan untuk memanggil perawat atau dokter. Letaknya tak terlalu jauh, tapi aku tetap harus bergeser untuk mencapainya. Sebaiknya aku mengalihkan perhatian Hana dulu. "Di mana Indra? Dia harus bertanggung jawab atas matinya bayi di perutku.""Hana, tenanglah. Mas Zaki sebentar lagi datang. Dia pasti senang melihatmu."Ada nyeri di hati saat mengucapkan kalimat itu. Kata-kata yang sengaja kuucapkan untuk mengubah fokus Hana. Biarlah kalau itu bisa menyelamatkan Cyra."Dia hanya peduli padamu, Widia. Sejak kamu hadir, aku bukan lagi jadi pusat dunianya. Sekarang, bahkan bayi yang ada di rahimku pun pergi. Dia nggak mau punya ibu
Tatapannya kemudian melembut dan memperlihatkan ekspresi menyesal.Dua orang perawat di belakang Mas Zaki sudah hendak bergerak, tapi berhenti saat suamiku mengangkat tangannya. Dia memberi isyarat agar menunggu. "Lihat dia, Hana. Bayi itu masih sangat lemah. Berikan padaku sekarang," bujuk Mas Zaki sambil perlahan melangkah mendekat. Tangannya terulur ke arah Hana seakan hendak meminta Cyra.Mas Zaki memberi kode dengan dagunya kepada Nela dan Pak Wawan. Kedua orang itu langsung bergerak mendekatiku. Sementara itu, Hana tetap fokus pada Cyra. Bibir indahnya tersenyum. Aku menahan napas. Apa yang akan dilakukan Hana? Apa juga yang akan Mas Zaki lakukan? Keduanya kini saling menatap. Ekspresi suamiku penuh dengan emosi yang tak bisa dijelaskan. Mungkinkah itu rasa kasihan, sayang, atau .... Tidak. Apakah dia masih mencintainya?Mata Mas Zaki yang menembus ke dalam mata Hana, perlahan-lahan menyiksaku. Sangat terasa bahasa hati di antara mereka. Tiba-tiba aku merasa tak sepatutnya ada
Aku menerima bunga pemberiannya dengan cemas. Sudah terbayang bagaimana nasib buket ini nantinya."Aku melihat kamu didorong pakai brankar saat awal datang. Kebetulan adikku salah satu manajer di rumah sakit ini."Aku hendak berkata, tapi Mas Zaki sudah mengambil alih."Oh, bagus. Bilang sama adikmu itu, aku akan mengirimkan somasi, bahkan kalau perlu langsung menuntut rumah sakit ini. Kelalaian institusi yang bisa menyebabkan seseorang hampir kehilangan nyawa benar-benar tak bisa dibiarkan. Ingat itu.""Ya. Saya sudah mendengar semuanya. Penanggung jawab rumah sakit ini akan datang menemui anda untuk menyampaikan permintaan maaf.""Saya rasa permintaan maaf saja tidak cukup. Sampaikan itu pada adik anda."Aku meremas jemari Mas Zaki yang ada dalam genggaman. Memberinya isyarat agar tak melanjutkan pembicaraan yang menegangkan itu. "Maaf, Ar. Kami permisi," ujarku lirih sambil sekilas menatap ke dalam matanya yang gelap.Arsi mengangguk dan memberikan tatapan teduhnya. Aku yakin dia m
Waktu yang hanya tinggal beberapa jam sebelum grand opening restauran, membuatku tidak bisa santai. Walau banyak pihak membantu, tetap saja aku menjadi orang yang paling tidak tenang saat ini. Apalagi banyak tokoh dan pejabat penting yang diundang oleh Ayah. "Fri, kamu nggak apa?"Aku menoleh ke arah datangnya suara yang sangat akrab di telinga. Sosok yang cukup banyak berperan dalam berdirinya bisnis ini."Aku baik-baik aja, Ar. Hanya sedikit nervous."Arsi tersenyum menatapku dengan matanya yang berbinar seperti embun pagi terkena pantulan sinar matahari. Tak seperti tamu undangan lainnya, lelaki itu mengenakan kemeja dengan kerah s"Aku yakin semuanya akan berjalan dengan lancar. Persiapan hampir tidak ada yang meleset. Pemikiran cemerlangmu, ditambah kekompakan seluruh karyawan baru, pastinya akan membawa sukses untuk restauran ini sejak hari pertama.""Bagaimana juga, aku tetap khawatir, Ar. Beberapa tahun terakhir, aku sam
Hidup terkadang berubah terlalu cepat, hingga kita tak sempat beristirahat. Semua yang ada di depan mata kadang berganti dalam sekejap. Harapan yang hilang mungkin bisa diraih kembali. Namun, semua perubahan itu harusnya disyukuri, karena ada saat di mana tak akan ada lagi perubahan dalam hidup. Itulah hari saat kita harus pulang pada-Nya. Bagiku, malam adalah rasa sakit, karena harus melaluinya dalam kesendirian yang dipenuhi bayang masa lalu. Itu sebabnya aku enggan menjumpai hari yang gelap. Namun, ternyata siang ini jauh lebih buruk dibanding dinginnya udara setelah senja. Aku berada di tempat dan waktu yang salah, saat datang ke sebuah kafe. Ada janji temu dengan seorang mitra siang ini. Jam di tanganku masih menunjukkan pukul 10.55 WIB. Lima menit lagi ia akan datang untuk makan siang bersama. Aku mencari tempat duduk yang nyaman. Sebuah sudut menghadap jendela sangat pas untuk bincang bisnis di tengah lunch. Sambil menunggu, aku memesan minuman d
Melihatnya diantar Arsi jelas membuat darahku mendidih. Tak adanya ikatan lagi di antara aku dan Widia pasti membuat lelaki itu merasa berhak mendekat. Saat Arsi turun dari SUV miliknya, lalu membukakan pintu untuk Widia, seketika tanganku bergetar. Harusnya aku yang ada di sana. Walau diucapkan dengan lirih, aku bisa mendengar kalimat Widia untuk mantan kekasihnya itu. "Sebaiknya kamu langsung pulang aja, Ar." "Kenapa? Kamu takut Zaki marah?""Bukan gitu, tapi ....""Tenang, Fri. Dia udah nggak berhak marah saat melihatmu pulang bersama siapa pun sekarang. Udah nggak ada ikatan di antara kalian. Masa iddahmu juga udah lewat."Ya, statusku saat ini memeng sudah tidak punya hak untuk melarang Widia melakukan apapun dan bertemu siapapun. Namun, kenapa harus Arsi? Aku yakin masih ada cinta di antara keduanya. Walau Widia Telah mengungkapkan perasaannya padaku, bukan tidak mungkin di ruang hatinya yan
"Aku sama sekali nggak nyangka bakal ketemu kamu di sini, Fri. Janji temu dibuat sama Samudera dan Arta. Mereka juga cuma menyebutkan nama restoran kamu aja, tanpa nyebut pemiliknya."Penjelasan Arsi tentu saja masuk akal. Membuatku urung menelepon Arta dan meminta penjelasan. "Sejak kapan kamu membuka jasa konsultasi bisnis?""Udah lama sebenarnya, tapi kemarin-kemarin aku nggak terjun langsung." "Bisnis bakery dan kafe kamu masih jalan juga?""Masih, tapi aku hanya tinggal mengawasi aja. Sekarang kuminta ponakan buat mengelola langsung."Pembicaraan berlanjut pada rencana bisnisku. Kemampuan Arsi patut diacungi jempol. Semua saran dan usulannya tepat sesuai yang kuinginkan untuk perencanaan perkembangan resto. "Kenapa tiba-tiba kamu terjun ke bisnis ini, Fri?""Sementara ini aku hanya berpikir untuk mengisi waktu, Ar.""Hah? Mengisi waktu dengan hal seserius ini? Sampai kamu harus bayar konsul
Ternyata perpisahan adalah satu fase kehidupan yang sangat berat untuk kuhadapi. Aku pernah mengalaminya sebelum ini, yaitu saat Ibu meninggal. Sakit dan nyerinya teramat dahsyat. hingga membuat dadaku sesak. Perpisahan kedua ketika aku harus melepaskan Arsi karena bakti pada orang tua. Yang menyakitkan bukan karena aku tak bisa bersamanya, melainkan ketika harus melihat luka di mata lelaki itu.Memang benar, tak pernah ada yang mudah ketika menghadapi kata pisah. Bahkan saat telah kucoba meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Melihat mata Mas Zaki, aku hampir tak sanggup membendung air mata. Namun, aku tak ingin terlihat lemah di matanya. Widia bukan perempuan cengeng yang akan menangis dan mengharap belas kasih sang mantan. Kalau dia kemudian berkata masih cinta, haruskah aku mendadak tersenyum bahagia? Lelaki itu duduk diam menunggu reaksiku. Berusaha tenang, aku menatap matanya. Membiarkan helaan napas menyelimuti diam dan hening
"Satu lagi, kenapa ponsel kamu nggak aktif lebih dari satu jam?"Ya, Tuhan. Kenapa orang ini? Dia sudah bukan siapa-siapa, lalu kenapa harus mengganggu dengan sikap posesifnya?"Lupa ngecas aja," jawabku santai.Seketika aku teringat perhatian Mas Zaki lainnya saat kami masih bersama. Dia yang selalu memperhatikan banyak benda milikku, termasuk ponsel. Malam sebelum tidur, Mas Zaki akan memeriksa semua gadget, lalu mengisi dayanya. Ternyata dalam beberapa hal, kehidupanku menjadi kacau sejak tidak bersamanya. Ah, kenapa aku jadi merasa seperti ini? Seharusnya aku bisa move on dari mantan suami, menguras rindu menjadi debu, bukan malah teringat kenangan-kenangan kami. "Sampai kapan kamu di puncak?""Belum tahu, kenapa memangnya?""Hanya ingin memastikan keamananmu, Wid.""Kenapa harus peduli, Mas? Kita udah nggak ada hubungan apapun, dan aku bisa menjaga diriku sendiri.""Keselamatan Cyra juga bergantung padamu. Jadi aku harus memastikan kamu aman."Ah, iya. Kenapa aku terlalu perca
Aku menatap wajah tiga lelaki itu satu persatu. Apakah mereka tidak berpikir tentang hatiku saat ini? Sosok yang ada di hadapan mereka jelas bukan barang yang bisa diperebutkan begitu saja. Apakah mereka tidak berpikir tentang luka yang hadir setelah perceraian? Apalagi dengan sebab yang tanpa pernah terucap. Aku bangkit dan berjalan meninggalkan mereka. Tanpa senyum dan kata-kata. Untuk sesaat kulihat sepasang mata yang terluka. Tatapan itu tak pernah kusangka akan hadir, dari dia yang pernah mengucap talak. Langkahku kemudian terhenti di depan pintu kamar saat Nela bertanya lirih. "Bu Widia butuh sesuatu? Biar saya siapkan.""Nggak usah. Saya hanya ingin istirahat. Cegah siapapun yang ingin bertemu saya.""Baik, Bu."Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya. Tiba-tiba tubuhku merasa sangat lelah.Kuhempaskan diri di atas pembaringan yang dingin. Sejenak memandangi langit-langit kamar. Sekelebat bayang Mas Zaki muncul di sana. Wajahnya terlihat lebih tirus dibanding saat sebelumn
Mas, tentu kau tahu, aku sangat senang memandangi bintang saat gelap. Di waktu seperti itulah aku bisa mendengar isi kepala sendiri. Namun, bintang-bintang itu terasa jauh hari ini. Seperti dirimu.Aku berusaha menutupi semua yang terjadi. Tak ingin Ayah tahu tentang perceraian yang tidak pernah kusepakati. Namun, saat kamu telah bicara di depan media, aku bisa apa?Yang kutakutkan bukan kemurkaan Ayah, melainkan Bang Deri. Kakak sepupu dari garis Ibu. Kami tumbuh besar bersama. Ia menjagaku laksana boneka porselen yang tak boleh jatuh. Bang Deri juga yang paling menentang saat aku dijodohkan dengan Mas Zaki. "Kamu nggak butuh lelaki lain, Wid. Cukup aku yang akan menjadi segalanya buat kamu."Kalimat itu ia ucapkan saat tahu aku tak menolak dijodohkan dengan Mas Zaki. "Aku ngerti perasaan Abang, tapi ini keputusan Ayah karena harus menjalankan wasiat Ibu. Apalagi, kita adalah sepupu.""Kita bisa nikah, Wid. Nggak ada larangan dalam agama untuk menikahi sepupu.""Ya, tapi di keluarg
Pernahkah kamu jatuh cinta, lalu alih-alih bahagia justru menderita kerenanya? Aku punya cinta pertama, tapi harus meninggalkannya karena perjodohan yang dilakukan para tetua tanpa peduli hati yang terluka. Lalu kubiasakan kalbu dan raga untuk menerima cinta yang baru. Merawatnya hingga benih cinta pun tumbuh di taman hati. Namun, sekali lagi aku harus terluka. Semestinya dulu aku menjaga jarak dan menarik batas. Menjaga hati agar tak terluka saat cintanya kemudian surut. Tidak. Cinta Mas Zaki tentulah masih tetap sama untukku. Kami bahkan masih bercinta hingga kelelahan di pagi hari. Namun, kenapa kemudian kata cerai yang terucap?Ia sama sekali tak menyebut sebuah alasan. Bahkan telah melangkah jauh sebelum aku tahu kenapa. Pagi itu seluruh hidupku berubah seratus delapan puluh deraja. Mas Zaki ternyata telah membereskan semua perlengkapanku, Cyra, Nela, Vita, dan Bi Ani. Mulai dari pakaian dan aneka kebutuhan. "Kamu harus pindah dari rumah ini. Tenang aja, semua sudah aku urus