Di tempat Lain, Aluna sudah berada di dalam ruang inap Angel. Anton tidak menyadari, ia ketiduran di atas sofa. Sudah beberapa malam, Anton kurang tidur karena menunggu Angel. Ia berharap putri kecilnya segera sadar dari koma. Anton terbangun ketika Aluna memanggil namanya, berasa seperti seseorang menyebut nama dalam mimpi. Anton membuka mata, suara itu terus memanggil hingga berulang kali.
Nampak raut Anton sangat kusam dan tidak terurus. Sudah lama Aluna tidak melihat Anton di kampus. Tanpa bertanya, Aluna sudah tahu jika Anton mengambil cuti agar bisa menjaga Angel. Aluna tahu bagaimana sayangnya Anton pada Angel. Anton mungkin tidak akan bisa fokus bekerja, mengingat Angel sedang terbaring dan tidak ada yang menjaga.
“Kenapa kamu bisa di sini?” tanya Anton sambil mengusap mata dan membangunkan badan, ia langsung duduk di sofa.
“Aku ingin menjenguk Angel, Pak!” tutur Aluna gugup. Anton tidak tersenyum ketika melihat Aluna. Nanpak dari wajah, jika An
Di luar ruang inap, Lilis dan Fatma menatap ke satu arah, ketika mendengar suara pintu terbuka. Aluna keluar, wajahnya lesu. Ia melangkah tanpa melihat sekeliling. Lilis dan Fatma berdiri menghampiri dengan langkah lebar.“Bagaimana, Al?” tanya Lilis, sambil memegang pundak Aluna.Aluna masih terdiam, kelopak mata berkaca, pandangan terhalang oleh air. Ia berjalan dengan menunduk. Tidak ingin ada yang melihat wajahnya saat ini. Fatma berada di sisi kanan Aluna dan Lilis berada di sisi kiri. Fatma sedari tadi hanya diam, takut jika sepatah kata yang keluar dari bibir akan salah. Fatma dan Lilis berusaha mensejajarkan langkah dengan Aluna.Lilis menutup mulut untuk berkata, hingga mereka tiba di parkiran. Ia menarik tangan Aluna, sambil berkata, “Jangan pulang dulu! Keadaanmu sedang tidak baik, Aluna! Jangan mengendara di saat seperti ini."Terdengar oleh Aluna, suara tegas Lilis. Tidak membantah, Aluna mengikuti dengan pasrah. Lilis memba
“Jadi kita mau di sini saja atau cari tempat nongkrong,” ucap Lilis lagi.“Di sini saja, nggak apa!” jawab Aluna. Menggeser duduknya, “Kamu duduk di tengah!” lanjut Aluna melihat Lilis.“Rempong sekali yah, ibu ibu ini,” Fatma menyela ucapan Lilis dan Aluna, ia mengakhiri perkataan dengan tawa kecil keluar dari bibir.Lilis pun duduk di perantara Fatma dan Aluna, ia lalu berkata, “Jadi ini terserah aku, mau bercerita dari mana?” Aluna dan Fatma mengganguk. Dan memberi isyarat untuk Lilis bercerita.Sambil berucap, pikiran Lilis mengingat kembali pertemuan dengan Fatma saat di parkiran.Lilis memperlambat langkah, ketika melihat Fatma duduk di atas motornya sambil memainkan handphone. Mata mereka bertemu, ketika Fatma mengangkat wajah. Fatma langsung turun dari motor dan berdiri di samping. Ia lalu berucap ketika Lilis sudah berada di dekatnya, “kita bisa bicara sebentar, Lilis? A
***Zolan sedang menelepon orang di kamarnya. Tiga hari sekali ia akan menghubungi, menanyakan tentang seseorang yang sampai saat ini masih ia cari.“Hallo!” ucap Zolan, mendengar sapaan dari orang di balik handphone, Zolan kembali berucap. “Bagaimana, sudah ada informasi tentang Sindy!” Selalu, pertanyaan itu terucap dari bibir Zolan. Ia tidak pernah bosan mengucap kalimat yang sama.“Belum ada, Pak! Belum ada satu pun informasi yang aku dapatkan!” jawab orang dari seberang telepon dengan singkat.“Bagaimana mungkin? Kamu sudah bekerja selama tiga tahun, hanya mencari tahu keberadaan Sindy saja kamu tidak bisa!” ucap Zolan, emosi.“Seperti yang pernah aku katakan dulu, Pak! Sepertinya sepuluh tahun yang lalu, data perjalanan Sindy sengaja di hilangkan oleh pihak bandara. Jadi sangat sulit untuk mengetahui keberadaan Sindy. Maaf kalau aku lancang berucap, Pak. Buktinya, orang suruhan
“Permisi, Kak! Kak Zolannya ada?” ucap Aluna. Laura mengangkat wajah dari Komputer yang ada di hadapan.Laura melihat dari ujung kaki sampai kepala. Aluna membatin, “selalu saja, ada orang yang melihatku seperti ini. Apa tidak bisa, tatapan itu biasa saja? Tapi semoga dia lupa, jika aku yang dulu pernah mengotori gaunnya.” Aluna memperbaiki kacamata besar yang menempel di wajah.Sambil tersenyum, Laura berucap. “Oh adiknya Zolan, ya! Masuk saja, Zolan ada di dalam!”“Adik!” Mimik wajah Aluna nampak heran, ia belum beranjak dari tempatnya berdiri.“Aku Laura! Sekretaris Zolan,” tutur Laura, sambil mengulurkan tangan.Aluna tersadar. Ia pun tersenyum, dan menjabat tangan Laura. “Aku Aluna! Senang bisa kenalan dengan Kakak!”Laura melepas tangan, sambil berkaa, “Kamu jangan kaget ya, kenapa aku tidak memanggil Zolan dengan embel-embel bapak! Aku dan Zolan sudah bertem
Kurang lebih tiga puluh menit mengendara, Aluna sudah tiba di kampus. “Alunaa!” Suara cempreng Fatma memanggil dari belakang langkah Aluna. Fatma sudah kembali seperti dulu, ia kembali ceria, dan memberi warna dihidup Aluna. Setelah kejadian di rumah sakit, semua berubah. Fatma sebagai orang yang juga berpengaruh di lingkungan kampus berhasil mengubah citra Aluna. Tidak ada lagi yang menganggap Aluna murahan. Mereka semua akhirnya tahu jika selama ini Aluna bekerja sebagai pengasuh Angel, anak Anton. Meskipun, sesekali masih ada yang membully. Tetapi, Aluna tidak mengganggap bullyan itu sebagai hal yang menyakitkan. Sekarang jika ada yang yang mengganggu, alasannya hanya satu, gaya berpakaian Aluna yang di anggap cupu. Penampilan seperti itu adalah pilihan hidup Aluna. Jadi, bagi Aluna tidak masalah. Aluna menghentikan langkah.“Kenapa sih, suka kebiasaan, teriak-teriak,” ujar Aluna. Ia selalu malu jika Fatma memanggilnya dari kejauhan. “Supaya
Dua jam berada di dalam kelas, kuliah akhirnya selesai. Aluna dan Fatma menuju ke kantin. Mereka memilih kantin, sebagai tempat untuk bercerita. Fatma dan Aluna melangkah ke pojok yang tidak terlalu ramai.Setelah tiba, Aluna langsung duduk dan Fatma menuju salah satu stand booth minuman untuk memesan. Saat mereka menunggu pesanan, Lilis datang meghampiri.Setelah pesanan mereka datang. Fatma membuka suara, “jadi bagaimana? Apa yang sebenarnya terjadi, Aluna! Siapa tadi yang sudah membuat kamu menangis.”“Aku tidak menyalahkannya, karena tentang perasaanku, aku yang bertangung jawab. Hanya saja, ada sakit yang tidak bisa aku tahan. Dan hanya bisa sembuh jika aku sudah meluapkan lewat tangisan,” tutur Aluna, pelan. Ia menatap kosong ke depan.“Puitis bangat, sih. Ini lagi bahas apa? Maksudnya apa? Aku benar-benar tidak mengerti," tutur Lilis, ia sudah duduk di samping Aluna.“Nggak usah dijadikan bahan candaan, Li
Di tempat berbeda, Robin mengumpulkan kembali orang-orang suruhannya. Sambil duduk di kursi, Robin menatap mereka satu persatu.“Bagaimana? Kabar apa yang akan kalian kasih ke aku?” ucap Robin, kaki ia letakan di atas meja.Semua terdiam dan menunduk. Melihat itu, Robin tertawa sinis dan kembali berucap, “kamu yang paling ujung, maju ke sini!”Orang yang di tunjuk, melangkah mendekat. Robin berdiri dari duduknya, orang itu masih menunduk. “Informasi apa yang kamu sudah dapat?” tanya Robin sambil berhadapan. Kedua tangan bertolak pinggang.“Belum ada, Bos,” tuturnya, dengan suara gemetar.Robin langsung melayangkan pukulan tepat di perut, sepersekian detik orang itu terlempar jauh dari hadapannya. “Kembali ke tempatmu!” perintah Robin, tanpa melihat wajah orang yang sudah ia buat terkapar di lantai, darah mengalir dari bibir.“Kamu maju ke sini!” ucap Robin tegas untuk or
***Hari minggu, Aluna masih harus ke kampus. Bagi anak kedokteran tidak semua minggu itu libur. Pukul enam pagi, ia sudah bersiap-siap. Hingga sore jam tiga ia kembali ke rumah. Janji bersama dua sahabat, ia batalkan. Aluna sudah punya agenda yang sudah lama selalu tidak kesampean.Aluna melihat Marfel sedang membaca buku di taman samping rumah. Ia menghampiri, setelah jarak mereka tinggal satu meter, Aluna berucap, “Ayah sore ini ada agenda apa?” Sambil melangkah.Marfel tidak menyadari kedatangan Aluna. Mengangkat wajah, ia langsung menutup buku dan menaruh di atas paha. Marfel pun tersenyum lembut melihat Aluna.Setelah duduk di samping Marfel, Aluna lanjut berucap, “Ayah dari tadi di sini?”“Iya, Nak,” jawab Marfel, ada jeda dalam ucapan, ia kembali melanjutkan, “tadi kamu tanya apa ... agenda?”Aluna tersenyum, menganggukan kepala.“Agenda ayah itu, hanya istrahat. Memangnya