***
Aluna sedang berada di Kontrakan kecilnya. Setelah mendengar rekaman suara, Sejenak Aluna terdiam dan langsung menyimpan alat itu di tempat asalnya. Aluna langsung melangkah keluar ruangan tanpa mendengar sepatah kalimat yang keluar dari bibir Marfel. Wajah Marfel terlihat bingung untuk berucap, saat melihat respon Aluna.
Tidak peduli dengan suara lemah Marfel yang berusaha memanggilnya. Tidak peduli juga dengan orang suruhan Marfel yang menatapnya iba. Air mata tanpa pamit keluar dari kelopak mata, wajahnya sudah sangat kusut.
Sekarang Aluna sedang berdiam diri di depan foto ibunya, yang terpajang di dinding rumah. di raihnya foto yang saat ini sedang ia tatap, "mengapa ibu tega menjodohkan aku dengan lelaki yang tidak aku kenal? Apa Ibu tidak sayang aku? Mengapa Ibu tega? Bagaimana mungkin ini akan terjadi padaku, Ibu?" ucap Aluna sambil mengusap, foto ibu telah berada di pangkuannya, ia membiarkan air mata membasahi.
Aluna masih terus menangis. Hingga tersadar saat terdengar bunyi dering telepon.
"Hallo, Fat!" kata Aluna setelah mengangkat telepon. Sebelum mulai berbicara, ia berusaha menetralkan perasaan.
"Al, kamu tidak ke Toko Kue? Orderan lagi banyak. Kamu di mana? Masa iya, aku mengerjakan semuanya sendiri?" tutur Fatma dengan suara cemprengnya.
Aluna menarik napas. Tidak ingin Fatma tahu jika ia sedang menangis. "Iya, Fatma. Aku sekarang di Kontrakan. Tadi sesudah ujian aku langsung pulang, ingin mengambil cetakan kue yang aku beli kemarin."
"Baiklah! Kamu cepatan ke sini! Aku kewalahan jika kerja sendiri," ucap Fatma dengan terburu-buru
"Okey! Aku segera ke sana!" ujar Aluna, sambil menghapus air mata yang tersisa di pipi, "masih banyak kerjaan yang harus aku selesaikan. Aku tidak boleh menangis terlalu lama. Semangat, Aluna!" teriaknya menyemangati diri.
Di tempat berbeda, Zolan sedang berada di ruang kerjanya. Wajah ia hadapkan ke jendela membelakangi meja. Tadi ia izin ke Marfel untuk ke Kantor. Ada yang ingin ia urus dan akan kembali lagi ke Rumah Sakit.
"BRO!" Fahmi mengagetkan Zolan yang sedang melamun.
"Hemm," respon Zolan acuh, memandang ke depan. Masih ingin sendiri, satu jam lagi ia akan kembali ke Rumah Sakit.
"Kamu kenapa tadi, main pergi saja? Kamu tahu kan kita lagi rapat penting? Kerjasama kita hampir saja dibatalkan. Tetapi tenang, si ganteng dan cerdas ini bisa mengatasinya," tutur Fahmi sambil duduk di meja kerja Zolan.
Tidak ada respon dari orang yang di ajaknya berbicara. Zolan tidak menggubris cerita dari Fahmi. Ia justru berdiri dan keluar dari ruangan itu.
"Woiii! Mau ke mana kamu?" teriak Fahmi saat Zolan berdiri meninggalkanya. Ia langsung mengejar Zolan. Kaki panjang Zolan terlalu cepat melangkah.
Tidak memperdulikan panggilan Fahmi, Zolan segera menuju lift. Fahmi masih mengejarnya hingga parkiran.
"Besok kamu yang pimpin rapat!" perintah Zolan. Tanpa menunggu respon Fahmi, ia langsung pergi menggunakan mobil hitamnya.
"Kamu mau ke mana? ZOLAAN!" teriak Fahmi.
Zolan dan Fahmi memiliki hotel yang di rintis bersama. Selain sebagai CEO perusahaan milik ayahnya, Zolan juga memiliki beberapa usaha. Tiga puluh menit lagi Zolan akan kembali ke Rumah Sakit. Ia menggunakan waktunya untuk pergi ke tempat pertama kali bertemu kekasih hati yang sampai saat ini belum tergantikan.
Sekolah SMA Pelita Bunda, di situ lah ia pernah menjalin kisah asmara dengan gadis manis bernama Sindy. Seketika ingatannya melayang pada momen terindah delapan tahun lalu.
"Sayang aku tidak suka bakso. Kenapa pesanin aku bakso?" ucap Sindy dengan suara manja. Ia menunjukan wajah sedang kesal pada Zolan.
"Kamu harus suka bakso sayang, karena aku suka. Kamu tidak ingin mencoba makan makanan kesukaanku? Nanti kalau jadi istriku, kamu yang akan selalu masak makanan buat aku. Tidak mungkinkan, kamu masak tanpa mencicipinya? Hahaha," Zolan berkata sambil tertawa. Ia sudah tahu bahwa kekasihnya itu tidak suka bakso. Hanya saja Zolan ingin menjahili. Hal terindah bagi Zolan, membuat Sindy kesal.
"Kamu, ihhh," sambil cemberut mengambil mangkok bakso di hadapannya. Sindy pun terpaksa mengikuti perintah Zolan.
"Sayang, Sebentar lagi kita akan lulus. Aku ingin kuliah di sini saja," lanjut Sindy.
"Iya, sayang! Aku juga akan lanjut kuliah di sini. Kita akan tetap bersama. Kamu tahu kan aku tidak bisa jauh-jauh dari kamu," balas Zolan dengan wajah sok manja pada Sindy.
"Apaan sih! Di ajak bicara serius malah bercanda," kesal Sindy.
"HAHAHA!" tawa Zolan terbahak-bahak, mengerjai kekasihnya adalah sesuatu yang indah bagi Zolan.
Zolan sangat menyayangi Sindy. Gadis ini belum pernah sekalipun marah pada Zolan. Sifat manja dan lucu, membuat Zolan selalu rindu padanya. Selama sekolah mereka selalu menghabiskan waktu bersama. Hingga sindy menghilang tanpa kabar.
Setelah menghabiskan waktu tiga puluh menit di Sekolah SMA Pelita Bunda, Zolan mengendarai mobil menuju ke Rumah Sakit. Ingatannya masih tertuju pada Sindy. Malam itu adalah ulang tahun Zolan, bertepatan dengan acara kelulusan. Zolan sedang menunggu di luar pagar, menunggu sang pujaan hati. Satu jam berlalu yang di tunggu belum juga nampak. Zolan berkali kali menghubungi Sindy, namun nomornya sudah tidak aktif. Tidak ingin penasaran, Zolan membuka pagar Rumah. Ternyata, Rumah minimalis berlantai satu itu telah kosong. Hanya ada lampu teras yang menerangi. Zolan masih menaruh harapan, mungkin saja listrik rumah sedang bermasalah. Ia mengetuk pintu rumah. Tidak ada sahutan dari dalam. Tiga kali ketukan pintu sambil memanggil nama Sindy, tetapi masih tetap sama. Sepuluh kali ketukan, tidak berubah. Zolan duduk bersandar di depan pintu. Ia menunggu hingga jam satu malam. Pemilik rumah belum memunculkan diri. Sampai sekarang ia tidak tahu di mana
*** Hari ini Aluna bangun lebih pagi, ia harus menyiapkan semua barang yang akan di bawa. Tidak banyak, Hanya baju satu koper dan satu kardus berisi buku-buku yang ia anggap penting. Aluna memandang setiap sisi rumah, "aku akan tetap kontrak, di sini ada banyak kenangan bersama ibu. Lagian, tidak mungkin aku membawa semua barang yang ada di rumah ini. Mau aku taruh di mana?" Kemarin setelah mendapat pesan dari anak buah Marfel, Aluna berusaha bangkit dan pulang ke kontrakan. Tersadar, mungkin inilah yang terbaik untuknya. Tentang hati, tidak ada yang tahu, akan jatuh cinta pada siapa. Mungkin setelah hidup dengannya, Aluna bisa mencinta. Aluna juga sudah menghubungi Fatma, hari ini Toko kue di tutup. Ia tidak mungkin bisa bekerja dalam kondisi tidak baik. "Mungkin karena hari ini adalah minggu, semua orang libur, sehingga Pak Marfel ingin pernikahan di langsungkan hari ini," batin Aluna Tak lupa pula, Aluna membawa satu-satunya barang
"Ternyata lelaki ini yang akan menjadi suamiku. Oh Tuhan. Dia sangat ganteng!" batin Aluna, sambil sesekali melihat Zolan, tak ingin ketahuan jika sedang mengagumi indahnya ciptaan Tuhan di hadapannya. Mata bulat, hidung mancung, ada sedikit janggut yang ia bisa hitung jumlahnya, kulit putih bersih, dan alis tebal yang menambah kesempurnaan wajahnya. Di samping tempat tidur Marfel, sudah disediakan meja dan kursi untuk akad nikah. Aluna melangkah kecil menuju tempat duduk sakral itu. Hingga akhirnya tiba, tempat duduk begitu dingin. Terlihat Rozi dan Zomi, menyiapkan beberapa berkas. "Bagaimana, apakah anda sudah siap?" tanyanya pada Zolan. "Siap, Pak! Kita bisa mulai!" jawab Zolan tegas tanpa tersenyum. Situasi sangat menegangkan. Aluna memegang erat rok yang ia pakai. Tangannya sedari tadi sudah berkeringat. "Baik, Pak Zolan!" lanjut Rozi lagi. "Saya nikahkan engkau dengan Aluna Mentari binti Roslan dengan maskawin sebuah cincin emas
Aluna melipat kertas putih yang ada di tangannya. Lima point yang menyambut kedatangan di Rumah megah ini. Kamar yang terlalu besar jika ia tempati sendiri. Tetapi apa daya, Aluna harus tidur sendiri di sini. "Sendiri lagi, sepertinya aku memang diciptakan untuk selalu sendiri," batin Aluna, melipat kecil kertas dan di simpan dalam kotak cincin. Aluna melangkah untuk duduk depan cermin. Melepas kaca mata yang ia gunakan, membebaskan rambut dari pengikatnya, di biarkan lurus terurai. Mata terpejam, merasakan hembusan angin menusuk tubuh. Ia ingin sejenak tidak melihat dunia. Sungguh miris goresan takdir, belum cukup sehari ia menjadi seorang istri, sudah di kagetkan dengan peraturan nikah yang di buat oleh Zolan. "Selalu sendiri, dari kecil aku sudah sendiri! Ibu sibuk bekerja untuk membiayaiku. Hingga aku tidak bisa sepenuhnya mendapat kasih sayang Ibu. Aku tidak marah, Ibu melakukannya demi membuatku bahagia dengan hidup berkecukupan. Tetapi sebagai anak, aku juga b
*** Aluna memasuki ruang kuliah, "pagi ini di awali dengan mata kuliah Pak Anton. Ia seorang dokter bedah. Namun, tidak ingin kami memanggilnya dr. Anton, lebih senang di panggil Pak Anton. Aneh, kenapa mau jadi dokter? Kalau tidak suka di panggil dokter," batinnya. Fatma sudah berada di kelas. Hampir semua tempat duduk sudah berpenghuni. Aluna duduk paling depan. Sejajar dengan meja dosen. Tempat duduk yang selalu kosong jika bukan Aluna yang menduduki. "Lun, sebentar malam nonton yuk!" ucap Fatma sambil duduk di kursi belakang Aluna. "Aku tidak bisa Fatma!" tutur Aluna singkat. "Kita sudah jarang pergi bersama, Aluna! Kamu yang sekarang, sering sibuk tidak jelas. Setiap di ajak jalan, selalu saja tidak bisa," ungkap Fatma, kesal pada Aluna. "Hehehe, nanti saja yaa jalan-jalannya," jawab Aluna, menolehkan kepala melihat Fatma. "Toko kue bagaimana, Lun? Sudah seminggu kita tutup.
"Non Aluna, tidak apa-apa?" tanya Bi Sarti. Ia melihat Aluna yang terus memandang ke lantai. Makanan dan piring sudah tidak terbentuk. "Iya, Bi, aku tidak apa-apa!" ucap Aluna, menghapus air mata. Ia terdiam beberapa menit. Bi sarti belum beranjak dari tempatnya. Menarik napas, Aluna lanjut berkata pada Bi Sarti, "minta tolong semua dibersihin ya, Bi!" Ia berlari meninggalkan Bi Sarti di ruang makan. Terdengar samar di telinga, Bi Sarti menjawab, "iya, Non Aluna!" Saat langkahnya sudah menjauh. Aluna berlari menuju kamar. Aluna berdiri memandang keluar jendela, "Zolan, tidak bisakah kamu memperlakukan aku layaknya teman? Aku tahu kamu terpaksa menerima perjodohan ini! Tetapi tidak begini caramu memperlakukan aku!" lirihnya. Air mata terus saja membanjiri pipi. "Zolan, Aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku akan berjuang agar kamu mau berteman denganku. Tidak usah menganggapku istri. Aku dijadikan teman saja, bagiku sudah cukup," lanjut Aluna, belum
*** Hari ini toko kue tidak menerima pesanan. Aluna dan Fatma sibuk membersihkan debu. Banyak kue yang tidak bisa di jual lagi, mereka membuangnya. Di tengah aktivitas bersih-bersih, Aluna dikagetkan dengan pertanyaan Fatma. "Aluna, kamu mau tidak, aku kenalkan dengan sahabat kakakku?" tanya Fatma. "Maksud kamu?" tutur Aluna, kaget dan heran. Ia menoleh ke Fatma. "Agar kamu bisa punya kekasih Aluna! Dia sahabat kak Fahmi! Belum menikah karena katanya masih menunggu mantan kekasihnya. Dia gantenggg sekali Alunaa! sangat cocok denganmu. Dia ganteng dan kamu cantik. Dia seorang pengusaha yang punya banyak bisnis. Namun sangat disayangkan, dia menutup diri dari semua perempuan yang mendekatinya," ujar Fatma. "Maksud kamu apa sihh? Lagian, siapa bilang aku cantik. Apakah kamu tidak melihat kaca mata besar yang bertengger di atas hidungku? Apa kamu tidak melihat dua ekor rambut yang terikat di kepalaku? mana ada lelaki ganteng yang mau melirik perem
Aluna menarik napas dalam-dalam, menghembuskan secara perlahan, "Fatma, makasih yaa!" ucapnya, perasaan Aluna sudah lebih baik. "Sama-sama! Harusnya kamu selalu cerita ke aku setiap ada masalah. Jangan di pendam sendiri! Apa gunanya persahabatan kita?" tutur Fatma dengan senyum lembutnya dan memegang tangan Aluna. "Hahaha," tawa lirih Aluna, "siappp, jika ada apa-apa, aku pasti cerita!" lanjutnya. "Hahaha!" tawa lirih mereka. Menghapus sisa air mata di wajah. "Maafkan aku Fatma, tidak bisa menceritakan soal pernikahanku ke kamu, ini menyangkut kehidupan orang lain," batin Aluna. *** Marfel sore ini sudah di perbolehkan pulang. Meskipun begitu, ia harus rutin melakukan hemodialisis. Setidaknya ginjal yang sudah tidak bisa berfungsi dengan baik, masih bisa di bantu lewat cuci darah. Perawatan untuk menggantikan fungsi ginjal dengan menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis. Aluna menjemputnya, Zolan tidak bisa ke Rumah Sakit. Dalam
“Itu benaran Aluna. Tanpa bedak tebal saja, dia sudah menjadi perempuan paling cantik hari ini. Apalagi jika Aluna, menggunakan jasa perias,” tutur Lilis pelan pada Fatma. Mereka duduk berdampingan. “Aluna punya trauma, dia tidak ingin berdandan seperti layaknya perempuan lain dan akan di puji cantik. Aluna sangat membenci jika ada yang mengagumi kecantikannya,” ucap Fatma, sambil menatap Aluna yang saat ini sedang berbicara di podium. “Trauma … kenapa bisa?” tanya Lilis, menoleh ke Fatma. “Ceritanya panjang. Nanti saja aku ceritakan. Sekarang aku ingin fokus mendegar Aluna bicara,” ucap Fatma, tanpa melihat wajah penasaran Lilis. Ia mendengar Aluna yang sedang berucap, “atas apa yang dapat di raih hari ini, kita patut berterimakasih pada seluruh pihak yang telah mendukung dan membantu semua proses. Untuk itu perkenankanlah saya mewakili wisudawan untuk menyampaikan banyak terimakasih.” Lilis tidak melanjutkan percakapan mereka. Ia pun ikut fokus meny
*** Aluna sedang bersiap-siap, ia menggunakan kebaya berwarna biru nafi, dipadukan dengan rok batik bermotif kupu-kupu kecil. Kemudian ia menutupi dengan baju toga hitam pemberian kampus untuk wisudawan. Aluna tidak menggunakan jasa perias. Dengan kemampuan pas-pasan, ia menempel tipis bedak di wajah. Tidak lupa, Aluna juga memakai lip cream di bibir agar tidak terlihat kering. Kali ini, Aluna tidak akan mengepang dua rambut. Ia sudah membeli pengikat khusus agar bagian kepala terlihat cantik. Ia lalu memakai anting cantik berukuran kecil di telinga. Aluna hanya membutuhkan waktu tiga puluh menit untuk selesai. Ia lalu memakai high hells. Bercermin kembali, untuk memastikan jika ia sudah selesai. Aluna mengambil toga yang sudah ia siapkan di atas meja belajar. “Kok rasanya, aku malu. Ini pertama kali aku memakai bedak ke kampus,” tutur Aluna, ia memalingkan pandangan pada kacamata. “Sepertinya untuk hari ini, aku tidak memakai kacamata. Hanya untuk hari
Mengikuti kata hati, Sindy akhirnya masuk ke dalam warung untuk memesan makanan yang akan di bawa pulang. Ia bercerita dengan seorang ibu yang juga menunggu pesanan. Lima belas menit keasyika, Sindy menyadari jika lelaki itu sudah tidak ada. Dengan cepat Sindy membayar ketika namanya di panggil. Sambil memperbaiki masker dan topi yang ia pakai, Sindy melangkah lebar menuju rumah kos. Setibanya, sebelum memasuki rumah Sindy menoleh ke kiri dan ke kanan. Ingin memastikan jika tidak ada lagi yang mengikuti. "Sekarang aku harus lebih berhati-hati," Sindy berucap lirih sambil mengusap dada dari balik pintu. Beberapa jam telah berlalu. Waktu menunjukan pukul sepuluh malam, Fahmi masih berada di sebuah kafe menunggu seseorang. Saat ia meneguk kopi, orang yang di tunggu akhirnya datang. “Maaf aku telat, bos,” ucap lelaki yang sedang memakai topi hitam. Ia membuka masker yang ada di wajah dan menarik kursi untuk duduk. “Informasi apa yang sudah kamu dapa
Aluna kembali ke kamar dan memilih berbaring di atas ranjang. Mata menatap langit-langit dan tidak berpindah. “Tidak mengapa Aluna. Sebentar lagi kamu akan koas. Kalian akan jarang bertemu, jadi kamu pasti bisa kuat,” batin Aluna menyemangati diri, "apa aku harus menyerah?" Aluna memiringkan badan ke samping. Menatap tempat Zolan jika tidur di kamarnya. Tangan mengusap bantal yang sering digunakan suaminya, ia berucap lirih, “aku harusnya sadar dari dulu, jika tidak boleh mencintai kamu, Zolan. Ini akibatnya, karena telah lancang berharap dicintai.” Tidak terasa, air mata yang sudah ia tahan sejak berada di kamar Zolan, akhirnya tumpah. “Aku tidak pernah meminta takdir seperti ini. Mengapa harus aku yang merasakan?” Bantal yang digunakan Aluna telah basah. Tangan menutup mulut dan membiarkan air di mata keluar begitu deras.Satu jam lebih ia berbaring di atas kasur, meratapi hati yang di rasa begitu sakit. Aluna akhirnya bangkit menuju meja belajar,
***Hari ini, tepat sepekan Marfel berpulang. Aluna sedang berada di kamar Zolan. Sudah seminggu Zolan tidak keluar rumah, begitupun dengan Aluna.“Aku masih kenyang, Aluna. Kamu saja yang makan,” tutur Zolan, melihat Aluna masih memegang sendok berisi makan, dari tadi Aluna terus memaksa.“Kamu harus makan Zolan! Hari ini kamu belum makan. Tiga sendok saja, terus aku akan keluar dari kamar kamu.” Aluna terus berusaha merayu. Sejak meninggalnya Marfel, Zolan sudah jarang makan. Makanan yang sering di antar ke kamar, selalu di ambil kembali dalam keadaan utuh.Melihat Zolan, yang masih menutup mulut. Aluna berdiri untuk menyimpan piring yang di tangan ke atas meja. Ia lalu kembali duduk di dekat Zolan. “Aku tahu kamu merasa bersalah! Aku tidak tahu sebelumnya apa yang terjadi antara kamu dengan ayah! ... Tetapi, kamu tidak bisa begini terus ... Badan kamu juga punya hak untuk sehat!” Aluna berkata dengan suara sedi
Asisten itu menarik lembut Aluna. Ia langsung memeluk tanpa banyak berkata. Ia tahu bagaimana rapuhnya Aluna. “Ada kami, Non. Non Aluna masih punya kami, tidak sendiri,” ia berbisik pelan di telinga Aluna, berusaha menguatkan.Semua asisten mengetahui hubungan Aluna dan Zolan. Meskipun sudah tidur sekamar, tetapi masih nampak di mata semua asisten, jika Zolan tidak mencintai Aluna. Bukan hanya itu, asisten yang setiap hari membersihkan rumah mengetahui, jika Zolan masih menyimpan semua baju di kamarnya, tidak memindahkan ke kamar Aluna.Di tempat lain, Zolan masih berada di depan sekolah. Setelah bertengkar hebat dengan Marfel, ia tidak bisa fokus untuk bekerja, sehingga ia pergi meninggalkan kantor dan menuju sekolah yang sudah mempertemukannya dengan Sindy. Zolan juga tidak mengaktifkan handphone, ia sedang tidak ingin di ganggu.Zolan memarkir mobil di seberang sekolah. Dari jauh ia melihat anak-anak sekolah keluar dari gerbang. Ada yang jail, ada
Empat puluh menit mengendara motor, ia sudah memasuki gerbang rumah sakit. Tadi setelah tiba di parkiran kampus Aluna menelepon Bi Sarti, menanyakan rumah sakit tempat Marfel dirawat. Aluna mengendara dengan sangat laju, tiga kali ia mendapatkan lampu merah yang macet. Dengan langkah terburu ia masuk, menuju ruang ICU.Di sana ada enam orang asisten yang menunggu di depan pintu. Aluna mempercepat langkah. Setibanya, dengan napas yang masih terengah-engah, Aluna langsung berucap, “apa yang terjadi? .. Tadi pagi ayah masih baik-baik saja. Kami sarapan pagi bersama dan aku juga meminnta doa karena sidang hari ini. Kenapa ini bisa terjadi?”“Kami tidak tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Tadi setelah Non Aluna ke kampus. Tuan besar memanggil tuan muda di dalam kamar. Kami tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Bi Sarti menemukan tuan besar pingsan di lantai dekat ranjang,” ucap asisten yang berada di hadapan Aluna.“Zolan sudah tahu
***Setelah tiga tahun lebih menjalani kuliah, hari ini Aluna sidang akhir. Fatma dan Lilis menunggu di luar ruang sidang. Di tangan mereka ada satu buket bunga yang akan di berikan untuk Aluna. Sedangkan di dalam sana, Aluna masih menghadapi rentetan pertanyaan dari penguji.Satu jam lebih berlalu, Aluna di suruh keluar oleh dosen pembimbingnya. Menunggu di luar ruangan.“Alunaa!” Suara cempreng Fatma terdengar, ketika melihat Aluna membuka pintu. Ia dan Lilis berdiri menghampiri.“Bagaimana, kamu di kasih nilai apa?” tanya Fatma ketika mereka sudah berada di samping Aluna.“Ya, belum di tahu lah, Fatma … dosen ‘kan masih rembuk di dalam. Aku di suruh keluar dulu. Nanti masuk lagi kalau sudah ada perintah untuk masuk,” tutur Aluna, sambil berjalan menuju tempat duduk.“Kamu yang sidang, aku yang degdegan, Aluna. Gimana nanti kalau aku yang ujian yah?” Fatma berucap, ketika mereka
Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit. Anton kaget, ia melihat ada pergerakan di tangan Angel. Meskipun masih menutup mata, jari-jari mungil tangan kanan Angel bergerak. Ia memencet tombol untuk memanggil perawat jaga, yang terletak tidak jauh dari hospital bed. Tidak menunggu lama, tiga orang perawat bersama seorang dokter datang dengan membawa beberapa alat yang mereka butuhkan. “Bagaimana keadaanya?” tanya Anton. ketika dokter menempelkan stetoskop di tubuh Angel. Ada sedikit kebahagian terpancar di wajah Anton. “Dokter Anton, bisa ikut aku ke ruangan?” ujar seorang lelaki yang memakai jas putih. “Apa yang terjadi? Aku tidak bisa meninggalkannya sendiri di sini,” ucap Anton tegas, sambil menatap Angel. “Ini juga untuk Angel. Ada yang ingin aku beritahu, dan aku tidak bisa mengatakannya di sini.” Kembali membujuk Anton yang terlihat kukuh dengan keinginan. “Nanti dua orang perawat ini, yang akan menggantikan kamu menjaga Angel,” lanjutnya.