Ardana Rasti, gadis 14 tahun yang akan berulang tahun di bulan November dan mengubah umurnya menjadi 15 tahun, bersekolah di SMA yang sama dengan pujaan hatinya setelah berjuang habis-habisan dan menentang seluruh perintah kedua orangtuanya untuk bersekolah di daerahnya saja. Dengan modal nekat, akhirnya dia bisa lulus dan bersekolah walau belum bisa sekelas dengannya.
"Hai, aku Rahma, kamu siapa?" seorang perempuan mungil dengan rambut panjang dan beberapa bekas luka di wajahnya menyapa Ardana dengan wajah riang.
"Oh, hai, aku Ardana, panggil Dana, Ara, reksa atau apapun juga boleh." Jawab Ardana seadanya, sarapannya untuk melihat pujaannya hari itu belum terlaksana sehingga tak ada semangat yang terisi padanya.
"Lesu amat? Kan ini upacara pertama di tahun ajaran kita,"
Ardana masih lesu, tak ada gairah yang terpancar di wajahnya, dan tak ada kalimat yang terucap berikutnya.
Ardana menarik nafas dan menghembuskannya panjang dan kasar. Dia berada di kelas Xf, kelas yang cukup jauh dari kelas sang pujaan hati yang berada di Xa. tapi dengan sebuah keberuntungan, kelas satu berbentuk L sehingga kelas f berhadapan langsung dengan gerbang sekolah dan kelas Xa.
Ardana memilih meninggalkan gadis yang sejak tadi mengajaknya bercerita dan duduk di depan kelas. Dia tak memberitahukan Sandy, lelaki kesayangannya bahwa dia mendaftar di sekolah yang sama. Dan beruntungnya, depan kelas Ardana memiliki beberapa tanaman yang bisa menyembunyikan keberadaannya.
Ardana terus melirik jam tangan silikon berwarna biru muda yang melingkar di tangan kanannya, lima menit lagi dan bel serta gerbang sekolah akan ditutup. Dia tau jika kebiasaan pangerannya waktu SMP adalah selalu datang terlambat.
"Apakah dia sakit dihari pertama masuk sekolah? Dia lelaki tangguh, tidak mungkin dia akan sakit kan?" Ardana sudah mulai gusar di tempat duduk sejak sepuluh menit yang lalu, tak ada tanda-tanda, dan dia masih terlalu malu untuk melangkah keruang yang penghuninya di isi oleh orang-orang berotak encer dan berbakat.
Dua menit sebelum jam tujuh, dua orang lelaki atletis dengan perawakan berbeda berjalan dengan santai melewati gerbang sambil bercerita tanpa peduli sekitar.
Kedatangannya membuat Ardana cerah dan seluruh ketakutannya menghilang digantikan cahaya matahari yang betul-betul cerah menyaingi cahaya mentari pagi itu.
Ardana ingin sekali berlari dan menyapa pangerannya, laki-laki yang mencuri hatinya sejak di bangku SMP. Namun, waktu tak mengizinkan untuk melakukannya karena seketika bel berbunyi. Upacara penyambutan mereka yang baru saja masuk SMA.
Masa orientasi telah selesai dengan cukup sulit bagi Ardana, karena dia sama sekali tak sempat dan tak bisa bertemu dengan pangerannya walau menggunakan banyak skenario, sehingga membuat Ardana mengeluh panjang pada dewi fortuna yang tak memihaknya sama sekali.
Dan hari ini, dia berniat ingin melihatnya dari dekat, melalui teman SMP yang berada di kelas Xb, tak ada aturan hukum tentang siswa yang menyelinap jika di dalam barisan upacara.
"Lengkap seperti biasa, bahkan pin dasi pun kau pakai?"
"Supaya gak ada masalah, jadi mana permintaanku?"
Gadis tersebut mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan foto pangeran Ardana yang sedang tertawa bebas.
"Wah, cute banget. Rena the best deh." Ardana memeluk Gadis yang dipanggil oleh Rena dengan begitu sayang.
"Si cerewet datang lagi."
"Diam Kiko." sahut Ardana dan Rena bersamaan.
"Miko!" ralat lelaki itu.
"Es lilin mulai deh Ren."
"Heh, penumpang gelap, masih ngeyel, kulempar kau ke tempat asalmu."
"Ih, Kiko jahat deh," ucap Ardana, rambutnya yang digerai panjang dan topi yang menutupi wajahnya membuat orang-orang tak dapat melihatnya kecuali mengangkat wajahnya tinggi.
"Miko, Nana! Bukan Kiko. Ah, sudahlah, kau ini." lelaki bernama Miko menyerah berargumen dengan dua wanita cerewet tersebut, sementara Rena dan Ardana tertawa menang.
"Seru banget sih, siapa mereka?"
"Penasaran yah?"
"Abis ribut gitu pas upacara mau dimulai, mukanya juga gak keliatan karena tertutup rambut dan topi."
"Katanya, itu Nana dan Rena. Nana bukan penghuni kelas sebelah, tapi karena beberapa alasan, dia selalu menyelinap di barisan sepuluh b tiap upacara dan apel pagi."
"Tau dari mana?"
"Kan tadi kau lihat saya bertanya sama Ida di depan. haduh, kapan kau bisa perhatian dikit sih San?"
"Hehe, ya sori lah Fik,"
Lelaki yang dipanggil Fik tersebut hanya menepuk wajahnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena tingkah temannya yang satu itu, sementara yang dipanggil San hanya cengengesan melihat tingkah Fik.
"Foto Ren, foto!" ucap Ardana dengan semangat dan lirih.
"Diem bentar napa, gak fokus nih motonya." ucapan Rena membuat Ardana langsung melepas tangannya dari pundak Rena.
***Ardana, yang selama menginjakkan kaki dibangku SMA berubah nama menjadi Nana melepaskan topi dan melonggarkan dasinya, sambutan kepala sekolah yang cukup panjang sebelumnya membuat semua siswa mengeluh, ditambah mentari hari itu juga bersemangat untuk memanggang para siswa.Dia membuka galeri ponselnya dan melihat gambar yang tadi di ambil oleh Rena. Kualitas gambar yang diberikan oleb ponsel Nana tak sebagus dengan ponsel Rena, sehingga jadilah Rena sebagai fotografer dimanapun ketika Sandy sedang berekspresi.
"Itu Sandy Andrea kan? si jenius tak terkalahkan?"
Seorang laki-laki langsung mengajaknya berbicara. Percakapan tentang Sandy selalu sangat dia sukai, karena itu dia melewati acara enal?""Tentu saja, dia itu saingan sama kakakku waktu olimpiade SMP.""Kakak?""Oh, aku punya kembaran, laki-laki juga, dia sekarang ada dikelas yang sama dengan Sandy Andrea itu.""Tapi...""Aku dan kakakku punya minat dan kepintaran masing-masing. entar juga kau tau, kita sekelas nih. Aku Rion, saudaraku yang dikelas A namanya Leon. Dia pakai kacamata, jadi mungkin kau gak bakalan kenal dia, tapi kami kenbar identik, kalau kacamatanya dilepas, kau akan kesulitan ngenalin kita.""Wah, ada anak kembar. Dari dulu aku penasaran." Nana mulai penasaran dan ada nasa senang dari suara yang dia keluarkan.Rion menaruh tasnya di meja yang berdempetan dengan meja Nana, lalu duduk dan mengatur tempatnya. "Penasaran tentang apa?"
seminggu sekelas dan sebangku dengan Rion membuat Nana mengerti, kalau laki-laki yang berada di sampingnya adalah seorang jenius dalam seni, bahkan dalam hal memakai bedak pun, dia tak kalah."Yuk upacara." ajak Rion."Tapi nanti kutinggal ya, aku baris di kelas sepuluh b.""Baris di kelas sepuluh a saja. kan lebih bagus, kau bisa liat dan sapa langsung dengan Sandy.""Gak papa, gak usah, aku di barisan biasa saja.Nana mengenakan topinya kemudian meninggalkan Rion yang masih sibuk membereskan mejanya yang sempat berhamburan karena memperlihatkan banyak hal pada Nana."Ada gambar baru?" Nana mencolek pinggang Rena lalu berdiri di belakangnya."Gak ada nih, orangnya juga belum muncul kok itu""Yuk, Na. Sini!" ucap Rion lalu menarik lengan Nana meninggalkan barisan kelas sepuluh b menuju sepuluh a
"Tunggu apa lagi? Ayo naik!" Minuman yang ada di hadapannya sudah habis dalam sekali tegukan.Rion menepuk wajahnya lalu menunduk, tak habis fikir dengan tingkah teman sekelasnya satu itu, jika menyangkut tentang Sandy, dia akan melakukan apapun dengan semangat empat lima, padahal jika dengan yang lain, dia terlihat biasa saja."Na, ubah sifatmu yang seperti itu, tak baik. Jangan sampai ada yang berniat buruk padamu dengan memanfaatkan Sandy yang kamu bahkan tak tau apakah dia suka atau tidak." Ucap Rion sembari memegang bahu Nana yang telah duduk kembali disamping Rion.Tapi Nana sama sekali tak mendengarkan nasihat Rion."Yuk ah, ayo!" Kali ini Nana kembali menarik Rion menuju ke tempat dimana Sandy berada. Kapan lagi bisa bersama dengan Sandy tanpa perlu pusing memikirkan alasannya."Akhirnya sampai," Ucap Nana
Akhirnya Nana pulang tanpa ikut bermain game. Dia hanya memperhatikan Sandy bermain dengan serunya sembari sesekali mengajak Rion bercerita.Lelah memang, tapi jika mengingat setiap emosi yang diperlihatkan oleh Sandy, semuanya terbayar lunas, bahkan lebih. Teringat seperti momen waktu masih SMP yang selalu dia rindukan.Pagi menyapa Nana, setelah menyelesaikan tugas sekolahnya lebih cepat, dia langsung tertidur tanpa sempat menikmati siaran tv ataupun update grup kelasnya."Gimana tidurmu semalam? Pasti menyenangkan?" Tanya Rion ketika dia melihat Nana sudah duduk dengan rapi dalam kelasnya."Ya, langsung tertidur tanpa bermimpi saking capeknya." Nana menghembuskan nafas kasar."Gak ada mimpi pasal kejadian kemarin?""Kemarin kalian ngapain?" Rahma langsung masuk diantara cerita mereka tanpa permisi."Kemarin itu...""Jangan ngomong apa-apa, dia ember." Bisik Nana setelah menutup mulut Rion secepa
"Kerja? Apaan?" Nana ragu. Terlalu banyak cerita kejahatan yang dia baca yang menyangkut tentang penawaran kerja pada awalnya, namun merugikan di akhir."Model?""Model apa? Jangan yang aneh-aneh ya, aku gak suka yang aneh." Nana cukup menyukai Rion, tapi tawaran menjadi model cukup meragukan mengingat terlalu banyak hal buruk yang terjadi dalam dunia permodelan yang selama ini dia ketahui melalui publik."Gak kok. Model biasa aja, pose depen kamera, cekrek, udah, gitu doang."*Nana menyetujui tawaran Rion, dan disinilah dia sekarang, menunggu di ruang tamu setelah disapa oleh saudara perempuan si kembar.Dan Rion serta Leon muncul bersamaan. tanpa kacamata yang bertengger di wajahnya, membuat keduanya terlihat bak pinang di belah dua, tak ada beda sama sekali."Cara kerja dan honornya akan dijelasin ama kakak aku yah Na." Ucap Rion kemudian menyerahkan sebuah map berisi beberapa lembar kertas yang su
"Kalian ini, bisa gak sih dipisahin barang sebentar aja, lima menit gitu?" Seorang perempuan dengan rambut dikuncir dan membawa selembar kertas bertanya pada keduanya.Rion dan Nana saling berpandangan seakan sedang bertelepati, beberapa kali keduanya mengerutkan kening dan menggeleng, namun di menit berikutnya setelah gadis itu bosan menunggu jawaban, akhirnya keduanya kompak untuk mengatakan tidak lalu memberikannya tawa dan tos."Sudah kuduga. Tapi sayangnya kalian memang harus pisah, kelompok yang baru diberikan Bu Erna bilang gitu." Ucap perempuan itu lagi.Teman sekelasnya memberikan secarik kertas kemudian meninggalkan mereka berdua menuju papan tulis untuk mengumumkan kelompok tersebut."Pisah Rin." Wajah Nana terlihat sedih dan mengerucutkan bibirnya tanda tak terima."Iya nih, ya mau gimana lagi lah, guru yang nentuin." Rion hanya terlihat santai dan mengangkat bahunya, pasrah.
Hari yang ditunggu Nana akhirnya tiba, hari sabtu. Hari yang dijanjikan oleh Rion bahwa akan membuat Sandy terpesona dengannya."Karena hari ini spesial, kakakku Marina yang akan memoles wajahmu." Rion berkata dengan wajah bersinar."Gak akan menor kan?" Nana tak terlalu yakin dengan keputusannya kali ini, mengingat dandanan Marina selalu saja tampak mencolok di matanya."Meragukan kemampuanku ya Na?" Marina menjawab pertanyaan Nana dengan pertanyaan.Marina mengajak Nana mengikutinya, melangkah masuk ke dalam kamar kakak perempuan Rion. Gaya minimalis, dengan meja yang penuh dengan alat-alat make up serta cermin yang lumayan besar dan terpasang beberapa bohlam yang bersinar dengan terangnya."Duduk Nana."Nana mengikuti perintah Marina untuk duduk dan Marina pun mulai menjalankan sesuatu yang paling disukainya, memoles wajah perempuan menjadi cantik dan bers
"Sempurna seperti biasa kak," Ucap Rion dengan jempol dan rona yang masih bertahan di wajahnya, "Yuk, temui Leon." lanjut Rion lagi.Nana hanya mengangguk kemudian menyusul Rion di belakangnya, menuju lantai tiga. Kamar kakaknya berada di lantai dua, bersama dengan kamar kedua orang tua Rion."Bro, kita udah siap nih, yuk ke bawah!" Teriak Rion dari balik pintu, sengaja menggoda saudara kembarnya untuk bisa segera bertemu dengan Nana yang sudah di make over oleh kakak mereka."Iya, bentar. Masih siapin kamera dan perangkatnya nih. Kamu sini kek, bantuin bawa!" Perintah Leon yang tak membuka pintu, hanya menjawab tanpa melihat ke arah sumber suara, dan terus sibuk merapikan alat - alat yang berhamburan.Akhirnya Rion menyerah, dia membuka pintu untuk membantu saudara kembarnya merapikan alat yang semalam di cek kondisinya dan tak sempat di rapikan kembali."Na, kamu bi
"Aku pakaikan eyeshadow ala korea yah. Kamu ntar pelajari lewat video, banyak kok tutorialnya. Ini gak bakalan terlihat menor juga, malah kayak kesannya natural banget, cerah."Marina memoles eyeshadow berwarna peach, menggunakan eyeliner, dan mascara, dan memoles lipstik yang warnanya sedikit lebih cerah dibanding warna bibir Nana.Lalu menggunakan bedak tabur memakai kuas tebal. Dan sentuhan akhirnya, dia menyemprotkan fixing spray mist."Udah. Kamu udah siap. Yuk kebawah." Ucap Marina.Dia melirik jam. Setengah tujuh pagi. Dia akan mandi jam tujuh nanti, dan bersiap ke kantor."Wah, cantik! Kalau tiap hari kayak gini, Amanda gak bakalan bisa bersaing denganmu." Ucap Rion yang kini sedang mengunyah nasi gorengnya. Mama Rion sedang mengoles selai coklat di roti tawar, dan menaruhnya di piring setelah melipatnya."Hai, cantik. Yuk gabung sarapan." Ucap Rosa dengan wajah sumringah.
Alaram ponsel Nana menyala tepat ketika jam menunjukkan pukul empat pagi. Dengan segera dia memaksa dirinya bangun, dan mulai melakukan kegiatan membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, dan memeriksa isi kulkas."Ah, sial! Lupa belanja bahan." Keluh Nana.Dia ingin membuat bekal dan sarapan, tapi bahannya sudah jauh dari kata cukup, dan kemarin dia lupa membeli ketika pulang dari tempat Rion.Dan ketika tiba dirumah, dia malah sibuk memperhatikan barang-barang yang dibeli oleh Marina dan akhirnya malah melupakan waktu belanjaannya untuk membuat bekal pesanan Rion."Hah... Maaf Rion, sepertinya hari ini gak bisa bawain kamu bekal." Nana menatap pasrah kulkas tersebut dan menutupnya dengan berat hati. Walau dibuka tutup berulang kali pun, isinya tak akan berubah, tetap sama.Dan akhirnya, dia hanya memasak nasi goreng dan telur ceplok.Setelah mandi dan bersiap, waktu menunjukkan pukul lima pagi.
"Aku tau kau menyukai warna tadi, tapi kau tak bisa menggunakannya sekarang, cukup kau pakai milikku atau yg sudah disediakan Rion. Benda-benda dalam kantong yang sedang kamu bawa itu adalah kebutuhan harianmu." Marina menjelaskan ketika sudah berada di dalam mobil. "Tapi kok sampai di traktir sih kak? Ini kan aku jadi gak enak, kesannya malah kayak manfaatin kebaikan kak Mary tau gak sih?" "Gak apa kali Na, duit segitu mah receh, lagian juga itu untuk perkenalan. Bagusnya sih kalau langsung ke dokter spesialis kulit kayak aku sekarang, tapi gak apa deh, pakai produk ringan aja dulu." Celoteh Marina panjang lebar. "Iyah kak, aku ngikutin saran expert saja." "Lapar nih Na, kita singgah di TruExpo yang di depan itu yah." Dan Marina langsung memarkir mobilnya dan membawanya ke lantai tiga. Lantai satu dijadikan tempat parkir untuk para pengunjung, sementara lantai dua adalah supermarket.Tempat makannya beragam, dengan mini
"Kamu masih menyukai Sandy?" Tanya Rion ketika baru saja mendaratkan pantatnya di kursi. "Aku masih menyukainya Rin, perasaan ini masih sangat kuat." Nana menjawab tanpa menatap Rion, takut airmatanya tumpah lagi. "Tapi dia selalu menyakitimu Na, bahkan kemarin, dengan santainya dia menggenggam tangan murid baru itu, bahkan dengan sukarela mengajukan diri mengantarnya pulang, padahal ada Taufik yang juga ingin mengantarnya. Sementara kamu malah disuruh jalan. Itu gak adil Nana!" Kali ini Rion sedikit meninggikan suaranya, beruntung hanya mereka berdua yang ada dalam kelas pagi itu, beberapa siswa yang sudah datang memilih menghabiskan waktu diluar kelas. "Sandy itu orang baik Rin, dia hanya ingin mengantarnya karena disini hanya dia yang dipercaya oleh keluarga Amanda." Nana masih berusaba berfikir positif, walau pikiran buruk memang sudah menanggapi sejak awal. "Argh! Aku gak peduli! Bela aja terus pangeranmu." Dan t
"Kamu kenapa Rin?" Leon mencegat Rion di pintu ketika melihat saudara kembarnya itu terlihat begitu marah."Gak usah urusin aku kali ini kak." Rion menghempaskan cengkraman tangan Leon dan melangkah dengan penuh tekanan."Saudaramu kenapa tuh?" Tanya Sandy ketika Leon sudah duduk di sampingnya. Amanda dia suruh pindah ke belakang."Biar kutebak. Kau habis chit chat seru sampe cekikikan dengan murid baru ini kan?""Kok tau?" Sandy menatap Leon heran."Karena salah satu alasan yang membuat Rion tak bisa menahan amarahnya adalah membuat Nana menangis. Dan kuyakin, Nana sedang menangis sekarang." Leon masih sibuk dengan buku di hadapannya."Kok bisa gitu?""Karena kamu ketahuan selingkuh, Sandy! Dasar, rumus sekolah doang dimengerti. Ilmu cinta kosong.""Tapi kenapa harus menangis?" Sandy mencoba menggali fakta, apakah Nana membocorkan rahasia mereka atau tidak.
Hari ini mereka kedatangan murid baru, seseorang yang membuat Nana cukup iri padanya.Gadis cantik, putih dan terlihat mempesona dengan riasan diwajahnya itu sukses membuat beberapa lelaki di dalam kelasnya langsung terpana dan mengerubungi gadis tersebut ketika istirahat sedang berlangsung."Nana, mau ke kantin atau makan disini?""Makan disini deh, bisa berhemat dikit.""Astaga, tabunganmu masih belum cukup?""Udah cukup kok. Malah udah kebeli."Rion menatapnya penuh tanya, wajahnya seakan membuat tanda tanya besar."Seriusan deh, kamu beli apaan?"Nana mengeluarkan sesuatu dari tasnya."Oh, ipad apple toh.""Aku dapet murah, kebetulan ada diskon, dan uang yang kutabung pas dengan harganya, ya masih ada lebih ya dikit sih.""Kamu kok gak bilang, kamu dapet harga berapaan?""Main di angka delapan belas." Nana menundukkan wajahnya, dia malu untu
"Apa harus?""Entah, aku hanya sedang bimbang dengan banyak hal, tidak tau bagaimana mrmecahkan semuanya satu-satu.""Tapi kan Sandy itu jenius, soal apapun bisa dijawab tanpa perlu repot nyari rumus atau jalannya, pasti betul."Sandy malah tertawa mendengar Nana memujinya."Aku dan si kembar tak beda jauh kok, hanya saja, daya ingatku lebih baik dari mereka. Dan kalimatku itu tidak membantu menyelesaikan apa yang kukatakan sebelumnya.Nana mendekati Sandy, bersandar dipundaknya."San, emang gak boleh bilang ke sikembar kalo kita pacaran? Aku selalu bingung bagaimana harus beralasan setiap kali mereka bertanya padaku.""Jangan di kasih tau dulu yah. Aku gak mau ada orang lain tau. Setidaknya bukan sekarang." Sandy mengusap kepala Nana yang sedang bersandar di bahunya.Dan Nana paling suka kepalanya diusap, dia akan langsung tertidur jika ada orang lain yang melakukannya."N
Beberapa hari telah berlalu semenjak insiden tersebut. Pada akhirnya, Nana tak menerima permintaan Leon walau dibayar dua kali lipat, karena alasan yang di ungkapkan Rion juga ada benarnya, dia akan semakin kesulitan dengan jadwalnya, sehingga harus bangun lebih awal dan harus bisa juga membuat dia bangun lebih pagi. Dan Sandy masih penasaran dengan orang yang memasak bekal keduanya.Walau tak sesering sebelumnya, tapi dia tetap menanyakan sang pembuat bekal. Nana baru sampai rumah setelah diantar oleh Rion. Hari ini dia tak memiliki jadwal pemotretan, dan sebentar sore dia akan latihan basket seperti biasanya. Sebuah deringan menandakan ada pesan masuk di ponsel Nana. Dia segera membuka pesan yang masuk. [Besok minggu, ayo keluar jogging] Sandy mengirim sebuah pesan. [Besok pagi kita latihan basket, San. Kamu lupa?] Nana mengetik dengan lincah pada ponsel model ketupat tersebut. [Sore?] Balasan
"Nana, harusnya tadi kamu melihat bagaimana kecewanya Sandy setelah bermohon dengan sangat untuk mengetahui siapa yang buat. Bisa kamu bayangkan reaksinya jika dia tau kalau kamulah yang memasak bekal selama ini?" Ucap Rion dengan nada menggebu-gebu."Oh, ngomong tentang bekal, aku juga penasaran, memangnya seenak apa makanan yang kau buat?" Kini Leon yang sedang memilah foto berhenti dari kegiatan dan menatap keduanya yang sedang bermain game."Nana, kamu mau masak gak buat kita?" Tanya Rion"Tante?""Mama lagi keluar, malam baru balik. Kak Mary lagi liburan ama tunangannya." Leon menjawab dengan cepat, mendahului Rion yang ingin menjawab."Jadi gimana? Mau masak makan sore untuk kami?"Nana tersenyum dan meninggalkan keduanya, menuju dapur. Salah satu ruangan yang tak pernah dia injak, karena memang Nana hanya melenggang di sekitar kamar si kembar dan ruangan umum lainnya, dan sekali dua ka