Share

3. Edmund

Penulis: Erdes04
last update Terakhir Diperbarui: 2021-03-08 11:25:58

        Dave tersenyum puas, perdebatan tidak berguna itu dimenangkan oleh dirinya. Kedatangan seorang wanita yang sepertinya adalah pemilik restoran, mampu membuat perempuan bernama Bella itu tak berkutik. Akan tetapi, masalah baru sepertinya datang. Wanita yang mungkin seusia ibunya itu terus mengoceh, wajahnya mengeras ketika wanita itu bertanya hal yang sama seperti ibunya.

     “Siapa namanya?” tanya Dave menyela, sebenarnya ia sudah tau, ia melakukannya untuk menghentikan mulut berisik itu. “Ah, apa?” tanya wanita itu memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur.

        Beberapa menit kemudian, perempuan yang sedari tadi mendapatkan perhatiannya, keluar dari dapur dengan nampan di kedua tangan. Dave rasa ia harus mengganti panggilan perempuan itu menjadi Bella, ia sudah tau namanya, kan? Bella meletakkan semangkuk sup krim di mejanya, Dave menahan lengan Bella ketika melihat perempuan itu hendak kembali. Bella menoleh, ia yakin perempuan itu sudah tau siapa yang menahannya.

“Kau bisa duduk di sini, kan? Kau tidak mau mendengar komentarku?” pertanyaan bernada perintah itu keluar dari mulut Dave.

      Dave tersenyum puas ketika Bella mengikuti apa yang ia ucapkan, ah, mungkin perempuan itu sama sepertinya yang tidak suka berdebat dan membuang waktu. Setelah memastikan Bella duduk di kursi samping, kemudian tangannya terangkat untuk mengambil sendok di sisi mangkuk berisi sup. Satu suapan berhasil masuk ke dalam perutnya, ia tersentak ketika merasakan sesuatu yang tak asing kala memakan sup tersebut.

Rasa ini, ia ingat betul meski beberapa jam lalu dirinya menyatakan telah lupa dengan masa lalu. Namun, sup dengan bahan sederhana ini mampu membuat kenangan pahitnya bermunculan. 

      “Tu.. tuan Dave, bagaimana rasa makanannya?” suara itu menyadarkan Dave dari lamunan. Pria itu tersenyum tipis, “Sesuai seleraku.” Dave dapat mendengar helaan napas lega dari bos restoran itu dan Bella. Ia melanjutkan makannya dengan cepat, mencoba mengembalikan fokusnya. Sebuah suara pesan masuk terdengar di telinga, Dave menoleh dan mendapati Bella tengah memandang ponselnya dengan senyuman yang entah mengapa Dave tidak sukai.

     Rasa penasaran membuat Dave tak kuasa untuk bertanya, “Siapa?” Bella tersentak, perempuan itu kembali menyimpan ponsel ke dalam saku celana. “Madam, bolehkah aku pulang sekarang?” tanya Bella tanpa berniat menjawab pertanyaan pria di depannya.

       Rahang Dave mengeras, ia paling tidak suka diabaikan. “Kau boleh pulang ketika Tuan Dave selesai dengan makanannya,” ujar bos restoran tersebut. “Kenapa kau ingin cepat pulang? Siapa memangnya yang menunggumu? Si berandal itu?” tanya wanita itu mewakili rasa penasaran Dave. Ia menoleh ke arah Bella menanti jawaban perempuan itu, Bella memasang wajah datar. Sepertinya perempuan itu mencoba menahan emosinya, bosnya itu memang memiliki mulut yang pedas. Tetapi tunggu... Si berandal? Dave terdiam sejenak, sepertinya ia mengerti apa yang dimaksud oleh wanita pemilik restoran.

       Diam-diam Dave tersenyum remeh, jika memang benar apa yang dipikirkannya benar. Ia melirik ke arah Bella, perempuan itu memaksakan sebuah senyum. “Ah, kurasa itu bukan urusan Anda,” ujar Bella. Suasana hening seketika, Dave berdiri kemudian mengeluarkan dompet hitamnya dari dalam saku jas.

Ia mengeluarkan beberapa lembar uang lalu meletakkannya di meja, “Saya permisi. Terima kasih atas makanannya.” Usai mengatakan hal itu, Dave beranjak pergi keluar restoran.

       Tidak, dirinya tidak benar-benar pergi. Hei, mana mungkin ia pergi dengan rasa penasaran? Dave berjalan menuju mobilnya yang tak jauh dari restoran, begitu tiba di dalam mobil, ia mulai melajukannya mendekat ke arah restoran tadi. Mencari tempat yang pas untuk rencananya. Tak berapa lama, seseorang yang ia tunggu akhirnya keluar dari restoran. Dave memberikan sedikit jarak, tetapi sepertinya jika pun ia mendekat, Bella tidak akan sadar. Perempuan itu terlihat mengeratkan mantelnya, kemudian berjalan meninggalkan restoran.

    Setiap langkah yang diambilnya begitu hati-hati, Dave masih terus mengikuti. Ia sedikit berpikir jika perempuan itu sedang menuju ke halte, tetapi sepertinya itu mustahil dilakukan tengah malam.

      Dugaan Dave benar, Bella memasuki sebuah taksi. Ia tidak tau berapa banyak waktu yang dihabiskan hingga taksi yang ditumpangi Bella, berhenti tepat di sebuah gang. Perempuan itu turun dari taksi, kemudian berjalan lurus memasuki salah satu gang di sana. Dave masih terus memperhatikan sampai Bella memasuki sebuah rumah yang tampak kecil di luar, ia memandang sekitar. Rumah-rumah tradisional maupun modern berjajar rapi, tetapi tak terlihat rumah besar.

     Matanya beralih memandang gang yang dimasuki oleh Bella, gang itu lumayan gelap. Pencahayaan yang kurang ditambah gang yang mungkin hanya muat untuk kendaraan bermotor saja, tempat yang sepi dan meskipun bersih. Tempat yang tidak terlalu aman untuk wanita, terlebih jika pulang larut seperti ini.

       Dave terdiam, ia menyadari satu hal. Sejak kapan ia peduli pada hal seperti ini? Dave mendengus, ia menyalakan mobilnya kemudian pergi meninggalkan kawasan itu. Saatnya ia kembali, sudah tidak terdengar dering panggilan dari handphonenya, dan itu membuatnya sedikit tenang.

       Tepat pukul dua belas malam, Dave tiba di sebuah apartemen mewah. Ia keluar dari mobil, kemudian berjalan santai memasuki apartemen. Petugas keamanan yang menjaga pintu masuk, membungkukkan badannya sedikit ketika mengetahui siapa yang datang.

     “Selamat malam, tuan Dave,” sapa seorang penjaga. Dave mengangguk, ia terus berjalan menuju lift untuk tiba di kamarnya. Terakhir kali dirinya kemari adalah dua minggu yang lalu, kedatangannya pun untuk alasan yang sama. Dave menyusuri lorong begitu lift yang membawanya tiba di lantai kamar apartemennya, lorong panjang dengan dinding pola hitam dipadukan dengan lantai marmer krem, apartemen ini cukup nyaman untuk ditinggali. Pintu apartemen berhasil dibuka ketika Dave mengetukan kartu ke kotak sensor, ia memasuki apartemen itu.

     Dave langsung berlalu menuju kamar, tubuhnya sangat lelah. Mungkin malam ini, dirinya akan tidur hingga siang hari. Dave membuka jas kerjanya, kemudian melempar sembarangan ke ranjang putih besar. Dave mengeluarkan handphone lalu mengeceknya, daya baterai sudah berwarna merah. Ia memutuskan men-charge ponselnya, kemudian berjalan menuju kamar mandi.

     Mandi tengah malam mungkin seharusnya tidak ia lakukan, tetapi Dave merasa tidak nyaman jika harus tidur dalam keadaan berkeringat. Seluruh pakaian telah Dave lepas, ia berjalan menuju shower, kemudian berdiri di bawahnya. Menikmati sensasi dingin dari air yang berasal dari shower, sekitar 5 menit kemudian, ia beralih menuju bath tub berisi air hangat yang baru saja siap. 

       Ia butuh berendam beberapa menit, Dave rasa peredaran darahnya akan lancar dengan hal itu. Ia mencoba merelakskan tubuh dan mungkin pikirannya, kedua matanya terpejam dengan pikiran melayang.

 

       Dave keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya membalut tubuh bagian bawahnya, tetesan air menuruni bagian atas tubuhnya yang terbentuk dengan sempurna. Dave berjalan ke arah lemari pakaian yang berada di hadapan ranjang, ia membukanya dan memilih pakaian untuk dikenakannya tidur. Sepasang piama tidur berwarna hitam dengan garis putih menjadi pilihannya, Dave memakai celana panjangnya terlebih dahulu.

Baru saja ia hendak mengenakan baju, ponsel yang berada di atas nakas, berdering. Ia berjalan menghampiri, kemudian menekan tombol hijau tanpa melihat siapa yang menelepon.

      “Kau berada di Busan?!”

       Dave menjauhkan ponselnya dari telinga, tanpa perlu mengecek, sepertinya ia tau siapa gerangan yang mengganggu waktu menjelang tidurnya.  “Hm,” balasnya.

      “Sedang apa kau di sana, huh?! Menikmati pemandangan para wanita dengan bikini?”

       Dave hanya diam tak membalas, perjalanan malam ini sepertinya menguras banyak tenaga. Rencana untuk tidur sehari penuh, mungkin hanya tinggal rencana.

      “Setidaknya sebelum berlibur, kau selesaikan dulu pekerjaan di sini! Kau meninggalkanku dalam kegilaan!”

     Dave terkekeh, “Jadi, bagaimana rasanya?”

     “Gila! Apa ini yang kau rasakan setiap hari?”

      “Ya, kurang lebih seperti itu.”

       “Sepertinya pilihan ku tepat, untung saja kakakku yang menggantikan bisnis keluarga.”

       Dave menguap, ia tidak terlalu fokus pada perkataan Theo. Dave berbaring di ranjang begitu baju tidur telah melekat ditubuhnya, “Aku akan menghubungimu nanti.”

Usai mengatakan hal itu, Dave mematikan panggilan. Ia memandang langit-langit kamar, tak berapa lama, matanya pun terpejam dan perlahan dirinya memasuki alam mimpi.

~

      Rumah kecil tanpa penghangat ruangan itu membuat seseorang yang bergelung di bawah selimut, semakin mengeratkan selimut yang melilit tubuhnya. Seorang pria terkekeh geli, “Bella, bangunlah.” Perempuan yang tengah tertidur itu, mencoba menghindari tangan kekasihnya yang menyentuh pundaknya.

“Aku masih mengantuk,” gumam Bella. “Kau harus sarapan dulu, setelah itu lanjutkan tidurmu. Perutmu akan sakit seperti waktu itu,” bujuk pria dengan dandanan yang berantakan. Bella membuka kedua matanya sedikit, “Ed, biarkan aku tidur 5 menit lagi.”

       Ed menghela napas, “Baiklah, lanjutkan tidurmu. Sepertinya kau sangat lelah.” Pria dengan nama asli Edmund itu, memutuskan untuk kembali melanjutkan masaknya. Meski dirinya tidak terlalu pandai masak, tetapi mau bagaimana lagi, Bella pasti terlalu lelah jika harus melakukan kegiatan rumah tangga.

      Pria dengan lesung pipi yang terlihat kala tersenyum itu, kembali membayangkan arti kata rumah tangga. Ed menghela napas panjang, lagi pula hal itu sepertinya akan sulit dicapai oleh dirinya dan Bella.

      Ed mulai berkutat dengan beberapa bahan masakan yang paling mudah dibuat, apalagi jika bukan nasi gulung atau Kimbab.

Ed meletakkan rumput laut kering di atas talenan, dilanjut dirinya mengambil semangkuk kecil nasi hangat lalu meratakannya di atas rumput laut, ia menambah sayuran rebus ; wortel, mentimun, telur, dan bayam. Begitu selesai, Ed mulai menggulungnya secara perlahan.

Senyum penuh kepuasan terbit di bibir dengan luka di ujungnya, bertepatan dengan Ed yang hendak memotong Kimbab, Bella muncul dari dalam kamar dengan wajah mengantuk.

      Perempuan itu menghampirinya, “Kau memasak sesuatu?” Ed tersenyum kaku, “Ya. Tapi maaf, aku hanya membuat nasi gulung.” Bella melirik nasi gulung yang dimaksud Ed, terlihat menggiurkan meskipun tidak terlalu rapi bentuknya. Ia tersenyum, kemudian tangannya meraih kepala Ed untuk memberinya sebuah kecupan dipinggir bibir.

     Pria itu tersentak, meski hal itu sering Bella lakukan, tetap saja dirinya terkejut. Tangan Bella terangkat untuk menyentuh rahang dengan sedikit rambut tipis yang mulai tumbuh, matanya melirik luka lebam disudut bibir Ed.

      “Apakah sakit?” tanyanya. Ed menggeleng, tangan besarnya menggenggam tangan Bella di wajahnya. “Sudah kubilang untuk berhenti, aku sudah mengatakannya, kan? Kenapa kau tidak mau mengerti? Aku percaya kau bisa melindungi dirimu sendiri, tetapi bagaimana jika kejadian dua hari terulang lagi?” nada kekhawatiran terdengar jelas dari pemaparan Bella. Putus asa, mungkin hal itulah yang kini Bella rasakan.

     Masih hangat dalam ingatannya kejadian dua hari yang lalu, ketika Ed pulang tengah malam dalam keadaan penuh luka. Meskipun hanya luka luar dan tidak parah, akan tetapi hal itu sudah cukup membuat dirinya sangat khawatir. Mengingat itu membuat matanya memerah dan terasa perih, hingga sesaat kemudian kedua bola matanya berkaca-kaca.

        Ed tersentak, kini kedua tangannya beralih menyentuh sisi wajah Bella. “Tidak, sayang. Maafkan aku, aku janji sebentar lagi akan berhenti.” Bella mendengus, “Kau selalu mengatakan itu, tapi apa? Besoknya kau melakukannya lagi.” Ed tersenyum samar, Bella dalam keadaan merajuk lebih baik daripada dalam menangis. “Ya.. aku memang tidak menepati janji. Tetapi setidaknya selama sebulan ini, aku sudah bersikap baik, kan?” Bella mendelik, air mata yang sempat akan turun, kembali digantikan dengan wajah merajuknya. Ed terkekeh geli, “Sudah, nanti lagi merajuknya. Sekarang ayo kita sarapan!”

         Bella mengangguk, ia kembali melirik Kimbab buatan Ed. “Kau harus menggulungnya secara perlahan agar isinya tidak berantakan, lalu kau juga harus menekannya supaya padat,” jelas Bella. “Tapi kau sudah melakukannya dengan baik, Ed.. “ pujinya kemudian berjinjit supaya dapat mengelus rambut berantakan Ed. Ed tertegun, Bella selalu memperlakukannya seperti anak kucing. Ia menghela napas, apa boleh buat, jika Bella yang melakukannya itu tak masalah. Ed memotong Kimbab tersebut menjadi beberapa bagian, lalu meletakkannya di piring kembali.

         Ed merangkul pundak Bella, “Ayo, kita duduk dulu.” Kemudian keduanya berjalan menuju ruangan kecil yang dijadikan sebagai ruang tamu, ruangan itu terletak tepat di depan dapur tanpa dihalangi sekat apa pun. Ed meletakkan nasi gulung buatannya ke meja kecil di sana, ia baru saja akan duduk, tetapi Bella terlebih dahulu kembali ke dapur. “Ada apa?” tanya Ed. “Aku akan membuat telur gulung,” ujar Bella sembari mengambil empat butir telur dan sebuah mangkuk. “Kau boleh makan duluan,” ucap Bella. Ed menggeleng pelan, “Aku akan menunggu.”

        Tak berapa lama, telur gulung pun berhasil Bella buat. Ia menghampiri Ed dengan sepiring telur itu, lalu meletakkannya di meja. “Selamat makan!” keduanya pun memulai sarapan dengan hening.

     ~

       “Kita berangkat bersama,” sahut Ed. Bella menghentikan suapan terakhirnya, ia menatap Ed dengan cepat. “Kau akan pergi ke tempat itu lagi?!” nada suara Bella naik satu oktaf. Ed meringis, “Tidak, aku sudah janji, kan? Paman Sid memintaku untuk membantunya di Car wash.” Bella menyipitkan matanya curiga, “Kau tidak berbohong padaku, kan?” Ed tersenyum lebar, “Tidak. Apa wajah seperti ini terlihat seperti pembohong?” selama beberapa detik, Bella terus menatap Ed curiga. Ia mendengus, “Oke. Jika kau berbohong, aku akan membuatmu tidur di luar.” 

       Bella berdiri, ia berjalan menuju dapur dengan tangan membawa piring kotor. “Biar aku yang melakukannya,” tukas Ed sambil menahan tangan Bella yang hendak mencuci piring. “Mandilah, biar aku yang mencucinya,” lanjut Ed. Bella tersenyum, “Terima kasih.” Ia berlari kecil menuju kamar, Ed terkekeh geli dibuatnya.

~

       Udara pagi ini lebih dingin daripada kemarin, Bella semakin mengeratkan mantelnya. Ed melirik ke depan, restoran tempat Bella bekerja tinggal melewati satu toko lagi. Ed menatap Bella, tangannya meraih kedua tangan Bella. Perempuan itu tersentak dan ikut menghentikan langkah, hatinya turut menghangat ketika Ed menggosokkan telapak tangan ke kedua tangannya yang berada dalam genggaman pria itu. Ed menatapnya sambil sesekali mulutnya mengeluarkan udara untuk menghangatkan tangan kekasihnya, ia tersenyum lembut. “Terima kasih,” balas Bella. Hal-hal sekecil ini mampu membuatnya berdebar, Ed selalu tau cara membuatnya merasa dibutuhkan.

      Tangan Ed beralih menuju rambut Bella, ia mengusapnya lembut. Keduanya tertawa tanpa menyadari seseorang yang sedari tadi memperhatikan dengan tangan terkepal kuat 

~

      Pandangan Dave tidak pernah berpindah ke tempat lain, ia terus memperhatikan restoran tempat dirinya makan semalam. Sudah sedari dua puluh menit yang lalu, Dave duduk tenang di dalam mobil yang terparkir di tempat yang sama ia menunggu semalam. Tak berapa lama, seseorang yang sedari tadi ditunggunya muncul. Dave memajukan badannya sedikit, ia memfokuskan perhatian pada sosok asing yang berjalan di samping Bella. Mereka terlihat akrab, bahkan sesekali seseorang di samping Bella itu, mengelus rambut Bella.

Satu hal yang mengganggunya, sosok itu adalah seorang pria. Tangannya terkepal kuat dengan rahang mengeras, tatapannya semakin dingin. 

     Dilihat sebanyak apa pun, Dave sangat yakin jika pria itu mempunyai tempat spesial dihati perempuan itu.

Bab terkait

  • Love The Way You Lie   4. Selangkah lebih dekat

    Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya. “Dave, bagaimana kabarmu?” Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut. Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dave... Ayo kita pergi ke pantai. Dave, kau mau membelikanku ini? &nb

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-11
  • Love The Way You Lie   5. Datang padamu

    Theo memandang bangunan sederhana di hadapannya, dari ekspresinya terlihat sekali pria itu tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. “Kenapa di antara restoran mewah, kau mengajakku makan siang di sini? Jika tau seperti ini, aku lebih baik makan dengan layanan apartemen,” keluh Theo.“Kau terlalu banyak mengoceh,” cibir Dave. “Aku sudah memberikanmu tumpangan jadi, turuti saja apa yang kukatakan.” Theo memutar bola matanya malas, “Lalu apa yang tuan Dave ini inginkan?” dari nadanya terdengar jika Theo malas melakukan apa yang Dave inginkan. “Kita akan makan siang di restoran itu, selama di dalam, jangan pernah mengoceh yang aneh-aneh!” papar Dave. Theo mengernyit, tetapi ia memilih diam. Lagi pula di mana pun tempat makannya, paling penting adalah tempat itu bersih dan menyediakan makanan yang layak. Dave membuka pintu restoran, suasana di dalam siang ini lumayan ramai. Dan itu adalah s

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-11
  • Love The Way You Lie   6. Mendekat

    Theo keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil mengalung di lehernya, dia melirik ke arah Dave yang terlihat sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu bergidik saat matanya tanpa sengaja melihat lengan berotot milik Dave yang tengah memakai kaos lengan pendek, Theo kini ingat penyebab rahangnya sakit waktu itu. Bukan karena tamparan pelayan restoran itu, tetapi pukulan mentah dari Dave. Theo meneguk ludahnya kasar, di tengah ambang kesadaran waktu itu, Dave tanpa aba-aba memberinya pukulan. Tubuhnya bergidik, meskipun kejadian sudah berlalu seminggu. Tetapi dia akan mengingat rasa sakitnya, hal itu akan berguna untuk Theo agar lebih hati-hati ketika bersama dengan Dave. Sebenarnya Theo tidak mengerti alasan Dave memukulnya, dari yang dirinya ingat, dia hanya mabuk. Theo memakai kaos lengan pendeknya, lalu melirik ke arah laptop yang menjadi fokus Dave. “Apa kau yakin akan tetap dengan rencanamu? Kau juga tau bukan, seperti

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-13
  • Love The Way You Lie   7.1 Cemburu?

    “Kau tidak mau membantunya?” tanya Theo. “Tidak,” balas Dave. Keduanya sama-sama melihat Ed yang tampak kewalahan menghadapi empat orang pria yang tiba-tiba menyerang, Theo meringis mendengar suara pukulan-pukulan itu. Hanya mendengarnya saja, Theo sudah yakin pukulan-pukulan itu sangat keras. Tetapi dirinya dibuat kagum oleh kemampuan bela diri Ed, bahkan untuk orang awam sekalipun pasti dapat menebak jika pria itu sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti sekarang. “Sebenarnya kenapa pria itu diserang?” gumam Theo. “Akh!!” sebuah teriakan membuatnya terkejut. Di depan sana, Ed terlihat kesakitan setelah salah satu pria berbadan besar itu berhasil menginjak lengan kanannya. Wajah Ed memang hanya dihiasi beberapa luka, pria itu sepertinya tidak akan kalah jika melawan 1 atau 2 orang. Theo melirik Dave, pria itu tidak menampilkan ekspresi apa pun. Lalu Theo memandang ke sekeliling lewat kaca mobil, “Apa di sekitar sin

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-13
  • Love The Way You Lie   7.2 Cemburu?

    Suasana canggung tercipta di dalam rumah sederhana itu, Bella tidak mengerti apa yang terjadi di sini sebenarnya. Ketika mereka tiba di rumahnya, pria yang menolongnya itu tidak pergi dan terus berdiam di depan pintu. Bella terlihat bingung saat itu harus melakukan apa, akhirnya setelah meminta pendapat Ed. Ia menawarkan kedua pria itu masuk, dan tanpa di sangka dengan mudahnya pria yang pergi ke toko bunga pagi tadi itu, begitu saja menyetujui. Dave diam-diam memperhatikan kondisi di dalam rumah kecil itu, tidak banyak perabotan maupun ruang. Ruangan tempatnya berada saat ini hanya diisi oleh karpet dengan sebuah dapur kecil di depannya, matanya memandang dinding bercat putih dengan hiasan foto-foto Bella dan pria itu. Sebuah ruangan dengan pintu tertutup, menarik perhatiannya. Satu tebakan yang membuat dia benci memikirkannya, ruangan tersebut adalah kamar. Tidak masalah jika ada dua ruangan seperti itu di sini, tetapi itu hanya satu yang artinya mereka berbagi kamar.

    Terakhir Diperbarui : 2021-03-29
  • Love The Way You Lie   8.1 Pertemuan terakhir yang tidak menyenangkan

    Udara pagi ini, sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Satu hal yang membedakan adalah ketika Theo terbangun dan melihat Dave telah bersiap dengan pakaian yang rapi, pria itu bahkan sesekali memperbaiki penampilan di depan cermin. Hal itu tentu saja mengundang rasa penasarannya, Theo duduk di sofa. “Kau memperhatikan penampilan ternyata,” katanya. Dave melirik tajam ke arahnya, “Apa aku terlihat aneh?” Theo mengernyit, “Kau meminta pendapatku?! Tentu saja penampilanmu tetap keren seperti biasa, dan aku benci mengakuinya.” Dave menoleh sekilas, lalu berjalan menuju lemari tanpa menghiraukan ucapan teman kecilnya. “Kau akan pergi? Ke mana?” tanya Theo. Dave mendengus, “Jangan mengikutiku.” Theo mendengus, “Siapa juga yang mau mengikutimu. Aku hanya ingin mengatakan pulanglah sebelum jam makan siang, ayahmu kemarin menelepon dan meminta kita kembali ke Seoul.” Dave terdiam, dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dave keluar dari apartemen.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-01
  • Love The Way You Lie   8.2 Pertemuan terakhir yang tidak menyenangkan

    Sekitar lima belas menit kemudian, Ed keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya menutupi pinggang hingga lutut, sebuah handuk putih kecil berada di kepalanya. Bella berbalik saat aroma sabun cair miliknya menguar, seketika itu juga ia menahan napas. Tetesan air jatuh ke dada bidang Ed, lalu menuruni perutnya yang terbentuk sempurna. Mata Bella naik ke kepala Ed, ia mendengus lalu mendekat ke arah pria itu. Bella menarik handuk kecil di atas kepala Ed, lalu meletakkannya kembali di sana dan mulai mengusap-usap rambut itu. “Ed, menunduklah sedikit,” keluh Bella yang merasa kesulitan dengan kegiatannya membantu mengeringkan rambut Ed. Perbedaan tinggi yang lumayan jauh, harus membuat ia berjinjit agar tangannya sampai di kepala Ed. Ed menahan tawanya saat melihat Bella yang terlihat kesulitan, bukannya mengikuti apa yang Bella katakan, dia malah dengan sengaja berjinjit hingga perbedaan tinggi badan keduanya terlihat begitu kentara. Bella menghembuskan napas kasar, “Berh

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-04
  • Love The Way You Lie   9.1 Pertengkaran

    Akhir pekan merupakan hari yang dinanti oleh para pekerja, setidaknya mereka dapat menikmati satu hari dengan menyegarkan otak dan tubuh. Meskipun tidak semua orang dapat menikmati hari itu, begitu juga dengan Bella dan Ed. Pagi ini, Bella berencana pergi ke pasar untuk membeli bahan makanan restoran. Ia sedang dalam keadaan hati yang bagus, beberapa hari lagi ulang tahunnya akan tiba. Meskipun dirinya tidak yakin tanggal 29 Desember adalah hari lahirnya. Tak masalah, selama ia masih dapat merasakannya seperti orang lain. Bella mempercepat langkahnya ketika memasuki area pasar, meskipun matahari mulai sedikit tampak, tetapi pasar masih sepi. Tujuan pertamanya adalah pergi ke pedagang ikan dan daging, tidak terlalu sulit memilih keduanya yang masih segar. Ikan yang segar biasanya memiliki insang yang berwarna merah cerah, sedangkan daging sapi segar biasanya memiliki warna kemerahan dan tidak pucat. Begitu kedua bahan itu selesai dibungkus, Bella pergi ke pedagang sayuran yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-06

Bab terbaru

  • Love The Way You Lie   32. Semuanya berakhir sekarang (END)

    Bella terus menunduk, ia tidak berani mendongak untuk memandang dua sosok yang kini duduk di depannya. Entah bagaimana kedua pria itu datang bersamaan, mendatanginya dan mengajaknya kembali. Bella mendongak, kedua pria itu saling menatap tajam. “Bisakah kalian pergi?” ucapannya sontak saja membuat kedua pria itu menatapnya.“Tidak bisa,” ujar mereka bersamaan. Bella menghela napas lelah, ini tidak akan mudah. “Kau harus ikut denganku,” terdengar nada perintah dalam ucapan Dave. “Kau tidak bisa memaksanya,” kini giliran Ed yang berbicara. Ya, kedua pria itulah yang sedari dua jam memaksanya.Sudah seminggu Bella berada di Los angeles, beruntung baginya karena bertemu dengan salah satu ibu panti ketika tiba di bandara. Panti kini telah pindah ke salah satu bangunan sederhana milik seorang pengusaha, bahkan pengusaha yang tidak diketahui namanya itu telah menjadi penyumbang terbesar untuk panti.

  • Love The Way You Lie   31. Keputusan akhir

    Kelopak mata itu tampak bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka secara perlahan. Hal pertama yang tertangkap oleh retina matanya adalah langit-langit ruangan berwarna putih, kepalanya menoleh ke samping. Dinding bercat putih juga menyambutnya, Bella mengerutkan hidungnya ketika bau obat-obatan tercium jelas. Ah, rumah sakit. Bella menghela napas pelan, ia melirik pergelangan tangan kirinya yang terbalut perban. Ingatan kembali membawanya pada kejadian sore tadi, ketika Bella dengan bodohnya melukai pergelangan tangannya. Ia tersenyum miris, dibandingkan dengan bodoh, Bella akan menyebutnya sebuah usaha melarikan diri.Tentu saja dirinya tidak akan mungkin bertahan lebih lama dari penjara yang dibuat Dave, pria itu sungguh-sungguh sudah tidak memedulikannya lagi. Bella tidak dapat mengetahuinya dengan pasti berapa lama Dave pergi, tetapi Maid beberapa kali yang mengantarkan makanan untuknya. Ia tidak dapat menahannya lagi, terlebih ketika hujan badai terjadi sor

  • Love The Way You Lie   30.2 Aku lelah..

    Bella terus mundur, hingga kemudian punggungnya menyentuh tembok. Bella jatuh terduduk, ia meringkuk disudut kamar, matanya memandang takut ke arah Dave yang melangkah mendekat. “Kau sakit, Dave.” Dave membulatkan matanya mendengar perkataan Bella, “Aku tidak sakit.” Bella menggeleng cepat, “Mentalmu sakit!” ekspresi mengeras di wajah Dave, berganti menjadi raut wajah datar. “Katakan sekali lagi dan kau akan mati,” desis Dave. Entah mengapa keberanian Bella mulai terkumpul, ia menatap Dave dengan ekspresi wajah meremehkan. “Kau tidak akan berani melakukannya, Dave.” “Karena selama ini hanya aku yang masih bertahan denganmu, benarkan?” rahang Dave mengeras kembali. Dia berjongkok, lalu jari telunjuk dan jempol tangan kanannya mengapit dagu Bella. “Apa kau mau aku melepaskanmu?” suara Dave terdengar dalam. Bella mengepalkan kedua tangannya, intimidasi yang dilakukan Dave, nyatanya telah membuat ketakutan kembali menghampiri. Ia mengang

  • Love The Way You Lie   30.1 Aku lelah..

    “Dave, kumohon buka pintunya! Ayo kita bicara! Dave!” seru Bella seraya terus menggedor pintu di depannya. Ia menghela napas lelah, tangannya terasa kebas setelah menggedor-gedor pintu selama beberapa menit. Bella tahu Dave berada di luar ruangan, karena itulah ia terus berteriak hingga membuat tenggorokannya terasa kering. Bella berbalik, ia memandang hampa pada ruangan tempatnya berada kini. Bukan kamar dengan ranjang empuk dan cahaya lampu yang terang, melainkan sebuah ruangan tanpa ada satu pun perabotan dan jendela. Hanya ruangan kosong dengan satu lampu temaram dan sebuah lubang ventilasi kecil, Bella menunduk. Entah sudah berapa hari dirinya berada di sini, Dave benar-benar mengurungnya seperti seorang tahanan. Pintu yang merupakan satu-satunya jalan keluar, tidak pernah terbuka seperti ketika ia dikurung di kamar. Makanan akan tiba di ruangan melalui sebuah lubang yang hanya muat untuk satu nampan, tidak lagi melalui Maid. Bella benar-benar

  • Love The Way You Lie   29.2 Aku bersamamu

    Bella tidak dapat memercayai penglihatannya sekarang, matanya tak pernah lepas pada layar laptop di depannya. Sebuah video sedang di putar, terdapat seorang anak laki-laki dengan seorang wanita berpakaian dokter. Wanita tersebut tampak mengajak bicara anak itu, tetapi respons yang diperlihatkan anak laki-laki itu sungguh membuatnya terkejut.Tanpa diberitahu, Bella dapat menebak bahwa anak itu adalah Dave kecil. Video enam menit itu akhirnya berakhir, Bella masih mencoba mencerna apa yang dirinya lihat tadi. Ia melirik ke arah kertas-kertas yang kini berada dalam pangkuannya, Bella telah selesai membaca beserta dokumen-dokumen lain yang kini tercecer di atas lantai.Tangannya terangkat untuk meraih sebuah foto usang dengan bergetar, foto yang memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah menatap ke arah kamera dengan tatapan hampa. Tanpa sadar air matanya jatuh, lihatlah tubuh yang tampak seperti hanya tulang berbalut kulit.Bahkan perban yang

  • Love The Way You Lie   29.1 Aku bersamamu

    Pemandangan di sore hari ini tampak indah, pantulan cahaya jingga menerpa kaca besar ruangan yang terlihat gelap itu. Bella memandang lurus pada pemandangan langit sore dari balik kaca kamarnya yang membentang luas, sekalipun pandangan itu tidak benar-benar menikmati apa yang tersaji. Di tengah lamunan, suara gemercik air sesekali terdengar dan memecahkan keheningan ruangan itu.Empat belas hari sudah berlalu semenjak kejadian besar itu, hingga saat ini Bella tidak pernah mengetahui kabar Ed. Apakah pria itu baik-baik saja? Bagaimana kehidupannya sekarang? Pertanyaan yang beberapa hari terakhir mengganggu pikirannya itu terus menghantui, Bella bahkan tidak dapat tidur nyenyak.Tidak ada hal berarti yang dilakukannya, setiap hari ia selalu melamun di kursi yang menghadap ke arah kaca. Sudah dua minggu itu pula, Bella terkurung dalam rumah mewah Dave. Pria itu benar-benar tidak membiarkan dirinya melangkah sejengkal pun keluar dar

  • Love The Way You Lie   28.2 Sekeping hati yang dipatahkan

    “Bella!” suara tak asing yang memanggil namanya, sontak membuat Bella dan Ed sama-sama menoleh ke asal suara. Mata mereka membulat, kehadiran Dave dan Clara juga sekitar lima orang pria berbadan besar dalam balutan pakaian serba hitam, mengejutkan mereka. Bella terlebih dahulu berdiri, ekspresi wajahnya berubah panik.“Dave?’ gumamnya. Dave melangkah menghampiri, diikuti Clara dan kelima pria itu. “Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku saat aku sibuk bekerja? Kau mengkhianatiku?!” sentak Dave. Ekspresi dingin yang kentara di wajah Dave, tanpa sadar membuat tubuh Bella bergetar. Karena dibandingkan dengan ekspresi itu, Bella lebih memilih Dave berekspresi marah.“Ed,” suara lirih itu berasal dari satu-satunya perempuan selain Bella. Clara memandang Ed dan Bella bergantian, tatapan mata yang terluka itu sontak membuat Bella diliputi rasa bersalah. Ia mendekat ke arah Clara, kemudian berdiri di depanny

  • Love The Way You Lie   28.1 Sekeping hati yang dipatahkan

    Arah matanya tak pernah lepas dari pintu masuk kedai, tak berapa lama senyuman manis terbit di bibir merah meronanya. Seorang pria dalam balutan mantel hitam tengah mendekat dengan buket bunga di tangannya, senyumnya terukir indah ketika matanya menangkap sang terkasih. “Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” ujar pria tersebut seraya mendudukkan dirinya di depan perempuan itu. Bella menggeleng, senyum tak jua lepas dari bibirnya. “Tak apa, kau pasti sangat sibuk. Eum.. apa bunga itu untukku?” tanyanya seraya menunjuk buket bunga di tangan pria di depannya.Ed terkekeh geli, kemudian mengangguk. “Untuk perempuan istimewa yang menempati seluruh ruang dihatiku,” sahutnya seraya menyodorkan buket berisi bunga anyelir putih. Bella menerimanya, senyumnya semakin lebar ketika menghirup aroma bunga anyelir yang harum. “Terima kasih, Ed. Padahal kau tidak perlu repot-repot membawakannya untukku, kau datang saja aku sudah sangat bahagia.&

  • Love The Way You Lie   27. Hanya kau dan aku

    Cengkeraman kuat pada sabuk pengaman seolah menjadi satu-satunya cara agar sesuatu yang buruk tidak terjadi, sekalipun Bella tahu harapannya itu tidak akan pernah terjadi. Meskipun ketakutan merasuki, ia tidak dapat menghentikan atau setidaknya meminta Dave menurunkan kecepatan mobil. Pria itu tengah kalap, terlihat dari wajahnya yang memerah.Bahkan di saat emosi mengusai, Dave tetap bisa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kendaraan lain mencoba menghindar agar tidak terjadi kecelakaan, tak jarang ada yang menghentikan kendaraannya ketika mobil Dave melintas dengan cepat.Bella sungguh takut, seperti dalam adegan film laga. Dave mengendarai mobil dengan kegilaan, Bella tidak bisa lagi menahan ketakutannya. Ia harus menghentikan Dave, terlebih ketika seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang hampir tertabrak.“Dave, hentikan mobilnya. Sadarlah!” sebisa mungkin dirinya berteriak, meskipun yang keluar hanya seruan yang tercekat. Dave

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status