“Apa-apaan ini?!” terdengar jelas nada emosi yang pria muda itu keluarkan, tangannya menyentak berkas-berkas berisi laporan karyawan hingga berhamburan di lantai. “Aku memberikan kalian libur, dan ini hasilnya?! Apa waktu seminggu tidak cukup membuat otak kalian berfungsi?!” bentak pria itu kembali. Dua orang karyawan laki-laki dan seorang perempuan yang menjadi sasaran kemurkaan pimpinan mereka, hanya mampu menunduk dengan tubuh bergetar. Dave Orlando Lay, seorang CEO ALF CORP. Sebuah perusahaan yang merupakan produsen otomotif terbesar di Asia, sudah berdiri selama hampir 23 tahun.
Dave mengatur napasnya, ia merasa kepalanya akan meledak. “Keluar!” titahnya yang langsung membuat ketiga karyawan itu beranjak dari ruang tersebut dengan cepat. Bertepatan dengan itu, seorang pria memasuki ruangan. Matanya mengikuti ketiga karyawan yang baru saja keluar dari ruangan pimpinan, ia menoleh ke arah Dave yang tengah duduk dengan punggung bersandar ke kursi. “Ada apa denganmu? Memarahi karyawan lagi?” tanya Theo menghampiri bos sekaligus teman masa kecilnya. Dave tidak menjawab, pria itu mendongak dengan mata terpejam. Theo memperhatikan wajah lelah Dave, tanpa diberitahu pun sepertinya ia tau penyebab Dave dalam kondisi hati yang buruk. “Aku rasa kau perlu liburan,” papar Theo membuat Dave membuka matanya tanpa berniat mengubah posisi. Theo melanjutkan saat melihat Dave mendengarkan, “Kau memberikan libur untuk para karyawan, tetapi kau sendiri malah bekerja sepanjang waktu. Mau aku sarankan tempat yang bagus?” Dave mendengus, Theo dan mulutnya yang cerewet.“Kau suka yang banyak wanita cantik dan seksi? Atau kau butuh tempat dengan pantai yang indah?” tawar Theo kemudian berhenti ketika mengingat sesuatu. “Ah, tidak. Jangan pantai, sekarang sedang musim dingin. Jadi, bagaimana? Ada tempat yang kau mau datangi?”
Dave menegakkan tubuhnya, “Tidak. Keluar, kau terlalu banyak bicara.” Theo meringis, terkadang ia lupa sifat menyebalkan Dave yang satu ini. Theo memutuskan untuk pergi dari sana, ia berjalan menuju pintu. “Ah, aku sudah memesan tempat untuk makan siang. Akan kukirim alamatnya nanti,” kata Theo kemudian pintu tertutup. Dave mengernyit, kemudian mengangkat bahunya acuh. Lagi pula ia sudah tidak heran lagi dengan kebiasaan Theo yang selalu memesan tempat untuk makan siang, hal itu bukan masalah untuknya selama pria itu tidak mengoceh terus. Kini Dave memfokuskan diri pada pekerjaan yang ternyata masih menumpuk, kadang dirinya heran. Tugas-tugas mudah yang seharusnya mampu diselesaikan karyawan, malah kini dirinya sendiri yang harus turun tangan. Ia penasaran bagaimana kepemimpinan sebelum ia menjabat posisi ini? Dilihat dari kemampuan karyawan serta sikap mereka yang menyepelekan tugas, bisa jadi pimpinan mereka sebelumnya tidak tegas.Dave mencoba membanding pikirannya dan kenyataan yang tersaji, ia mendengus. Tidak, pimpinan sebelumnya adalah sang ayah. Mana mungkin pria yang terkenal tegas dan disiplin bersikap lembek pada karyawan, mungkin saja para karyawan itu terlalu menikmati gaji buta.
Dave menghela napas, ia menggeleng beberapa kali. Memikirkan hal yang membuang waktu seperti itu cukup membuatnya melupakan rasa kesal tadi pagi, andai saja mereka tidak berjasa untuk hidupnya, mungkin sudah sejak dulu Dave meninggalkan segala kemewahan ini.~ Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas siang, para karyawan sesegera mungkin pergi menuju kantin. Bukan untuk mendapatkan makanan yang banyak, mereka hanya mencoba menghindari satu hal. Dave dan sikap pemarahnya. Beberapa karyawan bahkan sesekali menengok ke arah lift yang menjadi pintu masuk ke kantin selain tangga, mereka hanya mencoba bersiap jika bos tampan mereka muncul. Karyawan yang telah memesan makanan memilih untuk kembali ke ruangan mereka, beberapa di antaranya tetap di sana untuk melihat wajah bule Dave. “Bos tidak akan kemari,” ujar seorang karyawan wanita. Temannya menoleh, “Bos, kan memang jarang kemari.” Si wanita pertama mendengus, “Aku melihatnya pergi ke luar dengan sekretarisnya. Aku rasa besok ada berita besar, seorang CEO muda sukses tengah berkencan dengan model cantik Selena.” Wanita kedua lemas seketika, “Apa boleh buat, kita hanya upil jika dibandingkan dengan Selena.”~
Dave baru saja tiba di basemen, ditangannya terdapat handphone keluaran terbaru. Ia mencoba menghubungi Theo yang tiba-tiba pergi setelah mengingatkannya tentang makan siang beberapa menit yang lalu, sudah panggilan ketiga dilakukannya, tetapi tidak kunjung mendapat jawaban. Dave memasukkan ponsel ke dalam saku celana, tatapannya menjadi dingin. Ia memasuki mobil jenis Maserati Ghibli warna blue passion, interior mewah dan elegannya tampak serasi dengan si pemilik. Mobil pun melaju meninggalkan area parkir mobil, tujuannya adalah ke alamat restoran yang telah di pesan Theo. Dave bukanlah orang yang sering makan siang di luar, ia lebih senang memberikan perintah kepada Theo kemudian menikmati makanan yang telah dipesan sambil tetap mengerjakan pekerjaan. Waktu adalah uang, ia rasa kutipan itu ada benarnya. Dave sebenarnya malas untuk pergi keluar, tetapi ia lebih malas menghadapi manusia berjenis wanita yang selalu datang seenaknya ke ruangan pribadi. Matanya sesekali melirik layar ponsel yang menampilkan map tujuan, nama restoran itu terdengar tidak asing baginya. Namun, ia terlalu malas untuk berpikir hal tak penting. Theo sudah mengetahui apa saja hal yang ia benci, termasuk tempat makan. Hanya sepuluh menit saja waktu yang ditempuhnya, setelah berhasil memarkirkan mobil, ia keluar dari sana. Dave memperhatikan nama yang terpajang di depan restoran, ia tersentak saat ponselnya bergetar. Nama Theo terlihat di layar ponsel, ia menekan tombol hijau di samping merah. “Kau sudah sampai?” tanya Theo. “Kau di mana?” Dave bertanya balik. “Jika sudah, cepatlah masuk! Meja nomor 4!” “Berani sekali kau tidak menjawab, kau di mana?!” Tut. Dave menjauhkan ponselnya, layar yang tadinya berada di panggilan, berubah menjadi hitam seluruhnya. Theo mematikan panggilan! Dave mengepalkan tangannya, ia memasukkan ponselnya kembali dengan kasar. Kemudian melangkah memasuki restoran, matanya memandang sekeliling mencoba mencari keberadaan Theo. Ia berjalan menuju meja nomor empat yang masih kosong, sepertinya Theo belum tiba. Suasana restoran sepertinya lebih cocok untuk orang-orang berkencan, apa Theo tidak salah memesan tempat? Suara ribut diarah pintu masuk membuat Dave menoleh, orang-orang tampak berkumpul di sana dengan ponsel menyorot ke arah seseorang. Dave lebih memilih mengecek email daripada penasaran untuk hal yang tidak berguna, seseorang duduk tepat di kursi depannya. Dave melirik, ekspresi datar ia tampilkan saat melihat siapa gerangan yang duduk di sana. “Dave, kau sudah pesan makanan?” pertanyaan itu keluar dari bibir bergincu merah. Satu kesimpulan hinggap dikepala Dave mengenai kedatangan wanita di depannya, siapa lagi jika tidak ada hubungannya dengan Theo. Bisik-bisik di sekitar sontak membuat Dave tersadar, pria itu melupakan status pekerjaan wanita di depannya. Selena adalah seorang model yang popularitasnya tengah naik, terlebih ketika dia dekat dengan Dave yang seorang pengusaha muda sukses. “Ini rencanamu?” nada suara Dave terdengar tidak ramah di telinga wanita dengan gaun merah di atas lutut dan luaran mantel bulu yang tebal. Selena tersenyum kaku, “Ka.. kau bicara apa, sih? Aku minta maaf jika kau menunggu lama, ah tapi tenang saja. Aku akan pesankan sesuatu yang istimewa.” Dave tersenyum miring, “Berhenti bersandiwara, itu menjijikkan.” Usai mengatakan hal itu, Dave berdiri kemudian berjalan pergi meninggalkan Selena yang terkejut. Dave memasuki mobilnya, tanpa memedulikan nasib Selena dengan para wartawan dadakan, ia mulai melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Tujuannya saat ini adalah mencari keberadaan Theo, pria itu sepertinya harus diberi sedikit pelajaran.~ Dave tiba di perusahaan, ia berjalan santai menuju ruangannya. Kosong, satu kata yang menggambarkan keadaan ruangan pribadinya. Dave mendudukkan dirinya lalu melepaskan dan meletakkan jas kerjanya di sandaran kursi, lalu ia melipat lengan kemeja putihnya sampai siku. Dave memutuskan untuk melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Di tengah pekerjaan, pintu ruangan terbuka sedikit. Seseorang mengintip dari celah pintu, Dave mendengus. “Masuklah, dan berikan aku dokumen lainnya.” Sosok yang berada di balik pintu itu tersenyum lebar, mungkin Dave sudah tidak marah padanya, itulah yang ada dalam benak Theo. Pria itu masuk ke dalam dengan beberapa dokumen di tangan, “Kau... Tidak akan memarahiku?” “Aku tidak akan melakukan hal yang membuang waktu,” sahut Dave singkat tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop yang menyala. Rasa takut akan dimarahi Dave akhirnya hilang, Theo meletakkan dokumen yang di bawanya ke meja, kemudian mulai membuka tablet untuk mengecek jadwal. “Jam dua siang ini, akan ada rapat dengan tuan Mike. Setelah itu ada beberapa dokumen yang sedang dalam proses penandatanganan pusat,” jelasnya. “Ayah? Apa rapat kali ini mengenai pembangunan anak perusahaan di California?” tanya Dave memastikan. Theo mengangguk, hal itu membuat Dave menghembuskan napas lega. “Sepertinya rapat kali ini tidak terlalu penting, untuk apa mengadakan rapat, sedangkan proses pembangunan tinggal 5 persen lagi.” Dave melirik ponsel di atas meja, masih ada waktu 30 menit sebelum waktu rapat. Ia melirik ke arah Theo, sepertinya ini waktu yang tepat untuk memberi Theo pelajaran. “Belikan aku Naeng kongguksu (1) dan Bingsu (2),” ujarnya.1). Mie dalam sup kedelai dingin diberi irisan mentimun, telur rebus, dan tomat.
2). Es serut kacang merah atau buah-buahan.
“Kenapa aku harus melakukannya?” tanya Theo tidak terima. Dave menatapnya datar, “Kau tidak ingat, aku belum makan siang karenamu?” Theo tersenyum kaku, “Ah, oke. Aku akan membelikannya.” Theo berbalik, dia baru saja akan melangkah pergi, tetapi satu hal janggal masuk ke dalam otaknya.“Tunggu!” “Makanan yang kau pesan itu adalah makanan musim panas, kau gila! Di mana aku dapat menemukan makanan itu di musim dingin?!” ujar Theo kesal. Dave meringis, “Jangan berteriak padaku. Cari sampai dapat, terserah kau cari di mana pun juga.”
Theo berdecap kesal, “Oke. Akan kucari sampai kau puas!” usai mengatakan itu, Theo meninggalkan ruangan Dave dengan kesal.
Ponselnya berdering, kontak sang ibu terlihat di layar. Dave menghela napas kasar, sepertinya ia tau alasan ibunya menelepon. “Dave! Kau berbuat apa pada Selena?!" Dave meringis, kenapa hari ini orang-orang meneleponnya dengan berteriak. “Apa maksud, ibu?” Helaan napas lelah terdengar dari seberang telepon, “Dave, perlakukan Selena dengan baik. Dia akan jadi istrimu.” “Aku tidak pernah menyetujuinya, kita bicara nanti. Pekerjaanku masih banyak.” “Kau tidak bisa seperti ini! Orang tua Selena adalah penanam saham terbesar di perusahaan.” “Apa ibu menjualku?” terdengar nada tak suka dari suaranya. “Bukan seperti itu, ibu hanya ingin yang terbaik untukmu. Berdamailah dengan masa lalu, dia sudah berubah... " “Bu, kumohon hentikan. Aku tidak ingin membicarakannya, kututup.” Dave meremas kasar rambutnya, lagi-lagi masalah yang sama membuatnya marah. Dave tersenyum miring, masa lalu? Cih, ia bahkan sudah lupa hal itu. Dave berdiri, kemudian mengambil jas kerja di sandaran kursi. Ia memakainya sebelum pergi dari ruangan, langkahnya terlihat tenang, meskipun aura gelap seolah menguar dari tubuhnya. Karyawan yang tanpa sengaja berpapasan dengannya, memilih menunduk bahkan beberapa dari mereka memilih memutar arah. Namun, sikap dinginnya membuat ia tidak peduli. Setidaknya mereka tidak merugikan dirinya. ~ Entah sudah berapa lama Dave mengelilingi Kota Seoul tanpa tujuan jelas, ia baru sadar ketika hari menjelang sore. Dave menghentikan mobilnya di tepi jalan, ia menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kemudi. Sepertinya ia tidak bisa pulang sekarang, ia terlalu malas berdebat dengan ibu juga ayahnya. Jika bukan karena perdebatan alot tadi, Dave mana mungkin menghabiskan waktu dengan percuma seperti ini. Ia melirik jam tangan emas di pergelangan tangan kirinya, waktu telah menunjukkan pukul lima sore. Dave terdiam, ia mencoba mengingat-ingat tempat yang mungkin bisa dijadikan tempat pelarian. Busan, kota yang merupakan pusat ekonomi, budaya dan pendidikan di wilayah tenggara Korea, dan pelabuhannya merupakan pelabuhan tersibuk di Korea dan tersibuk ke-9 di dunia. Tujuan akhirnya adalah Kota Busan, untung saja ia memiliki sebuah apartemen di sana. Masa bodo dengan pekerjaan, Theo serta ayah dan ibunya telah berhasil membuatnya marah. Satu masalah yang selalu mereka ucapkan, perjodohan. Dave tertawa sinis, dirinya baru berusia 27 tahun. Menikah? Hal itu tidak pernah ada dalam pikirannya. Salju yang sudah turun sejak bulan November membuat jalanan sedikit terhambat, meski begitu Dave tetap melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Ia hanya berharap tidak terjadi masalah yang menghambat jalannya, Dave terlalu fokus pada jalanan sehingga tidak menyadari ponselnya yang terus berdering. Ia melirik ke arah kursi di samping kemudi, ponselnya menampilkan beberapa panggilan tak terjawab dari Theo, ayah, dan juga ibunya. Sudah ia duga, Dave menghentikan mobilnya di tepi jalan yang sepi. Sepertinya menyenangkan jika sedikit membalas Theo, panggilan masuk dari Theo membuat Dave mengangkatnya. “Halo? Dave! Di mana kau, huh? Kau gila meninggalkan aku di tengah rapat penting?!” Dave menjauhkan ponsel dari telinga, suara melengking Theo mengganggunya. “Jangan berteriak padaku, bodoh!” desisnya. “Kau di mana? Ayahmu terus mengomeliku sedari tadi! Telingaku sampai berdengung, kembali sekarang atau aku akan mengirimkan gosip tentang kau dan Selena ke media!” Dave mendengus, “Lakukanlah, tetapi sebelum itu aku akan memecatmu dulu. Ah, jangan lupakan tentang kebiasaan berpestamu setiap malam. Apa aku harus memberitahu ibumu?” “Si*l*n kau, Dave! Jangan memberitahunya! Katakan di mana kau sekarang?!” “Sepertinya saranmu pagi tadi benar, aku butuh liburan. Seminggu? Ah, tidak. Aku butuh sebulan, gantikan aku..” Tut. Dave memutuskan panggilan secara sepihak, ia melempar ponselnya ke tempat semula. Ia sangat yakin sekarang ini Theo tengah mencak-mencak karena ulahnya, jangan salahkan dirinya, jika Theo tidak membuat masalah maka pria itu masih aman. Dalam bayangannya tergambar ekspresi kesal Theo, hal itu membuatnya tersenyum puas. Dave kembali melajukan mobilnya meninggalkan tempat itu, ia sedikit menaikkan kecepatan mobilnya. Waktu tempuh dari Seoul ke Busan adalah 4 jam, ia harus tiba di sana sebelum pagi. Perutnya terasa sedikit perih karena sedari tadi menahan lapar, ia akhirnya tiba di Kota Busan setelah menempuh perjalanan yang melelahkan. Dave mencoba mengistirahatkan dirinya sejenak, mungkin setelah ini ia akan pergi ke restoran terdekat. Dave merenggangkan tubuhnya yang terasa kaku, ia melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul sepuluh malam. Dirasa lelahnya sedikit berkurang, Dave keluar dari mobilnya. Udara dingin menyambutnya begitu pintu mob terbuka, udara semakin dingin begitu hari memasuki malam. Pandangannya mengedar ke sekitar, beberapa toko sudah tutup, begitu pun dengan tempat makan. Ia menghembuskan napas lelah, kakinya mulai melangkah untuk mencari restoran yang masih buka. Sulit memang, tetapi ia harap ada satu restoran yang buka. Tak perlu berjalan jauh, akhirnya ada sebuah restoran masih buka, dirinya jumpai. Sebuah papan kayu terpasang di atas pintu tersebut, papan kayu berisi waktu buka restoran yang ternyata sampai pukul sebelas. Bukan restoran mewah seperti yang sering dirinya kunjungi memang, tetapi hal itu bukan masalah selama masih menyediakan makanan yang layak dimakan. Dave membuka pintu kaca, gemerincing lonceng terdengar kala ia berhasil memasuki restoran. Seorang perempuan yang sepertinya pelayan di sana menoleh, kemudian berjalan menghampirinya. “Maaf, Tuan. Restoran akan segera tutup,” ujar pelayan tersebut. Dave yang tengah memperhatikan keadaan sekeliling, tersentak, ia pun menoleh. Dave terdiam, bola mata coklat cerah itu sangat cocok dengan rambut coklat kemerahan dan wajah putih pucat.Dave tidak memuji, ia memperhatikan wajah orang hanya untuk mengecek apakah orang itu berbahaya atau tidak. “Tuan?” Dave tersentak ketika mendengar suara bernada panggilan ragu itu. Ia tersenyum canggung, “Ah, tetapi menurut tulisan di depan, restoran buka sampai pukul sebelas.” Kerutan di kening si pelayan terlihat jelas di mata Dave, perempuan itu sepertinya tengah berpikir. “Sepertinya ini kesalahan kami, tetapi tulisan itu sudah tidak berlaku. Sekarang kami hanya buka sampai pukul sepuluh,” jawab pelayan dengan name tag Bella.
Dave dapat melihat gurat lelah di wajah perempuan di depannya, tidak heran karena menjadi seorang pelayan restoran membutuhkan tenaga fisik. “Tidak bisakah saya mendapatkan semangkuk sup? Di luar sedang turun salju dan saya membutuhkan sesuatu untuk menghangatkan tubuh,” ujarnya. “Maaf, Tuan. Tetapi semua bahan masakan telah habis, Anda bisa pergi ke restoran yang masih buka.”“Tidak bisakah kau membuatkan apa pun? Aku akan membayarmu lebih,” tawarnya. Dave kira dirinya sudah gila, memaksa seseorang untuk menyajikan makanan? Ia belum pernah melakukan hal itu sebelumnya, tetapi mungkin kali ini berbeda. Ekspresi yang dikeluarkan perempuan itu terasa menarik dimatanya.
Dave tersenyum puas, perdebatan tidak berguna itu dimenangkan oleh dirinya. Kedatangan seorang wanita yang sepertinya adalah pemilik restoran, mampu membuat perempuan bernama Bella itu tak berkutik. Akan tetapi, masalah baru sepertinya datang. Wanita yang mungkin seusia ibunya itu terus mengoceh, wajahnya mengeras ketika wanita itu bertanya hal yang sama seperti ibunya. “Siapa namanya?” tanya Dave menyela, sebenarnya ia sudah tau, ia melakukannya untuk menghentikan mulut berisik itu. “Ah, apa?” tanya wanita itu memastikan. “Siapa nama perempuan tadi?” ulang Dave. “Namanya Bella, tapi untuk apa Tuan Dave ingin mengetahuinya?” Madam Choo bertanya. Tidak ada jawaban dari Dave, pria itu terus memperhatikan area dapur. Beberapa menit kemudian, perempuan yang sedari tadi mendapatkan perhatiannya, keluar dari dapur dengan nampan di kedua tangan. Dave rasa ia harus mengganti panggilan perempuan itu m
Ponsel yang berdering terus menerus membuat Dave terusik dalam tidurnya, hingga mau tidak mau, ia membuka matanya. Dave mengambil ponsel di atas nakas samping tempat tidur, dengan malas ia pun mengangkatnya. “Dave, bagaimana kabarmu?” Suara yang tak asing di telinganya, membuat Dave terduduk seketika. Ia menjauhkan ponselnya untuk melihat siapa si penelepon, unknown number. Seperti dugaannya, Dave kembali menempelkan ponsel tersebut. Namun, ingatan yang melintas di kepalanya membuat dia mematikan sambungan telepon itu. Rahangnya mengeras, matanya terlihat memancarkan aura penuh dendam, jangan lupakan tangannya yang terkepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dave... Ayo kita pergi ke pantai. Dave, kau mau membelikanku ini? &nb
Theo memandang bangunan sederhana di hadapannya, dari ekspresinya terlihat sekali pria itu tidak dapat menyembunyikan kekesalannya. “Kenapa di antara restoran mewah, kau mengajakku makan siang di sini? Jika tau seperti ini, aku lebih baik makan dengan layanan apartemen,” keluh Theo.“Kau terlalu banyak mengoceh,” cibir Dave. “Aku sudah memberikanmu tumpangan jadi, turuti saja apa yang kukatakan.” Theo memutar bola matanya malas, “Lalu apa yang tuan Dave ini inginkan?” dari nadanya terdengar jika Theo malas melakukan apa yang Dave inginkan. “Kita akan makan siang di restoran itu, selama di dalam, jangan pernah mengoceh yang aneh-aneh!” papar Dave. Theo mengernyit, tetapi ia memilih diam. Lagi pula di mana pun tempat makannya, paling penting adalah tempat itu bersih dan menyediakan makanan yang layak. Dave membuka pintu restoran, suasana di dalam siang ini lumayan ramai. Dan itu adalah s
Theo keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil mengalung di lehernya, dia melirik ke arah Dave yang terlihat sibuk berkutat dengan laptopnya. Pria itu bergidik saat matanya tanpa sengaja melihat lengan berotot milik Dave yang tengah memakai kaos lengan pendek, Theo kini ingat penyebab rahangnya sakit waktu itu. Bukan karena tamparan pelayan restoran itu, tetapi pukulan mentah dari Dave. Theo meneguk ludahnya kasar, di tengah ambang kesadaran waktu itu, Dave tanpa aba-aba memberinya pukulan. Tubuhnya bergidik, meskipun kejadian sudah berlalu seminggu. Tetapi dia akan mengingat rasa sakitnya, hal itu akan berguna untuk Theo agar lebih hati-hati ketika bersama dengan Dave. Sebenarnya Theo tidak mengerti alasan Dave memukulnya, dari yang dirinya ingat, dia hanya mabuk. Theo memakai kaos lengan pendeknya, lalu melirik ke arah laptop yang menjadi fokus Dave. “Apa kau yakin akan tetap dengan rencanamu? Kau juga tau bukan, seperti
“Kau tidak mau membantunya?” tanya Theo. “Tidak,” balas Dave. Keduanya sama-sama melihat Ed yang tampak kewalahan menghadapi empat orang pria yang tiba-tiba menyerang, Theo meringis mendengar suara pukulan-pukulan itu. Hanya mendengarnya saja, Theo sudah yakin pukulan-pukulan itu sangat keras. Tetapi dirinya dibuat kagum oleh kemampuan bela diri Ed, bahkan untuk orang awam sekalipun pasti dapat menebak jika pria itu sudah terbiasa menghadapi keadaan seperti sekarang. “Sebenarnya kenapa pria itu diserang?” gumam Theo. “Akh!!” sebuah teriakan membuatnya terkejut. Di depan sana, Ed terlihat kesakitan setelah salah satu pria berbadan besar itu berhasil menginjak lengan kanannya. Wajah Ed memang hanya dihiasi beberapa luka, pria itu sepertinya tidak akan kalah jika melawan 1 atau 2 orang. Theo melirik Dave, pria itu tidak menampilkan ekspresi apa pun. Lalu Theo memandang ke sekeliling lewat kaca mobil, “Apa di sekitar sin
Suasana canggung tercipta di dalam rumah sederhana itu, Bella tidak mengerti apa yang terjadi di sini sebenarnya. Ketika mereka tiba di rumahnya, pria yang menolongnya itu tidak pergi dan terus berdiam di depan pintu. Bella terlihat bingung saat itu harus melakukan apa, akhirnya setelah meminta pendapat Ed. Ia menawarkan kedua pria itu masuk, dan tanpa di sangka dengan mudahnya pria yang pergi ke toko bunga pagi tadi itu, begitu saja menyetujui. Dave diam-diam memperhatikan kondisi di dalam rumah kecil itu, tidak banyak perabotan maupun ruang. Ruangan tempatnya berada saat ini hanya diisi oleh karpet dengan sebuah dapur kecil di depannya, matanya memandang dinding bercat putih dengan hiasan foto-foto Bella dan pria itu. Sebuah ruangan dengan pintu tertutup, menarik perhatiannya. Satu tebakan yang membuat dia benci memikirkannya, ruangan tersebut adalah kamar. Tidak masalah jika ada dua ruangan seperti itu di sini, tetapi itu hanya satu yang artinya mereka berbagi kamar.
Udara pagi ini, sama saja dengan hari-hari sebelumnya. Satu hal yang membedakan adalah ketika Theo terbangun dan melihat Dave telah bersiap dengan pakaian yang rapi, pria itu bahkan sesekali memperbaiki penampilan di depan cermin. Hal itu tentu saja mengundang rasa penasarannya, Theo duduk di sofa. “Kau memperhatikan penampilan ternyata,” katanya. Dave melirik tajam ke arahnya, “Apa aku terlihat aneh?” Theo mengernyit, “Kau meminta pendapatku?! Tentu saja penampilanmu tetap keren seperti biasa, dan aku benci mengakuinya.” Dave menoleh sekilas, lalu berjalan menuju lemari tanpa menghiraukan ucapan teman kecilnya. “Kau akan pergi? Ke mana?” tanya Theo. Dave mendengus, “Jangan mengikutiku.” Theo mendengus, “Siapa juga yang mau mengikutimu. Aku hanya ingin mengatakan pulanglah sebelum jam makan siang, ayahmu kemarin menelepon dan meminta kita kembali ke Seoul.” Dave terdiam, dia melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Tanpa mengatakan apa pun lagi, Dave keluar dari apartemen.
Sekitar lima belas menit kemudian, Ed keluar dari kamar mandi dengan handuk yang hanya menutupi pinggang hingga lutut, sebuah handuk putih kecil berada di kepalanya. Bella berbalik saat aroma sabun cair miliknya menguar, seketika itu juga ia menahan napas. Tetesan air jatuh ke dada bidang Ed, lalu menuruni perutnya yang terbentuk sempurna. Mata Bella naik ke kepala Ed, ia mendengus lalu mendekat ke arah pria itu. Bella menarik handuk kecil di atas kepala Ed, lalu meletakkannya kembali di sana dan mulai mengusap-usap rambut itu. “Ed, menunduklah sedikit,” keluh Bella yang merasa kesulitan dengan kegiatannya membantu mengeringkan rambut Ed. Perbedaan tinggi yang lumayan jauh, harus membuat ia berjinjit agar tangannya sampai di kepala Ed. Ed menahan tawanya saat melihat Bella yang terlihat kesulitan, bukannya mengikuti apa yang Bella katakan, dia malah dengan sengaja berjinjit hingga perbedaan tinggi badan keduanya terlihat begitu kentara. Bella menghembuskan napas kasar, “Berh
Bella terus menunduk, ia tidak berani mendongak untuk memandang dua sosok yang kini duduk di depannya. Entah bagaimana kedua pria itu datang bersamaan, mendatanginya dan mengajaknya kembali. Bella mendongak, kedua pria itu saling menatap tajam. “Bisakah kalian pergi?” ucapannya sontak saja membuat kedua pria itu menatapnya.“Tidak bisa,” ujar mereka bersamaan. Bella menghela napas lelah, ini tidak akan mudah. “Kau harus ikut denganku,” terdengar nada perintah dalam ucapan Dave. “Kau tidak bisa memaksanya,” kini giliran Ed yang berbicara. Ya, kedua pria itulah yang sedari dua jam memaksanya.Sudah seminggu Bella berada di Los angeles, beruntung baginya karena bertemu dengan salah satu ibu panti ketika tiba di bandara. Panti kini telah pindah ke salah satu bangunan sederhana milik seorang pengusaha, bahkan pengusaha yang tidak diketahui namanya itu telah menjadi penyumbang terbesar untuk panti.
Kelopak mata itu tampak bergerak-gerak, sebelum akhirnya terbuka secara perlahan. Hal pertama yang tertangkap oleh retina matanya adalah langit-langit ruangan berwarna putih, kepalanya menoleh ke samping. Dinding bercat putih juga menyambutnya, Bella mengerutkan hidungnya ketika bau obat-obatan tercium jelas. Ah, rumah sakit. Bella menghela napas pelan, ia melirik pergelangan tangan kirinya yang terbalut perban. Ingatan kembali membawanya pada kejadian sore tadi, ketika Bella dengan bodohnya melukai pergelangan tangannya. Ia tersenyum miris, dibandingkan dengan bodoh, Bella akan menyebutnya sebuah usaha melarikan diri.Tentu saja dirinya tidak akan mungkin bertahan lebih lama dari penjara yang dibuat Dave, pria itu sungguh-sungguh sudah tidak memedulikannya lagi. Bella tidak dapat mengetahuinya dengan pasti berapa lama Dave pergi, tetapi Maid beberapa kali yang mengantarkan makanan untuknya. Ia tidak dapat menahannya lagi, terlebih ketika hujan badai terjadi sor
Bella terus mundur, hingga kemudian punggungnya menyentuh tembok. Bella jatuh terduduk, ia meringkuk disudut kamar, matanya memandang takut ke arah Dave yang melangkah mendekat. “Kau sakit, Dave.” Dave membulatkan matanya mendengar perkataan Bella, “Aku tidak sakit.” Bella menggeleng cepat, “Mentalmu sakit!” ekspresi mengeras di wajah Dave, berganti menjadi raut wajah datar. “Katakan sekali lagi dan kau akan mati,” desis Dave. Entah mengapa keberanian Bella mulai terkumpul, ia menatap Dave dengan ekspresi wajah meremehkan. “Kau tidak akan berani melakukannya, Dave.” “Karena selama ini hanya aku yang masih bertahan denganmu, benarkan?” rahang Dave mengeras kembali. Dia berjongkok, lalu jari telunjuk dan jempol tangan kanannya mengapit dagu Bella. “Apa kau mau aku melepaskanmu?” suara Dave terdengar dalam. Bella mengepalkan kedua tangannya, intimidasi yang dilakukan Dave, nyatanya telah membuat ketakutan kembali menghampiri. Ia mengang
“Dave, kumohon buka pintunya! Ayo kita bicara! Dave!” seru Bella seraya terus menggedor pintu di depannya. Ia menghela napas lelah, tangannya terasa kebas setelah menggedor-gedor pintu selama beberapa menit. Bella tahu Dave berada di luar ruangan, karena itulah ia terus berteriak hingga membuat tenggorokannya terasa kering. Bella berbalik, ia memandang hampa pada ruangan tempatnya berada kini. Bukan kamar dengan ranjang empuk dan cahaya lampu yang terang, melainkan sebuah ruangan tanpa ada satu pun perabotan dan jendela. Hanya ruangan kosong dengan satu lampu temaram dan sebuah lubang ventilasi kecil, Bella menunduk. Entah sudah berapa hari dirinya berada di sini, Dave benar-benar mengurungnya seperti seorang tahanan. Pintu yang merupakan satu-satunya jalan keluar, tidak pernah terbuka seperti ketika ia dikurung di kamar. Makanan akan tiba di ruangan melalui sebuah lubang yang hanya muat untuk satu nampan, tidak lagi melalui Maid. Bella benar-benar
Bella tidak dapat memercayai penglihatannya sekarang, matanya tak pernah lepas pada layar laptop di depannya. Sebuah video sedang di putar, terdapat seorang anak laki-laki dengan seorang wanita berpakaian dokter. Wanita tersebut tampak mengajak bicara anak itu, tetapi respons yang diperlihatkan anak laki-laki itu sungguh membuatnya terkejut.Tanpa diberitahu, Bella dapat menebak bahwa anak itu adalah Dave kecil. Video enam menit itu akhirnya berakhir, Bella masih mencoba mencerna apa yang dirinya lihat tadi. Ia melirik ke arah kertas-kertas yang kini berada dalam pangkuannya, Bella telah selesai membaca beserta dokumen-dokumen lain yang kini tercecer di atas lantai.Tangannya terangkat untuk meraih sebuah foto usang dengan bergetar, foto yang memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah menatap ke arah kamera dengan tatapan hampa. Tanpa sadar air matanya jatuh, lihatlah tubuh yang tampak seperti hanya tulang berbalut kulit.Bahkan perban yang
Pemandangan di sore hari ini tampak indah, pantulan cahaya jingga menerpa kaca besar ruangan yang terlihat gelap itu. Bella memandang lurus pada pemandangan langit sore dari balik kaca kamarnya yang membentang luas, sekalipun pandangan itu tidak benar-benar menikmati apa yang tersaji. Di tengah lamunan, suara gemercik air sesekali terdengar dan memecahkan keheningan ruangan itu.Empat belas hari sudah berlalu semenjak kejadian besar itu, hingga saat ini Bella tidak pernah mengetahui kabar Ed. Apakah pria itu baik-baik saja? Bagaimana kehidupannya sekarang? Pertanyaan yang beberapa hari terakhir mengganggu pikirannya itu terus menghantui, Bella bahkan tidak dapat tidur nyenyak.Tidak ada hal berarti yang dilakukannya, setiap hari ia selalu melamun di kursi yang menghadap ke arah kaca. Sudah dua minggu itu pula, Bella terkurung dalam rumah mewah Dave. Pria itu benar-benar tidak membiarkan dirinya melangkah sejengkal pun keluar dar
“Bella!” suara tak asing yang memanggil namanya, sontak membuat Bella dan Ed sama-sama menoleh ke asal suara. Mata mereka membulat, kehadiran Dave dan Clara juga sekitar lima orang pria berbadan besar dalam balutan pakaian serba hitam, mengejutkan mereka. Bella terlebih dahulu berdiri, ekspresi wajahnya berubah panik.“Dave?’ gumamnya. Dave melangkah menghampiri, diikuti Clara dan kelima pria itu. “Jadi, ini yang kau lakukan di belakangku saat aku sibuk bekerja? Kau mengkhianatiku?!” sentak Dave. Ekspresi dingin yang kentara di wajah Dave, tanpa sadar membuat tubuh Bella bergetar. Karena dibandingkan dengan ekspresi itu, Bella lebih memilih Dave berekspresi marah.“Ed,” suara lirih itu berasal dari satu-satunya perempuan selain Bella. Clara memandang Ed dan Bella bergantian, tatapan mata yang terluka itu sontak membuat Bella diliputi rasa bersalah. Ia mendekat ke arah Clara, kemudian berdiri di depanny
Arah matanya tak pernah lepas dari pintu masuk kedai, tak berapa lama senyuman manis terbit di bibir merah meronanya. Seorang pria dalam balutan mantel hitam tengah mendekat dengan buket bunga di tangannya, senyumnya terukir indah ketika matanya menangkap sang terkasih. “Maaf, sudah membuatmu menunggu lama,” ujar pria tersebut seraya mendudukkan dirinya di depan perempuan itu. Bella menggeleng, senyum tak jua lepas dari bibirnya. “Tak apa, kau pasti sangat sibuk. Eum.. apa bunga itu untukku?” tanyanya seraya menunjuk buket bunga di tangan pria di depannya.Ed terkekeh geli, kemudian mengangguk. “Untuk perempuan istimewa yang menempati seluruh ruang dihatiku,” sahutnya seraya menyodorkan buket berisi bunga anyelir putih. Bella menerimanya, senyumnya semakin lebar ketika menghirup aroma bunga anyelir yang harum. “Terima kasih, Ed. Padahal kau tidak perlu repot-repot membawakannya untukku, kau datang saja aku sudah sangat bahagia.&
Cengkeraman kuat pada sabuk pengaman seolah menjadi satu-satunya cara agar sesuatu yang buruk tidak terjadi, sekalipun Bella tahu harapannya itu tidak akan pernah terjadi. Meskipun ketakutan merasuki, ia tidak dapat menghentikan atau setidaknya meminta Dave menurunkan kecepatan mobil. Pria itu tengah kalap, terlihat dari wajahnya yang memerah.Bahkan di saat emosi mengusai, Dave tetap bisa mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Beberapa kendaraan lain mencoba menghindar agar tidak terjadi kecelakaan, tak jarang ada yang menghentikan kendaraannya ketika mobil Dave melintas dengan cepat.Bella sungguh takut, seperti dalam adegan film laga. Dave mengendarai mobil dengan kegilaan, Bella tidak bisa lagi menahan ketakutannya. Ia harus menghentikan Dave, terlebih ketika seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang hampir tertabrak.“Dave, hentikan mobilnya. Sadarlah!” sebisa mungkin dirinya berteriak, meskipun yang keluar hanya seruan yang tercekat. Dave