“Emily, aku akan menikahkanmu dengan putraku,” ucap seorang pria pada salah satu perempuan yang berada di sana.
Gadis bernama Emily menegakkan tubuh, menyimak dengan saksama apa yang disampaikan oleh pria yang merupakan ayah angkat sekaligus pemilik perusahaan tempat ia bekerja.Wajah Emily semringah, membayangkan pernikahan yang telah lama ia impikan bersama putra sulung keluarga McKennel.Sesungguhnya mereka belum resmi menjalin hubungan. Hanya saja, lelaki yang Emily sukai itu sudah menunjukkan ketertarikan padanya.Wajar saja jika keduanya terlihat saling memandang dengan ekor mata mereka, menanti putusan pasti dari pria yang memiliki otoritas penuh dalam perusahaan dan keluarga besar McKennel.“Kau akan kunikahkan dengan Jason, putra bungsuku. Dan jabatan sebagai manajer pemasaran juga kuserahkan padamu.”Seperti mendapat vonis mati, mata kedua orang yang semula begitu bersemangat, akhirnya meredup. Ada kesedihan yang tak mampu terucap di sana. Di sisi lain, Jason sang putra kedua—yang konon katanya merupakan putra kesayangan keluarga McKennel—menyiratkan kemarahan pada air mukanya.Jason bangkit dari kursinya, hendak menyuarakan protes, tetapi dengan cepat pria paruh baya itu mengangkat satu tangan. Pertanda bahwa ia tak pernah menerima penolakan.Emily tahu, ia pun tak bisa melakukan apa-apa selain menerima keputusan yang berarti perintah baginya.Bagaimana pun, pria yang merupakan kepala keluarga McKennel itu merupakan ayah angkat yang baik dan menyayanginya selama ini. Tak akan pernah ada kata tidak terlontar dari mulut Emily jika itu permintaan pria itu dan sang istri, yang merupakan ratu keluarga McKennel.Semua bangkit dari tempat duduk kala pria paruh baya itu telah memberi instruksi untuk bubar. Sementara Jason masih berada di sana, di tempat duduknya, mengepalkan tangan hingga tak pedulikan kukunya menancap pada telapak tangannya hingga memerah.Jason tak menyangka ayahnya akan mengambil keputusan yang begitu seenak hati.“Mengapa kau belum pergi?” tanya pria paruh baya itu pada putra keduanya yang digadang-gadang akan melanjutkan kepemimpinannya di Kennel’z industry.“Apa yang ayah pikirkan? Mengapa aku?” tanya pria muda itu dengan wajah mengetat penuh kemarahan. Tatapan sengit ia arahkan pada sang ayah, kemudian pada Emily, seolah gadis itu juga punya andil atas keputusan yang baru saja diambil oleh ayahnya.“Kau bertanya mengapa kau? Bagaimana jika kubalik, mengapa kau yang harus menerima tonggak kepemimpinan perusahaan ini, hm?” Pria itu menjawab dengan pertanyaan diplomatis yang tak bisa dibalas oleh Jason begitu saja.Jason sadar kalau ia sedang berurusan dengan orang yang salah. Namun, ia tak ingin menyerah begitu saja.“Segalanya seiring sejalan, Jason. Kau menerima kepemimpinan perusahaan, dengan syarat menikahi Emily. Bukankah itu adil? Lagi pula, ia gadis yang cantik, cerdas, dan telah ayah didik sama seperti kalian. Ia gadis yang berkelas.” Sang ayah mengerling hangat pada gadis yang hanya menjadi pendengar setia atas perselisihan ayah dan anak.Emily mengulas senyum lesu kala ayah angkatnya itu melemparkan tatapan padanya.“Kenapa harus Emily? Sekian lama ia menjadi layaknya saudari, dan kini aku harus menikahinya. Ayolah, Ayah ....”“Bukankah justru bagus? Kalian sudah akrab dan saling mengenal, bukan? Kalian berdua pasti akan menjadi pasangan yang serasi,” ujar pria berumur enam puluhan itu, semringah.“Aku sudah memiliki kekasih, Yah. Ini sungguh tak adil bagiku dan Tamara.”Sang pemimpin keluarga McKennel memejamkan mata, berusaha menahan amarah yang nyaris tiba di ubun-ubun setiap kali Jason menyebut nama wanita itu. Berkali sudah ia mengatakan pada anak bandel itu untuk mengakhiri hubungan dengan wanita yang Jason sebut, tetapi tetap saja Jason tak mengindahkan seruannya.“Wanita itu sudah bersuami, Jason. Apa kau sudah gila!?”“Ia sedang dalam proses perceraian, Ayah.”“Jason McKennel!" Suara sang ayah menggelegar. "Jangan membantahku jika kau masih menginginkan posisi di perusahaan ini!” serunya dengan nada meninggi. Dan tentu saja, mendengar sang raja mulai menampakkan taring, Jason perlahan bangkit dari duduknya, tak mengucap apa pun selain melemparkan tatapan penuh kebencian pada Emily dan sang ayah.Emily yang sejatinya orang lain dalam keluarga McKennel, hanya pasrah dan tak memberi perlawanan. Ia sejak dulu memang tidak terlalu dekat dengan Jason, berarti dirinya tidak akan baik-baik saja jika keputusannya macam ini.Emily bangkit, lalu memutar tubuh, setelah sebelumnya memberi salam pada sang ayah angkat, tanda bahwa ia sudah menyimak segalanya, dan ingin segera pulang.Kata siapa Emily suka dengan keputusan itu? Ia juga terluka karena yang diharapkannya adalah putra sulung keluarga McKennel, bukan Jason. Ayah angkatnya dan semua tahu itu. Namun, mengapa ...?Sebuah tangan mencengkeram lengan Emily yang telah berjalan jauh dari ruang rapat, menariknya hingga terpojok di sebuah sudut. Mata pria itu menatap nyalang pada Emily, seolah akan menelannya hidup-hidup.“Mengapa kau tidak katakan pada ayah, hm? Bukankah kau tahu kalau aku—““Apa yang bisa kulakukan, Jason? Kau lihat sendiri, bukan? Kau yang anaknya saja ia tak dengarkan apalagi aku?” jawab Emily, yang sesungguhnya juga kalut.Jason kemudian memutar tubuh dan menyugar rambutnya dengan frustasi.“Apa yang harus kukatakan pada Tamara?” keluhnya, lirih. Emily juga tak peduli. Karena tak ada yang peduli perasaannya, tak ada yang mau tahu apa yang ia rasakan. Jadi untuk apa ia memedulikan perasaan Jason atau siapa pun?Lihat saja, ia pun tengah dirundung duka saat ini.“Kau harus memaksa ayah untuk membatalkan semua keputusannya. Jika tidak, aku akan membuat hidupmu menderita!” ancam Jason.Emily mendengkus. Sejak dulu Jason memang terkenal kasar dan berandal. Ia tak pernah pulang ke rumah tanpa kasus. Entah telah menghajar siapa lagi, atau sudah mengisengi gadis yang mana lagi, selalu seperti itu.Namun, entah mengapa ayah Jason seolah sangat menyayangi anak bandel itu.“Aku tidak mau,” jawab Emily.“Kau—“ Jason mengangkat tangan ke udara, siap mendarat di pipi mulus Emily. Namun, gadis itu tak gentar sedikit pun. Emily justru semakin menantang Jason dengan menyodorkan wajahnya.“Pukul saja! Siapa pun tak akan mentolerir kekerasan, Jase. Kau tak akan pernah mendapatkan jabatan itu jika sampai berani melakukan tindakan kriminal. Kau tahu itu, kan!?” ucap Emily, tegas.Ia kemudian berusaha membebaskan diri dari kungkungan Jason. Namun, pria itu lagi-lagi menghalanginya.“Apa mau ayah sebenarnya? Apa tujuannya hingga berniat menikahkan kita? Jangan katakan kau tidak tahu apa-apa, Em! Kau selalu tahu lebih dulu, karena ayah menyayangimu hingga seolah rela membocorkan rahasia perusahaan padamu.” Jason menjeda kalimatnya.“Katakan padaku, apa yang ayah inginkan? Mengapa ia tidak menjodohkanmu dengan kakakku? Bukankah dia yang kau cinta, hah?”Emily masih belum menjawab pertanyaan Jason, yang ia rasa terlalu berlebihan.Memang benar, ayah Jason sangat menyayangi Emily. Namun, tidak berarti pria itu akan mengatakan segala hal pada Emily. Dan meski Emily tahu apa yang diinginkan sang ayah angkat, ia tahu itu mustahil. Bagaimana mungkin ia dan Jason akan bisa memenuhi itu semua?Sungguh, pasti bagi Jason, ini ide tergila yang pernah dipikirkan oleh sang ayah dan dikatakan pada Emily.Jason meremas rambutnya dengan frustasi, tubuhnya melorot ke lantai, dan napasnya masih terengah. Andai ia anak-anak, mungkin akan menangis kelojotan saat itu juga. Namun, itu tak mungkin ia lakukan.Ia adalah seorang calon direktur di Kennel’z industry.“Aku ... aku tak ingin mengatakannya karena ide itu tak masuk akal, Jase. Kita tak akan pernah bisa memenuhi itu semua.” Emily mulai berubah pikiran dan hendak mengatakan apa yang ia ketahui.“Katakan saja. Mungkin kita bisa cari jalan keluarnya.”Emily menggeleng. “Terserah kalau begitu.”Gadis itu kemudian mendekat pada Jason, berjongkok agar lebih sejajar dengan posisi pria itu di lantai. Emily menatap manik kelabu milik pria itu dalam-dalam.“Tuan McKennel ingin keturunan darimu dan aku. Ia hanya ingin dari kita berdua. Jadi ... kau yakin bisa mencari solusi untuk itu, huh?”Makan malam hari ini tak lagi hangat seperti sebelumnya. Pria nomor satu di keluarga McKennel itu menikmati makanannya dalam diam, begitu pula Jason. Tak ada suara berbincang seperti yang biasa mereka lakukan di meja makan. Kali ini, hanya denting alat makan yang terdengar mengisi keheningan ruangan yang berisi lima orang itu.“Untuk pernikahan kalian nanti—“ Ayah Jason tampaknya mulai tak tahan dan ingin memulai obrolan, yang paling ia nantikan sepertinya adalah pernikahan putra kesayangan dengan anak angkatnya yang juga merupakan favoritnya.Sayang sekali, belum selesai sang pemegang otoritas tertinggi itu mengutarakan semua unek-uneknya, Jason sudah memotong pembicaraan.“Ayah, apakah harus sekarang? Tak bisakah kau bicarakan nanti?” tukas Jason, tak suka dengan bahasan yang baru saja dimulai oleh sang ayah.Memangnya apa yang akan mereka lakukan saat pernikahan? Mengapa menjadi topik hangat yang harus dibicarakan di meja makan?Pria paruh baya itu kembali terdiam. Namun, bukan kare
Emily tepekur di kamarnya, seperti orang yang kerasukan. Hanya bengong dan tidak melakukan apa pun. Kejadian yang baru saja ia saksikan beberapa jam lalu sungguh membuat jantungnya seperti akan mencelus, tetapi tak bisa.Bayangkan saja, ia terpaksa menyaksikan dua sejoli yang tengah memadu kasih, mulai awal hingga akhir. Itu sungguh hal gila yang tak pernah terbayangkan oleh Emily sama sekali.Dan pria yang melakukannya adalah pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya. Sekujur tubuhnya bahkan masih gemetaran saat ini.Ia bisa saja lari dari ruangan itu, memang. Namun, ia tak tahu mengapa kedua kakinya justru makin menancap kokoh di sana dan tak mampu digerakkan. Meski ia telah memejamkan mata agar tak perlu melihat secara langsung, tetap saja bayangan pergumulan Jason dan perempuan itu masih terus terbayang.Emily masih mendengar desah dan erangan dua sejoli itu, bahkan meski ia sudah menutup kedua telinganya, seolah kejadian itu tengah terjadi saat ini.Ia tak kuasa bertahan, hing
Emily tak ingin meladeni perkataan Jared yang bisa saja menimbulkan masalah baru baginya. Ia hanya menggeleng, sebagai bukti tegas bahwa ia tak menerima ide konyol yang diajukan Jared sebagai solusi. Itu bukan solusi, melainkan jalan pintas, dan ia tak mau menempuh jalan semacam itu. Alasannya masih sama, karena rasa hormat dan terima kasih yang besar terhadap keluarga McKennel. Selain dari perkataan dua orang tua angkatnya, Emily akan berusaha untuk abaikan. Sekalipun jika itu mengenai kebahagiaannya. Dan hari ini merupakan hari yang sakral bagi Emily dan Jason—andaikan keduanya merupakan sepasang kekasih. sayangnya, tidak seperti itu. Senyum yang ditampakkan oleh Emily sejak awal mula acara hingga selesai bukanlah senyum yang berasal dari hatinya. Emily bahagia, tentu saja, kala melihat ibu angkatnya menitikkan air mata kebahagiaan, juga sang ayah angkat yang kini telah menjadi ayah mertua yang berulang kali mengecupi pucuk kepalanya saat mengucapkan selamat. Namun, dalam batin
Emily sudah mengemasi barang-barang yang ia butuhkan untuk dibawanya ke Maldives untuk berbulan madu. Ayah mertuanya yang mengatur segala rencana bulan madu ini untuk mereka. Kegiatan ini sungguh ia takutkan, karena pernikahannya saja merupakan sebuah kepalsuan, entah apa yang akan terjadi dengan bulan madunya nanti.Terlebih Jason sejak awal sangat menolak ide bulan madu yang diutarakan oleh kedua orang tuanya. Lalu ketika baru saja mengungkapkan persetujuannya, ia sudah bergegas menghubungi kekasihnya.Bayangkan saja menjadi Emily yang kini harus dengan terpaksa mendengarkan kehebohan dua sejoli yang saling mengungkapkan kasih sayang melalui sambungan telepon, seolah dunia hanya milik mereka berdua.Memangnya apa yang diharapkan oleh Emily? Ia dan Jason berada di satu kamar pun tidak tidur satu ranjang.Jason kadang memilih tidur di sofa, atau di lantai.“Iya, sayang. Aku sudah siapkan tiket untukmu. Aku berharap kita akan bertemu di sana nanti. Atau bagaimana kalau di hotel saja? A
Ini sungguh bulan madu terkonyol yang pernah dijalani oleh Emily. Saat Jason berada di vila milik Tamara yang entah berada di mana, Emily justru menikmati kesendirian di Maldives hanya karena ia tak ingin mengecewakan ayah mertuanya.Charles dan Emma hanya tahu kalau Emily berdua bersama Jason telah tiba di Maldives, karena begitulah yang dikatakan oleh kolega bisnis Charles.Padahal kenyataannya tidak demikian.“Apa? Itu gila, Em! Dan kau tidak mengatakan apa pun pada Jason?” tanya sahabat Emily dari sambungan seberang. Emily menggeleng yang kemudian sadar kalau sahabatnya tak akan bisa melihat apa pun yang ia lakukan saat ini.Ingin, tentu saja ia ingin mengatakan sesuatu. Berada di pulau lain hanya seorang diri di hari bulan madu bukanlah hal yang keren. Emily bahkan ingin sekali menangis saat ini juga, tetapi ia tak bisa. Air matanya seolah telah mengering.“Entahlah, Shila. Aku mungkin sudah gila karena setuju dengan ide ini. Namun, apakah aku salah jika berharap Jason tetap bers
Emily tak tahu apa yang terjadi pada hidupnya yang berubah seketika, sejak Charles memutuskan untuk menjodohkannya dengan Jason. Padahal semula segalanya baik-baik saja.Meski ia tidak dekat dengan Jason, tetapi tak pernah juga terlibat masalah dengan pria itu, karena Emily selalu menghindari apa pun yang akan membawanya pada pertikaian. Bahkan meski ia memiliki ketertarikan terhadap Jared, ia tak berani mengatakan dan berterus terang. Ia sadar diri posisinya di keluarga McKennel.Dan kini, semua seolah runtuh dan jatuh tepat mengenai kepalanya.“Jared, kau tidak seharusnya melakukan ini terhadapku. Kau tahu, aku tak pernah membuat masalah denganmu,” ujar Emily yang sudah berada dalam keputus asaan hidup.Apa yang bisa ia perbuat sekarang?Menjadi istri Jason sudah seperti sebuah kesalahan dan kini sikap Jared membuatnya makin terpojok. Seolah ini semua merupakan kesalahannya.“Apa yang kulakukan, Em? Aku hanya ingin bisa terus bersamamu, apakah itu salah?” Pertanyaan itu tidak terden
Jason tidak dalam keadaan mabuk saat melakukannya. Ia sadar dengan kesadaran penuh, tetapi juga tidak dengan perasaan cinta terhadap Emily. Ia kesal dan marah saat melihat Emily berdansa dengan pria lain, jelas bukan karena dirinya cemburu yang dikarenakan adanya rasa cinta, melainkan ego. Bagaimana pun, meski dirinya tidak mencintai Emily, tetap menyakitkan saat melihat gadis itu ada di antara pria yang berusaha mendekati apalagi ingin memilikinya. Itu sebabnya, ia lakukan hal bodoh beberapa jam lalu. Kini Emily dan Jason berada di dalam kamar mereka, tak bicara sepatah kata pun. Emily enggan memulai, karena sejak awal ia kesal pada pria itu dan masih marah. Sementara itu, Jason juga tak mampu bicara karena ia merasa tidak membutuhkan interaksi dengan gadis yang baru beberapa hari menjadi istrinya itu. “Aku akan ambilkan es batu untuk mengompres lukamu,” ucap Emily, bangkit dan pergi, lalu tak lama kemudian kembali dengan membawa kantung es di tangannya. Perlahan ia mengompres ba
Mata Jason tak juga bisa terpejam. Ia masih terngiang perkataan Tamara yang memutuskan untuk rujuk dengan suaminya karena Jason pun telah menikah. Menurutnya itu adil, tetapi tidak bagi pria yang telah menjalin hubungan dengan wanita bersuami itu selama dua tahun ini. Jason tak pernah menganggap pernikahan ini. Ia tak pernah menginginkannya, bahkan berharap sesuatu terjadi agar ia bisa memutuskan ikatan karena paksaan ini. Jason keluar dari kamar, masih pukul dua pagi dan ia merasa kelaparan. Ia menuju ke dapur dan tak menemukan apa pun di sana, kecuali bahan mentah. Ia mengambil sebuah wortel dan mulai memakannya. “Apa yang kau lakukan di sini, Jase?” tanya Emily. Wortel di tangannya nyaris terjatuh dari tangannya, bahkan hampir ia lemparkan pada Emily, saat tiba-tiba gadis itu sudah ada di belakang Jason. “Fuck! Emily, bisakah kau tidak muncul tiba-tiba seperti itu!?” keluh Jason sembari mengelus dadanya. Ia menyembunyikan benda yang sejak tadi berusaha ia makan. “A–apa yang k
Jason dan Emily sedang dalam perjalanan. Di dalam mobil, Emily terus menangis karena tidak menyangka bahwa anaknya masih hidup. Berkali-kali ia menanyakan hal yang sama kepada Jason mengenai Liam dan dijawab dengan jawaban yang sama pula oleh laki-laki itu. Jason mengerti bagaimana keadaan Emily. Dirinya juga rindu dengan Liam, darah dagingnya. Namun, setidaknya ia lega karena Liam sudah berada di tangan yang tepat saat ini. Mobil Jason berhenti di halaman rumah kediaman Charles dan Emma. Langsung saja mereka masuk. Di ruang tamu, semua orang berkumpul. Charles, Emma, Alex, Shila, bahkan Jared—kakaknya ada di sana. Emily lantas menghampiri Emma yang sedang menggendong bayi. Emma yang tahu perasaan Emily pun menyerahkan bayi itu. Dengan perasaan yang sulit dijelaskan serta air mata yang mewakili kebahagiaannya, Emily akhirnya kembali menggendong Liam. Anaknya yang sudah menghilang beberapa waktu. Emily menangis. Shila pun mendekat ke arah sahabatnya dan memeluknya. “Sekarang, Liam
Di tempat yang berbeda, Jason berkali-kali berdecak dan mengumpat karena Alex tidak kunjung datang. Ke mana laki-laki itu, apakah menuntaskan hajat sampai harus bermenit-menit. Jason curiga kalau sebenarnya Alex bukannya ke kamar mandi untuk buang air, tetapi justru bertapa. Jason melihat jam berwarna hitam yang melingkar di tangannya. Jarum panjang jam sudah berganti ke angka empat. Itu artinya sudah lebih dari dua puluh menit laki-laki itu di apartemennya.“Ke mana dia?” gumam Jason.Jason memeriksa ponselnya. Tadi, ponselnya mati jadi tidak bisa digunakan untuk menghubungi Alex. Setelah dicharger di dalam mobil, akhirnya ponselnya menyala. Jason buru-buru mencari kontak nama Alex. Begitu ingin dihubungi, ada tiga pesan muncul dari orang yang ditunggu. Jason membukanya. Ada satu video sedikit panjang di sana. Sedikit curiga, akhirnya Jason memutarnya. Di dalam video itu, ia hanya melihat gambar berwarna putih. Jason mendengus kesal. “Apa yang dilakukan dia sebenarnya.” Baru saja
Jason tidak menghiraukan ucapan Alex. Tadi, di rumah Alex, Jason sempat berdebat sengit dengan pria itu. Shila bahkan sampai harus melerai. Karena ucapan wanita itu, Jason memilih keluar dan pulang ke apartemennya untuk mengambil sesuatu. Dia akan bersiap untuk menemui Jeffry. Siapa yang menyangka kalau ternyata Alex mengikutinya. Hingga akhirnya, laki-laki itu menghadang di depan pintu apartemen miliknya. “Minggir!” ucap Jason yang ke sekian kalinya namun tidak juga mendapatkan respon dari Alex. Alex menggeleng. “Kau mau mendapatkan masalah lain? Kalau sampai terjadi sesuatu pada Jeffry, maka dia bisa saja mengelak atas semua tuduhan,” jelas Alex. Wajah laki-laki itu terlihat sangat serius. “Lalu, kau mau aku hanya diam sementara dia berhasil membuat Emily menjadi korban kekerasan fisik dan seksualnya. Kau mau aku tetap diam dan membiarkan dia terbahak keras di ranjang rumah sakit?!” sorot mata Jason penuh kobaran api amarah.Alex bahkan sampai menunduk karena tidak kuat menatap
Shila menggigit bibir dan meremas jemarinya. Jantungnya berdetak kencang karena sejak tadi dua orang yang ia tunggu tidak kunjung keluar daei bangunan megah itu. “Mereka sebenarnya sedang mencari apa? Kenapa lama sekali? Apakah jangan-jangan mereka ketahuan lagi?”Pikiran buruk mengenai dua sahabatnya langsung terbayang. Namun, Shila segera menepis pikiran buruk itu agar tak menjadi sugesti baginya.Jantungnya nyaris mencelus ketika mendengar suara berisik di sampingnya. Ia mengira salah seorang pengawal berhasil mengetahui keberadaannya. Namun, jauh dari dugaan karena Jason dan Alex-lah yang datang. Shila yang semula tak berani bergerak dan hanya mematung di tenpat, menghampiri dua lelaki itu setelah memastikan bahwa mereka adalah kawan-kawannya. “Apakah kalian baik-baik saja? Kalian berhasil?”Jason mengangguk. “Sepertinya keberuntungan sedang berpihak. Kita berhasil mendapatkan rekamannya.” Jason mengambil flashdisk yang ia simpan dan menunjukkannya pada Shila. Wanita itu menghel
Tiga orang yang baru saja datang dipersilakan duduk oleh seorang pria yang mengenakan jas berwarna hitam. Pria yang berumur sekitar empat puluhan itu tampak masih bugar, walau rambutnya memutih di beberapa bagian.“Jadi, apa rencanamu?” celetuk Jason sembari melihat-lihat dokumen di hadapaannya. “Kau belum mengenalkan mereka padaku.” timpal Mark yang bergantian menatap Alex dan Shila. "Kuharap kalian tidak tersinggung. Aku tidak bisa mengatakan langkahku pada orang asing, karena ijni menyangkut nyawa seseorang. Bukan begitu?""Kau benar. Perkenalkan, aku Alexander Danison, sahabat Emily."Mark menyambut jabatan tangan itu ramah dengan senyum terkembang. "Oh, Tuan Danison. Bagaimana mungkin aku tidak mengenalimu. Seorang pengusaha besar dan selevel dengan Jeffry Allen. Kuharap aku tidak salah.""Kau terlalu berlebihan, Tuan Jefferson." Alex membalas sambutan Mark dengan sikapnya yang rendah hati. Ia lantas menoleh pada Shila. "Ini Shila Andreas. Ia juga sahabat Emily." "Hmm ... aku j
Ide yang Jason lontarkan lantas membuat ketiga orang menaruh perhatian penuh pada Tamara. Mulai sekarang, Jason yang akan mengambil alih penyelidikan wanita itu. Sementara, Alex dan Shila akan mencari sesuatu soal Jeffry. Keduanya bertekat akan membuat laki-laki itu membayar atas apa yang dilakukan pada sahabatnya. “Aku akan pulang ke rumah,” ucap Jason setelah merancang rencana di kepalanya“Untuk apa?” kening Shila berkerut. “Bagaimana dengan Tamara? Bukankah kau mau menyelidikinya sendiri?” “Memang. Tapi, aku akan minta bantuan orang tuaku untuk menghubungi detektif Jefferson. Kemarin aku belum sempat bertemu dengan mereka.” “Baiklah. Pulang saja, kita berdua nanti akan mencari informasi soal Jeffry.”“Bagus. Kalau begitu, aku akan mengunjungi kwdua orang tuaku. Kalian urus dengan baik dan kabari aku perkembangannya.” Alex dan Shila mengangguk sebagai respon atas ucapan Jason yang layaknya seorang pimpinan. Jason pamit dan segera menuju ke kediaman orang tuanya. Ia tak sempat
Emily memang jauh lebih aman berada di mansion Alex. Setelah Shila dan Jason secara bergantian mengunjunginya, hari ini, dikarenakan akhir pekan, keempatnya berkumpul dan membahas mengenai Liam.Jason yang semula memang curiga pada Tamara, memutuskan membiarkan wanita itu untuk tinggal di apartemennya bersama Aaron. Namun, dengan adanya Emily di kediaman Alex, Jason harus bolak-balik apartemen dan rumah Alex untuk memastikan Emily benar-benar dalam keadaan baik-baik saja.Bagaimanapun, ia tak mengenal Alex dan lagi pula Alex adalah pria yang dulu sangat dekat dengan Emily. Bahkan sampai kini Jason tidak rela menerima kenyataan itu.“Aku tidak bisa mengatakan apa pun selain satu hal, aku tengah mengawasi seseorang yang mungkin akan memberi titik terang pada kita mengenai Liam,” ucap Jason sembari memeriksa berkas-berkas tentang pelaporan yang diajukan olehnya pada pihak kepolisian. “Mereka tidak bergerak sama sekali. Lihatlah!”Alex tampak
Tamara baru saja selesai membersihkan diri dan tak juga menwmukan Jason pulang ke apartemennya. Ia menunggu Jason yang juga sama sekali tidak menghubungi. “Ke mana Jason sebenarnya? Dia bahkan tidak meneleponku seharian.” Tamara memberengut dan menuju meja riasnya. Ia melihat pantulan dirinya sendiri. Tamara melihat seorang wanita cantik dengan guratan senyum yang menawan. Ia menyukai bentuk wajahnya. “Tak heran banyak pria menggilaimu, Tamara. Kau memang memesona,” pujinya pada diri sendiri. Mengenang banyak lelaki yang masuk dalam hidupnya, Tamara hampir tidak percaya kalau dirinya sempat menjalin hubungan dengan Jared. Semua bermula dari kehadirannya di kediaman McKennel dan dirinya tak menemukan Jason di mana pun. Lalu ketika sedang berjalan-jalan di dalam rumah keluarga McKennel, ia menemukan sosok yang dikenalnya, tengah berada di dalam ruangan yang asing baginya.Tamara kala itu masuk dan mengunci pintu. Ia lalu mendekap tubuh Jared dari belakang serta memberikan sentruhan se
Jeffry tak pedulikan ponselnya yang terus berdering. Ia terus menyumpah serapah Emily. Wanita itu berani sekali menusuknya. Jeffry mengabari dua penjaga untuk membantu. Tidak butuh waktu lama akhirnya anak buahnya menemukan Jeffry yang masih berada di ranjang dengan pisau menancap di tubuhnya. Salah satu penjaga memanggil ambulans. Sekitar lima belas menit kemudian, ambulans tiba dan membawa Jeffry ke rumah sakit. Laki-laki itu bersumpah akan membuat Emily merasakan penderitaan yang jauh lebih menyakitkan daripada sebelumnya. Karena perempuan itu, ia sampai masuk ke tempat yang sangat dibencinya. ***Di lain tempat, Emily berhasil sampai di telepon umum. Ia pun menghubungi Alex dan menceritakan garis besar tentang kondisinya saat ini. Tentu saja, Alex terkejut ketika mendengar penuturan Emily. Meski larut, Alex segera melajukan tunggangannya membawa Emily ke mansionnya. Alex juga menghubungi Shila untuk datang begitu juga dengan Jason. Kini, mereka bertiga ada di kediaman Alex. Sh