Di pagi hari itu, Lynn langsung menuju supermarket, barangkali hari ini dia akan membuat kue, itupun kalau dia tidak berubah pikiran.
Kunciran rambutnya menari-nari dan kaos kebesarannya terumbai-umbai. Dia mendorong troli menyusuri rak bahan baku. Saat dia memilah terigu, seseorang memanggilnya.
"Lynn?"
Lynn yang terpanggil mengangkat kepala, dan tatapannya bertemu dengan Rose. Lynn bangkit berdiri dari posisinya yang menjongkok. Lynn memaksakan senyum tipisnya.
"Oh, kau rupanya. Belanja bahan kue juga?" tanya Lynn memerhatikan isi troli Rose yang sepertinya wanita itu sudah selesai memilih bahan.
Rose mengangguk. "Iya, barangkali aku kurang kerjaan nantinya. Mungkin, akan kubuat," ujar Rose dengan kepala manggut-manggut.
"Sungguhkah?" Seketika ide melintas dalam kepala Lynn. "Kebetulan sekali, aku juga akan membuat kue hari ini. Bagaimana kalau kita membuatnya di rumahku? Bukankah terdengar seru?"
Rose tampak berpikir sejenak, menim
"Hanya luka kecil. Tak sengaja teriris." Rose menurunkan tangannya, menyembunyikannya di bawah meja.Ruang dapur itu seketika hening."Aku harus pulang!" sahut Rose memerhatikan jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang."Hati-hatilah. Terima kasih untuk hari ini. " Lynn berdiri di depan memerhatikan mobil Rose yang perlahan menjauh.Steve hanya bungkam di tempatnya berdiri, bahkan saat Lynn sudah masuk kembali ke dapur. Wanita itu membersihkan dapur.Steve menghempaskan diri di sofa, melirik ke arah wanita itu yang masih sibuk membenahi dapur.Lynn pun sama, sesekali mencuri pandang pada lelaki di ruang TV, menatap kosong layar TV. Lynn menarik napas, lalu dia beranjak keluar menuju Steve, raut wajah pria itu entah sedang memikirkan apa."Hey, ada apa dengan wajahmu?"Steve menoleh, tersenyum menatap Lynn yang rupanya memerhatikannya. Steve menepuk sofa sampingnya.Saat Lynn duduk, Steve meraih Lynn, memelu
Rose mengayuh sepedanya cepat. Steve mengernyit di tempat, lalu mengedikkan bahu tak peduli. Dia berlalu duduk di bangku, lagi-lagi keningnya mengerut. Sebuah ponsel tergeletak di bangku.Ini milik Rose. Steve mengangkat kepala, Rose sudah jauh, rambut panjangnya beterbangan.Steve menggelengkan kepala. "Ceroboh sekali."Dia menyesap minumannya. Namun, ponsel di sampingnya membuatnya duduk tak keruan."Aish, dia selalu merepotkan!"Lalu, ponsel tersebut berdering membuat Steve kaget di tempatnya."Leo?" baca Steve pada nama kontak yang menelepon.Steve mengabaikan panggilan tersebut, menunggu panggilan itu mati dengan sendirinya. Alis Steve melengkung ke atas."Leo? Siapa dia?" tanyanya.Lagi, ponsel itu kembali berdering. Steve mendengus di tempatnya, ia bangkit berdiri mengantongi ponsel tersebut. Dia memutuskan menyusul ke rumah Rose.Sesampainya di depan rumah bercat abu-abu pucat. Steve melangkahkan kakinya mem
"Aku memang tak pernah memutuskan hubungan denganmu, Steve!""Kau meninggalkanku tiba-tiba, itu sudah jelas kau memutuskanku." Steve menyela tak terima ucapan Rose barusan.Wanita itu menanggapi nada sinis Steve dengan senyum tipis di bibir. Dia mengalihkan pandangan sesaat, menatap pantulan dirinya pada lemari kaca seolah menunggu bayangannya itu membantunya. Sesaat setelahnya, Rose kembali menatap Steve, tanpa kedip, menatapnya cukup lama seolah dia menginginkan Steve mengerti tentangnya hanya dengan tatapannya.Namun, tidak. Steve memutus kontak dengannya, enggan menatapnya. Rose menarik napas, jemarinya terkepal kuat, ingin sekali menggenggam tangan kekar itu. Namun, dia harus membatasi diri."Aku memang meninggalkanmu tiba-tiba tanpa pamit, atau boleh dikata terlalu mendadak. Aku mengingat jelas sehari sebelum hari itu, kau dan aku masih setia mengukir kisah manis ...." Rose menggantung kalimatnya, menarik napas kuat mengisi paru-parunya yang terasa
Rose muncul dengan kotak perhiasan berbungkus beledu marun. Rose menyodorkan kotak tersebut pada Steve.Steve meraih kotak tersebut, tak mengerti. Steve mengernyit saat membuka kotak perhiasan tersebut, lalu ia menatap bergantian gelang emas model bangle bertahta mawar dengan wajah Rose."Aku merawatnya dengan baik, kan selama ini?" Rose menyunggingkan senyum.Steve tak memutuskan kontak menatap Rose dengan dahi mengerut."Aku mengembalikannya untukmu, Steve. Aku ... tak dapat memakainya lagi."Steve menyodorkan kembali gelang tersebut. "Tak apa, aku sudah memberikannya padamu. Ini sudah murni milikmu. Kalau kau tak ingin memakainya, simpan saja!"Rose menggeleng, mendorong kembali kotak tersebut. "Maaf, aku tak bisa, Steve. Bagaimana pun juga gelang ini milikmu."Rose menyunggingkan senyumnya, memastikan ucapannya. Lekuk dia kedua pipinya timbul nan dalam."Aku akan selalu mencintaimu, Steve, dimana pun aku berada. Aku mencint
Di sisi lain, Steve terbayang akan Lynn, benih-benih cinta sudah tumbuh dalam dadanya. Namun kembali runyam sejak Rose kembali.Jam sudah menunjukkan pukul 2 dini hari, matanya masih kesulitan tertidur, seringkali dia berjalan mondar-mandir di kamarnya.Rambutnya acak-acakan oleh ulah tangannya. Dia pun berpindah pada mejanya, meraih pulpen dan kertas di hadapannya. Kaki Steve bergerak-gerak lalu kian cepat, dia memejamkan mata, lalu mengerjap kembali, lalu menulis segala kerumitan dalam kepalanya.1. Apa alasanku untuk mempertahankan Rose, sedangkan aku sudah memiliki Lynn.2. Apa aku ingin membuat Lynn kembali terpuruk sakit hati? Lynn sudah mencintaiku sedari lama.3. Apa aku tak memiliki hati nurani? Wanita siapa yang rela jika kekasihnya membagi cinta?4. Cinta ....Steve terdiam sesaat, dia menatap lima rangkaian huruf itu, ujung dari semua masalahnya. Tak lama setelahnya, Steve mencoret pertanyaan yang sudah dibuatnya."
"Aku mencintainya," gumam Steve.Lynn menoleh menatap Steve, menatapnya tak mengerti. "Apa yang baru saja kau katakan?"Steve menarik tangan Lynn, beranjak keluar di tengah-tengah film berlangsung."Hei, hei, Steve. Ada apa?" teriak Lynn tak mengerti apa gerangan terjadi pada Steve.Steve hanya melirik sekilas ke arah Lynn, lalu dia melepas cekalan tangannya."Filmnya belum selesai Steve!" decak Lynn sambil mencekal lengan Steve. "Ada apa?"Steve menoleh, mendapati Lynn yang berkerut kening menatapnya."Kau kenapa? Tiba-tiba saja menarikku keluar dan kau kini hanya menatapku? Kau pikir aku bisa mengerti raut wajahmu?" Lynn berusah menahan nada suaranya agar tidak meninggi."Kau ingin ikut atau tidak?"Pertanyaan Steve semakin membuat Lynn kesal, wanita itu kini memutar bola mata. Jelas bahwa dia tak menyukai aksi Steve saat ini."Apa maksudmu?""Kau ingin ikut atau tidak?" Steve mengulangi ucapannya, kali i
"Kau mengkhianatiku, Steve!" Lynn berbalik meninggalkan Steve, dia sudah tak tahan menyaksikan keduanya.Rose menggenggam tangan Steve. Lelaki itu pun balas tersenyum, mengambil alih gandengan tangan Rose.Deru napas Lynn menderu. Dia membanting pintunya kuat."Arghh!" teriak Lynn sambil menyapu alat-alat riasnya di meja. Hingga semuanya berhamburan di lantai. Dia menatap tampilan kacaunya di cermin. Setelahnya, kunci mobil di tangannya, ia lemparkan ke cermin, hingga pantulan bayangannya di cermin terserak. Retak menjalari permukaan cermin tersebut."Rose ... Sialan kau ...!" Lynn beralih melempar bantalnya, menarik sepreinya.Lynn terduduk, bersandar pada tepi ranjang. Kedua lututnya menekuk, dia menyembunyikan tangisnya dalam lipatan tangannya.Dia hancur. Lynn hancur kembali.*"Steve, hentikan. Itu mengganggu konsentrasiku." Alis Fianna melekuk menatap Steve dengan kesal. Sedari tadi pria itu mengantuk-antukkan ujung pulpenn
"Lynn?"Wanita yang dipanggil itu tak menoleh sedikitpun. Steve mendekat dan menarik lepas headphone di telinga Lynn.Wanita itu terjungkang kaget, dia berbalik dengan pisau di tangan."Oh, Steve. Kau ... kau mengagetkanku. Maafkan aku," ujarnya lalu menurunkan kembali pisau di tangan.Steve mengatur napasnya. Dia hanya menyengir sesaat. "Aku sedari tadi memanggilmu," ujar Steve sambil meneliti air muka wanita itu."Kau menunggu lama di depan? Astaga, maaf aku tak mendengarnya. Harusnya aku tak memasang benda ini." Lynn melepas headphone-nya, meletakkannya di meja dapur."Tunggu sebentar, aku akan menyelesaikan ini dulu!"Steve hanya manggut-manggut melihat Lynn yang berkutat pada blender di depannya. Steve berlalu duduk di kursi makan, memerhatikan wanita itu yang kini menuang cairan yang berwarna hijau kecoklatan, sepertinya jus buah alpukat.Lynn melepas celemeknya, membawa dua gelas itu ke meja, meletakkan satu di depan Steve
"Aku menolak."Rahang Steve terbuka. Apa yang baru saja dia dengar? Sebuah penolakan? Hell no."Kamu ...."Rose tersenyum kecil, kening Steve berkerut dibuatnya. Gelak tawanya terasa ingin meledak."Aku menolak menikahi pria lain selain Steve Robinson."Seketika tawa Rose meledak. Wajah cengo Steve jauh lebih buruk dibanding ekspresi kagetnya sebelumnya.Rose menepuk pipi Steve pelan, menyadarkan keterkejutannya. "Steve!""Maksudmu?"Ucapan Steve spontan membuat Rose memutar bola mata, merasa gemas dengan Steve."You look like an idiot. Just give me a propose, that is all you should do. Right now, in here!"(Kamu terlihat seperti idiot. Lamarlah aku, satu hal yang harus kamu lakukan sekarang.)Mata Steve berkilat-kilat. Diraihnya jemari Rose, menggenggamnya erat, lalu menciumi punggung tangannya lembut.Steve mengatur napasnya. "Roseletta Lee, menikahlah denganku."Sudut bibir Rose kian tertar
[Tepati ucapanmu semalam]Steve membaca pesan masuk. Dia tersenyum tipis. Dia pun menggeletakkan kembali ponselnya tanpa membalas pesan Rose.Steve mengatur napas, menatap pantulan dirinya di cermin. Hanya mengenakan pakaian kasual agar memberinya kesan santai, tapi wajahnya kendati demikian nampak tegang.Meraih kunci mobil di nakas, mengayun-ayunkannya di telunjuknya, ponsel yang hanya diselipkan di saku. Tak lama ponselnya ikut bergetar. Tertera nama Rose di sana.[Kamu akan berangkat, kan?]"Kau mengira aku ini apa? Tentu saja aku menepati omonganku. Namun ...."[Apa ada masalah, Steve?]Helaan napas berat lolos di bibir Steve."Kau benar-benar tak ingin menemaniku?"Rose menggigit pelan bibir bawahnya, dia bisa saja terlena dengan suara lesu Steve, tapi dia berusaha menahan diri.[Bukankah lebih baik jika kalian mengobrol empat mata?]Lagi dan lagi, Rose mendengar helaan napas di seberang.
Sore itu, Rose memutuskan tak langsung pulang ke rumah. Mobilnya berbelok memasuki kawasan kompleks perumahan Steve."Hai," sapa Rose saat pintu terbuka. Pria itu hanya tersenyum lebar, tapi Rose tahu sesuatu tengah menjanggal pikiran kekasihnya.Rose membalas tersenyum seraya menyelonong masuk rumah Steve."Ada apa kemari?" tanya Steve sedikit kikuk."Ada apa kemari?" ulang Rose. "Apa salah jika seorang pacarmu mendatangi rumahmu?"Steve menggelar tawa kecil sesaat sambil menekan pangkal hidungnya. "Bukan itu maksudku—""Terus?" Rose memangku dagu, tersenyum geli mendapati wajah kejut Steve.Sejenak kemudian, Steve memutar bola mata, sedang Rose sudah tertawa menyisakan garis lurus di matanya. Rose berpindah duduk di samping Steve. Menatap sejenak iris mata Steve, lalu menghembuskan napas."Kapan kamu akan mene
[Aku di perjalanan menuju rumahmu sekarang.]Lynn membaca pesan masuk dari Rose. Senyumnya terukir, senang rasanya bisa dimaafkan walau dia masih bisa belum bisa memaafkan dirinya seutuhnya.Lynn meletakkan ponsel di pangkuannya. Akhir-akhir ini, halaman belakang menjadi tempat favoritnya terlebih saat menjelang sore. Di dalam rumah hanya makan dan tidur saja, sisanya dia habiskan di taman, memandang air mancur lekat-lekat, atau hanya memejamkan mata menikmati semilir angin yang tak menenangkan gundahnya sedikitpun.Suara bel pintu terdengar. Rose sudah tiba.[Aku di halaman belakang.]Lynn mengirim pesan. Selang beberapa menit, Rose muncul. Kemeja kedodorannya berkibar-kibar seiring langkah besar-besarnya. Rambut pirangnya dikuncir rendah, nampak berkilau saat mentari sore menyoroti.Rose tersenyum lebar. "Hai!" Dia beralih duduk di bangku panjang depan Lynn. Kotak yang ditentengnya tadi dibuka dari kantongnya."Apa kabarmu?" tanyanya
Lynn terduduk termangu, memandang kosong air mancur di halaman belakang rumahnya. Airnya berkilau seiring gemerlap lampu yang menyinari. Biasanya air mancur itu akan menenangkannya, deru airnya yang mengalun layaknya melodi yang indah, tapi kali ini tidak. Lynn tak merasakan ketenangan secuil pun.Jeff muncul dengan mug di tangan. Dadanya berdesir cemas melihat orang yang dicintainya masih terpuruk duka. Dia tahu betul bagaimana Lynn yang kini merasa hidup dalam bayang-bayang dosanya. Wanita itu belum memaafkan dirinya atas apa yang telah diperbuatnya."Kamu tak kedinginan?" Jeff memaksakan senyum tipisnya, dia menyodorkan mug berisi cokelat panas.Lynn membalas senyum Jeff kikuk. Dia menerima gelas itu, menghirup aroma manis dan wangi, tapi dia tak meminumnya. Dia hanya menggenggam mug itu, menatap kepulan kecil yang mengudara."Kamu tak boleh terus menerus seperti ini, Lynn. Bagaimanapun, kamu tetap harus melanjutkan hidup setelah—""Pantas
"Apa kabar, Rose?"Rose melirik ke arah Steve sebelum dia menjawab, "Lebih buruk!"Dia merasa lebih buruk, dia baru saja mendapat ingatannya dan Lynn menemuinya di hari itu juga. Sebut saja jackpot sialan."Maaf, aku baru menemuimu hari ini ...." Kalimat Lynn tercekat. Dia akui dirinya seperti pengecut. Terlalu takut dan malu menemui Rose.Rose melirik Steve dan pria di seberang kursi. Steve mengangguk kecil memahami arti tersirat tatapan Rose. Wanita itu ingin berempat mata saja dengan Lynn.Steve beranjak dari duduknya, merangkul Jeff meninggalkan ruangan itu. Sebelum Jeff benar-benar pergi, dia melirik Lynn seolah meyakinkan wanita itu akan baik-baik saja.Roe mengatur napasnya, berpindah duduk di samping Lynn yang duduk di kursi roda."Aku menyesal," lirih Lynn menatap Rose dan menunduk lagu.Rose memaksakan senyum tipisnya. Jika dia mau, dia bisa membalas perbuatan Lynn. Namun, dia enggan. Melihat kondisi Lynn yang cacat sep
Kepalanya terasa disengat dan diikuti pukulan-pukulan yang mendentum. Sakitnya menyerangnya, hingga Rose lupa apa dia masih hidup atau mati.Sebelum penglihatannya gelap, dia menyerukan nama Steve.Lalu dia tersadar.Rose berada pada ruangan putih, sangat luas. Tak ada seorang pun disana selain dirinya. Rose berputar, barangkali dia akan menemukan pintu. Namun, tidak ada sama sekali."Apa aku sudah mati? Apa ini surga?" tanya Rose. Tapi itu terdengar mustahil baginya. Dia tak mungkin mati semudah itu. Mati karena menabrak pembatas jalan? Bah, keren sekali! Batin Rose.Lalu, dia memeriksa pakaiannya. Kalau dia mati, harusnya pakai putih-putih, tapi dia justru berbalut kaus kuning pucat dan legging, pakaian olahraganya tadi.Cahaya silau berpendar, dan dentum di kepalanya mendera."Akh!"Rose menahan kepalanya yang serasa ingin meledak. Dia berlutut. Lama-kelamaan dia bergelung di lantai putih itu."Kalau aku t
Steve kian mendekap tubuh bergetar Rose, mengecup pucuk kepalanya setidaknya menenangkan wanita itu. Namun, tidak tenang sama sekali."Jangan paksakan dirimu," lirih Steve."Aku tak bisa seperti ini, Steve. Aku ... tersiksa!" ujarnya dengan suara terputus-putus.Steve memindahkan Rose ke ranjang, mengusap pipi Rose yang basah."Kau tentu akan mengingatnya!" ucap Steve, terdengar yakin. Namun, dia sendiri meragukannya.Rose tak menyahut lagi, dia masih terisak-isak. Ucapan terakhir Steve tak menenangkan sedikitpun baginya, justru dia muak mendengar kalimat itu. Dia akan mengingatnya, tapi kapan? Itu membuat Rose kian tersiksa."Tinggalkan aku sendiri," lirih Rose sambil menepis pelan tangan Steve di pipinya."Rose–""Keluar," katanya, "aku ingin sendiri!"Steve menghela napas. "Berjanji padaku, kau tak akan mengacau seperti itu!"Rose tak menggubrisnya. Dia merasa kesal dengan Steve."Aku tak akan kelu
Malam itu, Rose termenung dalam kamarnya, jendela sengaja dia buka, rembulan bersinar masuk dalam kamarnya yang gelap itu, Rose sengaja mematikan lampunya.Dia menyandarkan punggungnya di dinding, semilir angin menerpa menembus tulang. Rambutnya yang melorot terumbai-umbai.Rose memejamkan matanya, berusaha mengingat kembali ingatan yang dilupakannya. Dia mulai tersiksa dengan ketidaktahuan peristiwa yang dia alami."Argh!" erang Rose frustrasi, dia tak mengingatnya.Dia mengacak rambutnya, cepolan rambutnya sudah terurai dan nampak kian semrawut.Rose mengulangnya kembali. Memfokuskan titik pencariannya.Gelap.Suara datang bergemuruh.Gelap."Argghhh!"Deru napas Rose memburu, dia menyapu alat-alat kosmetiknya di meja rias, menendang kursi riasnya terpelanting menabrak pintu hingga terdengar suara gebuman."Kenapa aku tak bisa mengingatnya!" Rose menatap pantulan bayangannya di cermin yang kini tampak menye