“Jadi kau yang dikirim Rodrigo untuk tugas ini?” Seorang pria setengah baya berdiri di depan Marvel yang masih berada di tubuh yang sama dengan Keith.
Pria itu adalah Lord Frederick yang namanya berulang kali disebut oleh geng Gale dan Marshella sendiri. Perawakannya tidak semenakutkan yang ia dengar. Bahkan pria ini sudah cukup ringkih untuk dikatakan sehat. Tulang pipinya menonjol dengan keriput di mana-mana. Bahkan, jalannya pun tidak segagah Sir Rodrigo.
Lalu kenapa sepertinya semua orang takut padanya? Marvel tidak habis pikir.
Untunglah sepertinya hanya dirinya yang menyadari ada jiwa dan ingatan yang lain dalam satu tubuh ini. Keith sepertinya tidak bingung dengan ingatannya sendiri, berbeda dengan Marvel yang harus berulang kali menahan diri untuk tidak menunjukkan jati dirinya sebagai Marvel dan bukannya Keith. Ia masih belum sepenuhnya bisa
Marvel membuka matanya. Kali ini, ia berada di sebuah tempat yang mirip barak pelatihan. Suara desing pedang saling berbenturan dan juga suara ringkikan kuda terdengar di luar ruangan ini. Laki-laki itu berdiri dari tumpukan jerami. Seraya menyingkirkan beberapa helai jerami yang menempel di pakaian sembari berjalan keluar. Tepat saat pintu dibuka, sebuah pedang melayang ke arahnya. Dengan sigap, Marvel menerimanya. “Kudengar kau pandai bermain pedang,” ucap seorang pria yang sepertinya seumuran dengannya. Marvel sedikit terkejut karena orang itu adalah Gale, ketua geng yang memburu dirinya dan Marshella beberapa hari ini di kehidupan yang berbeda. Marvel berusaha menebak posisinya di sini. “Tidak juga.” Pemuda itu menjawab tanpa menunjukkan ekspresi yang berarti. Ia mulai bisa menerima dirinya adalah Keith. Marvel bisa merasakan bahwa secara perlahan, ke
Masa kini “Kau … sudah bisa mengingatnya?” Marvel bangun dengan susah payah. Keringat bercucuran di pelipis dan juga di punggung. Terasa lengket di kulit. “Sir, apa yang baru saja kualami?” tanya Marvel dengan napas terengah-engah. “Penglihatan dan ingatanmu sudah kembali … meskipun mungkin belum sepenuhnya. Tapi apa sekarang kau benar-benar percaya kalau namamu yang sebenarnya adalah Keith?” Sir Rodrigo mengulurkan cangkir berisi cokelat panas. “Aku tidak punya alasan untuk hidup sebagai Keith,” celetuk Marvel dengan tenaga seadanya. Mimpi, penglihatan, atau apa pun itu telah benar-benar menguras tenaganya. “Setiap kita punya alasan untuk hidup kembali, Keith.” “Namaku Marvel dan bukan Keith,” tukas Marvel. “Kau Marvel dan juga … Keith. Kau masih ingin me
“Keith bajingan! Keluar kau!” Suara itu menggelegar di lorong rumah Sir Rodrigo.Siapa?Marvel dan Sir Rodrigo saling berpandangan. Namun, saat suara langkah kaki itu semakin mendekat, Sir Rodrigo segera memberi isyarat pada Marvel untuk bangun dan mengikutinya. Laki-laki tua itu memutar sebuah hiasan dinding berbentuk tanduk rusa. Lemari pun bergeser. Di belakangnya, terdapat sebuah pintu kayu yang sama warnanya dengan dinding ruangan ini. SirRodrigo membuka daun pintu itu.“Masuk!” perintah Sir Rodrigo. Marvel segera turun dari tempat tidur dan dengan sedikit terhuyung, berjalan melewati pintu tersebut.Setelah Marvel masuk, ia pun menyusul dan segera menggeser kembali pintu sebelum pemilik suara-suara yang mereka dengar tadi sampai di tempat Marvel berbaring tadi.“Ikuti aku!” Sir Rodrigo berjala
“Ikutlah bersamaku!” Sir Rodrigo terkejut mendengarnya. “Aku sudah katakan, setelah memahami isi buku itu, kau mungkin tidak akan seramah ini padaku, Keith.” “Aku sama sekali tidak bersikap ramah selama ini pada Anda, Sir Rodrigo.” Marvel yang sudah berada di ujung tangga, menyanggakan diri dengan ujung siku di lengan tangga tersebut. “Lalu baru saja kau mengajakku untuk pergi denganmu?” Marvel sedikit mendongakkan kepala ke atas. Suara kegaduhan di atas masih terdengar. Mereka sepertinya sedang memporak-porandakan rumah Sir Rodrigo. “Aku hanya tidak ingin meninggalkan Anda di sini bersama orang-orang itu.” Sir Rodrigo hendak membantah, tetapi Marvel segera melanjutkan kata-katanya. “Dan untuk apakah aku akan tetap ‘ramah’ pada Anda, itu urusan nanti. Aku sudah mengingat Anda di masa lalu sebagai orang yang baik. Kala
Marvel terbangun begitu air dingin menampar wajah dan sekujur tubuhnya. Kepalanya masih terlalu sakit. Perlahan, ia membuka mata dan mendapati Gale berdiri memegang ember yang tadinya digunakan untuk menyiram dirinya. Tak jauh dari Gale—di kursi sofa berwarna cokelat tua—duduk seorang pria setengah baya yang mengenakan setelan mahal. Marvel tahu karena ia pun—sebelum semua kesialan ini menghampirinya—juga begitu. “Kau sudah bangun, Keith? Atau harus kupanggil … Marvel Dawson?” Suara itu tida berbeda dengan suaranya beratus tahun yang lalu. Suara yang memberinya perintah untuk menghabisi keluarga Wood dan juga ibunya sendiri. “Berikan dia handuk, Gale. Mati kedinginan bukan pilihan yang bagus,” cicit orang itu lagi sebelum menyesap cerutu. Asap berkelindan di hidung dan bibirnya, melayang-layang, dan menghilang. Gale bergerak mengambil handuk dari lemari usang dan
“Kau terlihat jauh lebih baik, Keith.” Lord Frederick menyesap anggur merah dari gelas kacanya. Ruangan ini jauh berbeda dari ruangan tempat Marvel disiksa. Interior serba warna keemasan dan juga ornament-ornamen kuno menambah kesan mewah. Lukisan indah tergantung tepat di dinding belakang sofa single yang diduduki oleh Lord Frederick. Marvel mengenali lukisan itu. Sebuah lukisan yang seingatnya berjudul “Penari dari Bali” karya pelukis Indonesia, Rustamadji. Ia cukup menggemari seni lukis sehingga tahu kalau lukisan yang digantung di dinding itu adalah benda bernilai tinggi. Pelukis itu—Rustamadji—juga sering melukis kehidupan keluarga seperti kakek dan cucu, nenek dan cucu. Yang tergantung di belakang Lord Frederick, itulah yang paling terkenal. Marvel masih menatap lukisan itu, tepatnya di sorotan matanya. Lukisan yang terasa hidup. Ia seolah diajak untuk menari bersama. [Sekelebat suara hiruk pikuk nyanyian dan tabuhan semacam drum terdengar.
Marvel menatap ke luar jendela. Ia baru saja bangun dan pagi ini, tubuhnya—yang masih sakit secara fisik—merasakan hal yang berbeda. Seperti ada kekuatan lain yang mendorongnya untuk melakukan hal yang belum tentu ia inginkan. “Aku tidak tahu kalau kau selemah itu sekarang, Keith.” Suara itu membuat Marvel menoleh. Gale berdiri di depannya. “Kau sudah tida marah padaku?” tanyanya dengan acuh tak acuh. Gale memilih mengabaikan pertanyaan itu. “Kita sudah tidak di kediaman Lord Frederick. Aku membawamu ke sini setelah perawatan dari dokter. Tentu saja atas sepengetahuan Lord Frederick. Berapa lama kau mau tidak sadarkan diri, Keith?” tanyanya setengah mengejek. Marvel menghel napas. “Aku sudah bukan Keith. Kau bisa memanggilku Marvel—dan seharusnya memang begitu.” Pria itu sedikit menahan tubuhnya dengan satu tangan ke bahu kursi dan duduk. K
“Mungkin saja dulu aku mengeksekusi orang yang salah, Gale.” Karena pemikiran itu, Marvel kini berkutat dengan buku kecil di tangannya sepeninggalan Gale. Meskipun begitu, ia sama sekali tidak mengerti karena yang tertulis di sana tidak menggunakan bahasa yang ia ketahui. Selain tulisan tak terbaca itu, lembarannya juga dipenuhi dengan gambar dan coretan lainnya.“Ke mana aku mencari orang yang bisa membaca buku ini?” gumam Marvel sambil mengetukkan ujung jarinya ke permukaan buku beberapa kali. “Kenapa dulu aku tidak mau belajar membaca! Aku ingat ibu pernah menawarkannya,” gerutunya lagi.Dulu yang ia maksud adalah saat hidup sebagai Keith.“Sir Rodrigo? Marsella? Ah, aku bahkan tidak tahu di mana mereka sekarang.” Pria itu menghela napas dengan berat.Sebuah ide yang sebenarnya tidak terl
Cahaya mentari mengintip dari balik tirai putih. Marvel menutup novel Ice Flower karangan Marshella Woods. Tidak ada yang istimewa sehingga ia memutuskan untuk kembali membaca kalimat per kalimat dari novel fenomenal bertemakan kehidupan para bangsawan empat ratus tahun yang lalu. Namun, beberapa adegan di dalamnya terasa begitu nyata dalam ingatan pemuda itu. Ia sudah membolak-balikan halaman novel fantasi tersebut sejak bangun tidur tadi. Membaca tidak termasuk hobinya. Bahkan saat Steve Harrington mengusulkan untuk mengadopsi novel fantasi ini sebagai projek permainan daring selanjutnya, ia hanya mengiyakan tanpa tahu isi novel tersebut. Semuanya diserahkan pada Steve. [Steve.] Orang itu juga aneh. Kata Dean, dia sudah tidak masuk tiga hari setelah pewaris Dawson Group itu “menghilang”. Marvel memegang erat kepalanya. Kenapa ingatan ini sepotong-sepotong? Marvel melihat sekelebat
“Berhenti.” Suara pelan Marvel yang sudah cukup sadar membuat kedua mau tak mau mengakhiri debat kusir. Dean menuruti perintah Marvel.“Ada apa, Marvel?” tanya manajernya itu. Pria itu menepikan mobil dari tengah jembatan.“Ada apa, Sayang?” Cecilia ikut bertanya dan mengabaikan pandangan menghina dari Dean.“Dean, apa kau ingat aku punya wanita lain selain Cecilia? Kelly—mungkin aku punya kekasih bernama Kelly.” Pertanyaan itu keluar begitu saja dari bibir tipis Marvel.Wajah Cecilia memerah seiring senyuman penuh kemenangan yang terlihat di wajah Dean Alvaro. Pandangan mata wanita itu seperti ingin membunuhnya. “Apa maksudmu, Marvel? Memangnya—kau punya kekasih selain aku?” Suara Cecilia terdengar dipaksa bersabar dan lembut. Jemarinya membelai pipi pria itu yang justru mend
“Aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan, tapi menghilang selama satu minggu dan memilih York sebagai tempat berlibur adalah hal yang konyol. Yorkshire adalah tempat paling mengerikan. Hanya ada kastil-kastil berhantu yang bisa saja menyeretmu ke abad pertengahan, Sayang. Katakan padaku, di mana kau menginap selama di sini?”Cecilia Jung terus saja mengoceh sejak keluar dari rumah sakit. Mengatakan hal yang sama berulang kali seperti pertama kalinya datang ke rumah sakit. Marvel sama sekali tidak mengacuhkan. Matanya melekat pada bangunan merah di antara kastil-kastil batu tua bersejarah di kota ini yang baru saja dilewati mobilnya.York—kota kecil yang tidak semegah London dan tidak begitu jauh dari Manchester—dibangun di abad pertengahan, seperti kata Cecilia. Jejak-jejak kuno masih terlihat jelas sepanjang mata memandang. Namun, bangunan merah itu sangat menyolok. Sekelebat ingatan mu
“Kau membuat semua orang panik, Marvel. Apa yang kau lakukan di atas sana?” Dean berdiri dengan bersedekap tangan di depan dada.“Aku hanya butuh udara segar.” Marvel menghindari tatapan Dean, manajer sekaligus sahabatnya itu. Pikirannya dipenuli oleh sentuhan Kelly di bahunya tadi malam.“Kau bisa saja mati kedinginan kalau saja pihak rumah sakit tidak menemukanmu.” Dean terdengar frustasi.“Yah, setidaknya itu tidak terjadi.” Pikiran Marvel tidak sedang di sini, di ruangan ini. Sebaliknya, ia merasa masih terjebak di atas sana, di tempat ia ditemukan pagi ini. Terbujur kedinginan.Saat terbangun, tubuhnya sudah sangat hangat. Sama hangatnya dengan tatapan gadis itu, Kelly. Wajahnya sangat mirip dengan Marshella Wood. Namun, Marshella tidak memiliki mata sehijau itu. Mata wajah yang ia ingat berwarna sebiru samudera. Setidaknya itu yang m
“Kau takut aku mendorong mendorongmu … Marvel?” tuduh Kelly dari belakang kursi roda Marvel. “Apa kau punya pemikiran seperti itu, Nona?” timpal Marvel. “Tidak karena aku bukan mereka,” tukas perawat itu lagi, “Mereka?” Ujung alis calon pewaris Dawson Group itu mengerut. “Orang yang sudah mencelakaimu.” Suara Kelly tegas, tetapi pelan. Sangat pelan dan jelas karena mengatakannya tepat di belakang telinga Marvel, membuat bulu kuduk lelaki itu berdiri. [Aneh, aku bukan tipikal laki-laki pengecut. Suara Kelly membuatku merinding.] “Kau—kau tahu siapa pelakunya?” Rahang pria itu mengeras, menyembunyikan kesan menakutkan dari setiap yang didengarnya. “Kau sudah membaca pesan itu?” tanya Kelly balik. Marvel mendengkus frustasi. “Jangan mempermainkanku. Ap
Marvel membuka matanya. Kamar rawatnya masih kosong. Tak ada siapa pun kecuali dirinya sendiri. Sepertinya, Dean Alvaro belum datang. Pandangan Marvel teralihkan ke luar jendela kaca. Kegelapan dan keheningan membuatnya mengerti, ini mungkin sudah sangat larut malam.Sesuatu mendesak dari balik celananya. Ia butuh kamar kecil. pria itu duduk dan menurunkan kaki dari ranjang dengan perlahan. Tangan yang tidak diperban mendorong tiang infus perlahan. Suara gesekan antara roda dan lantai terdengar. Tubuhnya menghilang di balik pintu kamar kecil.Setelah selesai, ia kembali ke tempat tidur. Alangkah terkejutnya Marvel saat melihat perawat yang pertama kali mengetahui ia telah sadar, berdiri di depan pintu.“Oh, Kelly! Kau mengagetkanku!” seloroh Marvel. Beberapa butir keringat dingin muncul di pelipis.“Apa kau mengira aku ini—hantu?” Kelly menoleh ke kiri dan
“Namamu … Kelly?”“Benar.”Marvel mengalihkan pandangan. Ia berusaha untuk tidak terjatuh dalam pesona sang perawat ini. Setelah menghela napas dengan menahan rasa nyeri di sekujur tubuh.“Berapa umurmu? Kau terlihat masih sangat muda untuk menjadi perawat.” Ia bertanya tanpa menatap perawat itu.Bibir tipis tanpa polesan lipstick itu tidak lagi memamerkan senyum. “Saya hanya magang di sini. Saya belum dua puluh tahun.”Mata Marvel menelusuri setiap lekukan seragam yang membalut kulit perawat muda ini. Ia menghela napas. Lagi-lagi meyingkirkan kecantikan dan kemolekan perawat muda di depannya ini. Lagi-lagi meskipun tidak semolek Cecilia Jung, Kelly memiliki aura sensual yang bisa menarik lelaki mana pun ke dalam pesonanya. Rasanya, ia pernah melihat wanita muda ini, tetapi di mana?“Baikla
“Oh, kepalaku!”Marvel Dawson menggerakkan tangannya untuk menyentuh pelipis yang terasa sakit. Perban. Ia lantas menggerakkan tubuh. “Argh!” Seluruh sendi dan tulangnya terasa sakit.Dengan susah payah, punggung Marvel berhasil bersandar di kepala tempat tidur. Dalam pandangannya, semua benda masih berputar-putar. Pun dengan sosok yang baru saja muncul dari balik pintu.“Tuan Dawson, Anda sudah sadar.”Marvel memejamkan mata agar nuansa berputar-putarnya hilang. Saat dirasa sedikit lebih baik, seraya kembali membuka mata.Suara tadi berasal dari seorang wanita muda yang tak dikenalnya. Namun—dari pakaian wanita muda itu dan ruangan serba putih serta interior di sini—Marvel kemudian tahu bahwa ia sedang berada di rumah sakit dan wanita ini adalah perawat.“Apa yang terjadi padaku?” tanyanya dengan uj
Suasana di kafe Perky Peacock cukup ramai di hari yang dingin ini. Angin bertiup lebih kencang dari biasanya. Marvel memilih tempat duduk yang mudah baginya melihat ke sisi Jembatan Lendal. Di antara lalu lalang, tidak ada satu pun yang ia kenal. Itu lebih baik.Pelayan beberapa kali melewatinya. Marvel merasa harus segera pergi sebelum ditegur untuk kedua kalinya karena belum memesan apa pun di sini. Ini sudah waktunya jam makan siang dan belum ada tanda-tanda Dean Alvaro muncul di Jembatan Lendal. Marvel juga tidak melihat anak buah Gale di sekitar.Ingatan Marvel kembali pada saat pertemuannya dengan Lord Frederick di ruangan itu. Saat akan keluar dari penginapa bersama Gale, ia sempat memperhatikan sekeliling ruangan dan akhirnya mencapai pada satu kesimpulan bahwa penginapan itu bukanlah tempat pertemuannya dengan Lord Frederick. Artinya, setelah “disakiti” secara tak kasat mata, pria itu dipindahkan ke tempat