Clarissa makin kesal saja pada Stemmy. Juga pada Yenny. Buat apa dia bertahan dengan cowok macam itu?
"Ada apa?" Clarissa menyela pertengkaran mereka.
"Oh, Clay! Kamu pulang?" Yenny ternyata benar-benar fokus dengan pria itu, sampai tidak sadar Clarissa datang.
"Ya, aku pulang. Kalian kenapa?" tanya Clarissa, serius. Dia mau jawaban dari Yenny atau Stemmy.
"Kamu ga usah ikut campur, Clay. Ini urusanku dengan Yenny." Stemmy menatap Clarissa tidak suka.
Clarissa membalas tatapan cowok itu. Dia tidak akan diam kali ini.Clarissa bahkan tidak peduli kalau Yenny akan marah padanya. Dia tidak mau ada cowok seenak perutnya bertingkah pada seorang gadis. Apalagi Yenny begitu baik padanya.
"Asal kamu bener, aku ga akan ikut-ikut. Tapi kalau kamu aneh-aneh, aku ga akan biarin. Aku jauh lebih lama kenal Yenny dari kamu. Jelas?" Tatapan Clarissa tajam pada Stemmy.
"Bodoh!" Stemmy menyahut kesal. Dia menoleh pada Yenny. "Jangan telpon
Kedua sahabat itu kini termenung, tidak ada yang bicara. Apa yang terjadi dengan Stemmy bukan masalah simple untuk diselesaikan. Jika mereka diam, Stemmy hancur. Jika mereka berbuat sesuatu lalu ketahuan kampus, mereka bisa ikut kena. Tapi tidak mungkin mereka akan diam saja. Apalagi Yenny. Yang Clarissa takutkan, Yenny rela membahayakan dirinya demi Stemmy. "Pasti ada jalan, Yenny. Pasti ada jalan." Clarissa meyakinkan Yenny dan juga dirinya sendiri. Sekarang Clarissa sudah terlibat, dia tidak akan biarkan Yenny kalang kabut sendiri. Namun, Clarissa juga tidak mau Yenny yang kewalahan karena lebih fokus dengan Stemmy daripada kuliahnya. Yenny memandang Clarissa. Ternyata Clarissa tidak bersikap seperti yang dia kuatirkan. Clarissa bisa cukup tenang setelah mendengar semua ini. "Kamu sunguh-sungguh sayang Stemmy? Kamu bayangkan di masa depan kamu akan bersama dengannya?" Clarissa kembali menatap Yenny. Pertanyaan itu dala
Yenny menatap Stemmy yang lemah, berusaha sekuat tenaga menahan sakit yang makin menyayat setiap bagian tubuhnya. Dia bergulingan di atas kasur, sambil terus mengerang. Wajahnya pucat, keringat dingin terus saja mengucur karena Stemmy berusaha bertahan dari kesakitan luar biasa. Yenny hanya bisa memegang tangan Stemmy sambil menangis. Tidak pernah dia melihat orang semenderita ini. Bahkan papanya, saat sakit yang lalu tidak seburuk ini kondisinya. Clarissa pun tak tega melihat Stemmy. Dia cepat menelpon Adimasta, memastikan Adimasta akan segera datang. Tapi Adimasta tidak merespon panggilan Clarissa. Bingung, cemas, kalut, itu yang berkecamuk di hati dua gadis itu. Pintu kamar diketuk. Cepat-cepat Clarissa membuka pintu, dan Adimasta masuk. Pemandangan yang memilukan tampak di mata Adimasta. Stemmy terkapar, tak berdaya di atas kasur. "Di, aku ga tahu mau gimana? Aku ga sanggup lihat Stemmy." Clarissa menatap Adimasta dengan perasaan carut marut. "Dok
Clarissa sampai di tempat kosnya. Adimasta dan Yenny sudah tiba lebih dulu. Stemmy sudah mendapat tempat yang tepat untuk memulihkan dirinya. Sekarang yang mereka bicarakan bagaimana tindakan selanjutnya membantu Stemmy. Adimasta meminta Yenny datang menemui orang tua Stemmy dan menjelaskan apa yang terjadi. Perlu cara tepat agar mereka tidak terlalu terkejut. Apa saja ke depan yang mungkin akan dihadapi Stemmy. Clarissa yang akan menemani Yenny bertemu orang tua Stemmy. Kemudian masalah perkuliahan Stemmy. Pasti, semester ini dia gugur. Tetapi ada cara untuk membela Stemmy di hadapan dewan kampus. Adimasta sempat berbicara dengan Diaz dan Diaz bersedia bicara ke pimpinan kampus untuk menolong Stemmy. "Apakah mungkin Stemmy tidak akan DO?" Yenny memandang Adimasta. "Kak Diaz bilang, Stemmy membuat surat pernyataan. Isinya adalah pengakuan kondisinya. Dia menyadari kesalahannya dan sedang berusaha memperbaiki diri. Dia minta kam
Suara keras Clarissa memaksa Adimasta menjauhkan ponsel dari telinganya. Sudah lama Adimasta tidak mendengar nada ketus dari gadis kesayangannya itu. "Jujur sama aku kamu ke mana, Di? Kamu udah selesai urusan di kampus dari setengah lima. Tapi kabari aku sekedar bilang lagi di mana, apa ga bisa?" Berlanjut serangan Clarissa pada Adimasta. Adimasta mengelus dadanya. Ternyata belum sepenuhnya hilang sifat yang satu ini. Bisa tiba-tiba muncul lagi. Hati-hati saja, juteknya kambuh. "Sorry, Clay. Aku ga ada maksud ga kasih tahu. Beneran. Kamu juga lagi sibuk, kan?" Adimasta berusaha setenang mungkin bicara pada Clarissa. Dia harus bisa meredakan marah kekasihnya atau momen-momen manis bersama pacarnya itu akan berubah jadi suasana macam angin puyuh mendera tiba-tiba. "Bisa kamu njawab. Biar sibuk juga kalau buka chat barang satu menit dan telpon tiga menit apa ga mungkin?" Clarissa sekarang yang kalang kabut kalau Adimasta tidak mem
Bicara hati ke hati dengan Bramantyo, Clarissa cukup lega. Pria itu memang sangat sayang pad Rosita. Dia bahkan mengatakan tidak berpikir punya anak dengan pernikahannya. Dia hanya ingin berbahagia bersama wanita yang dia cintai. Karena itu dia berjuang sekuat tenaga agar semua yang Rosita perlu terpenuhi. Rosita akan terus sehat dan selama mungkin mereka bsia bersama sebagai suami istri. "Bantu aku, Clarissa, agar mama kamu mengerti aku sungguh-sungguh sayang dia. Ga ada pikiran aneh-aneh. Serius." Bramantyo menegaskan lagi apa yang dia katakan. Clarissa tersenyum dan mengangguk. "Oke, Om. Tapi tetap atur waktu ajak mama keluar. Mungkin satu atau dua jam saja seminggu sekali. Kurasa itu cukup buat mama." "Baiklah, aku akan atur waktu. Thank you. Senang bisa bicara dengan kamu." Bramantyo juga tampak lega. Mereka menemui Rosita yang sudah masuk ke kamarnya. Adimasta dan Bu Tinah ada di sana. Terdengar tawa riang dari mereka. Adimasta pasti sedan
Wajah Adimasta memerah. Tawa Clarissa sedikit membuat dia malu. Kenapa juga tiba-tiba dia katakan soal anak pada Clarissa? Masih jauh tentu saja bayangan sebuah keluarga untuk Clarissa. Dia gadis bebas. Dia akan melakukan yang dia mau. Berpacaran dan bisa menikmati kasih sayang Clarissa saja, itu sudah sangat bagus. Tapi menikah? Oh-oh, jangan cepat-cepat memikirkannya! "Sorry ..." Adimasta menaikkan kacamatanya, meskipun tidak melorot juga. "Kamu sudah mau punya anak, Pak Adi?" Clarissa masih ingin ngakak mengingat kata-kata Adimasta. "Udah, ga usah dipikir. Aku memang ngaco," timpal Adimasta. Dan saat itu Diaz muncul. Leganya, melihat dia datang. "Di mana istriku?" Diaz bicara dengan cemas pada Clarissa dan Adimasta. Kompak, keduanya menunjuk ruangan di sebelah mereka. Diaz dengan cepat melangkah ke arah pintu, tepat pintu terbuka, seorang perawat keluar dari ruangan itu. Diaz bicara dengan perawat itu, bertanya tentang Anindit
Clarissa benar-benar kesal dengan apa yang dia dengar dari Nena. Selama ini dia sangat yakin Adimasta cowok setia dan jujur. Dia pria yang dapat dipercaya. Karena itu Clarissa tidak lagi menahan hatinya untuk jatuh cinta pada Adimasta. Malam ini semua terbuka di depannya. Adimasta tidak ada bedanya dengan cowok yang lain. Clarissa tidak akan bisa berada di sisinya jika dia mendua. Di belakangnya Adimasta punya rahasia yang harusnya tidak boleh dia lakukan. Jika saling sayang, dia tidak akan mempermainkan perasaan Clarissa. Clarissa tidak mau menjadi wanita lemah dan bodoh seperti mamanya. Jika memang Adimasta tidak bisa mempertahankan hatinya untuk Clarissa lebih baik akhiri saja semuanya. Dia baik-baik saja tanpa Adimasta, kalau sekarang harus melepasnya, dia juga pasti tidak akan apa-apa. "Cukup, cukup sudah. Aku ga mau jadi korban yang selanjutnya. Papa dan mama memang sekarang bahagia bersama pasangan mereka masing-masing, tapi aku tahu betapa sakitnya ke
Dengan hati resah, Adimasta pun menuturkan apa yang terjadi. Beberapa minggu lalu, saat awal-awal Clarissa dan Yenny sibuk dengan persoalan Stemmy, tanpa Adimasta sengaja, dia bertemu dengan Lena di pinggir jalan tidak jauh dari kampus.Gadis tampak kesakitan dan gemetar. Adimasta kebetulan membawa mobil ke kampus hari itu. Dia pakai mobil karena ada survei ke suatu lokasi dengan teman-teman. Saat pulang itulah dia bertemu Lena. Karena kasihan, Adimasta mengantar Lena pulang. Sampai di rumahnya, Lena pingsan. Dari ibu Lena, Adimasta tahu gadis itu menderita penyakit lambung yang parah. Jika lengah sedikit saja, pasti kambuh. Tapi Lena selalu bersemangat dan tidak mau menunjukkan sakitnya. Satu sisi seolah dia melawan keadaannya, tidak peduli. Di sisi lain, dia tidak mau keadaannya menjadi penghalang dia mengerjakan banyak hal yang dia inginkan. Fisik dan keinginan sering bertabrakan. Lena dan ibunya sering berselisih karena itu. "Jadi, ibunya minta