Mata Clarissa melotot lebar melihat Adimasta bersama cewek imut di dalam kelas itu. Dan dia ingat siapa cewek itu. Erni! Dengan cepat Clarissa melangkah masuk dan mendekati mereka.
"Sudah kelar? Kita harus berangkat sekarang!" tukas Clarissa judes sambil menatap Adimasta.
Adimasta dan Erni menoleh pada Clarissa yang datang tiba-tiba dan tampak kesal.
"Oya, hampir selesai. Kamu kerjakan seperti yang aku tunjukkan tadi. Pertemuan berikut aku akan cek perkembangannya sejauh apa." Tetap tenang, Adimasta bicara lagi pada Erni.
"Oke, Kak. Kalau yang ini ..." Erni pun seakan tidak melihat Clarissa ada di situ.
"Adimasta Cakradinata, kamu ikut atau aku pergi sendiri!?" Clarissa menaikkan suaranya.
"Iya, Clay, kita pergi. Aku duluan, Er," ujar Adimasta. Dia tersenyum pada Erni lalu berdiri, mengangkat tasnya dan mendekati Clarissa.
"Hei, kamu Erni, kan? Ga usah cari kesempatan deketin pacarku, ya? Udah selesai pulang aja. Paham?" Claris
Saat bertemu Rosita, Clarissa tampak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Adimasta. Dia bisa bersikap wajar. Tidak terlihat sedang ngambek. Adimasta ingin tertawa saja. Ternyata Clarissa pintar juga bersandiwara. Tapi Adimasta senang melihat kedekatan Clarissa dengan mamanya. Mereka bicara dengan bebas dan lepas, akrab, tidak seperti waktu-waktu awal Adimasta mengenal Rosita. Rosita menceritakan pertemuannya dengan Arlon saat di rumah sakit. Tanpa menutupi apapun, Rosita mengatakan dia sedikit minder dengan mantan suaminya itu. Arlon gagah dan tampan. Sementara dia sakit-sakitan, setiap waktu bisa saja tiba-tiba nyawanya melayang. Saat Rosita mengucapkan semua itu, ada rasa sedih menghampiri hati Clarissa. Itu membuat Clarissa justru ingin membahagiakan mamanya. Sekalipun kesembuhan jauh dari Rosita, tapi kegembiraan harus dekat dengannya. Hingga jam tujuh malam, selesai makan malam, bersama Rosita dan Bramantyo, Adimasta dan Clarissa meninggalk
Jalanan tidak begitu ramai, karena memang belum jam pulang sekolah atau pulang kerja. Motor Adimasta meluncur lancar di jalan raya. Erni yang duduk di belakangnya tersenyum lebar. Ini hari baik banget buat dia. Siapa yang menduga, tiba-tiba Adimasta mau bareng pulang kuliah. Erni sedikit mendekatkan badan ke depan, agar bisa lebih rapat. Dia melingkarkan tangan di pinggang Adimasta. Adimasta refleks menengok tangan Erni yang menempel di pinggang dan perutnya. Ini cewek berani juga. Clarissa saja tidak selalu begini kalau dibonceng. "Erni, turun di depan situ, ya?" Adimasta sudah melihat perempatan yang akan mereka lewati. Erni sempat bilang dia mau nebeng sampai di situ. "Oh, iya ..." Erni melihat ke depan. Ya, beberapa meter lagi pasti akan sampai. "Kak, perutku sakit!" Tiba-tiba ide muncul di kepala Erni supaya dia bisa terus bersama Adimasta. "Kenapa?" tanya Adimasta, takut salah dengar yang dikatakan Erni. "Perutku, Kak
Clarissa tidak bisa bergerak. Kenginannya datang ke rumah Adimasta mau melepaskan amarah yang sudah berkecamuk di hatinya. Di dalam kepalanya sudah banyak kata-kata yang dia mau tumpahkan untuk meluapkan semua kekesalan. Apa daya! Di depan Alicia, Clarissa tidak mampu memulai. Dari mana dia akan memarahi Adimasta coba? "Enak nggak?" Alicia memperhatikan Clarissa yang mengunyah pelan-pelan, tidak segera menjawab pertanyaannya. "Oh, enak, Tan. Beneran. Ga terlalu manis, ada gurih, crunchy. Pas banget." Clarissa tersenyum. "Tambah lagi. Yuk, ini." Tangan Alicia mendekatkan lagi toples ke depan Clarissa. Clarissa tidak bisa menolak. Dia mencomot satu lagi dan langsung menggigitnya. "Kenapa aku ga ditawarin? Aku juga mau." Adimasta mendekat, mengulurkan tangannya mengambil juga sepotong cookies. Alicia tersenyum. Adimasta paling suka masakannya. Apapun yang dia masak, Adimasta akan makan dengan lahap tanpa protes. Dia selalu membuat Alicia
Kedua mata Adimasta melebar, meski tidak lebar juga. Dia menatap lekat-lekat apa yang Clarissa tunjukkan di depannya. Erni memasang foto mereka berdua. Ya, tadi Adimasta mengantar Erni pulang! Astaga, itu cewek sengaja ambil foto tiba-tiba buat dipamerkan di sosmed. Waduh, masalah betul! "Kamu ke mana selesai kuliah? Kenyataan dan jawaban kamu beda!" Clarissa seolah-olah punya ruangan luas untuk menghabisi Adimasta sekarang. "Clay, itu ga sengaja. Pas mau keluar kampus, ketemu. Karena sejalan aku bonceng Erni." Adimasta mulai meruntut kejadian sepulang kuliah itu. Dia katakan apa adanya, tampa ditambah atau dikurangi. "Bagus! Sudah tahu rumah Erni sekarang. Besok tinggal jemput buat ke kampus bareng. Dekat juga dari kampus. Asyik, tuh." Ucapan Clarissa terdengar ketus. "Ya nggak la ... Aku malah mau antar jemput kamu. Sayangnya tunggangan kamu lebih keren dari punyaku. Gimana?" Adimasta tetap bisa santai menghadapi Clarissa.&nb
Pembicaraan dengan Anindita cukup membuat Clarissa lebih tenang. Tidak lagi rasa meledak di dada. Tiba di tempat kos, apa yang terjadi di rumah Adimasta terpampang kembali di matanya. Orang tua Adimasta begitu menyenangkan. Clarissa sangat nyaman dengan mereka. Sedang Anindita, yang awalnya tidak begitu peduli hubungan Clarissa dan Adimasta, dia banyak bicara tentang bagaimana adiknya. "Apa iya, aku yang lebay sama Adimasta. Tapi, cowok kalau dikasih hati bukan bisa aneh-aneh? Aku ga mau kayak mama, ditinggal papa. Mama sayang sekali sama papa, aku tahu itu. Kenyataannya sayang aja ga cukup." Clarissa bicara sendiri. Menjalin hubungan tidak semudah asal bilang cinta. Ada banyak hal yang mengelilingi kata cinta yang akan menentukan hubungan itu akan jadi seperti apa. Adimasta sejak awal memang cinta Clarissa. Sedang Clarissa, dia hanya memanfaatkan Adimasta demi kepentingan dirinya. Setelah sekian bulan bersama, tidak bisa dipun
Mata Diaz masih tertuju pada Clarissa dan Adimasta yang tidak menyadari kedatangannya dalam kelas itu. Para mahasiswa yang lain juga hampir sama. Ada yang sudah mulai mengeluarkan peralatan, ada yang masih sibuk dengan yang bukan berhubungan dengan perkuliahan. "Peraturan dalam kelas yang aku ajar sangat jelas. Aku tidak suka jika ada yang makan di dalam kelas!" Lantang dan tegas suara Diaz ke seluruh ruangan. Kedua matanya belum beralih dari Clarissa dan Adimasta. Semua mahasiswa seketika memandang padanya. Lalu mereka mengikuti arah mata Diaz, tatapannya menghujam pada sepasang kekasih yang tengah asyik di dalam kelas itu. Clarissa memegang sepotong roti yang siap dia suapkan pada Adimasta. Sementara Adimasta hampir saja membuka mulutnya. "Memang sudah benar jika mahasiswa datang lebih awal ke kelas sebelum perkuliahan mulai. Tapi, alangkah lebih bagus jika sudah siap begitu dosen masuk dalam kelas," tukas Diaz. Beberapa teman rasanya ingin tertawa
"Sejak kapan bisa ngegombal? Belajar sama siapa? Keseringan berdua sama cewek-cewek?" Clarissa mencibir. Adimasta mengangkat kacamata di atas kepalanya sambil tersenyum lebar. "Nggak, dong. Aku sering nonton film. Romance," jawab Adimasta. "Serius?" Clarissa melebarkan mata. "Hee ... Nggak. Canda, Clay." Senyum Adimasta muncul kembali. "Ntar pulang kuliah jalan, yuk?" ajak Clarissa. "Hari ini?" Adimasta terkejut Clarissa mengajak dia nonton. "Hmm-mm." Clarissa mengangguk mantap. Tentu saja Adimasta tidak menolak. Kejadian langkah ini. Mumpung kekasihnya mau bersikap manis, lanjut saja. Lalu mereka cek film apa yang akan tayang siang hingga sore hari itu. Adimasta membiarkan Clarissa yang memilih. Dia ingin menyenangkan gadis cantik itu. Jika dia happy, Adimasta juga ikut senang. Kuliah berakhir, segera Clarissa dan Adimasta meluncur menuju ke gedung bioskop.
Clarissa tiba juga di tempat kos. Hampir jam delapan malam. Langsung gadis itu menuju kamar Yenny, bukan ke kamarnya sendiri. Dia tidak sabar ingin menginterogasi sahabatnya yang diam-diam menjalin hubungan dengan laki-laki tidak jelas. Dengan langkah tergesa-gesa, Clarissa sampai di depan kamar Yenny. Dia buka pintu dan terkunci. Tidak biasa Yenny mengunci pintu kecuali dia mau tidur atau keluar kamar. "Yenny!" Clarissa memanggil cukup keras. Dia sengaja agar tidak perlu mengulang atau dia akan membuat kamar-kamar lain terganggu dan penghuninya akan muncul di pintu kamar mencari tahu apa yang terjadi. Pintu kamar terbuka, Yenny muncul. Dia memandang Clarissa dengan telunjuknya menutup mulut. Clarissa mendorong pintu lebih lebar dan dia masuk. Dengan rasa kesal Clarissa duduk di ranjang, menatap Yenny yang sedang menutup pintu. Lalu Yenny berjalan ke arah Clarissa, duduk di kursi belajar, menghadap temannya yang memasang wajah sangar. Yenny
Clarissa kembali memperhatikan Cori. Wajahnya sedikit pucat, bibirnya mulai biru. "Cori, kamu beneran ga apa-apa?" tanya Clarissa. "Ga apa-apa. Cuma geli, tadi. Ikannya pada ngerubung kakiku." Cori memeluk lengannya, mulai kedinginan. "Bawa dia mandi, Clay." Adimasta sudah di belakang Clarissa. Clarissa membawa Cori ke kamar mandi dan membersihkan diri. Sedang Adimasta, bersama Calvin, akhirnya dibantu Diaz mulai membereskan pancingan. Lalu ikan hasil Calvin dan Cori memancing mereka berikan pada pelayan untuk diolah menjadi lauk makan siang. Sambil menunggu makanan siap, Adimasta, ikut bergabung dengan keluarga yang lain. Hari yang sangat menyenangkan memang. Saat liburan sekolah, tepat hari ulang tahun pernikahan mama dan papa Adimasta, mereka pergi ke tempat pemancingan di pinggiran kota. Calvin datang liburan kenaikan kelas dan ikut bersama mereka. Yang menyenangkan, Rosita pun bisa bersama mereka. Kondisinya cukup baik
Suara gemericik air mengalir terasa menenangkan jiwa. Desau tiupan angin membuat daun-daun beradu, berguguran di sekitar batang pohon yang besar. Di antara suara alam terdengar tawa dan celotehan gadis kecil di pinggir kolam yang cukup luas, bersama seorang anak yang mulai beranjak remaja. "Om, itu! Goyang! Lihat! Om, dapat lagi!!" Teriakan kegirangan terdengar memecah di antara suara alam yang sejuk. Anak lelaki di sisi gadis yang berteriak gembira itu dengan cepat menarik pancingnya dan benar, ikan mujair lumayan besar tersangkut pada mata kail. "Keren!! Om pintar juga memancing!" Gadis kecil dengan ekor kuda di belakang kepalanya itu melompat-lompat dengan senyum lebar. Dia cepat mengambil kaleng tempat menaruh hasil pancingan mereka.Lalu dengan senyum masih di bibirnya, gadis kecil itu berlari kecil menuju pondok tidak jauh dari kolam pemancingan. Di pondok bambu, duduk sepasang pasutri yang sedang menikmati indahnya alam di sekitar mereka.
Adimasta dan Clarissa kembali ke rumah sakit demi mendengar kabar kepergian Lena. Sungguh mengejutkan, ternyata Lena bahkan lebih cepat pergi dari yang dokter perkirakan. Mama Lena menangis hampir tak bisa berhenti. Begitu pula adik Lena.Lena yang ceria dan penuh semangat, tidak akan ada lagi. Senyum lebar dan tingkahnya yang lincah tidak akan terlihat lagi. Meskipun Adimasta tidak begitu dekat dengan Lena, tetap dia merasa sedih juga dengan kejadian ini. Clarissa bahkan ikut menitikkan air mata melihat ibu dan anak yang menangis karena kehilangan satu anggota keluarga mereka. Apalagi ayah Lena bekerja di luar pulau. Masih perlu menunggu sekian jam untuk bisa datang dan memeluk anak serta istrinya yang sedang berduka. Buatnya pasti juga sangat berat. Berpisah sekian lama, jarang bisa bersama, harus mendapat kabar putrinya meninggal. "Tuhan kenapa ga sembuhin kakak, Ma? Kenapa kakak diambil kayak gini?" Tangisan pilu gadis remaja itu menyayat hati.
Senyum tipis muncul di bibir Lena yang sedikit kering. Dia memandang Clarissa. "Memang benar, ada sesuatu yang kita perjuangkan belum tentu juga akan kita dapatkan. Sakit, kecewa, pasti. Cuma, seperti mama bilang, aku harus punya hati bersih." Lena melanjutkan kalimatnya. Clarissa masih duduk di tempatnya, memandang pada Lena yang bicara dengan suara lebih lemah. "Hidupku akan segera berakhir. Kenapa ... aku harus meninggalkan semua ... dengan luka? Aku mau pergi dengan ... hati bersih." Makin lirih dan pelan kalimat itu keluar dari bibir Lena. "Lena?" Clarissa menyentuh lengan Lena. Kuatir karena suara gadis itu makin jauh, matanya makin redup. "Aku hanya ngantuk ..." ucap Lena. Dia pejamkan matanya. Clarissa menarik nafas lega, Lena terpengaruh obat yang dia minum. Clarissa bangun dari kursinya, berjalan perlahan meninggalkan ruangan itu. Di depan kamar, Adimasta dan mama Lena sedang berbincang. Adimasta menoleh ke arah Clari
Ponsel Adimasta kembali berdering. Mama Lena terus mencoba menghubungi dia. Mata Adimasta juga masih memandang Clarissa. Dia kembali kuatir kalau Clarissa akan mengeluarkan tanduk di kepalanya. "Terima, Di. Pasti penting." Clarissa berkata, tenang, tidak ada marah di sana. "Oh, oke." Adimasta pun menerima telpon dari mama Lena. Suara wanita setengah baya itu cemas, bahkan hampir menangis. Adimasta terkejut. Lena drop, masuk ke rumah sakit. Sejak semalam terus saja minta Adimasta datang. Clarissa memperhatikan Adimasta yang wajahnya berubah tegang."Kenapa, Di?" tanya Clarissa. Dia juga penasaran apa kabar yang Adimasta dapat. Adimasta melihat ke arah Clarissa, tapi belum menjawab, masih mendengar suara dari ponselnya. Clarissa menunggu, hingga Adimasta selesai berbicara dengan mama Lena. "Lena sakit lagi?" tanya Clarissa. Adimasta mengangguk. "Iya. Dia masuk rumah sakit. Dia ingin ketemu aku." Adimasta mengatakan itu tetap
Tangan Adimasta masih sedikit gemetar. Dia pegang kuat kedua tangan Clarissa seakan tidak mau ditinggal sendiri. Dia memandang Clarissa dengan wajah yang sulit digambarkan. "Adi ..." Clarissa mencoba mencari kesasadaran dari tatapan bola mata Adimasta yang campur aduk. "Aku ingat. Aku ingat semuanya ..." Tangis Adimasta mulai terdengar. Dia raih Clarissa dan memeluknya erat. Debaran jantung Clarissa melonjak. Adimasta ingat semuanya? Benarkah? Clarissa masih belum yakin. Adimasta terus saja menangis. Belum pernah Clarissa melihat seorang pria menangis sampai seperti ini. Pelan, Clarissa usap punggung Adimasta, tidak ingin mengatakan apapun. Dia akan tunggu hingga Adimasta tenang, lalu mereka bisa kembali bicara. Sementara di kepala Adimasta, semua kisah muncul dengan jelas. Runtut, semua yang berlubang mulai tertutup. Semua kembali pada tempatnya. Adimasta melepas pelukannya dan memandang Clarissa. Masih campur aduk di dalam hatinya. Seb
Beberapa saat lamanya, Clarissa menangis di pelukan Adimasta. Dia merasakan sentuhan lembut di punggungnya. Sesekali Adimasta mengusap atau menepuk, berusaha menenangkan Clarissa. Hal yang sama yang dulu Adimasta lakukan, sama seperti yang papa Clarissa lakukan. Adimasta sedang berperan jadi Arlon dalam pikirannya. Sedang Clarissa, di tengah tangisnya, terus berdoa, Adimasta akan kembali pada dirinya. Dirinya yang saat ini bersama Clarissa. Yang menyadari kalau Clarissa sudah cinta dan jatuh cinta padanya. Clarissa yang marah dan cemburu buta karena Adimasta peduli dengan cewek lain. "Katakan semuanya. Apapun itu. Anggap aku papa kamu." Kata-kata yang sama Adimasta ucapkan lagi. Perlahan, tangis Clarissa mereda. Dia angkat wajahnya, memandang Adimasta. Rasa sayang yang besar menyelimuti hati Clarissa. Apa yang akan dia katakan agar Adimasta tahu posisi mereka sebenarnya seperti apa? "Papa dan aku sudah baikan, Adi. Kamu tidak ingat, kalau kita bahkan
Dengan kesal Clarissa meletakkan ponselnya. Dia menelpon Yenny ingin dibelikan buah, malah Yenny bicara tidak jelas. "Siapa yang mau pergi ke club? Ngaco nih orang! Lagi sakit kepala apa si Yenny?" gerutu Clarissa.Duduk di depan meja belajar. melipat kedua tangannya ngedumel sendiri. Dering suara panggikan masuk. Clarissa melirik pada ponsel yang ada di depannya. Yenny. Masih kesal, Clarissa mengangkatnya. "Kamu kenapa, sih? Aku ngomong soal buah, kamu kok ga nyambung gitu," tukas Clarissa. "Clay, kamu ke club cepetan. Aku dan Adi nyusul ke sana." Yenny bicara dengan cepat "Hah??!" Clarissa seketika melotot mendengar itu. Aneh sekali sahabatnya itu. Gimana bisa dia menyuruh Clarissa pergi ke club. Ini juga masih belum beneran sore. Yenny mengatakan apa yang dia pikirkan saat bicara dengan Adimasta. Ternyata ini seperti sebuah pintu membawa Adimasta mengingat kembali pada Clarissa dan dirinya. Clarissa masih belum begitu pah
Mata Clarissa nanar memandang keluar kamarnya. Bukan taman cantik di halaman yang dia perhatikan. Wajah Adimasta yang menatap dingin kepadanya yang tampak. Ucapan Adimasta yang penuh kekecewaan yang melingkupi hati Clarissa. Yenny duduk di sisinya, mengusap pundak Clarissa. Gundah juga menyapa Yenny setelah mendengar penuturan Clarissa. Adimasta menolak kekasihnya. Yang dia ingat Clarissa hanya bertingkah menyebalkan dan Adimasta tidak mau lagi diperlakukan seperti itu. Semua bayangan kisah manis dan romantis yang sudah terjadi hilang dari kepala Adimasta. Dua hari, Clarissa tidak datang ke rumah Adimasta. Gadis itu tidak mau berbuat apa-apa. Hanya rebahan, duduk, main ponsel, bahkan enggan keluar kamar sekedar mengambil makanan online yang dia pesan. "Kamu benar-benar sayang Adi. Justru sekarang Adi yang begini." Hati Yenny bicara. Dia merasa pilu juga merasakan kedua teman baiknya. Dia harus melakukan sesuatu. Yenny Yakin, Adimasta dan Clarissa pasti bisa b