Reyner kini bingung memilih gaun. Zinnia sudah memberi saran dengan menunjukkan gaun yang menurutnya cocok dengannya. Namun, Reyner tak setuju. Acara perdebatan gaun pernikahan pun dimulai. Hingga pegawai yang menunggui mereka menengahi.
"Ya sudah, Pak, Bu. Ini saja. Cocok kok buat Ibunya," usul si pegawai sembari menunjukkan sebuah gaun berwarna putih bersih di sudut ruangan.
Zinnia menyipitkan kedua matanya. Reyner tampak setuju dengan pilihan si pegawai wanita itu.
"Nggak, Mbak. Jangan yang itu. Atasannya terlalu terbuka," ucap Zinnia menyampaikan pendapatnya.
"Ck. Lalu yang mana?" tanya Reyner mulai bosan.
"Bentar ah. Sabar!" balas Zinnia sembari memilihkan gaun yang lain.
Setelah menemukan gaun yang sesuai, gadis itu segera menempelkan gaun itu ke tubuhnya sendiri. Pas.
"Ini aja. Bagus, elegan, dan cantik," puji Zinnia pada dirinya sendiri. Desain gaun itu sederhana, tetapi tampak mewah. Reyner mengernyitkan dahinya.
"Gima
Hari ke empat puluh delapan, Reyner dan Zinnia kembali pada tubuh mereka masing-masing. Reyner masih kesal dengan ucapan sang adik. Pria itu membiarkan sang istri yang sedang mengemasi pakaian ganti untuk mereka. Memasukkan ke dalam satu tas jinjing. Reyner memberitahukan gadis itu untuk membawa beberapa potong pakaian saja.Pagi itu mereka berkemas untuk pergi ke rumah Pak Haris. Seperti yang telah mereka rencanakan, resepsi pernikahan Zinnia dan Reyner akan dilaksanakan di rumah pemilik SJ Grup dua hari lagi."Sip. Sekarang giliran bawa kandang, pasir, sama makanannya Kuro," ujar gadis itu saat sudah selesai memasukkan pakaian."Jangan kau bawa makhluk berbulu itu!" seru Reyner saat melihat sang istri membawa kandang keluar rumah."Tapi kan ....""Tidak ada tapi-tapian! Lagi pula kenapa kau membawa dia di pesta pernikahan kita?" tanya Reyner sembari menunjuk si kucing hitam."Yah, Mas. Kasihan kalau Kuro ditinggal di rumah sendirian," reng
Sore harinya, keluarga Zinnia sudah tiba di rumah itu. Malamnya, Pak Haris mengajak besannya untuk memilih pakaian di butik langganan mereka. Kedua orangtua Zinnia pun mengikuti ajakan itu dengan senang hati. Baru kedua orangtua Zinnia saja yang tiba. Kerabat yang lainnya akan hadir pada saat acara resepsi nanti."Kalian di rumah saja! Jagain Kuro biar gak kemana-mana!" perintah Nurmala pada anak dan menantunya."Ya, Mah," balas Reyner yang memang malas untuk ikut. Berbeda dengan Zinnia yang selalu antusias."Ya sudah. Kami berangkat dulu. Yuk Chandra!" ajak Nurmala pada anak bungsunya."Baik, Mah.""Assalamu'alaikum," ucap wanita itu berpamitan."Wa'alaikumussalam," jawab Zinnia dan Reyner bersamaan.Suasana rumah kembali sepi. Petugas yang menata tempat sudah pulang. Kini di rumah itu hanya ada Reyner, Zinnia, Kuro, dan dua asisten rumah tangga yang sudah kembali ke kamar mereka. Kucing hitam itu sudah tidur melingkar di sofa ruang
Zinnia membuka kedua matanya saat pendengarannya menangkap suara alarm yang berdering. Gadis itu melihat dirinya sendiri yang masih tertidur di sampingnya hanya berbungkus selimut saja. Rasa kesal kembali muncul saat ia mengingat kejadian pada malam sebelumnya. Zinnia tanpa diberi peringatan dipaksa untuk melayani pria sombong itu. Tangan kekarnya mematikan suara alarm pada ponsel itu. Reyner pun ikut terbangun karena terganggu. Kini mereka kambali bertukar jiwa. Reyner merasakan nyeri saat ia menggerakkan kakinya."Ish. Kenapa sakit sekali?" gumam pria itu mencoba duduk."Sukurin kena karma," celetuk Zinnia kesal.Reyner menatap sayu wajahnya sendiri. Pria itu kini merasakan tubuhnya yang seperti remuk redam. Ternyata apa yang ia lakukan pada malam itu malah seperti bumerang. Ia menyesal karena salah menyalurkan amarahnya. Sekarang ia merasakan rasa sakit yang harusnya dialami sang istri."Lagian kenapa Mas ngelakuin itu sih? Mas sengaja ya mau nyiksa ak
Tepat pada hari ke lima puluh semenjak pertukaran jiwa itu dimulai, Reyner dan Zinnia melangsungkan pesta pernikahan mereka. Zinnia masih berdebar-debar ketika ia didandani oleh penata rias yang sama saat acara ijab qobul. Tak bisa dipungkiri, Zinnia masih belum bisa melupakan kejadian malam pertamanya dengan sang suami. Ada sedikit rasa bahagia, tetapi juga bersamaan dengan rasa sedih.Zinnia terus melamun saat kuas make up menyapu lembut wajahnya. 'Apakah Mas Rey beneran nggak bisa membuka hatinya untukku? Apa Mas Rey cuma mau anak dari rahimku saja?' cicit Zinnia dalam hati."Sudah, Mbak. Cantik banget deh Mbak Zinnia ini," puji si penata rias."Makasih, Bu." Gadis itu membalasnya dengan sebuah senyuman.Tangan ramping Zinnia mengelus perutnya yang masih rata. Kembali mengingat kejadian yang membuatnya merona. Meski hatinya gelisah. Namun, ia juga tak bisa membohongi perasaannya saat dirinya bersatu dengan Reyner. Ia juga berharap dap
Chandra kemudian memeluk kedua mempelai itu dengan hangat. "Pokoknya baik-baik di sini ya, Kak, Zin. Aku juga mau pamitan mau kembali ke Amerika. Kakak harus bisa bahagia. Zin juga. Doa terbaikku buat kalian," tutur Chandra tulus dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Bagaimana pun juga ia tetap sayang pada sang kakak yang selalu bersikap dingin dan cuek padanya."Iya, Mas Chandra. Amiin. Makasih doanya." Zinnia membalas pelukan dari adik iparnya.Tanpa diduga, Reyner juga ikut membalas pelukan dari adiknya. Meski sikapnya dingin dan tampak tak peduli. Namun, Reyner sebenarnya juga sayang pada adiknya. Hanya saja, ia enggan memperlihatkan perhatiannya."Lihat tuh, Mah! Pemandangan langka Reyner bisa berpelukan dengan Chandra," ucap Pak Haris pada istrinya."Iya, Pah. Mamah ikut senang lihatnya," balas Nurmala ikut tersenyum."Foto ah," ujar wanita itu sembari mengeluarkan ponselnya. Mengambil gambar kedua putranya dan menantunya yang saling ber
Pagi hari selanjutnya, Reyner mengajak sang istri untuk kembali pulang ke rumahnya. Mereka berdua berpamitan dengan Pak Haris dan Nurmala. Zinnia masih sakit hati pada ucapan suaminya. Ternyata tujuannya menikah bukan hanya untuk menjaga nama baiknya, tetapi agar pria itu mendapatkan perusahaan sang ayah.Jiwa Zinnia yang berada di tubuh suaminya kini sedang mengemasi barang-barang mereka. Kemudian menghampiri Kuro yang sedang memakan sarapannya. Gadis itu langsung menggendong kucing hitam itu."Rey," panggil Nurmala. Zinnia yang ingat sedang bertukar langsung menoleh menatap ibu mertuanya."Ada apa, Mah?" tanya Zinnia."Kuro tinggal di sini saja, ya?" pinta Nurmala tanpa diduga."Eh?""Mamah sudah sayang sama Kuro. Lagian kalau Kuro di sini, kalian tinggal fokus saja buatin cucu buat Mamah," ujar Nurmala mendekati putranya. Berbisik pada laki-laki itu.Zinnia hanya memasang senyuman. Bingung mau merespon apa. Ia juga tidak ingin berp
Di hari berikutnya, tepatnya hari Minggu, kedua orang itu kembali ke tubuh masing-masing. Zinnia masih galau karena kepergian Kuro. Membuat gadis itu tak bersemangat untuk beraktivitas. Sedangkan sang suami malah tampak senang. Pria itu dengan santainya menikmati siang hari dengan berenang pada kolam renang yang berada di dalam ruangan.Zinnia menatap sinis suaminya yang sedang asyik berenang. Ingin rasanya kembali memasukkan cucian beserta busa sabun di kolam renang itu. Namun, hal itu ia urungkan karena ia tak ingin diceburkan kembali ke tengah kolam. Gadis itu memilih menonton suaminya dari sudut ruangan. Duduk di kursi santai sembari membaca novel.Sesekali kedua mata Zinnia mencuri-curi pandang ke arah suminya yang timbul tenggelam di permukaan kolam. Pandangannya terhenti dan kini tertuju pada tubuh kekar Reyner saat suaminya beristirahat duduk di tepi kolam. Pria itu hanya mengenakan celana pendek. Kedua pipi Zinnia mulai memanas saat ia melihat roti sobek pada
Pagi itu Zinnia memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas dengan malas. Ia benar-benar tak mengerti mengapa sang ibu mertua menyuruhnya untuk bersiap-siap. Sekitar pukul delapan pagi, Pak Likin pun datang dengan mobil hitam milik Pak Haris. Mobil Reyner yang rusak akibat kecelakaan masih berada di bengkel."Sudah siap, Pak?" tanya Pak Likin saat Zinnia menemuinya di pintu gerbang. Dengan tubuh Reyner tentunya."Saya Zin, Pak," jelas Zinnia."Oh. Maaf, Mbak.""Nggak papa. Memangnya kami mau diajak ke mana sih, Pak?" tanya Zinnia penasaran dengan suara baritonenya."Nanti saja, Mbak. Sambil jalan," jawab Pak Likin.Reyner pun mengekor di belakang sang istri. Ia ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang bersama dengan Zinnia."Pak, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Zinnia masih penasaran."Mau ke ... bandara," jawab Pak Likin."Bandara? Lah. Memangnya mau apa ke sana?" Zinnia masih bingung den
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela