Tepat pada hari ke lima puluh semenjak pertukaran jiwa itu dimulai, Reyner dan Zinnia melangsungkan pesta pernikahan mereka. Zinnia masih berdebar-debar ketika ia didandani oleh penata rias yang sama saat acara ijab qobul. Tak bisa dipungkiri, Zinnia masih belum bisa melupakan kejadian malam pertamanya dengan sang suami. Ada sedikit rasa bahagia, tetapi juga bersamaan dengan rasa sedih.
Zinnia terus melamun saat kuas make up menyapu lembut wajahnya. 'Apakah Mas Rey beneran nggak bisa membuka hatinya untukku? Apa Mas Rey cuma mau anak dari rahimku saja?' cicit Zinnia dalam hati.
"Sudah, Mbak. Cantik banget deh Mbak Zinnia ini," puji si penata rias.
"Makasih, Bu." Gadis itu membalasnya dengan sebuah senyuman.
Tangan ramping Zinnia mengelus perutnya yang masih rata. Kembali mengingat kejadian yang membuatnya merona. Meski hatinya gelisah. Namun, ia juga tak bisa membohongi perasaannya saat dirinya bersatu dengan Reyner. Ia juga berharap dap
Chandra kemudian memeluk kedua mempelai itu dengan hangat. "Pokoknya baik-baik di sini ya, Kak, Zin. Aku juga mau pamitan mau kembali ke Amerika. Kakak harus bisa bahagia. Zin juga. Doa terbaikku buat kalian," tutur Chandra tulus dengan kedua mata yang mulai berkaca-kaca. Bagaimana pun juga ia tetap sayang pada sang kakak yang selalu bersikap dingin dan cuek padanya."Iya, Mas Chandra. Amiin. Makasih doanya." Zinnia membalas pelukan dari adik iparnya.Tanpa diduga, Reyner juga ikut membalas pelukan dari adiknya. Meski sikapnya dingin dan tampak tak peduli. Namun, Reyner sebenarnya juga sayang pada adiknya. Hanya saja, ia enggan memperlihatkan perhatiannya."Lihat tuh, Mah! Pemandangan langka Reyner bisa berpelukan dengan Chandra," ucap Pak Haris pada istrinya."Iya, Pah. Mamah ikut senang lihatnya," balas Nurmala ikut tersenyum."Foto ah," ujar wanita itu sembari mengeluarkan ponselnya. Mengambil gambar kedua putranya dan menantunya yang saling ber
Pagi hari selanjutnya, Reyner mengajak sang istri untuk kembali pulang ke rumahnya. Mereka berdua berpamitan dengan Pak Haris dan Nurmala. Zinnia masih sakit hati pada ucapan suaminya. Ternyata tujuannya menikah bukan hanya untuk menjaga nama baiknya, tetapi agar pria itu mendapatkan perusahaan sang ayah.Jiwa Zinnia yang berada di tubuh suaminya kini sedang mengemasi barang-barang mereka. Kemudian menghampiri Kuro yang sedang memakan sarapannya. Gadis itu langsung menggendong kucing hitam itu."Rey," panggil Nurmala. Zinnia yang ingat sedang bertukar langsung menoleh menatap ibu mertuanya."Ada apa, Mah?" tanya Zinnia."Kuro tinggal di sini saja, ya?" pinta Nurmala tanpa diduga."Eh?""Mamah sudah sayang sama Kuro. Lagian kalau Kuro di sini, kalian tinggal fokus saja buatin cucu buat Mamah," ujar Nurmala mendekati putranya. Berbisik pada laki-laki itu.Zinnia hanya memasang senyuman. Bingung mau merespon apa. Ia juga tidak ingin berp
Di hari berikutnya, tepatnya hari Minggu, kedua orang itu kembali ke tubuh masing-masing. Zinnia masih galau karena kepergian Kuro. Membuat gadis itu tak bersemangat untuk beraktivitas. Sedangkan sang suami malah tampak senang. Pria itu dengan santainya menikmati siang hari dengan berenang pada kolam renang yang berada di dalam ruangan.Zinnia menatap sinis suaminya yang sedang asyik berenang. Ingin rasanya kembali memasukkan cucian beserta busa sabun di kolam renang itu. Namun, hal itu ia urungkan karena ia tak ingin diceburkan kembali ke tengah kolam. Gadis itu memilih menonton suaminya dari sudut ruangan. Duduk di kursi santai sembari membaca novel.Sesekali kedua mata Zinnia mencuri-curi pandang ke arah suminya yang timbul tenggelam di permukaan kolam. Pandangannya terhenti dan kini tertuju pada tubuh kekar Reyner saat suaminya beristirahat duduk di tepi kolam. Pria itu hanya mengenakan celana pendek. Kedua pipi Zinnia mulai memanas saat ia melihat roti sobek pada
Pagi itu Zinnia memasukkan beberapa potong pakaian ke dalam tas dengan malas. Ia benar-benar tak mengerti mengapa sang ibu mertua menyuruhnya untuk bersiap-siap. Sekitar pukul delapan pagi, Pak Likin pun datang dengan mobil hitam milik Pak Haris. Mobil Reyner yang rusak akibat kecelakaan masih berada di bengkel."Sudah siap, Pak?" tanya Pak Likin saat Zinnia menemuinya di pintu gerbang. Dengan tubuh Reyner tentunya."Saya Zin, Pak," jelas Zinnia."Oh. Maaf, Mbak.""Nggak papa. Memangnya kami mau diajak ke mana sih, Pak?" tanya Zinnia penasaran dengan suara baritonenya."Nanti saja, Mbak. Sambil jalan," jawab Pak Likin.Reyner pun mengekor di belakang sang istri. Ia ikut masuk ke dalam mobil dan duduk di bangku penumpang bersama dengan Zinnia."Pak, sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Zinnia masih penasaran."Mau ke ... bandara," jawab Pak Likin."Bandara? Lah. Memangnya mau apa ke sana?" Zinnia masih bingung den
"Ehem. Itu sih sebagai hukuman untukmu," balas Reyner santai tanpa menatap sang istri."Hah? Hukuman? Aku salah apa coba, Mas? Aneh deh." Zinnia tak terima dengan ucapan suaminya.Reyner berpikir sejenak. "Salah apa? Kau tak ingat dengan kesalahanmu padaku? Sehingga kau membuatku harus terjebak pada pertukaran jiwa ini?" tanya Reyner membuat alasan. Mencoba memojokkan sang istri."Y-ya ... itu sih ... aku nggak sengaja. Nggak tahu juga kalau ada orang yang mau lewat," gumam Zinnia sembari duduk di atas ranjang, memunggungi dirinya sendiri. Reyner menaikkan sebelah alisnya. Ternyata alasannya dengan mudah dipercaya oleh sang istri."Nah. Sadar," cibir pria itu."Tapi ... nggak harus gitu juga kan ngehukumnya?" cicit Zinnia sembari mengerucutkan bibirnya. Reyner dibuat sebal karena melihat dirinya sendiri yang sedang cemberut."Terima saja!" balas Reyner ikut merebahkan diri."Ish," desis Zinnia melirik tajam dirinya sendiri.Beb
Zinnia kini sudah kembali ke tubuh aslinya. Gadis itu bangun dengan semangat. Ia ingin segera menapakkan kakinya di atas pasir putih pantai Kuta. Menikmati kesempatan liburannya."Mas. Ayo dong cepetan!" seru Zinnia dari luar pintu kamar mandi.Reyner membuka pintu dan keluar dengan handuk yang melilit di pinggulnya. Membuat Zinnia mundur beberapa langkah dan memalingkan wajahnya."Berisik. Sana pergi sendiri!" balas Reyner malas."Ih. Ya nggak bisa gitu dong, Mas. Mas juga harus ikut! Sekali-sekali jalan-jalan keluar," cibir sang istri."Males."Zinnia membalikkan badan untuk menatap wajah suaminya. "Terus Mas Rey mau apa di hotel terus? Mau bersih-bersih? Nggak mungkin, kan?" tanya sang istri sembari mendongakkan kepalanya dan menyilangkan kedua tangan di depan dada.Reyner menatap tajam Zinnia. Ia benar-benar malas berdebat dengan istrinya. Segera ia menggeser tubuh istrinya dengan menggenggam kepala Zinnia dan menyingkirkannya ke
Saat itu juga ombak yang cukup besar datang. Zinnia yang belum siap ditabrak oleh ombak tersebut. Membuat dirinya jatuh terduduk dan setengah badannya basah kuyup. Reyner yang melihatnya berniat hendak menolong. Namun, ia urungkan karena sang istri malah tertawa senang."Haha. Kaget baget aku, Mas," ujar gadis itu sembari berdiri dan berlari-lari kecil menghampiri suaminya."Kenapa nggak hanyut sekalian, sih?" cibir Reyner dengan ekspresi datar."Astaghfirullah. Jangan gitu dong, Mas! Nanti kalau aku hanyut Mas Rey juga yang susah," balas Zinnia."Ck. Siapa yang susah? Sudahlah aku mau beli minuman! Kau bermainlah sesukamu!" ucap Reyner sembari berjalan menjauhi sang istri."Aku dibeliin sekalian ya, Mas!" pinta sang istri."Jangan harap," balas Reyner menatap tajam wajah istrinya dan dibalas dengan dengusan kekecewaan.Pria itu pun pergi meninggalkan Zinnia. Menuju ke sebuah warung yang menjual minuman. Zinnia kembali bermain-main di
Tanpa berlama-lama, Zinnia langsung menghampiri suaminya beserta kedua wanita seksi yang terus menggoda Reyner. Reyner pun menepis genggaman pada kedua tangannya."Heh! Ngopo ngganggu bojone wong!" seru Zinnia kesal. Sengaja menggunakan bahasa daerahnya. (Heh! Kenapa mengganggu suami orang!)"Who are you?" tanya wanita berkucir ekor kuda. Zinnia semakin kesal karena ialah yang paling pendek di antara mereka. (Siapa kamu?)"I'm his wife! Don't dare to touch him!" seru Zinnia sembari merebut suaminya. (Aku istrinya! Jangan berani menyentuhnya!)"Really? You must be lying!" balas wanita yang satunya. Menatap Zinnia dari atas ke bawah. (Benarkah? Kau pasti berbohong!)"We're really a married couple! Don't say that you two are blind, so that you can't see our rings," cibir Zinnia sembari menunjukkan cincin pada jari manisnya dan Reyner. Kedua wanita itu pun terdiam. (Kita m
Setelah kepergian putra mereka, Reyner menatap sang istri yang sedang membereskan piring dan gelas kotor. "Kenapa Mas?" tanya Zinnia curiga.Reyner memeluk sang istri dari belakang. "Mumpung Kenang pergi, kita ke atas yuk!" ajak Reyner sembari menempelkan hidungnya pada leher sang istri."Ih. Geli, Mas," ucap Zinnia."Tapi aku pengen, Sayang," bisik Reyner lagi."Tapi ini masih siang, Mas," balas Zinnia menatap kedua mata Reyner."Nggak papa. Ya?" rengek Reyner dengan wajah memohon."Hahhh. Ya udah deh. Tapi aku selesaiin cuci piring dulu, ya?""Nanti aja! Aku cuciin deh," rengek Reyner tak sabar. "Ah lama," sambungnya sembari menggendong Zinnia menuju ke lantai dua.Pintu kembali ditutup rapat dari dalam kamar. Tak lupa Reyner menguncinya. Kembali ia mencumbui sang istri dengan mesra. Meski usia mereka sudah tak muda lagi. Namun, rasa cinta mereka masih ada. Reyner benar-benar menepati janjinya. Akan selalu mencintai Zinnia sa
Reyner dan Zinnia mendapati televisi yang masih menyala. Kemudian mereka melihat anak semata wayangnya tengah tertidur pulas sembari memeluk makanan ringan. Reyner pun dengan hati-hati menggendong putranya. Berniat memindahkannya ke dalam kamar."Emhh. Papi?" gumam Kenang kembali membuka matanya. "Kok Papi sama Mami lama sih di kamar?" tanya anak kecil itu sembari duduk dan mengucek kedua matanya."Maaf ya kalau lama, Sayang." Zinnia mendekati putranya."Mami sama Papi ngapain sih di kamar? Ken kan lapar," protes sang anak menatap wajah kedua orang tuanya."Emmm. Papi habis kasih huku-""Mami sama Papi habis main monopoli," ucap Zinnia memotong kalimat Reyner. Tak ingin anaknya bertanya yang aneh-aneh tentang hukuman dari suaminya."Yah. Kok Ken nggak diajak?" sungut Kenang."Lain kali aja, ya? Kalau Ken udah besar," balas Zinnia sembari mengelus rambut Kenang."Iya deh. Terus yang menang Mami apa Papi?" tanya anak kecil itu pe
Zinnia langsung terkesiap. Sepertinya Reyner kesal padanya."Tapi Ken belum mau bobok, Pi.""Sudah. Kamu masuk kamar dulu. Nanti kalau udah mau makan malam, baru deh Papi panggil," bujuk Reyner pada putranya."Emmmm. Iya deh. Ya udah. Ken mau baca buku cerita yang kemarin dibeliin Papi dulu," ujar Kenang menurut. Anak itu kemudian berjalan memasuki kamarnya.Kini tinggal Zinnia dan Reyner. Pria itu mendekati istrinya. "Apa, Mas?" tanya Zinnia mulai takut."Kau kan yang nyuruh Ken buat kasih serangga ke aku?" tanya Reyner menatap tajam istrinya."Hehe. Iya," balas Zinnia sembari meringis."Kalau begitu sekarang juga kamu aku hukum. Dasar istri kurang ajar!" seru Reyner sembari tersenyum lebar."Ih. Nggak mau," balas Zinnia sembari berlari meninggalkan suaminya. Naik ke lantai dua.Reyner pun mengejar sang istri. Karena kakinya yang panjang, ia mampu menyusul Zinnia. Segera saja pria itu membawa sang istri masuk ke dalam k
Mentari mulai menampakkan sinarnya. Zinnia pun mulai mempersiapkan keperluan suami dan putranya. Wanita itu kini tengah menata barang bawaan untuk pergi karyawisata dengan sang anak."Kenang udah siap?" tanya Zinnia menatap putranya yang kini sudah berusia lima tahun lebih. Anak laki-laki itu sudah siap dengan kaos seragam TKnya."Sudah, Mi," jawab Kenang semangat.Beberapa menit kemudian, Kenang dan ibunya pergi berangkat karyawisata bersama anak-anak TK yang lainnya. Zinnia senang melihat keceriaan putranya bersenda gurau dengan anak-anak lain. Mereka pun pergi ke beberapa tempat wisata. Dari melihat sapi yang diperah hingga menghasilkan susu yang berkualitas, hingga ke perkebunan sayur mayur. Ya. Konsep karyawisata kali ini adalah kembali ke alam. Zinnia pun mengambil setiap momen dengan putranya. Mengabadikannya ke dalam gambar."Seneng nggak piknik kaya gini?" tanya Zinnia pada putranya."Seneng banget dong, Mi. Besok kapan-kapan kita ajak Pap
Sudah hampir tiga tahun usia pernikahan Reyner dan Zinnia. Bahkan sekarang putra pertama mereka sudah menginjak usia dua tahun. Perkembangan kognitifnya terhitung cepat. Bahkan di usianya yang masih kecil, ia sudah bisa menghafalkan doa sehari-hari dan surat-surat pendek dalam Al-Quran. Zinnia sangat bangga pada kemampuan menghafal putranya. Ternyata kecerdasan sang ayah telah menurun padanya.Malam itu Kenang sudah mulai tidur sendiri. Entah mengapa sejak beberapa hari terakhir anak kecil itu ingin memiliki kamarnya sendiri. Kamar berisi buku-buku cerita, mainan, dan tentu saja poster bergambar ikan."Beneran Ken mau bobok sendiri?" tanya Zinnia memastikan. Ia tengah mengantar putranya ke dalam kamar pada lantai satu."Iya, Mi. Ken mau bobok sendili," jawab sang anak sembari menganggukkan kepala dengan yakin."Ya udah kalau gitu. Sini bobok! Mami selimuti," ujar Zinnia sembari menepuk-nepuk kasur berukuran besar dengan seperei bergambar nemo.Kena
Sekitar pukul sembilan pagi, Kenang dengan antusias menanti kedatangan ikan koi barunya. Ia tak sabar ingin segera bermain dengan ikan. Hingga pukul jam sembilan lebih, seorang kurir tiba untuk mengantarkan sepuluh ikan koi dengan ukuran yang cukup besar."Pi, Mi! Ikan, ikan!" seru Kenang kegirangan sembari bertepuk tangan dan melompat-lompat. Jeritan histeris karena bahagia pun terdengar. Membuat kedua orangtuanya menggelengkan kepala mereka secara bersamaan."Iya, Sayang." Zinnia mengelus kepala putranya. Lalu menggendong Kenang untuk menghampiri ikan barunya."Ini ditaruh di mana, Pak?" tanya seorang kurir saat meletakkan sebuah box besar."Taruh situ aja," jawab Reyner."Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu, ya.""Ya. Makasih, ya," ucap Reyner.Kenang pun menghampiri box berukuran besar itu. Tak sabar ingin segera melihat isinya. Kini giliran Reyner yang bingung mau menempatkan sepuluh ikan koi itu di mana. Pasti tidak akan p
Zinnia tersenyum melihat wajah bingung suaminya. Wanita itu tahu apa yang diminta putranya. Segera saja ia mengambil tremos kecil, botol bayi, serta susu bubuk untuk Kenang. Beberapa menit kemudian susu hangat sudah jadi."Nih minumnya, Sayang," ucap Zinnia sembari memberikan botol pada Kenang. Bayi laki-laki itu langsung meminum susunya dengan lahap."Oh. Haus," ucap Reyner bergantian memegangi botol itu."Iya, Papi. Adek haus." Zinnia menjawab seolah mewakili putranya. Perlahan-lahan bayi laki-laki itu mulai mengantuk."Papi juga haus nih, Mi," bisik Reyner di telinga sang istri."Oh. Papi haus? Ya udah Mami ambilin minum bentar," balas Zinnia sembari berdiri.Reyner menahan lengan sang istri. Zinnia pun menoleh menatap suaminya dengan heran. "Kenapa, Mas? Apa lagi? Aku ambilin sekalian," ucapnya."Bukan haus itu. Sini duduk!" anjur Reyner sedikit kesal. Zinnia pun kembali duduk di samping suaminya."Aku haus ini," bisik Reyn
"Sudah siap belum, Mi?" tanya Reyner pada sang istri yang sedang menyisir rambutnya. Kini rambut Zinnia sudah sedikit lebih panjang."Iya, Pi. Bentar," jawab Zinnia menyelesaikan persiapannya.Setelah selesai, Zinnia menghampiri Reyner yang sedang duduk menunggunya di sofa. Wanita itu tersenyum melihat kedua jagoannya. Reyner sudah memakai jas rapi sembari memangku sang anak yang kini sudah berusia empat bulan."Sini. Kenang sama Mami, ya," ajak Zinnia pada putranya. Wanita itu kemudian menggendong Kenang dengan gendongan bayi."Nggak aku aja yang gendong?" tanya Reyner saat menyerahkan putranya."Jangan, Pi. Papi kan pakai jas," jawab Zinnia."Oh. Ya udah," balas Reyner."Ini benerin dulu, Pi," ujar Zinnia saat melihat kerah baju suaminya. Segera saja ia membetulkan kerah tersebut."Dah. Yuk, Pi. Kita berangkat!" ajak Zinnia sembari menatap Kenang. Bayi itu kemudian terkekeh kegirangan."Ya udah. Ayo, Mi!" Reyner pun me
Kenang pun langsung terdiam setelah menerima ASI dari sang ibu. Kedua matanya perlahan-lahan mulai terpejam. Sepertinya bayi mungil itu memang sudah waktunya mengantuk.Di luar kamar, Reyner tengah memberikan koordinasi pada panitia aqiqoh putranya. Pak Haris dan Pak Agus pun ikut menemani pria itu. Hingga ketika acara hendak dimulai, Reyner mencari istri dan anaknya. Bella yang mengetahui gelagat Reyner pun memberitahukan pria itu keberadaan sahabatnya."Pak Rey. Zin ada di kamar lantai satu. Di pojok sana," ucap Bella sembari menunjukkan tempat yang ia maksud."Oh. Oke, Bel. Makasih," balas Reyner.Pria itu pun menghampiri sang istri. Reyner melihat Zinnia yang sedang memangku putranya yang tertidur pulas. Ia kemudian tersenyum."Sayang. Acara udah mau dimulai," tutur Reyner dengam suara pelan.Zinnia menoleh menatap suaminya. "Iya, Mas," jawab Zinnia tak kalah pelan.Dengan hati-hati wanita itu berjalan menuju halaman bela