"Bagus," puji Griffin sembari menepuk-nepuk pucuk kepala Edward layaknya dia memperlakukan anjing peliharaan. Well, bagi Griffin posisi Edward sama dengan anjing peliharaannya di rumah.
"Itu sebabnya kau tidak boleh main-main denganku, Edward Quin. Aku bisa menghancurkan hidupmu semudah menjentikkan jari." Griffin kembali duduk di sofa, menyilang kan kakinya sambil memikirkan permainan apa yang bisa dia mainkan dengan budak barunya.
"Omong-omong kalau kau ada di penjara seperti ini siapa yang akan melindungi Rosie? Tidak akan seru kalau aku kembali memperkosanya tanpa perlawanan, bukan?" si pemuda Griffin memiringkan wajahnya, menyeringai jahat pada Edward.
"Itu tidak akan terjadi..." desis Edward pelan namun berbahaya. Dia memang tengah berlutut di hadapan Griffin, namun tatapan tajamnya sudah mampu membuat Griffin bergidik ngeri.
"Hahaha...apa yang bisa kau lakukan, Edward Quin? Sekarang saja kau sedang jadi pesak
"Aku sudah lama berhenti kerja." Komentar Rosie berusaha kembali tidur."Aku tidak perduli. Pokoknya sekarang kau bangun dan gantikan aku. Titik.""Langkahi dulu mayatku," tantang Rosie masih bergelung di atas kasur."Aduh!"Rosie membuka matanya. Berbalik menghadap Irene yang sedang duduk menahan sakit di kepala. Ekspresinya penuh kepalsuan sampai kucing tentangga juga tahu akubkalau perempuan cantik itu sedang akting. Akting yang buruk."Kepalaku sakit. Aku harus bayar biaya berobatnya adikku dua hari lagi. Tapi uangnya masih kurang," keluhan itu langsung membuat Rosie melunak. Betapa tidak?Rosie tau bahwa adik Irene, Sista sedang sakit keras dan harus dirawat di rumah sakit. Biaya yang dibutuhkan tidak sedikit, itu juga alasan Irene, gadis paling cantik se-SMA harus melakukan 'pekerjaan' seperti ini.Pekerjaan yang dimaksud di sini ad
"Sudah kubilang Rosie tidak ada di sini," ujar Claire agak jengkel.Dia dan David duduk di sofa ruang tamu, menunggu Edward selesai berkeliling. Mereka tahu percuma menghalangi pemuda itu, dia naru akan puas dan berhenti setelah yakin orang yang dicari benar tidak ada."Di mana?" tanya Edward lagi setelah duduk di depan kedua remaja.Claire dan David buang muka untuk menghindari tatapan tajam Edward yang mengintimidasi. Sepertinya Edward terlalu lama diinterogasi di kantor polisi, jadi sikap mengitimidasinya ikut tertular juga."Claire, menurutmu kita bohong saja?" bisik David di telinga Claire sembari menutupi mulutnya, supaya Edward tidak tahu apa yang mereka diskusikan."Kalau menurutku kita coba saja dulu. Siapa tahu dia bodoh dan percaya," balas Claire pun berbisik."Aku dengar semuanya, bocah. Percuma kalian bohong, aku akan langsung tahu. M
"Bahkan si bodoh itu diam saja ketika....dia keguguran anak Maxy."Edward merasakan adrenalinnya menanjak mengetaui kabar itu. Amarah di dada sukar dia bendung. Ingin rasanya Edward mencari si bajingan yang sudah menyakiti Rosie dan membunuhnya. Menghancurkannyabseperti dia telah menghancurkan masa depan Rosie. Namun Edward sadar bukan sekarang saat yang tepat."Seperti yang sudah aku dan Claire duga, dia mencampakkan Rosie setelah bosan. Itu membuat Rosie jadi berantakan. Dia tidak mau menerima keputusan itu, bahkan beberapa kali Rosie datang ke rumah Maxy untuk minta kembali. Tentu saja si brengsek itu menghindar. Dia memutus semua kontak dengan Rosie supaya Rosie tidak bisa menghubunginya lagi. Rosie berhenti mencari Maxy setelah orang tua Maxy mengancam akan datang ke sekolah dan membuat Rosie di drop-out."Begitu rupanya. Itu yang menyebabkan Rosie berprilaku sinis seperti sekarang. Rosie langsung tersulut emosi ket
Mereka duduk di bangku taman tak jauh dari panggung tempat pertujukan musik sebentar lagi akan dimulai. Bangku taman yang mereka tempati letaknya sempurna untuk menyaksikan pertunjukkan tapi juga cukup jauh dari pengunjung lain."Kak Edward...""Em..""Kenapa ke sini?""Untuk mencarimu, tentu saja.""Kenapa?""Apa maksudmu kenapa?" Edward menoleh pada Rosie, menemukan si gadis remaja tengah menunduk."Kau tahu? Aku bersembunyi di sini karena malu padamu." Edward mengerutkan kening. Heran dengan perkataan Rosie."Karena aku kau harus menghadapi banyak masalah. Orang tua kita juga sangat menderita. Semua karena...aku...""Rosie sayang, lihat aku..." Edward membawa satu tangannya ke wajah Rosie lantas mengangkat wajah gadis itu untuk berhadapan dengannya."Kejadian kemarin bukan salahmu. Lagi pula semua sudah ber
"Rosie, tunggu. Kenapa lari?" Edward menahan Rosie ketika mereka sampai di jalan setapak tadi. Dia mengamati raut wajah muram Rosie dan dibuat makin keheranan. Apa yang salah?"Jangan seperti ini.""Apa maksudmu?" kerutan di kening Edward kian dalam. Orang bilang para gadis memang sulit dimengerti, dia baru benar-benar merasakannya sekarang."Kau punya Alice."Itu. Tiga kata singkat itu sudah cukup menghempaskan Edward ke dasar jurang. Membuatnya kembali bangun dari angan-angan indah semu bersama Rosie.Betapa kejam, namun juga realistis.Edward terdiam sejenak. Segera membenahi pikirannya kembali. Merangkai segala rencana yang telah dia susun rapih sebelum dia memutuskan menyusul Rosie ke sini. Ini rencana gila. Bisa juga kalian menyebutnya egois, kejam, tidak berperasaan. Terserah. Edward tidak akan mengelak. Karena memang nyatanya begitu.Dia. Edward Carson Quin.
"Aku akan bicara pada mereka tentang kita. Aku akan meyakinkan mereka supaya merestui hubungan kita. Meskipun mereka tidak menyetujuinya, aku tetap akan mengajukan pembatalan atas adopsiku di keluarga Quin. Jadi tidak ada lagi penghalang antara kita, Ros."Edward Quin tersenyum kecil, kedua alisnya terpaut penuh pengharapan Rosie mau menerimanya. Segala macam persoalan yang mengelilingi mereka telah dia pikirkan dengan seksama. Memang mudah mengatakan solusinya, tapi dia sadar sangat sulit menjalankannya. Tapi lebih sulit lagi bagi Edward merelakan Rosie. Lebih menyakitkan baginya melihat Rosie setiap hari tanpa bisa menjamahnya. Itu sebabnya Edward rela menempuh jalan penuh bara api asalkan Rosie menunggunya di ujung jalan.Tatapan mereka masih menyatu. Manik hazel Rosie sedikit bergetar dibawah sorot tajam penuh kesungguhan dari Edward. Senyum kecil mengandung rasa sakit tersungging di bibir merah sang adik."Edward... aku ini man
"Barusan Alice datang mencari Edward," ucap Eliza setelah dia duduk di sebelah sang suami.Tuan Quin mengalihkan perhatiannya kepada wajah kuatir Eliza. Wanita itu memberikan sorot gelisah yang sama setiap kali mereka membicarakan topik ini. Sudah beberapa kali Eliza mengutarakan kekuatirannya akan hubungan Edward dan Alice. Menurutnya, ada sesuatu yang janggal dalam hubungan Edward dan tunangannya.Seperti suatu masalah besar yang coba mereka tutupi dari para orang tua. Namun masalah itu meraksasa seiring berjalannya waktu.Eliza pun sudah beberapa kali menasehati Edward dan Alice supaya selalu menjaga komunikasi dalam menjalankan hubungan. Wanita paruh baya itu bahkan sampai bicara empat mata pada Alice, meyakinkannya agar menceritakan apapun masalah yang sedang dia hadapi.Eliza sungguh tidak keberatan memberikan saran sebagai orang tua agar hubungan Alice dan Edward tetap baik. Tapi, Alice selalu menyangka
Diraihnya ponsel dari sebelah gelas. Ditekannya kontak yang belakangan sering dia hubungi. Alice langsung mengelurarkan seluruh kemurkaannya pada seseorang di seberang sambungan ketika suara klik terdengar."Hey! Katakan di mana?! Di mana Edward?!" untuk ukuran orang yang mabuk berat suara Alice cukup jelas. Jelas pula kemurkaan dan penderitaan di sana. Namun itu nampaknya tidak menggoyahkan pendirian lawan bicara."Sudah kubilang aku tidak akan mengatakannya, Nona John. Kau harusnya menyerah saja, sudah tidak ada harapa-""Diam! Brengsek! Tahu apa kau?! Edward tidak akan meninggalkanku! Dia mencintaiku!" sekarang suara Alice sudah berupa teriakan frustasi yang mengundang rasa ingin tau dari semua orang di tempat itu. Alice masih tidak perduli.Sejak awal dia masuk ke bar langganannya baru beberapa bulan terakhir seluruh atensi telah dia terima dari semua orang. Betapa tidak? Rambut panjang kusut juga air mata memba