Braakk..
Suara benda besar terjatuh teredam permukaan rumput kehitaman. Berikutnya suara pukulan keras dan rintihan kesakitan yang menyusul.
Edward tanpa ampun menghantamkan tinjunya ke wajah si mempelai pria. Dia duduk di perut pemuda bajingan itu sembari melayangkan pukulan bertubi tanpa ampun. Kemurkaan tergambar jelas di mata Edward hingga pemuda tidak tahu malu dan paling tidak sensitif seperti Maxy juga ketakutan.
"Jadi kau orangnya?!" tanya Edward retoris dengan nada geram. Dia sudah merasakan kejanggalan sejak Rosie bertingkah aneh di ballroom. Nama Maxy Louis juga agak mengganggunya waktu David bercerita tentang bajingan yang telah mencampakkan Rosie. Ternyata Maxy Louis pernah dia dengar sebagai tunangan dari teman kampusnya sendiri.
Edward agak merasa bersalah pada Rosie karena tidak langsung menyadari hal itu. Wajahnya memerah saking mendidih darahnya sekarang. Campuran perasaan murka plus benci membuat
"Terima kasih.""Untuk?" Edward mengangkat alis.Si adik tidak menjawab. Dia merebut ponsel dari Edward lalu melemparnya ke sembarang tempat. Rosie beringsut mendekat pada sang pacar, memeluknya dengan lembut. Rosie juga sengaja menyembunyikan wajahnya di pundak Edward agar pemuda itu tidak bisa melihat keresahan yang terpancar jelas. Sebagai gantinya Rosie mengelus punggung berotot Edward sebagai tanda bahwa dia ingin sang kekasih diam saja."Edward, apa kau tahu?""Apa?" Edward balas mengelus punggung Rosie yang membuat gadis itu sedikit rileks."Aku sangat mencintaimu."Edward terkekeh. "Ah, aku tahu itu.""Apa kau mencintaiku?""Tentu saja, Rosie. Kenapa tanya begitu?" Rosie melepas pelukan mereka. Menghadapkan wajahnya dengan Edward.Senyum tipis mempesona pemuda itu gagal menghapus risau di sudut hatinya. Rosie mencoba membala
Maxy Louis menikmati setiap detik yang dia habiskan memandangi wajah menderita Rosie Wilkins. alasan sebenarnya dia datang ke sini adalah untuk balas dendam. Gara-gara gadis sial ini dia diceraikan Megan, gadis yang susah payah dia dapatkan. Posisi Direktur Utama grup Teir sudah didepan matanya tapi Rosie Wilkins mengacaukan semua rencana yang telah dia susun bertahun-tahun. Sekarang Maxy bahkan diusir oleh orang tuanya sendiri dan terancam jadi gelandangan. Dia hancur. Tapi dia tidak akan hancur sendiri. Rosie dan Edward juga harus menderita sebagai balasannya."Aku sangat peduli padamu makanya aku mengatakan ini. Hubunganmu dan Edward tidak akan berhasil. Orang tua kalian pasti akan menentang, belum lagi gunjingan dari orang-orang. Di lingkaran kelas atas rumor menyebar secepat kilat. Apa kau tahu? Aku tidak bisa bayangkan setajam apa mulut para ibu sosialita bisa melukai hati Ibu-mu. Kau menyayanginya, 'kan?"
"Ayo ke Pulau Seribu! Kita liburan sehari di sana!"Ini begitu mendadak. Di luar dugaan. Dan sejujurnya agak berbeda dengan apa yang biasanya Rosie lakukan. Terlepas dari itu, Edward menyukainya. Ide pergi berdua saja dengan Rosie, ke tempat yang jauh tanpa ada yang mengenal mereka, merupakan salah satu keinginan terpendam Edward yang belum mampu terealisasi. Tapi kemudian kebahagiaannya lenyap seketika saat wajah Alice muncul.Tinggal empat hari sebelum upacara pernikahan dilangsungkan. Dia belum bisa menemui Alice apalagi bicara pada gadis itu. Rencananya pagi ini Edward akan kembali datang ke rumah Alice, atau ke rumah sepupu John, atau ke manapun tempat Alice berada supaya bisa segera menyelesaikan segalanya.Bangkit dari ranjang lalu duduk dengan tidak nyaman membelakangi Rosie, Edward berucap, "Hari ini aku harus ketemu Al-""Aku sudah bicara dengan Kak Alice."Rosie juga ikut duduk dengan tak
"Edward.""Hm?"Sepuluh detik."Kak Edward.""Kenapa?""Peluk aku, Edward."Meski terkekeh geli dengan sikap manja kekasihnya Edward tetap melingkarkan lengan panjangnya di pinggang Rosie dalam rangka menarik gadis-nya mendekat. Dia mengusap lengan atas Rosie supaya gadis itu lebih hangat.***Mereka menginap di penginapan tua dekat pantai. Suara debur ombak sayup melengkapi udara sejuk yang memenuhi kamar itu. Jendela besar sengaja dibiarkan terbuka supaya nyanyian laut bisa lebih jelas terdengar oleh sepasang kekasih.Muda mudi tengah berpelukan sembari berbaring di ranjang. Keduanya memejamkan mata dengan damai, tangan saling terkait di perut si gadis. Sesekali Edward akan berhenti bersenandung untuk mengecup punggung lembut Rosie, terkekeh geli ketika gadisnya mengerang pelan sebagai protes karena senandungnya berhenti.Mereka sudah
Edward yakin dia tidur setidaknya tujuh jam. Udara sudah terasa panas, mengundang keringat kecil keluar dari pori-porinya. Dengan erangan pelan Edward menggapai ke segala arah untuk menyadari tempat tidurnya kosong. Dia membuka mata, seketika langsung segar bugar karena sadar Rosie tidak di kamar itu.Mata hitamnya mengelilingi ruangan kecil yang kini terang benderang akibat cahaya matahari menerobos dari jendela besar. Pintu kamar mandi setengah terbuka, tidak ada suara air terdengar, menandakan Rosie juga tidak sedang mandi.Edward bangkit berdiri. Beberapa kali memanggil Rosie meski dia tahu hanya ada dirinya di kamar itu. Edward tetap memeriksa kamar mandi yang kosong, membuka pintu depan yang juga menunjukkan teras kosong.Jantungnya mulai memacu dalam kepanikan. Rasa takut adalah tuan yang menguasai segenap jiwa dan raganya sekarang. Dia berlari kecil sembari meneriakkan nama kekasihnya, mengelilingi pantai di belakang pengina
Si bocah berbalik dengan penuh semangat, tidak melihat ada anak kecil lain berjalan tepat di depannya hingga tabrakan antara dua bocah tidak bisa terhindar. Badan Eros jauh lebih besar dari pada bocah laki-laki lain yang di tabrak, alhasil bocah yang lain jatuh terduduk. Mata coklat si bocah yang lebih kecil berkaca-kaca, mencebik sambil memandangi Eros."Samuel! Tidak apa-apa, Sayang. Cup cup jangan menangis." Perempuan berambut panjang menyongsong si bocah kecil, jongkok di depannya lalu memeluk Samuel dengan sayang. Tangannya menepuk-nepuk pantat Samuel supaya bocah itu berhenti mencebik."Ro-Rosie?!""Kak Alice?"***Dua wanita dewasa duduk di ayunan warna warni. Gestur tubuh mereka canggung, cara bicara juga tak kalah kikuk. Sunggu berbeda dengan dua bocah lelaki di tengah kotak pasir, para bocah yang bahkan belum mengenal lebih dari satu jam sudah asyik bercengkrama sambil tertawa lepas.Rosie bisa
"Halo, Edward! Kau di mana?" itu suara David sedikit berbisik."Aku hampir sampai. Sabar-""Kau lebih baik muncul dalam satu menit atau Alice keburu menghancurkan kue ulang tahunmu. Aku sudah mencoba menenangkannya, tapi kau tahu aku juga bukan tandingan Alice."Edward memutar bola matanya dengan jengkel. "Aku sampai." Desisnya lalu memutus sambungan. Edward berdiri di depan pintu ganda kecoklatan, tangan memegangi kenop besar warna silver. Dia menghirup nafas lalu menghempaskannya sebelum mendorong pintu itu dan mulai melangkah masuk.Senyum elegan dia pasang terlepas dari kenyataan dirinya, orang yang berulang tahun, terlambat satu jam menghadiri pesta ulang tahunnya sendiri. Kalau ada hal yang Edward pelajari selama menjadi pimpinan sebuah perusahaan multi nasional, itu adalah bersikap tenang dan berwibawa dalam setiap keadaan.Edward mengitari beberapa mejabbundar tempat para tamu undangan yang
"Selamat ulang tahun, Kak Edward!"Rosie Wilkins. Gadis itu berdiri di hadapan Edward. Mencarkan senyum cerah khas miliknya. Senyum yang setiap malam Edward mimpikan. Rosie memandangnya dengan manik hazel cemerlang. Mata yang selalu dia kenang sebagai mata paling indah dan mempesona.Rosie...Rosie-nya memakai gaun putih selutut, riasan tipis, rambut hitam tergerai indah di punggungnya. Aroma parfum favorit Rosie menguar sampai ke indera penciuman Edward hingga pemuda itu ingin menampar dirinya sendiri lantaran halusinasinya terlampau nyata.Tidak mungkin Rosie ada di depannya saat ini. Tidak mungkin semua doa dan permohonan di setiap ulang tahunya terwujud. Rasanya mustahil Rosie-nya kembali.Suasana ballroom begitu sunyi. Semua orang berfokus pada dua manusia di tengah ruangan.Rosie mulai gugup. Dia mulai takut sekaligus kecewa karena reaksi Edward berbeda dengan yang dia bayangkan. Mungkin saja E
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa