Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.
Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena.
"Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard.
"Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju basement dengan perasaan janggal. Irena tidak tahu apa yang dia lupakan setelah meninggalkan meja kerjanya. Ponsel dan dompet selalu dia bawa. Pikiran rumit itu segera teralihkan oleh punggung Zen di pintu keluar basement. Dia telah menunggu rupanya.
Lelaki itu berbalik manakala mendengar suara stiletto menggema di lorong sepi. Zen tersenyum. Salah satu kelebihan Zen adalah pada senyumannya. Irena mengakui bahwa lelaki itu memiliki bibir yang sexy ditambah ketika tersenyum. Sewaktu dulu, Zen digemari banyak mahasiswi. Namun, diantara para wanita itu, Zen memilih dirinya -yang tak pernah menggoda lelaki mana pun. "Kenapa tidak menungguku di mobil saja?" ucap Irena.
"Kau tidak tahu posisi parkir mobilku. Jadi aku menunggu di sini untuk mengantarmu agar tidak kebingungan," jelas Zen. Kemudian meraih pinggang ramping Irena saat berjalan bersama. Akan tetapi lengan Zen cepat disingkirkan oleh Irena. "Kita masih di kantor," desis Irena mengingatkan. Bisa repot jika nanti ada gosip tentang dirinya berpacaran dengan Zen di kantor. Irena tidak mau menjadi pusat perhatian. Hanya Kayla yang tahu hubungan mereka.
Salah satu lampu mobil itu berkedip dengan suara khasnya ketika kunci dibuka. Audi putih milik Zen. Lelaki itu segera membukakan pintu untuk Irena. Irena menyelinap masuk dan duduk dengan nyaman di dalam. Sedangkan Zen berjalan setengah memutari kap depan mobil sebelum menduduki jok kemudi. Kurang dari semenit, Zen sudah melajukan kendaraannya keluar basement.
***
Acara reuni kelas kampus selalu diadakan di tempat yang berbeda. Kali ini mereka berpesta di lantai dua sebuah klub yang telah di booking. Pasangan Zen dan Irena tampak baru datang dari pintu ruangan lantai dua. Suasana sudah ramai, teman-teman kelas hampir semua sudah berkumpul di sini. "Oh! Zen dan Irena! Akhirnya kalian datang!" teriak salah satu lelaki di sana. Mereka belum mengetahui Zen dan Irena menjalin hubungan khusus. Hanya tahu kalau mereka berdua adalah sahabat dekat. "Apa Kayla tidak bersama kalian?" Seorang wanita bertanya setelah menilik ke belakang mereka, dan tidak menemukan wanita itu. "Kayla akan datang terlambat katanya," sahut Irena.
Irena menyapa teman-teman perempuannya. Begitupun dengan Zen yang beralih ke teman laki-laki. Sebuah wiski dituangkan ke dalam gelas kaca, Irena meneguknya singkat. "Apa kau berpacaran dengan Zen?" bisik temannya di samping. Irena mengerutkan bahunya sambil mendelik heran. "Kenapa kau bisa menanyakan hal itu?" Irena belum mengumumkan hubungannya dengan Zen kepada mereka. "Karena kalian terlihat cocok satu sama lain," jawab wanita bergincu merah itu. Irena mengulum senyum. Kalau bisa, ingin Zen saja yang mengumumkan, bukan dirinya.
***
Yohan terus menerus mengecek ponselnya. Barangkali ada pesan atau panggilan masuk dari Irena. Akan tetapi sampai langit sudah gelap, ponselnya masih sepi. Ini sudah jam tujuh malam, dan Irena belum memintanya menjemput. Padahal Yohan menunggunya di depan kantor. Sesekali dia menengok ke dalam lobi yang terbatas oleh dinding kaca. Sayangnya tidak ada tanda-tanda Irena akan keluar dari dalam.
Pesan darinya juga tidak dibalas, apalagi panggilan telepon, sama sekali tidak diangkat. Sedang apa sebenarnya wanita itu? Yohan mengecek ponselnya sekali lagi. Yohan tertegun menatap layar, sadar telah melewatkan sesuatu. Titik biru di peta layar itu tidak menunjukkan tempat ini. Melainkan berada dua kilometer dari gedung kantor ini. Astaga.
***
Pintu itu kembali terbuka dari luar. Kayla datang, dan mengalihkan obrolan para wanita di sofa. "Hey, Kayla! Peserta terakhir telah datang!" Kemudian mereka saling cipika-cipiki sebelum duduk di seberang Irena.
Di sisi para lelaki, mereka saling curhat mengenai bidup rumah tangga -bagi yang sudah menikah- hingga keluhan kaum jomblo. Zen meneguk anggurnya sekali lagi ketika teman di samping menyeletuk. "Apa kau dengan Irena berpacaran? Atau kau berpacaran dengan Kayla? Enaknya jadi dirimu dikelilingi dua wanita cantik!"
"Memangnya kenapa kau bertanya hal itu?" kata Zen membalas dengan santai sambil menuangkan anggurnya lagi ke gelas kaca.
"Tentu saja ingin mengajak salah satunya ke ranjang."
Zen geram tiba-tiba. "Mereka adalah sahabatku. Siapa pun yang berani membuat salah satunya terluka, aku takkan segan-segan menghajarnya sampai mampus!" tandas lelaki itu serius. Temannya jadi bungkam ngeri. Zen berlagak seperti seorang kakak saja.
Di sofa, para wanita sedang berbincang-bincang, sesekali tertawa, dan sesekali juga lirikan mata Kayla tertuju pada punggung Zen di kursi bar. Irena memperhatikan gelagat Kayla dihadapannya. Hingga sebuah pertanyaan meluncur untuk Kayla. "Apa kau punya seseorang yang kau cintai?" Salah satu teman bertanya. Kayla jadi terkesiap. Dia memutar otaknya dengan cepat agar menemukan jawaban yang tepat. "Um... Sepertinya ada, tapi aku tak bisa mengatakan perasaanku karena dia sudah punya kekasih," ucap Kayla seakan memperjelas sesuatu yang hanya dirinya yang paham. Mungkin. Akan tetapi Irena merasakan hal janggal dari pernyataan tersebut.
Perasaan Irena jadi khawatir. Pikiran negatif menyerangnya. Bisa dikatakan kalau yang dirasakannya ini adalah bagian dari insting seorang wanita. Intingnya mengatakan jika Kayla menyukai Zen. Tapi, benarkah seperti itu? Irena ragu. Tidak mungkin Kayla, sahabatnya, mengkhianatinya bukan? "Aku mau ke toilet dulu," pamit Irena bangkit dari sofa.
Irena berdiri di depan cermin wastafel. Tetapi tidak lama, pintu di belakangnya terbuka, dan Irena dapat melihat dari pantulan cermin siapa yang masuk. Seketika Irena terkaget berbalik. "Apa yang kau lakukan di sini? Ini toilet wanita!" desis Irena. Zen nekat masuk ke toilet wanita. Beruntung di toilet ini hanya ada mereka berdua. Zen langsung bergelayut memeluknya dari belakang. Melingkarkan kedua lengannya ke tubuh depan Irena. "Aku ingin bersamamu malam ini," bisik Zen seduktif di lehernya.
Embusan napas Zen terasa panas di kulit leher. Irena tidak bereaksi berarti. Dia tampak tenang meski jantung berdegup cepat. "Zen, kau mabuk. Sudah berapa botol kau habiskan huh?" balas Irena. Bau napas Zen tercium dengan alkohol. Lelaki ini kelihatan setengah sadar ketika mengecup leher Irena beberapa kali. "Zen, hentikan. Bagaimana kalau ada yang masuk dan melihat kita?" Irena terus melakukan penolakan dengan halus.
"Tidak ada yang akan masuk ke sini, karena sudah kuberi tanda di luar pintu kalau toilet ini rusak," ujar Zen. Ketika itu Irena mengeluarkan ponselnya dari tas. Seketika dia terkejut luar biasa. Irena mematung. Puluhan panggilan tak terjawab dari Yohan memenuhi layarnya. 'Yohan! Astaga! Aku lupa!'
"Zen, maaf, aku telah melupakan janji dengan adikku, dia pasti menungguku sekarang," kata Irena sambil melepaskan dekapan Zen. Kemudian dia memutar tumit dan membuka pintu. Baru dua langkah keluar, dia langsung berhenti mendadak. Wajahnya tercengang melihat seseorang dihadapan.
"Yohan?"
***
******Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
***Liliana mengikuti diam-diam punggung Yohan dari kejauhan tiga meter. Dia ingin tahu mau ke mana lelaki itu akan pergi setiap selesai kelas. Liliana sadar kalau dirinya kurang kerjaan mengikuti orang lain seperti saat ini. Yah memang dia tidak punya kesibukan. Oleh sebab itu membuntutinya menjadi kegiatan sibuk baginya. Ketika tiba ditikungan, Liliana mengerjap kaget. "Hilang?" Lalu dia berlari kecil dan berhenti di perempatan tikungan gang perumahan. "Pergi ke arah mana dia?" gumam Liliana celingukan."Hey, wanita~" Suara pria terdengar dari arah belakang. Liliana tersentak berbalik. Dapat dia lihat lima pria dengan penampilan sangar membuat jantungnya berdetak takut. "Mau apa kalian?" kata Liliana waspada. Mereka bergerak maju, dan Liliana menarik langkah mundur. Siapa yang tahu niat mereka? Yang pasti dia harus pergi dari jangkauan mereka sekarang. Setidaknya berada di tempat yang ramai maka akan aman. Sementara tempat ini sep
***Menghela napas panjang, kepala mendongak lemas menatap plafon ruangan. Ruangan berkonsep minimalis modern tampak sepi. Lampu di atas menyala begitu terang. Namun, tidak menerangi hatinya yang sekarang. Wanita itu harus merasakan kekecewaan berulang kali. Bayangan tentang Yohan masih berputar di dalam benaknya. Dia mencintai lelaki itu. Tapi cinta tidak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh usaha ekstra untuk mengalihkan dunia lelaki itu kepadanya. Bagaimana caranya?Suara pintu terbuka tiba-tiba terdengar di keheningan ruangan. Disusul langkah sepatu berjalan mendekat. "Apa yang kau lamunkan?" kata Zen dengan jas di lengan kirinya sambil mengendurkan dasi di leher. Wanita itu tidak menoleh. Menatap langit-langit ruangan saat memikirkan Yohan. "Apa kau pernah merasa kecewa pada orang yang kau cintai?" tanyanya."Pernah. Kenapa? Kau sedang patah hati?" sahut Zen santai. Dia berjalan menuju dapur yang terhubung dengan ruang tengah."Pat
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil
Irena sedang presentasi di depan manajer devisi ketika seharusnya Kayla hadir di sana untuk membahas pekerjaan ini bersama. Namun, saat ini Kayla sedang berada di ruang kerja Zen. Mereka berbicara bisnis dengan serius. Sebelumnya Zen memanggil Kayla melalui pesan pribadi untuk ke ruang kerjanya. Ternyata lelaki itu meminta saran dari Kayla mengenai produk mereka yang baru. Tetapi, Kayla justru menyarankan, "hal seperti ini hanya Irena yang mengerti. Kenapa tidak kau panggil Irena untuk berdiskusi?" Jelas saja Kayla dengan sengaja mengatakan hal tersebut. Tapi juga bukan tanpa alasan, karena memang Irena lebih paham dengan apa yang ingin Zen diskusikan daripada dirinya. Zen terdiam membeku. Perkataan Kayla tidak ada salahnya, tetapi dia menghindari Irena untuk alasan pribadi. Terdenga tidak profesional memang. Itu cukup sulit bagi Zen yang masih memiliki muka untuk malu di hadapan mantan kekasihnya. Zen mengepalkan tangan. Dia tidak suka dengan situasi yang merugikan dirinya sendiri.
Kayla baru tiba di apartemennya ketika melihat seseorang duduk dengan angkuh di sofa. "Ayah?" panggilnya ragu sekaligus heran. "Duduklah." Pria baya itu meski tidak banyak bicara, tapi menyeramkan bagi Kayla sebagai anak. "Ayah tidak akan lama di sini."Kayla menurut tanpa mengganti pakaiannya dulu. Kedatangan ayahnya ke sini tidak pernah dia sangka. Ayahnya yang super sibuk tidak mungkin mampir dengan basa-basi apalagi hanya untuk melihat keadaan anak tunggalnya. "Bagaimana dengan karirmu di kantor itu?" tanya ayahnya. Kayla menjawab seadanya dengan jujur bahwa semua berlalu dengan baik. "Kudengar kau dekat dengan Zen."Sebuah pertanyaan yang sedikit mengejutkan Kayla. Dari mana ayahnya ini tahu hubungannya dengan Zen? Mungkinkah rumor tentang mereka sudah beredar? Tapi dia tidak pernah mendengar gosip apa pun selama di kantor. "Kami tidak sedekat yang ayah kira." "Begitukah?" Ayah tampak meragukannya. "Tapi mengapa ayah sering melihat Zen keluar masuk apartemenmu?""Ya karena
Di kantor, Kayla berani menampakan wajahnya di sekitar Irena. Hubungan mereka benar-benar renggang. Bahkan ketika berpapasan, Irena tidak sudi menyapanya. Begitu juga dengan Kayla yang mendadak canggung dengan lidah yang lebih kaku barang untuk membuka suara pada Irena. Seperti ada jarak tak kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun masalah pribadi tidak pernah diceritakan pada siapapun, sikap mereka disadari rekan satu divisi yang mengira-ngira bahwa dua sahabat itu sedang berselisih. Salah satu rekan kerja juga sempat bertanya pada Irena saat makan siang. Namun, Irena tidak menanggapi dengan jelas. Irena tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Cukup mereka bertiga yang tahu aib tersebut. Oh, bahkan, Irena masih sangat berbaik hati pada Kayla dan Zen dengan tidak mengumbar perselingkuhan mereka. Jika saja Irena lemes mulut, sudah sejak tadi gosip buruk tentang dua orang itu tersebar ke seluruh karyawan. Mungkin saja ada pihak yang akan membela Irena. Atau mungk
Liliana diam-diam menaruh curiga pada Yohan. Hari ini dia melihat Yohan di kampus. Karena tidak ada jadwal kelas, Yohan hanya mampir ke ruang dosen sambil membawa map berisi kertas putih. Liliana sudah mengikutinya dan memperhatikan dari belakang. Setelah keluar dari ruang dosen, Yohan langsung meninggalkan kampus. Pemuda itu tidak seperti teman-teman lain yang akan nongkrong dulu dan menghabiskan waktu di organisasi. Langkah Liliana terus mengikuti ayunan kaki Yohan. Tetapi dia sejenak kebingungan ketika melihat Yohan segera pergi menggunakan sepeda. Membuat Liliana tertinggal. Sedangkan mobilnya terparkir agak jauh dari sini. Tapi Liliana mencoba tidak menyerah. Dia berlari cepat menuju mobilnya setelah mengetahui belokan arah sepeda Yohan. Dengan sedikit tergesa-gesa Liliana mengikuti jejak Yohan sambil berharap belum kehilangan arah lelaki itu. Liliana hanya penasaran terhadap Yohan. Karena lelaki itu sama sekali tidak tertarik berdekatan dengan wanita. Sementara dirinya menaruh
Irena sudah teler. Dia terlalu banyak minum alkohol setelah makan malamnya habis. Mereka masih di kedai dengan duduk paling pojok ruangan. Irena mungkin tidak dapat mencurahkan keluh kesah yang sekarang dialaminya kepada Yohan. Irena memendam sakit hati itu dalam diam. Terlalu sakit untuk diceritakan. Itu sama saja dengan mengingat kembali kejadian laknat yang disaksikannya secara tidak sengaja. Irena tidak mau mengingatnya lagi. Dia ingin melupakan dua orang itu. Membuang mereka dari hidupnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak pernah ada di kehidupan Irena. Tidak sudi berteman dengan seorang pengkhianat. Tidak sudi pula menjalin hubungan dengan lelaki brengsek. Hari Irena menangis deras di dalam relung. Hanya kalimat racauan yang terucap di bibirnya secara tidak jelas. Lidah Irena terasa kelu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia sebenarnya sesak dan ingin menumpahkan amarah ini atau setidaknya curhat. Namun, sekali lagi, Irena tidak bisa melakukannya. Apalagi curhat pada Yohan. Ir
Ada perasaan sedikit lega ketika hadir di kantor hari ini. Karena Irena tidak harus bertemu dengan Kayla di samping mejanya. Kalau pun bertemu juga tidak Irena hiraukan keberadaannya. Si pengkhianat itu tidak pantas mendapat sapaan ramah darinya seperti biasa. Hubungan persahabatan mereka putus bak tapi yang dipotong pisau tajam. Irena bahkan tidak sudi jika mereka bekerja berdampingan. Tetapi mereka satu divisi, tidak akan selamanya mereka saling menghindar. Pasti akan ada momen yang mempertemukan mereka dalam kerja sama pekerjaan. Hanya melakukan pekerjaan dengan profesional meski kebencian itu Irena pendam di dalam dada.Selama duduk di depan komputernya saat ini, Irena merasa ingin sekali mengacak-acak meja Kayla yang berada tepat di sampingnya. Rasa ingin mengacaukan semua berkas yang tersimpan di meja itu mungkin akan membuatnya senang. Irena menyeringai lebar dalam hati saat membayangkan dia menghambur-hamburkan tumpukan kertas kerja Kayla lalu membuangnya dari rooftop kantor,
Irena membuka matanya, bahkan sebelum alarm berbunyi. Jendela di sampingnya sudah menampakan langit pagi. Namun, pagi ini terasa sangat kosong. Sekosong suasana hatinya yang tak memiliki rasa apapun lagi. Pikirannya juga kosong. Kejadian semalam membuat mental Irena down. Rasanya berat untuk memulai hari, apalagi sampai pergi ke kantor lalu bertemu dengan pengkhianat. Malas sekali. Moodnya benar-benar sangat buruk hari ini. Samar-samar dia mendengar suara Yohan memasak di dapur. Pemuda itu rajin sekali dalam hal menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tetapi, Irena tidak merasa lapar sama sekali saat ini. Perutnya seolah sudah penuh walaupun semalam tidak diisi makanan apapun. Yang dia lakukan sekarang hanya melamun. Melamun dan melamun dengan menyedihkan. Tiba-tiba bayangan semalam terlintas kembali di benaknya, dan Irena menahan napas. Rasanya menyesakkan. Sakit sekali di hati. Seolah ada lubang besar di dalam relungnya dan angin berembus keluar masuk dengan bebas. Sampai-sampai s
***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil