Bab Dua: Kecemburuan
***
Ting!
Dering notifikasi pesan masuk. Ponsel di meja rias tampak berkedip-kedip. Irena berhenti mengeringkan rambutnya dengan hair dryer, dan beralih meraih ponsel pintar. Membaca satu nama kontak tertera di layar, Irena melonjak senang. Buru-buru dia membuka pesan masuk dari kontak bernama Zen.
'Kau sedang apa? Aku merindukanmu!' Begitulah isi pesan dari Zen. Seorang pria yang telah menjadi kekasihnya. Irena dengan cepat mengetikkan balasan. Mengatakan bahwa dia juga merindukannya. Long distance relationship membuat mereka tidak dapat bertemu tatap muka lagi selama dua bulan ini. Sejenak Irena dan Zen saling mengucapkan kata rindu mereka dalam kalimat pesan singkat.
Sementara itu di dapur, Yohan baru saja selesai mencuci piring sebelum beralih pada oven. Dia memakai sarung tangan tebal saat menarik keluar loyang dari oven untuk dipindahkan ke meja. Beberapa camilan cookies terlihat berbaris rapi di permukaan loyang. Tampak renyah dan menggiurkan. Lalu dia menyiapkan piring. Memindahkan satu per satu cookies buatannya menjadi susunan piramida di atas piring. Kemampuannya dalam hal memasak bukan hal baru bagi Yohan. Dia mahir di dapur, mandiri, dan kelihatan normal...
Selesai menyusun cookies, dia membawa piring itu ke meja depan televisi. Lalu menarik langkah ke arah pintu kamar Irena yang tertutup rapat. Yohan langsung membukanya tanpa mengetuk. Dari pintu, dia melongok ke dalam. Yang dia lihat rupanya wanita itu sedang senyam-senyum dengan ponselnya di depan cermin rias. Yohan tertarik untuk mengetahui alasan Irena tersenyum, pada siapa? "Irena, aku membuat cookies. Apa kau mau?" tawar Yohan. Secara tak langsung menegur keasikan Irena yang tak menyadari dirinya membuka pintu.
"Oh ya??" Irena menoleh bersemringah. Yohan selalu tahu bagaimana menarik perhatian wanita itu. Cookies adalah camilan kesukaan Irena. Kontan saja dia bangkit dengan semangat dan berderap keluar kamar. Yohan tidak segera menyusul. Tatapannya tertuju pada ponsel milik Irena yang ditinggalkan di meja rias. Didorong rasa penasaran, Yohan mengambil ponsel itu. Mencari penyebab Irena tersenyum-senyum mencurigakan. Yohan tidak perlu lama menjelajah ponsel, karena begitu layar menyala tiba-tiba, pesan masuk dari Zen muncul seketika. Dan Yohan membaca semua isi pesan itu. Menggulirkan layar ke atas, membaca dengan gerak mata cepat, lalu mengusap layar ke bawah hingga pada pesan terakhir yang baru masuk. Kini, Yohan menemukan jawabannya.
Di pesan baru itu tertulis: kapan kita bisa bertemu lagi berdua? Aku ingin segera memelukmu.
Yohan merasa jijik dengan kalimat itu. Ide lain membuat jemarinya bergerak di atas keyboard. Yohan membalas pesan itu!
'Aku sebetulnya sudah muak denganmu! Jangan pernah mencariku! Peluk saja wanita lain!'
Yohan sadis. Dan Yohan dengan lancang -atas kesadaran penuh- dia mengutuk si pengirim pesan dengan ujaran kebencian. Tentu saja karena nomor ini milik Irena, Zen pasti mengira yang menulis pesan ini adalah Irena. Hal tersebut bisa menjadi awal sebuah peperangan. Begitulah mulanya terjadi adudomba. Yohan menyeringai senang. Membayangkan pria bernama Zen ini akan benar-benar menjauhi Irena.
Di lain sisi, Irena sedang tertawa menonton acara teve komedi sambil mengemil cookies. Benar-benar nyaman dan damai. Meksipun di luar jendela menunjukkan hujan turun di langit malam dengan intensitas rendah. Tawa Irena berhenti ketika tubuh Yohan berdiri tiba-tiba di depannya. Menghalangi pandangan Irena dari televisi. Irena kesal. Lantas melirik Yohan dengan tajam. "Ih! Minggir!" protes Irena.
Yohan tetap bergeming. Sementara Irena memiringkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri, berusaha tidak ingin melewatkan adegan di televisi. Namun, pemuda itu tidak juga berpindah dari hadapannya. Membuat kejengkelan Irena meningkat. Alisnya sudah naik sebelah saat mendeliki Yohan. "Apa maumu, Yohan?"
"Apa kau dan Zen masih berkomunikasi?" tanya Yohan. Dia tahu tentang Zen walau tidak pernah bertemu secara langsung. Zen adalah teman sekampus Irena dulu bersama Kayla. Hanya Kayla yang pernah bertemu dengannya saat pertama kali main ke rumah, menjemput Irena.
Wanita itu mendongak. Baginya, tumben sekali Yohan membicarakan tentang Zen. Biasanya dia tidak pernah membahas orang lain. "Zen? Tentu saja kami masih berkomunikasi," jujur Irena. Tanpa tahu maksud tersembunyi Yohan bertanya demikian. "Kenapa?" timpal Irena.
"Apa ada seseorang yang kau sukai?" Yohan mengajukan tanya lagi. Membuat Irena seakan sedang diinterogasi. Keningnya mengeryit heran. Tetapi dia segera teringat tentang si pengirim pesan tadi, Zen. Ekspresi wajahnya berubah seketika menjadi tampak santai. "Aku tidak tahu apakah aku menyukainya atau hanya sekadar mengagumi," ucap Irena.
"Jangan menyukainya!" tegas Yohan. Irena tersentak. "Apa maksudmu?" tanyanya polos. "Dia orang yang baik, bagaimana aku tidak menyukainya."
Seketika raut Yohan berubah mendung. Dia tidak kelihatan tegang seperti tadi lagi. Melainkan nampak sedih dilihat mata Irena. "Kau tidak peduli lagi padaku..." lirih Yohan melemas. Irena paham, ada kesalahpahaman yang tidak dimengerti Yohan. Akhirnya Irena berdiri. Meraih kedua tangan lelaki itu dengan lembut. Irena mengenal adik tirinya ini. Meskipun mereka tidak sedarah, Irena memiliki tanggung jawab pada Yohan sebagai kakak. "Yohan," panggil Irena pelan. Mereka harus bicara dari hati ke hati. "Tatap mataku dan dengarkan aku," pinta Irena dengan suara yang stabil.
Yohan butuh perhatian darinya. Irena berpikir kalau lelaki ini belum sepenuhnya terlepas dari trauma masa lalu. Maka dengan sabar, Irena meladeni gejolak emosi Yohan. Hanya itu satu-satunya cara agar dia tenang lagi. Hanya dirinya yang bisa meredakan amarah Yohan. Dan lelaki itu selalu menuruti perkataan Irena selama tidak bertentangan dengan hatinya. Yohan menggeser pandangannya dan menatap tepat ke iris hazel milik Irena.
"Aku tidak suka kau dekat dengan lelaki lain kecuali itu untuk pekerjaan," bisik Yohan melembut. Irena menarik senyuman ringan. "Tentu saja, Yohan. Kami rekan kerja dan teman yang konyol. Jangan marah lagi, ya?" sahut Irena, menggenggam kedua tangan lelaki ini. Memberi kekuatan bahwa dia tidak akan meninggalkan Yohan sendirian. Benar, itulah yang Irena pikirkan jika Yohan takut ditinggalkan. Oleh karena itu Yohan bersikap posesif kepadanya. Inilah yang dapat Irena asumsikan mengenai Yohan, berdasarkan masa lalu itu.
"Dapatkah kau berjanji kepadaku?" pinta Yohan. Menunjukkan jari kelingkingnya. Irena melihat itu dan tersenyum. "Um! Aku berjanji," katanya sembari mengaitkan kelingkingnya ke jari Yohan. Mengikat janji ala anak kecil yang selalu mereka lakukan sejak anak-anak.
"Aku ingin tidur bersamamu," ujar Yohan lagi. "Baiklah. Mari kita tidur." Irena tidak bisa menolak. Yohan harus dimanjakan. Karena kejadian ini membuat Irena merelakan melewatkan acara komedi kesukaannya. Mereka segera masuk ke kamar Irena dan berbaring di kasur tipe single itu, dengan selimut menutupi pundak keduanya. Mereka berbaring miring dengan saling berhadapan. Irena belum menutup matanya ketika memperhatikan wajah Yohan dari jarak sedekat ini. "Waktu begitu cepat berlalu," gumam Irena. Sedangkan tatapan Yohan tak sekali pun berpaling dari wajah Irena. "Kau begitu cepat tumbuh. Padahal dulu kau masih bisa kupeluk." Irena terkekeh.
"Oh... Kau tidak bisa tidur memelukku lagi dengan tubuh kecilmu itu. Sekarang giliran aku yang tidur memelukmu semalaman," balas Yohan sembari memeluk Irena bak guling dengan erat. "Ya... Sekarang giliranmu menggantikanku," bisik Irena di leher lelaki itu. Dia tersenyum kecil. Bahagia. Yohan tidak lagi marah. Dia berhasil meredakan kecemburuan Yohan dengan memanjakannya seperti ini. Yah... Irena pikir yang dilakukannya ini hanya memanjakan. Tapi dia tidak peka terhadap degupan jantung yang berdebar nyaman. Malam ini, Irena tertidur nyenyak di dalam pelukan Yohan.
***
Authors note: Hai! Terima kasih sudah membaca cerita ini! Kuharap betah ya. Jangan sungkan beri komentar.
***Flashback.Irena sudah menunggu kedatangan orang tuanya -yang katanya akan pulang hari ini dari rumah nenek. Ketika dia mendengar pintu rumah dibuka dan membuatnya bergegas keluar kamar, Irena terdiam melihat orang tuanya datang tidak berdua. Melainkan seorang anak laki-laki turut serta bersama mereka. Irena terbengong. Anak siapa yang mereka bawa itu?Anak laki-laki itu kelihatan lesu. Wajahnya yang menunduk, menunjukkan kesedihan. Membuat Irena merasa kasihan."Dia anak sahabat ibu. Ayo kuantar ke kamarmu," kata ibu. Anak itu berjalan melewati Irena. Mengekori sang ibu menuju kamar -yang kebetulan mereka memiliki tiga kamar di mana satunya kosong. Saat itu Irena melempar tanya pada sang ayah. "Ayah, siapa anak itu? Aku tak mengenalnya," ujar Irena. Tidak ada wajah anak itu di dalam memori Irena tentang sanak-saudara dari pihak ibu maupun ayah. Irena mengetahui dan mengenal hampir semua saudara sepupunya. Tapi tidak untuk anak laki-
***Pagi itu, rombongan pria berjas berjalan masuk dari pintu lobi kantor. Irena yang kebetulan lewat di jembatan lantai dua, sejenak berhenti sambil memegang berkas. Pandangannya teralihkan oleh kedatangan mereka di lantai lobi. Namun Irena hanya terpaku tatapannya pada satu pria di barisan ke dua, tepat di belakang pria yang diketahui sebagai direktur utama atasan mereka. Samar senyum Irena mengembang. Lalu dia melanjutkan langkahnya lagi. Kembali ke meja kerjanya.Setengah jam kemudian, email muncul di pojok layar komputernya. Sebuah kalimat perintah dari atasan tertera di sana: datang segera ke ruangan saya! Anehnya Irena sama sekali tidak merasa ketar-ketir disuruh datang ke ruangan general manajer itu. Justru dengan hati senang dia bangkit dari kursi. Irena melangkah dengan ringan di koridor kantor menuju ruangan GM. Hanya bersebrangan lorong. Setelah berjalan lurus, Irena berhenti di depan pintu kayu hitam.Diketu
***Lumatan demi lumatan terus menghajar bibir ranum Irena sejak beberapa detik lalu. Kedua tangan besar pria itu bertengger manis di pinggang ramping Irena yang punggungnya sudah terdesak ke deretan rak buku. Suasana sepi dan tenang semakin mendukung aksi penuh gairah dua sejoli di ruang kerja pria berdasi itu. "Aku membutuhkanmu Irena," bisik Zen seduktif di sela ciumannya. Irena tertegun seraya kedua tangannya turun skeptis dari leher pria ini, dan pria bernama lengkap Kim Zen itu melepaskan tautan bibir mereka. Mata tajam Zen memandang wajah wanitanya. Menunggu jawaban Irena.Untuk kesekian kalinya kalimat serupa menyapa telinga Irena selama enam bulan mereka berpacaran namun selalu dia tolak. Pria itu tak pernah memaksa. Irena sendiri sangat mengerti maksud dari kata-kata itu.Bukankah wajar jika mereka melakukannya atas suka sama suka? Tapi selama dua puluh empat tahun hidup, Irena belum pernah tidur dengan pria mana pun. Dia akui kalau Zen adalah
Irena tidak bisa tidur dengan nyaman. Pertengkaran dengan Yohan tadi membuatnya gelisah. Rasa lelah bercampur khawatir telah melenyapkan kantuk di matanya. Irena melirik jam digital di atas nakas. Sudah pukul satu dini hari. Irena terkadang berganti posisi tidur, mencari posisi ternyaman, namun tidak juga membuatnya mengantuk. Sebal, Irena bangun. Dia merasa harus minta maaf dengan baik pada Yohan sekarang agar dapat tidur dengan nyenyak.Irena keluar kamar. Suasana ruang tengah tidak berubah. Namun dia tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Yohan di tengah keheningan ini. Irena mencoba membuka pintu kamarnya yang berada tepat di seberang. Kamar itu kosong. Jika benar kini Yohan pergi dari rumah, maka Irena tidak suka seperti ini. Ada rasa khawatir di dalam benak Irena sekarang. "Yohan!" teriaknya cemas.Di sini Irena tahu dirinya sumber pertengkaran mereka semalam. Irena sadar bahwa dia salah. Merasa bersalah, dan dia perlu minta maaf pada Yohan lal
***Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena."Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard."Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat
***Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
Irena sedang presentasi di depan manajer devisi ketika seharusnya Kayla hadir di sana untuk membahas pekerjaan ini bersama. Namun, saat ini Kayla sedang berada di ruang kerja Zen. Mereka berbicara bisnis dengan serius. Sebelumnya Zen memanggil Kayla melalui pesan pribadi untuk ke ruang kerjanya. Ternyata lelaki itu meminta saran dari Kayla mengenai produk mereka yang baru. Tetapi, Kayla justru menyarankan, "hal seperti ini hanya Irena yang mengerti. Kenapa tidak kau panggil Irena untuk berdiskusi?" Jelas saja Kayla dengan sengaja mengatakan hal tersebut. Tapi juga bukan tanpa alasan, karena memang Irena lebih paham dengan apa yang ingin Zen diskusikan daripada dirinya. Zen terdiam membeku. Perkataan Kayla tidak ada salahnya, tetapi dia menghindari Irena untuk alasan pribadi. Terdenga tidak profesional memang. Itu cukup sulit bagi Zen yang masih memiliki muka untuk malu di hadapan mantan kekasihnya. Zen mengepalkan tangan. Dia tidak suka dengan situasi yang merugikan dirinya sendiri.
Kayla baru tiba di apartemennya ketika melihat seseorang duduk dengan angkuh di sofa. "Ayah?" panggilnya ragu sekaligus heran. "Duduklah." Pria baya itu meski tidak banyak bicara, tapi menyeramkan bagi Kayla sebagai anak. "Ayah tidak akan lama di sini."Kayla menurut tanpa mengganti pakaiannya dulu. Kedatangan ayahnya ke sini tidak pernah dia sangka. Ayahnya yang super sibuk tidak mungkin mampir dengan basa-basi apalagi hanya untuk melihat keadaan anak tunggalnya. "Bagaimana dengan karirmu di kantor itu?" tanya ayahnya. Kayla menjawab seadanya dengan jujur bahwa semua berlalu dengan baik. "Kudengar kau dekat dengan Zen."Sebuah pertanyaan yang sedikit mengejutkan Kayla. Dari mana ayahnya ini tahu hubungannya dengan Zen? Mungkinkah rumor tentang mereka sudah beredar? Tapi dia tidak pernah mendengar gosip apa pun selama di kantor. "Kami tidak sedekat yang ayah kira." "Begitukah?" Ayah tampak meragukannya. "Tapi mengapa ayah sering melihat Zen keluar masuk apartemenmu?""Ya karena
Di kantor, Kayla berani menampakan wajahnya di sekitar Irena. Hubungan mereka benar-benar renggang. Bahkan ketika berpapasan, Irena tidak sudi menyapanya. Begitu juga dengan Kayla yang mendadak canggung dengan lidah yang lebih kaku barang untuk membuka suara pada Irena. Seperti ada jarak tak kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun masalah pribadi tidak pernah diceritakan pada siapapun, sikap mereka disadari rekan satu divisi yang mengira-ngira bahwa dua sahabat itu sedang berselisih. Salah satu rekan kerja juga sempat bertanya pada Irena saat makan siang. Namun, Irena tidak menanggapi dengan jelas. Irena tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Cukup mereka bertiga yang tahu aib tersebut. Oh, bahkan, Irena masih sangat berbaik hati pada Kayla dan Zen dengan tidak mengumbar perselingkuhan mereka. Jika saja Irena lemes mulut, sudah sejak tadi gosip buruk tentang dua orang itu tersebar ke seluruh karyawan. Mungkin saja ada pihak yang akan membela Irena. Atau mungk
Liliana diam-diam menaruh curiga pada Yohan. Hari ini dia melihat Yohan di kampus. Karena tidak ada jadwal kelas, Yohan hanya mampir ke ruang dosen sambil membawa map berisi kertas putih. Liliana sudah mengikutinya dan memperhatikan dari belakang. Setelah keluar dari ruang dosen, Yohan langsung meninggalkan kampus. Pemuda itu tidak seperti teman-teman lain yang akan nongkrong dulu dan menghabiskan waktu di organisasi. Langkah Liliana terus mengikuti ayunan kaki Yohan. Tetapi dia sejenak kebingungan ketika melihat Yohan segera pergi menggunakan sepeda. Membuat Liliana tertinggal. Sedangkan mobilnya terparkir agak jauh dari sini. Tapi Liliana mencoba tidak menyerah. Dia berlari cepat menuju mobilnya setelah mengetahui belokan arah sepeda Yohan. Dengan sedikit tergesa-gesa Liliana mengikuti jejak Yohan sambil berharap belum kehilangan arah lelaki itu. Liliana hanya penasaran terhadap Yohan. Karena lelaki itu sama sekali tidak tertarik berdekatan dengan wanita. Sementara dirinya menaruh
Irena sudah teler. Dia terlalu banyak minum alkohol setelah makan malamnya habis. Mereka masih di kedai dengan duduk paling pojok ruangan. Irena mungkin tidak dapat mencurahkan keluh kesah yang sekarang dialaminya kepada Yohan. Irena memendam sakit hati itu dalam diam. Terlalu sakit untuk diceritakan. Itu sama saja dengan mengingat kembali kejadian laknat yang disaksikannya secara tidak sengaja. Irena tidak mau mengingatnya lagi. Dia ingin melupakan dua orang itu. Membuang mereka dari hidupnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak pernah ada di kehidupan Irena. Tidak sudi berteman dengan seorang pengkhianat. Tidak sudi pula menjalin hubungan dengan lelaki brengsek. Hari Irena menangis deras di dalam relung. Hanya kalimat racauan yang terucap di bibirnya secara tidak jelas. Lidah Irena terasa kelu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia sebenarnya sesak dan ingin menumpahkan amarah ini atau setidaknya curhat. Namun, sekali lagi, Irena tidak bisa melakukannya. Apalagi curhat pada Yohan. Ir
Ada perasaan sedikit lega ketika hadir di kantor hari ini. Karena Irena tidak harus bertemu dengan Kayla di samping mejanya. Kalau pun bertemu juga tidak Irena hiraukan keberadaannya. Si pengkhianat itu tidak pantas mendapat sapaan ramah darinya seperti biasa. Hubungan persahabatan mereka putus bak tapi yang dipotong pisau tajam. Irena bahkan tidak sudi jika mereka bekerja berdampingan. Tetapi mereka satu divisi, tidak akan selamanya mereka saling menghindar. Pasti akan ada momen yang mempertemukan mereka dalam kerja sama pekerjaan. Hanya melakukan pekerjaan dengan profesional meski kebencian itu Irena pendam di dalam dada.Selama duduk di depan komputernya saat ini, Irena merasa ingin sekali mengacak-acak meja Kayla yang berada tepat di sampingnya. Rasa ingin mengacaukan semua berkas yang tersimpan di meja itu mungkin akan membuatnya senang. Irena menyeringai lebar dalam hati saat membayangkan dia menghambur-hamburkan tumpukan kertas kerja Kayla lalu membuangnya dari rooftop kantor,
Irena membuka matanya, bahkan sebelum alarm berbunyi. Jendela di sampingnya sudah menampakan langit pagi. Namun, pagi ini terasa sangat kosong. Sekosong suasana hatinya yang tak memiliki rasa apapun lagi. Pikirannya juga kosong. Kejadian semalam membuat mental Irena down. Rasanya berat untuk memulai hari, apalagi sampai pergi ke kantor lalu bertemu dengan pengkhianat. Malas sekali. Moodnya benar-benar sangat buruk hari ini. Samar-samar dia mendengar suara Yohan memasak di dapur. Pemuda itu rajin sekali dalam hal menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tetapi, Irena tidak merasa lapar sama sekali saat ini. Perutnya seolah sudah penuh walaupun semalam tidak diisi makanan apapun. Yang dia lakukan sekarang hanya melamun. Melamun dan melamun dengan menyedihkan. Tiba-tiba bayangan semalam terlintas kembali di benaknya, dan Irena menahan napas. Rasanya menyesakkan. Sakit sekali di hati. Seolah ada lubang besar di dalam relungnya dan angin berembus keluar masuk dengan bebas. Sampai-sampai s
***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil