***
Pagi itu, rombongan pria berjas berjalan masuk dari pintu lobi kantor. Irena yang kebetulan lewat di jembatan lantai dua, sejenak berhenti sambil memegang berkas. Pandangannya teralihkan oleh kedatangan mereka di lantai lobi. Namun Irena hanya terpaku tatapannya pada satu pria di barisan ke dua, tepat di belakang pria yang diketahui sebagai direktur utama atasan mereka. Samar senyum Irena mengembang. Lalu dia melanjutkan langkahnya lagi. Kembali ke meja kerjanya.
Setengah jam kemudian, email muncul di pojok layar komputernya. Sebuah kalimat perintah dari atasan tertera di sana: datang segera ke ruangan saya! Anehnya Irena sama sekali tidak merasa ketar-ketir disuruh datang ke ruangan general manajer itu. Justru dengan hati senang dia bangkit dari kursi. Irena melangkah dengan ringan di koridor kantor menuju ruangan GM. Hanya bersebrangan lorong. Setelah berjalan lurus, Irena berhenti di depan pintu kayu hitam.
Diketuknya pintu itu tiga kali dan kemudian memutar pegangan pintunya. Irena melangkah ke dalam. Seketika tangannya ditarik. Sesaat membuat Irena tersentak sebelum punggungnya membentur dinding, dan dalam sekejap dia sudah terkurung oleh tubuh seorang pria tadi. Mata Irena membeliak kaget. "Zen..." bisiknya. Irena tidak menduga Zen akan langsung menyudutkannya di kantor. Mata dan rahang Zen yang terkatup rapat malah membuat Irena ketakutan. Pria itu kelihatan sedang menahan amarah.
"Irena," buka Zen. "Apa yang kau katakan semalam itu sungguhan?" tanyanya.
Semalam? Memangnya dia mengirimkan kata-kata apa? Irena merasa tidak mengirim kata-kata yang akan menyakiti perasaan Zen. Justru sebaliknya. Mereka berkirim pesan dengan sangat manis. "Apa maksudmu, Zen?" Irena tidak mengerti. Oleh sebab itu dia bertanya sepolos ini. Namun, pertanyaan itu menambah kegeraman Zen. Zen memukul tembok di samping kepala Irena, yang seketika wanita itu terlonjak bahunya. Kemudian Zen menarik napas, menarik langkah mundur, dan dia tampak frustasi. "Jangan pura-pura tidak tahu, Irena!" geramnya.
Irena semakin terbengong. Sungguh, dia tidak paham. Setelah dua bulan tidak bertemu, bukannya sambutan hangat, pertengkaran mewarnai pertemuan mereka. Irena tidak suka bertengkar. Dia tidak ingin tersudutkan oleh sesuatu yang tidak dia ketahui. Irena menegakkan tubuh dengan berani. "Jelaskan padaku, apa yang membuatmu marah kepadaku?"
Zen mendengus. Tertawa sinis. "Kenapa kau ingin putus dariku?" tandas Zen gemas. Barulah Irena sedikit paham. "Putus?" Tetap saja berusaha memahami, Irena tidak mendapatkan potongan puzzle lainnya di otak. Irena juga gemas dengan Zen yang tidak bicara to the point.
"Irena apa kau mengidap demensia? Kau sendiri yang mengirim pesan padaku dan sekarang kau bersikap seolah tidak terjadi apa-apa?"
"Pesan? Tunggu sebentar," tahan Irena. Lantas dia mengambil gawainya dari saku blazer. Membuka aplikasi chatting dan memeriksa pesan semalam. Saat itu dia tertegun. Irena terdiam mematung membaca pesan di balon chat terakhir. Sekarang dia tahu penyebab Zen marah-marah padanya. Bukan tanpa sebab, jelas.
"Yang mengetik ini bukan aku."
"Lalu siapa? Hantu?" balas Zen kesal. Irena memutar ulang memorinya bagai film yang diputar mundur. "Tunggu, kalau bukan kau..." Zen menyadari sesuatu. Zen sudah kenal Irena lama. Tidak mungkin juga Irena bersikap seperti kasar seperti itu dalam chat semalam. Zen merasa sedang diadu domba.
"Aku punya dugaan," kata Irena. Dia menyimpulkan sesuatu. Zen mendengarkan dengan seksama. "Kemungkinan besar yang melakukan ini adalah Yohan, adikku," ucap Irena.
"Adikmu?" Zen membeo heran. "Kau punya adik laki-laki?" Terdengar sekali kalau dia tidak tahu menahu tentang adik laki-laki Irena. Irena mengangguk. "Aku sudah pernah cerita kan? Dulu sekali tentang anak kecil yang dibawa orang tuaku," kata Irena mengingatkan.
"Ah..." Zen ingat. Irena hanya bercerita tentang anak itu satu kali saja sewaktu mereka masih anak kuliahan. Hampir saja dia lupa kalau tidak diingatkan. Beruntung dia punya ingatan bagus. Ini juga salah dirinya yang tidak mengetahui rupa si adik laki-laki. "Jadi, semalam aku chatingan dengan adikmu?? Kenapa dia usil sekali?" Zen mendengus berat. Sebagai anak tunggal, dia tidak merasakan bagaimana kesalnya seorang kakak ketika dijahili adiknya. Irena meringis. "Aku mewakili adikku minta maaf padamu," ucap Irena tidak enak hati. Diam-diam benaknya mengumpati Yohan. Yohan akan dalam bahaya ketika dia pulang nanti!
"Jadi, yang mengirim pesan itu adikmu? Bukan kau?" Zen bertanya untuk memastikan dengan jelas.
"Tentu saja. Bagaimana mungkin aku memutuskanmu via chat," kata Irena mengukir senyum manisnya. Senyuman yang dapat menghipnotis Zen. Sekali lagi, Zen terpesona karenanya.
***
Di saat yang sama, hidung Yohan mendadak terasa gatal. Hingga secara reflek dia bersin seketika. "Hatchuu!" Lalu dia menggosok hidung bawahnya. "Apa aku flu?" gumamnya pada diri sendiri.
"Yohan!" Panggilan seseorang dari jauh itu membuat Yohan berhenti dan memutar tumit ke belakang. Tampak seorang gadis berlari kecil ke arahnya. Senyum lebarnya terpatri di wajah riang itu.
"Aku mencarimu kemana-mana ternyata kau berkeliaran di taman," kata gadis itu setelah tiba di samping Yohan.
"Ada apa mencariku?" balas Yohan menaikkan sebelah alisnya. Nadanya terdengar dingin dengan muka tak berekspresinya.
"Tentu saja mencari teman, hehehe. Kau mau pergi ke mana sekarang?" sahut gadis itu. Diketahui bernama Liliana. Teman sekelas yang selalu menempel pada Yohan. Lelaki itu tidak menyukai sikap Liliana yang terlalu dekat dengannya. Risih. Namun, bahasa tubuh Yohan mungkin diabaikan oleh Liliana. Sehingga dia seolah bebal. Yohan mendengus berat. "Ke suatu tempat yang tidak boleh dimasuki wanita," jawab Yohan judes.
"Benarkah ada tempat seperti itu?" kata Liliana dengan raut polosnya.
"Tentu saja ada! Pergilah bersama teman-temanmu," usir Yohan.
"Mereka bukan teman yang mengasikan. Hanya kau temanku!" Liliana mengatakannya dengan riang sambil tersenyum tiga jari.
Yohan mengabaikan. Kembali berjalan mendahului. Seperti yang sudah diduga, Liliana menyusul di samping. Yohan berhenti lagi. Menatap tajam pada Liliana. Yang ditatap tetap mempertahankan cengirannya. "Berhentilah mengikutiku, Liliana!" tegas Yohan geram. Tidak peduli jika kata-katanya melukai hati seorang gadis. Kemudian, tanpa menunggu reaksi dari gadis ini, Yohan berbalik pergi. Sementara Liliana hanya dapat mematung melihat punggung Yohan yang semakin jauh.
***
"Ekhm!" Kayla berdeham ketika Irena kembali ke kursinya. "Yang habis berbunga-bunga, aku tahu kau pergi menemui siapa," tambah Kayla.
"Ada apa sih Kayla?" Irena menarik kursinya, menyamankan posisi duduknya dan mulai membuka Microsoft Word yang sudah terisi laporan. Dia berpura-pura tidak mengerti perkataan Kayla. Tapi wanita itu tahu. Kayla menyeringai. "Terlihat sekali di wajahmu lho. Kau tidak bisa membohongiku," goda Kayla lagi seakan belum puas.
"Aku lega masalah kami selesai hari ini," ucap Irena. Sebuah kabar yang menarik perhatian Kayla. Ditatapnya Irena dengan rasa penasaran. "Kalian... Bertengkar?" tebak Kayla, dan Irena mengangguk.
"Ho!" kaget Kayla. Mendengar Irena dan Zen bertengkar adalah sesuatu yang hampir tidak pernah terjadi. Tapi sekarang, hari ini, setelah mereka LDR lumayan lama, pertemuan mereka dibuka dengan pertengkaran? Kayla nyaris tidak percaya. "Akan aku ceritakan nanti," kata Irena.
"Aku menunggu," balas Kayla.
***
***Lumatan demi lumatan terus menghajar bibir ranum Irena sejak beberapa detik lalu. Kedua tangan besar pria itu bertengger manis di pinggang ramping Irena yang punggungnya sudah terdesak ke deretan rak buku. Suasana sepi dan tenang semakin mendukung aksi penuh gairah dua sejoli di ruang kerja pria berdasi itu. "Aku membutuhkanmu Irena," bisik Zen seduktif di sela ciumannya. Irena tertegun seraya kedua tangannya turun skeptis dari leher pria ini, dan pria bernama lengkap Kim Zen itu melepaskan tautan bibir mereka. Mata tajam Zen memandang wajah wanitanya. Menunggu jawaban Irena.Untuk kesekian kalinya kalimat serupa menyapa telinga Irena selama enam bulan mereka berpacaran namun selalu dia tolak. Pria itu tak pernah memaksa. Irena sendiri sangat mengerti maksud dari kata-kata itu.Bukankah wajar jika mereka melakukannya atas suka sama suka? Tapi selama dua puluh empat tahun hidup, Irena belum pernah tidur dengan pria mana pun. Dia akui kalau Zen adalah
Irena tidak bisa tidur dengan nyaman. Pertengkaran dengan Yohan tadi membuatnya gelisah. Rasa lelah bercampur khawatir telah melenyapkan kantuk di matanya. Irena melirik jam digital di atas nakas. Sudah pukul satu dini hari. Irena terkadang berganti posisi tidur, mencari posisi ternyaman, namun tidak juga membuatnya mengantuk. Sebal, Irena bangun. Dia merasa harus minta maaf dengan baik pada Yohan sekarang agar dapat tidur dengan nyenyak.Irena keluar kamar. Suasana ruang tengah tidak berubah. Namun dia tidak mendapati tanda-tanda kehadiran Yohan di tengah keheningan ini. Irena mencoba membuka pintu kamarnya yang berada tepat di seberang. Kamar itu kosong. Jika benar kini Yohan pergi dari rumah, maka Irena tidak suka seperti ini. Ada rasa khawatir di dalam benak Irena sekarang. "Yohan!" teriaknya cemas.Di sini Irena tahu dirinya sumber pertengkaran mereka semalam. Irena sadar bahwa dia salah. Merasa bersalah, dan dia perlu minta maaf pada Yohan lal
***Irena mengecek jam tangannya. Hari kian sore, dan dia merasa melupakan sesuatu yang penting. Kemudian dia mendapat pesan singkat dari Zen. 'Sayang, malam ini kau akan hadir kan di acara reuni? Kayla juga akan ikut. Kita bertemu di basement jika kau setuju.' Sebuah ajakan yang menggiurkan bagi Irena. Sudah lama mereka tidak bertemu lagi setelah LDR itu. Irena merasa tak ingin menyianyiakan kesempatan. Lantas, tak mengulur waktu lagi, dia merapikan meja kerjanya. Jam kerja sudah berakhir di pukul lima sore.Menoleh ke samping, meja kerja Kayla berantakan. Wanita itu belum menandakan akan mengakhiri pekerjaannya. "Kudengar kau akan pergi malam ini," celetuk Irena."Huh? Ya. Tapi mungkin aku akan datang terlambat karena harus menyelesaikan semua berkas ini. Tanggung sekali jika kutinggalkan," sahut Kayla sambil sibuk mengetik dengan cepat di keyboard."Baiklah. Kalau begitu sampai ketemu di acara reuni," pamit Irena. Beranjak dari tempat
***Yohan berhenti di depan gedung klub. Dia memastikan sekali lagi arah GPS-nya. Benar, titik tempat Irena berada ada di dalam gedung ini. Kemudian dia masuk ke dalam klub tanpa hambatan karena sudah cukup umur. Di tengah hingar-bingar klub malam, mata Yohan harus mencari dengan jeli sosok Irena di sini. Menaiki tangga, Yohan pikir akan lebih mudah jika dia memperhatikan ke bawah dari lantai atas.Ketika baru saja dia tiba di anak tangga teratas, pintu di depan itu terbuka dan seorang pria yang tampak dikenalinya keluar, melengos ke jalur lain. Zen! Dengan penasaran Yohan mengikuti jejak Zen. Hingga dia dihadapkan oleh dua lorong remang-remang sementara Zen entah lewat jalur mana. Yohan jadi bingung, kehilangan jejaknya. Pada akhirnya dia memilih jalur kiri. Baru separuh jalan langkahnya terhenti seketika. Tepat di depannya pintu toilet wanita itu terbuka dan menampakkan Irena keluar dari sana. Sedetik setelahnya, Zen menyusul keluar dari tempat yang sa
***Acara sarapan pagi bersama di ruang makan terasa dingin. Yohan tidak membuka suara. Padahal biasanya ada saja yang diobrolkan bersama. Pasti gara-gara semalam. Untuk ke sekian kali Irena melanggar janjinya lagi. Yohan pasti marah. Bisa-bisanya dia melupakan janji Yohan untuk menjemputnya, bahkan tidak mengabari pula kalau akan pergi ke acara reuni! Irena merutuki sifat pelupanya. "Yohan..." buka Irena."Kenapa kau tidak mengabariku semalam?" balas Yohan dengan pertanyaan. Tidak ada nada keramahan dalam ucapannya. Yohan masih marah. Itu wajar, ini kesalahan Irena lagi. "Maafkan aku. Aku lupa sungguh. Di klub itu acara reuni teman-teman kampus," sanggah Irena mengatakan sejujurnya."Lalu, apa yang kau lakukan dengan Zen di toilet wanita?" Yohan menginterogasinya lagi."Zen sedang mabuk saat itu sehingga masuk ke toilet wanita," ucap Irena setengah tidak yakin. Sebabnya dia ingat dengan jelas Zen memeluknya erat dari belakang sam
***Kayla tampak suram di dapur. Dia menyisir rambutnya ke belakang. Tampak acak-acakan. Kemudian menuangkan anggurnya lagi ke gelas. Sudah dua botol anggur dia habiskan hari ini. Kayla stress. Dia merasa bersalah pada Irena. Ini adalah pilihannya sendiri. Untuk itulah Zen mengatakan agar tidak menyesalinya. Benar, menyesalinya, perasaan Kayla terbagi bagai dua mata pisau. Di satu sisi dia tidak dapat menahan diri kepada Zen. Di sisi lain dia sadar telah menusuk Irena dari belakang. Sahabat macam apa itu?Kayla menghela napas panjang. Suara bel apartemennya berbunyi. Kayla meneguk cepat anggurnya lalu beranjak menuju pintu. Ketika memutar pegangan pintunya dan dia membukanya, Kayla tertegun kaget melihat seseorang berdiri di depan. "Zen? Kenapa kau ada di sini?" Kayla melontarkan pertanyaan dengan nada sengit. Gara-gara Zen yang memulai, Kayla jadi harus segalau ini memikirkan persahabatannya dengan Irena. Dasar penggoda berbahaya!"Aku cuma
***Flashback.Irena berlari di bandara disusul Yohan. Dia berhenti di depan papan pengumuman yang sudah didesaki orang-orang. Irena gelisah dan menyelinap paksa hingga tiba di depan papan. Daftar nama yang tertera di papan, dia mencari nama orang tuanya. Irena tercengang. Dia langsung menutup mulutnya dengan tangan. Tidak ingin percaya bahwa ini adalah kenyataan. Yohan baru tiba di sampingnya, dan cekatan menangkap Irena yang limbung. "Irena!" kagetnya."Yohan, ini tidak mungkin kan?" lirih Irena lemas. Yohan kemudian mengarahkan pandangan ke papan nama penumpang. Seperti yang ditakutkan Irena, nama orang tuanya terdaftar dalam peristiwa kecelakaan pesawat hari ini. Yohan lebih tegar dari Irena. Jadi dia menuntun Irena menjauh dari kerumunan dan didudukkan ke salah satu kursi tunggu. Memberikan Irena air mineral agar tenang. "Minumlah dulu," ujar Yohan menyodorkan botol mineral yang tutupnya sudah dibuka.Irena meraihnya dengan tanpa te
***Kedua kelopak mata Irena bergerak membuka. Seperti biasanya, pemandangan pertama yang dia lihat saat bangun tidur, Yohan. Irena terdiam sejenak. Sejak kapan Yohan tidur di sampingnya? Irena tak ingat semalam Yohan tidur bersamanya. Diperhatikannya sekali lagi. Wajah yang sering menampakan kecemburuan itu kelihatan tenang seperti bayi tidur. Irena tersenyum lembut. Dapat dia rasakan dekapan lengan kokoh Yohan di pinggang. Yohan memeluknya sambil berbaring miring.Tiba-tiba Irena teringat percakapan mereka semalam. Yohan menanyakan apakah dirinya sudah pernah tidur dengan Zen? Irena tentu saja menjawabnya dengan jujur. Bahwa dia belum pernah tidur bersama Zen. Setelahnya, Yohan bersemringah. Membuat Irena mengeryit heran melihat reaksinya.Diingatkan dengan jadwal kerja, Irena hendak bangun dengan memindahkan perlahan lengan Yohan dari pinggangnya. Pada saat yang sama suara lenguhan terdengar seiring mata Yohan terbuka pelan. "Kau sudah bangun?" s
Irena sedang presentasi di depan manajer devisi ketika seharusnya Kayla hadir di sana untuk membahas pekerjaan ini bersama. Namun, saat ini Kayla sedang berada di ruang kerja Zen. Mereka berbicara bisnis dengan serius. Sebelumnya Zen memanggil Kayla melalui pesan pribadi untuk ke ruang kerjanya. Ternyata lelaki itu meminta saran dari Kayla mengenai produk mereka yang baru. Tetapi, Kayla justru menyarankan, "hal seperti ini hanya Irena yang mengerti. Kenapa tidak kau panggil Irena untuk berdiskusi?" Jelas saja Kayla dengan sengaja mengatakan hal tersebut. Tapi juga bukan tanpa alasan, karena memang Irena lebih paham dengan apa yang ingin Zen diskusikan daripada dirinya. Zen terdiam membeku. Perkataan Kayla tidak ada salahnya, tetapi dia menghindari Irena untuk alasan pribadi. Terdenga tidak profesional memang. Itu cukup sulit bagi Zen yang masih memiliki muka untuk malu di hadapan mantan kekasihnya. Zen mengepalkan tangan. Dia tidak suka dengan situasi yang merugikan dirinya sendiri.
Kayla baru tiba di apartemennya ketika melihat seseorang duduk dengan angkuh di sofa. "Ayah?" panggilnya ragu sekaligus heran. "Duduklah." Pria baya itu meski tidak banyak bicara, tapi menyeramkan bagi Kayla sebagai anak. "Ayah tidak akan lama di sini."Kayla menurut tanpa mengganti pakaiannya dulu. Kedatangan ayahnya ke sini tidak pernah dia sangka. Ayahnya yang super sibuk tidak mungkin mampir dengan basa-basi apalagi hanya untuk melihat keadaan anak tunggalnya. "Bagaimana dengan karirmu di kantor itu?" tanya ayahnya. Kayla menjawab seadanya dengan jujur bahwa semua berlalu dengan baik. "Kudengar kau dekat dengan Zen."Sebuah pertanyaan yang sedikit mengejutkan Kayla. Dari mana ayahnya ini tahu hubungannya dengan Zen? Mungkinkah rumor tentang mereka sudah beredar? Tapi dia tidak pernah mendengar gosip apa pun selama di kantor. "Kami tidak sedekat yang ayah kira." "Begitukah?" Ayah tampak meragukannya. "Tapi mengapa ayah sering melihat Zen keluar masuk apartemenmu?""Ya karena
Di kantor, Kayla berani menampakan wajahnya di sekitar Irena. Hubungan mereka benar-benar renggang. Bahkan ketika berpapasan, Irena tidak sudi menyapanya. Begitu juga dengan Kayla yang mendadak canggung dengan lidah yang lebih kaku barang untuk membuka suara pada Irena. Seperti ada jarak tak kasat mata yang mereka ciptakan sendiri. Meskipun masalah pribadi tidak pernah diceritakan pada siapapun, sikap mereka disadari rekan satu divisi yang mengira-ngira bahwa dua sahabat itu sedang berselisih. Salah satu rekan kerja juga sempat bertanya pada Irena saat makan siang. Namun, Irena tidak menanggapi dengan jelas. Irena tidak ingin masalah pribadinya diketahui orang lain. Cukup mereka bertiga yang tahu aib tersebut. Oh, bahkan, Irena masih sangat berbaik hati pada Kayla dan Zen dengan tidak mengumbar perselingkuhan mereka. Jika saja Irena lemes mulut, sudah sejak tadi gosip buruk tentang dua orang itu tersebar ke seluruh karyawan. Mungkin saja ada pihak yang akan membela Irena. Atau mungk
Liliana diam-diam menaruh curiga pada Yohan. Hari ini dia melihat Yohan di kampus. Karena tidak ada jadwal kelas, Yohan hanya mampir ke ruang dosen sambil membawa map berisi kertas putih. Liliana sudah mengikutinya dan memperhatikan dari belakang. Setelah keluar dari ruang dosen, Yohan langsung meninggalkan kampus. Pemuda itu tidak seperti teman-teman lain yang akan nongkrong dulu dan menghabiskan waktu di organisasi. Langkah Liliana terus mengikuti ayunan kaki Yohan. Tetapi dia sejenak kebingungan ketika melihat Yohan segera pergi menggunakan sepeda. Membuat Liliana tertinggal. Sedangkan mobilnya terparkir agak jauh dari sini. Tapi Liliana mencoba tidak menyerah. Dia berlari cepat menuju mobilnya setelah mengetahui belokan arah sepeda Yohan. Dengan sedikit tergesa-gesa Liliana mengikuti jejak Yohan sambil berharap belum kehilangan arah lelaki itu. Liliana hanya penasaran terhadap Yohan. Karena lelaki itu sama sekali tidak tertarik berdekatan dengan wanita. Sementara dirinya menaruh
Irena sudah teler. Dia terlalu banyak minum alkohol setelah makan malamnya habis. Mereka masih di kedai dengan duduk paling pojok ruangan. Irena mungkin tidak dapat mencurahkan keluh kesah yang sekarang dialaminya kepada Yohan. Irena memendam sakit hati itu dalam diam. Terlalu sakit untuk diceritakan. Itu sama saja dengan mengingat kembali kejadian laknat yang disaksikannya secara tidak sengaja. Irena tidak mau mengingatnya lagi. Dia ingin melupakan dua orang itu. Membuang mereka dari hidupnya. Bersikap seolah-olah mereka tidak pernah ada di kehidupan Irena. Tidak sudi berteman dengan seorang pengkhianat. Tidak sudi pula menjalin hubungan dengan lelaki brengsek. Hari Irena menangis deras di dalam relung. Hanya kalimat racauan yang terucap di bibirnya secara tidak jelas. Lidah Irena terasa kelu. Napasnya tercekat di tenggorokan. Dia sebenarnya sesak dan ingin menumpahkan amarah ini atau setidaknya curhat. Namun, sekali lagi, Irena tidak bisa melakukannya. Apalagi curhat pada Yohan. Ir
Ada perasaan sedikit lega ketika hadir di kantor hari ini. Karena Irena tidak harus bertemu dengan Kayla di samping mejanya. Kalau pun bertemu juga tidak Irena hiraukan keberadaannya. Si pengkhianat itu tidak pantas mendapat sapaan ramah darinya seperti biasa. Hubungan persahabatan mereka putus bak tapi yang dipotong pisau tajam. Irena bahkan tidak sudi jika mereka bekerja berdampingan. Tetapi mereka satu divisi, tidak akan selamanya mereka saling menghindar. Pasti akan ada momen yang mempertemukan mereka dalam kerja sama pekerjaan. Hanya melakukan pekerjaan dengan profesional meski kebencian itu Irena pendam di dalam dada.Selama duduk di depan komputernya saat ini, Irena merasa ingin sekali mengacak-acak meja Kayla yang berada tepat di sampingnya. Rasa ingin mengacaukan semua berkas yang tersimpan di meja itu mungkin akan membuatnya senang. Irena menyeringai lebar dalam hati saat membayangkan dia menghambur-hamburkan tumpukan kertas kerja Kayla lalu membuangnya dari rooftop kantor,
Irena membuka matanya, bahkan sebelum alarm berbunyi. Jendela di sampingnya sudah menampakan langit pagi. Namun, pagi ini terasa sangat kosong. Sekosong suasana hatinya yang tak memiliki rasa apapun lagi. Pikirannya juga kosong. Kejadian semalam membuat mental Irena down. Rasanya berat untuk memulai hari, apalagi sampai pergi ke kantor lalu bertemu dengan pengkhianat. Malas sekali. Moodnya benar-benar sangat buruk hari ini. Samar-samar dia mendengar suara Yohan memasak di dapur. Pemuda itu rajin sekali dalam hal menyiapkan makanan untuk mereka berdua. Tetapi, Irena tidak merasa lapar sama sekali saat ini. Perutnya seolah sudah penuh walaupun semalam tidak diisi makanan apapun. Yang dia lakukan sekarang hanya melamun. Melamun dan melamun dengan menyedihkan. Tiba-tiba bayangan semalam terlintas kembali di benaknya, dan Irena menahan napas. Rasanya menyesakkan. Sakit sekali di hati. Seolah ada lubang besar di dalam relungnya dan angin berembus keluar masuk dengan bebas. Sampai-sampai s
***Berkali-kali Yohan melirik jam dinding dengan resah. Setelah mengetahui Irena pergi tanpa pemberitahuan, Yohan jadi tidak bisa mengerjakan skripsinya dengan tenang sekarang. Apalagi wanita itu pergi larut malam. Pergi kemana kakak perempuannya itu? Yohan mencoba meneleponnya. Satu kali tidak dijawab, dua hingga lima kali panggilan, tidak kunjung ada jawaban dari pemilik nomor. Yohan khawatir sehingga dia berpikir mungkin telah terjadi sesuatu pada kakak perempuannya itu. Bergegas Yohan mengambil jaket lalu menyambar mantel. Pemuda itu hengkang dari rumah mencari Irena. Di sisi lain, Irena berjalan lunglai. Pandangannya hampa. Bar minuman di pinggir jalan menjadi tempat singgah langkah Irena. Dia memesan wiski pada bartender. Segelas habis, dia meminta tambah sampai beberapa botol berada di mejanya sekarang. Dia butuh melupakan pemandangan yang dia lihat tadi. Sungguh, kalau perlu, terbentur sesuatu dan hilang ingatan itu lebih baik. Tapi Irena tidak suka rasa sakit. Alhasil dia
***Yohan menunggu antrean di rumah sakit. Dia menunduk menatap lantai dengan pandangan hampa. Poninya menjuntai menghalau pandangan. Yohan termenung. Dia bingung dan tidak mengerti dengan perasaan yang dialaminya sekarang. Haruskah rutin konsultasi ke psikiater seperti ini? Yohan merasa tidak membutuhkan psikiater untuk urusan kondisinya saat ini. Hingga kemudian namanya dipanggil, dan Yohan berdiri. Berjalan dengan langkah berat menuju pintu ruangan psikiater. Duduk dihadapan seorang pria baya yang sudah menjadi langganannya dalam untuk mengetahui perkembangan psikisnya tiap seminggu sekali. "Bagaimana perasaanmu selama seminggu ini?" tanya dokter. Papan tulisan bernama George tertera namanya. "Aku merasakan dengan jelas ada pergolakan dalam benakku. Aku seolah harus mendapatkannya, dan aku sangat takut dia pergi seperti kupu-kupu yang terbang jauh. Terkadang aku merasa sangat marah sampai tidak dapat mengendalikan diriku untuk melukai seseorang. Aku takut sampai rasanya menggigil