Di Starbucks, Adelia menatap ponselnya dengan kesal usai menerima telepon dari Abian. Pasalnya mereka janjian berdua setelah berhari-hari sibuk dengan pekerjaan. Adelia sibuk pemotretan sana-sini, sedangkan Abian sedang fokus merancang desain untuk mal besar yang akan dibangun.
"Hari ini aku bawa Evaline soalnya tadi maksa ikut. Kamu keberatan nggak kalo kita pindah ke McD aja? Ini Evaline minta es krim sundae." Kalimat Abian yang membuat kekesalan Adelia naik berkali lipat, sudah berganti lokasi, ditambah ada anak kecil.
Dari awal memang Adelia kurang suka dengan kedua adik tunangannya, terutama Caca yang seakan ingin melahapnya hidup-hidup setiap beradu pandang. Adelia juga bisa merasakan kalau Caca berusaha memisahkan dirinya dengan Abian, entah apa motifnya.
Di samping itu, Adelia juga ingin menguasai Abian sendiri. Dia paham secinta apa Abian pada dirinya yang merupakan teman masa kecil. Terpisah puluhan tahun ternyata tidak membuat Abian melupakan janjinya menjadikan Adelia pacar kalau sudah dewasa.
Mereka sama-sama di Jakarta, tapi Abian baru mengenali Adelia yang terpisah lama. Padahal foto Adelia ada di mana-mana karena merupakan model ternama.
Perempuan yang dikenal Abian kecil bernama Alia, sejak dulu Abian tidak tahu kalau model yang sedang naik daun bernama Adelia adalah Alia yang dicari-carinya.
Alianya dulu adalah gadis sederhana usia sepuluh tahun. Perempuan yang suka memakai jepit Hello Kitty ke mana-mana dan selalu cengeng setiap terjatuh.
Sekarang Adelia menjelma menjadi wanita cantik, anggun, dan sangat memikat. Sebagian kaum adam akan betah berlama-lama menatap kecantikan dan kemolekan tubuh Adelia. Namun, sikapnya berubah emosional dan seringkali memandang rendah orang lain.
Adelia mendecakkan lidah sebelum meninggal Starbucks yang sedang ramai. Dia bergegas menuju Mc Donald terdekat karena Abian sudah tiba di lokasi.
"Kalian sudah lama?" tanya Adelia begitu sampai di MCD dan mendapati bocah kecil sedang melahap rakus es krim vanila dengan topping saus cokelat. Keduanya duduk di bangku pojok berdekatan tembok kaca.
Abian lebih sibuk membersihkan mulut adiknya dengan tisu daripada langsung membalas ucapan tunangannya, barulah mendongak menatap perempuan yang mengenakan dress hitam Balenciaga.
"Belum, Sweetie. Duduk dulu, pesan makanan juga." Abian meminta tunangannya duduk tepat di hadapannya.
Dengan setengah dongkol, Adelia mengambil posisi duduk berhadapan. Harusnya mereka makan berdua sambil bercerita banyak hal, bukan seperti pengasuh anak yang bawelnya memancing emosinya naik ke ubun-ubun.
"Habis ini, Evaline mau ketemu kak Caca." Sekalipun berkali-kali dibersihkan, mulutnya belepotan lagi dan menatap kakaknya penuh harap.
Abian menatap ke arah tunangannya hanya dijawab tatapan sebal, lalu Adelia mengangkat kedua bahu.
Merasa kali ini kencannya akan gagal, Abian tidak mau menambah perempuan yang dicintai makin bete. "Besok lagi, ya, Evaline. Mas janji, deh."
Gadis berusia sepuluh tahun itu langsung menghentikan gerakan tangannya menyendok es krim, dia meletakkan kasar ke meja sehingga menimbulkan bunyi nyaring. Kalau sudah begitu, Abian paham adiknya sulit dibujuk.
"Kamu nggak pesan makan?" Abian sempat melirik Adelia yang tidak memesan apa-apa.
"Aku lagi mengurangi makanan cepat saji dan makanan manis seperti es krim," balasnya dengan senyum sok manis, padahal selera makannya lenyap gara-gara melihat kelakuan bocah kecil.
Abian manggut-manggut, iris mata cokelat terangnya menyorot lembut. "Nanti kita cari di tempat lain. Kamu nggak suka makan di sini?"
Adelia terpaksa pura-pura tersenyum, yang dia tak suka bukan hanya makanan di MCD. Kalau bisa bocah kecil di sebelah Abian diantar pulang daripada mengganggu waktunya.
Evaline yang menatap interaksi keduanya makin menggembungkan pipi kesal. Dia marasa kakaknya mengutamakan Adelia daripada menuruti maunya. Suara dari meja sebelah terdengar berisik, anak kecil merengek minta dibelikan es krim lagi.
"Mas Abian dengar Evaline nggak, sih? Kok malah mengajak bicara Mbak Adelia. Kak Caca bilang Mbak Adelia orang jahat kayak Mak lampir."
Abian langsung menoleh ke arah Evaline, dia tahu kalau Caca tidak setuju memiliki ipar seperti Adelia yang katanya sombong dan matre. Namun, tidak menyangka akan menjejali pikiran anak kecil untuk kepentingannya.
"Evaline!" Abian geleng-geleng.
Kali ini, mata jernih dengan manik kecokelatan milik Adelia sudah membulat mendengar dirinya dilabeli nenek lampir. Sebesar apa pun rasa tak sukanya, Adelia menahan diri tidak mengomeli Evaline di tempat umum agar tidak memancing perhatian. Lebih parah bisa memicu pertengkaran dengan tunangannya.
"Mas mau marah sama aku? Sekarang Mas Abian lebih sayang sama Mbak Adelia. Pokoknya Evaline mau ketemu kak Caca." Evaline makin mendesak, sudah seminggu Caca tidak pulang ke rumah. Sekalipun kalau di rumah sering berantem seperti Tom and Jerry.
Tangan Adelia terulur meraih tas Dior-nya yang berada di kursi sebelah, siap-siap bangkit daripada emosinya semakin melambung tinggi. "Kayaknya Mas urusi dulu Evaline." Dia melirik sinis ke arah calon adik iparnya. "Kita bisa ketemu lain waktu, kalo Mas benar-benar mau jalan berdua."
"Kamu marah?"
Abian menatap perempuan di hadapannya lamat-lamat, menunggu jawaban. Adelia hanya menggeleng, lalu merapikan dress hitamnya. "Nggak marah, Mas. Tapi aku mau kasih Mas waktu bersama Evaline. Lain waktu baru sama aku."
"Aku minta maaf, Sweetie." Abian merasa bersalah sudah mengacaukan acara bertemunya. Dia juga memahami kalau Adelia tidak terlalu suka anak kecil.
Bibir yang dipulas lipstik merah terang mengulum senyum. "It's okay, Mas. Kita masih banyak waktu untuk berduaan."
Abian hendak mengantar tunggangannya, tapi Adelia menolak dengan beralasan sopirnya sudah menjemput.
***
Caca sedang menyelesaikan tulisannya di ruang tengah. Satu toples keripik kentang ditaburi bumbu balado berada di meja, dan tangan Caca masih merogoh toples seraya menjejalkan keripik ke mulut. Dua kucing manis tertidur pulas di sampingnya. Begitu mendengar suara pintu terbuka, ia menoleh kaget mendapati kakaknya datang. "Mas kenapa nggak bilang-bilang mau ke sini?"
Abian memang memiliki kartu akses apartemen Caca sebagai syarat wajib kalau mau diperbolehkan tinggal sendirian. Bagaimanapun Caca perempuan dan baru kali ini jauh dari keluarga. Sekalipun Abian paham, adiknya perempuan mandiri dan tidak manja.
"Memang harus bikin janji kalau mau menemui adik sendiri?" Abian mendecakkan lidahnya selagi menghampiri sang adik.
Evaline sudah bermain dengan Calico yang menyambut di ruang tamu sedang rebahan cantik di sofa minimalis. Dari keempat kucing Caca, Calico yang paling disukai Evaline.
Si putih yang tadinya tiduran di dekat laptop terbangun lalu melompat dari meja, sedangkan kucing kampung berwarna orange masih terlelap di tempat seakan tidak peduli suara di sekitar.
Abian mengambil posisi duduk di sebelah sang adik yang sedang menutup laptop dan merapikan mejanya. Dia kangen sekali dengan adiknya yang sudah sebulan menempati apartemen minimalis minim perabot.
"Kak Caca?" Suara nyaring terdengar dari arah depan.
Keduanya kompak menoleh ke Evaline yang berderap mendekat sambil membopong Calico, sebelah tangannya mengelus-elus bulu lembutnya.
"Kamu maksa ke sini kangen sama Kak Caca apa sama Calico?" Abian yakin kalau Evaline setengah ikhlas merelakan Calico pindah rumah.
Caca sengaja memberi nama kucingnya sesuai warna bulu agar tidak salah memanggil. Kalau Caca sendiri hafal, anggota keluarganya yang suka lupa nama-nama kucingnya.
Evaline menyengir lebar. "Sama Kak Caca kangen, tapi lebih kangen sama Calico. Dia pasti kesepian nggak ada Evaline," ocehnya sambil meminta naik ke sofa di tengah-tengah Abian dan Caca.
"Kebalik kali, kalau Calico sih ada tiga temannya. Kamu yang kesepian nggak ganggu tidurnya Calico," protes Caca hafal sekali adiknya suka mengganggu setiap Calico tidur.
"Mereka sama-sama kucing jadi nggak bisa mengusap-usap bulunya gini," jawab Evaline, tangannya masih konsisten mengelus-elus bulu lembut kucing di pangkuannya. "Nanti aku bawa pulang."
Mendengar itu Caca melotot. "Nggak bisa, minta beli sendiri sama Mas Abian!"
Abian hanya tertawa melihat interaksi perempuan beda generasi itu. Keduanya mirip dari segi perilaku, sama-sama tidak ada yang mau mengalah. Bedanya Evaline suka dress lucu dan dipastikan kelak dewasa lebih memerhatikan fashion daripada Caca yang cenderung cuek soal penampilan.
Lihat saja sekarang Caca hanya mengenakan kaus oversize putih polos dipadu celana pendek, rambut panjangnya diikat asal dengan anak rambut mencuat ke mana-mana.
"Mas Abian, besok boleh beli kucing?" Evaline menatap dengan mata selucu kelinci. Berharap akan meluluhkan sang kakak.
Abian langsung menolak halus, ada empat kucing saja sudah pusing. Tidak membayangkan ditambah lagi, kalau berkumpul benar-benar akan menjadi panti kucing. Mau tak mau, Abian akan terus berdekatan dengan kucing-kucing karena adiknya dan hewan itu tidak bisa dipisahkan.
"Kalo kangen bisa ke tempat Kak Caca. Mas nggak mau nanti Evaline ngeluh mengurusnya, Evaline cuma suka pas mengelus-elus doang."
Bibir Evaline mengerucut, tapi dia juga membenarkan ucapan sang kakak.
"Mama gimana di rumah, Mas?" Caca memang merindukan sang mama karena dirinya seminggu ini sibuk sekali mengejar deadline. Begitu juga mama tirinya yang seorang desainer dan memiliki butik cukup terkenal.
Abian menghela napas. "Mama nggak baik tanpa kamu, kelihatan kehilangan banget, Ca. Apa kamu belum ada rencana tinggal di rumah lagi?"
Hubungan Caca dan mamanya sangat dekat. Bukan sekadar anak dan mama tiri, melainkan bisa jadi sahabat menceritakan apa saja kecuali perasaannya pada Abian.
"Mas, aku bisa pulang tiap Minggu. Lagian Mama juga bisa main ke sini, kita masih satu kota, lho."
Abian mengembuskan napas panjang. "Oke, tapi kamu jangan lupa bentar lagi anniversary mama sama papa."
Malam ini merupakan anniversary papa dan mamanya yang ke sebelas. Mau tak mau, Caca hadir ke acara sederhana yang dihadiri keluarga besarnya. Caca juga sudah jauh-jauh hari membeli tiket liburan untuk kado pernikahan mama dan papanya agar meluangkan waktu berdua. "Mama dan Papa selamat, ya?" Caca memeluk tubuh ramping sang mama yang dibalut long dress putih. Kemudian beralih ke sang papa yang terlihat tampan diusia tak muda lagi. "Makasih, Sayang. Mama kira kamu lupa saking sibuknya. Mama kangen kamu nggak datang-datang, tiap Mama mau ke sana kamu bilang akan pergi ketemu klien." Mamanya merajuk. Kadang-kadang Arnita bertingkah seperti anak kecil menyindir Caca jarang sekali pulang. Mamanya paling tidak bisa melihat formasi anaknya tidak lengkap dan belum merelakan anak gadisnya tinggal terpisah. Caca tersenyum memeluk lagi mamanya sebentar. "Mana mungkin aku lupa, selalu berlebihan deh, Mama." "Yang penting sekarang anak kita berkumpul, Ma."
"Are you okay?" tanya Bagus berkali-kali melirik Caca yang sedang menyandarkan bahu lelah ke kursi mobilnya. "Memang aku kenapa?" Caca pura-pura terkekeh, padahal hatinya menjerit. Caca memang patah hati melihat interaksi Adelia dan orang yang dicintai. Apalagi saat keduanya dansa berdua, dan Caca terpaksa dansa dengan Bagus sehingga laki-laki berwajah baby face itu senang sekali. Tapi, Caca memutuskan akan lebih kuat. Apalagi saat mendengar Adelia dengan sombong mengingatkan posisinya di hati Abian. Caca tidak mau terlihat lemah, dia menahan diri agar tidak tersulut emosi. Barulah saat Adelia hendak mengejeknya lagi, dengan gerakan santai Caca menumpahkan sisa cocktailnya ke gaun merah marun yang membalut tubuh ideal Adelia sampai perempuan itu hendak memaki. "Sorry, aku nggak sengaja," ucap Caca tadi bertepatan dengan mamanya datang. Arnita langsung meminta maaf, sedangkan Adelia kembali memasang ekspresi sok baik. Adelia
Abian tidak mau memaksa adiknya ikut, hanya ingat dulu Caca suka merajuk minta ditemani menikmati ikan bakar dengan olesan bumbu gurih di restoran dekat kantornya. "Mas kangen sama kamu, Ca," gumamnya. Abian menarik napas panjang, dia sudah memasuki lift dan akan turun ke lantai dasar. Di dalam lift kepalanya dipenuhi nama Caca, yang berubah akhir-akhir ini. Sekarang adiknya seakan membangun dinding pembatas. Setelah sampai di lantai dasar, Abian segera melangkah ke arah mobil hitam yang terparkir di luar. Senyumnya mengembang selagi berpapasan dengan karyawan, memang Abian ramah pada siapa pun. Tidak heran orang-orang nyaman berada di dekat Abian. Lima belas menit berlalu, dia sudah sampai di restoran seafood dan menemukan perempuan yang dicintainya duduk sendiri. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Abian datang. Namun, kecantikannya tidak pudar apalagi dipoles make up mahal. Sekarang Abian menghampiri dan hendak mengusap pipi yang dit
Bagus baru saja merebahkan tubuh ke sofa empuk warna marun pilihan maminya. Tidak ada orang yang menyambut untuk menawarkan teh seperti di rumah. Bagus terbiasa sendiri asalkan bisa berdekatan dengan Caca.Kemeja biru, dasi, dan sepatu pantofel sudah terlepas. Sekarang hanya ada kaus putih membalut otot-otot memesona. Seharian Bagus lelah menghadapi karyawan perempuan yang menargetkan dirinya sampai meminta bolak-balik untuk modus.Risiko orang ganteng, begitu pikirnya.Bagus menatap layar ponsel di genggaman yang menyala, menggulir gawainya untuk melihat chat masuk. Sementara badannya masih bertumpu pada sandaran sofa.Chessy : Pulang belum?Melihat pengirim pesan, dalam pikirannya sudah menebak kalau perempuan yang hobi merepotkan akan merecoki hidupnya. Saking lelahnya, Bagus meletakkan ponsel ke meja tanpa berniat membalas chat tidak penting.Chessy : GusChessy : PChessy : Balik belum sih? Aku dari siang di tempat C
Chessy melangkah lebar menyusuri koridor apartemen di lantai sebelas, menuju ke unit 118 tempat sahabatnya tinggal dengan empat ekor kucing. Kadang-kadang Chessy heran, Camelia mau menghabiskan waktu mudanya merawat kucing-kucing.Tangannya merogoh ponsel di tas clutch begitu mendengar alunan lagu 'My love', setengah mengumpat menebak orang yang menelepon."Chessy. Mas nggak bisa antar kamu ketemu Arsa," ujar suara di seberang.Rambut melewati bahu yang baru dicat cokelat mengentak-entak selagi langkahnya terayun. Chessy berdecak kesal melirik dress putih selutut dan merias wajahnya sehingga terkesan niat banget menemui orang asing, paksaan sang mama dengan ceramah panjang lebar. "Oke, lagian aku malas bertemu.""Chessy, Mas nggak mau terlibat kalau kamu diusir dari rumah," sahut suara di ujung telepon tanpa rasa iba. Padahal sendirinya puluhan kali menolak perempuan yang disodorkan mamanya.Chessy berpikir sejenak, dia bisa saja
Bunyi nyaring ponsel mengejutkan Caca, dia terpaksa mengeluarkan ponsel dari tas mungil yang biasa dibawa keluar. Caca baru saja pulang dari rumah menuruti rengekan mamanya persis anak kecil meminta anaknya pulang. Jadilah Caca menginap satu hari. "Kenapa?" Caca malas-malasan menjawab. "Kamu sudah balik ke apartemen belum? Lupa kalau ada janji bertemu calon pengantin?" Caca mengerutkan kening cukup dalam. "Calon pengantin?" Bagus tertawa. "Ah, jadi kamu sudah pikun. Kita mau ketemu Chessy." Caca menghempaskan tubuh ke sofa memanjang di ruang tamu, dia lupa kalau Chessy baru tunangan, hanya mengundang keluarga besarnya. Padahal Caca yang heboh mengabarkan beritanya ke Malika serta Bagus. Mendadak ketularan sifat pelupa Chessy. Efek bertemu Abian masih tersisa. "Aku sudah di apartemen," ujarnya sebelum memutus sambungan telepon, tapi suara bel apartemen langsung terdengar. Dengan malas-malasan Caca membuka pintu, lalu mendengkus se
"Jadi kamu mau liburan demi melupakan Abian. Percaya sama aku pasti sia-sia."Caca mengangkat bahu, tangannya mengaduk-aduk jus jambu dengan sedotan lalu menyesap perlahan. Mata beningnya melirik ke jam tangan guess berulangkali. "Lama, ya?""Sebentar lagi paling, maklum dia pejabat pasti sibuk banget." Malika tadinya menemani Edgar bertemu temannya, kebetulan melihat Caca duduk sendirian. Sebagai sahabat yang baik memilih menemani Caca daripada diabaikan Edgar pasti sibuk mengobrol apa saja dengan teman kuliahnya. "Kamu jadi liburan?" ulangnya.Caca menaikkan alis. "Mau saja dibohongi Bagus, aku ada klien di Bogor jadi sekalian menginap di puncak itung-itung refreshing otak.""Jadi Bagus bohong bilang kamu liburan mau melupakan Abian?" tampang Malika terlihat geram. "Sialan."Gadis yang dibalut kemeja cokelat mengangguk, menyesap lagi jus jambu sampai kerongkongan benar-benar basah. Alasan mengenakan kemeja karena kliennya bukan orang sembarangan.
Caca mematut di depan cermin mengenakan gaun yang akan dipakai ke pernikahan Chessy. Sejak kemarin Malika serta Bagus heboh mengajak ke mal mencari gaun baru. Caca menolak dengan alasan koleksi yang jarang dipakai masih memenuhi isi lemari. Setelah dipikir-pikir jodoh tidak bisa ditebak. Sahabatnya yang memiliki sederet list kelakuan minus dan gagal move on sejak dilepehkan sadis oleh sang mantan. Tiba-tiba menyebar undangan akan dinikahi pria ganteng sekaligus kaya. Lamunan terjeda oleh ponsel yang bergetar bergetar sebentar, memunculkan pesan masuk dari Bagus. Tangannya terulur menggeser posisi smartphone yang ada di meja. Bagus : Sepuluh menit lagi aku tunggu di pintu. Caca : Oke. Dia meraih tas clutch untuk menjejalkan ponsel ke dalamnya. Lalu kembali menatap cermin lanjut merias tipis-tipis wajahnya agar tidak malu-maluin dibawa ke kondangan. Kelar merias wajah, mengenakan jam tangan guess, lalu meraih heels yang sudah dise
Caca mengecek pesan-pesan yang masuk ke gawainya, salah satunya dari klien di Bogor mengajak bertemu di jam makan siang. Sebelum jari-jari lentiknya tergerak membalas pesan, ia sempat-sempatnya mengambil ikat rambut di meja dan menguncir tinggi-tinggi agar angin di balkon semakin menyentuh leher jenjangnya. Pesan masuk terus beruntun, terakhir dari fotografer yang mengingatkan jadwal pemotretan. Perempuan yang kini duduk manis balkon kamar ditemani laptop serta satu mug cokelat hangat buru-buru meneruskan pesan ke modelnya. Ya, sekalipun yakin kalau Chessy besok bisa lupa. Selain menjadi ghost writer juga merangkap menjadi asisten model sekaligus artis yang sepi job. Siapa lagi kalau bukan gadis menyusahkan yang harus diakui sahabat. Caca mencatat ke note yang tergeletak di sebelah laptop. Lalu matanya mengedar ke pemandangan hijau yang menenangkan di depan. Kelopak matanya terpejam sesaat selagi menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk meme
Caca mematut di depan cermin mengenakan gaun yang akan dipakai ke pernikahan Chessy. Sejak kemarin Malika serta Bagus heboh mengajak ke mal mencari gaun baru. Caca menolak dengan alasan koleksi yang jarang dipakai masih memenuhi isi lemari. Setelah dipikir-pikir jodoh tidak bisa ditebak. Sahabatnya yang memiliki sederet list kelakuan minus dan gagal move on sejak dilepehkan sadis oleh sang mantan. Tiba-tiba menyebar undangan akan dinikahi pria ganteng sekaligus kaya. Lamunan terjeda oleh ponsel yang bergetar bergetar sebentar, memunculkan pesan masuk dari Bagus. Tangannya terulur menggeser posisi smartphone yang ada di meja. Bagus : Sepuluh menit lagi aku tunggu di pintu. Caca : Oke. Dia meraih tas clutch untuk menjejalkan ponsel ke dalamnya. Lalu kembali menatap cermin lanjut merias tipis-tipis wajahnya agar tidak malu-maluin dibawa ke kondangan. Kelar merias wajah, mengenakan jam tangan guess, lalu meraih heels yang sudah dise
"Jadi kamu mau liburan demi melupakan Abian. Percaya sama aku pasti sia-sia."Caca mengangkat bahu, tangannya mengaduk-aduk jus jambu dengan sedotan lalu menyesap perlahan. Mata beningnya melirik ke jam tangan guess berulangkali. "Lama, ya?""Sebentar lagi paling, maklum dia pejabat pasti sibuk banget." Malika tadinya menemani Edgar bertemu temannya, kebetulan melihat Caca duduk sendirian. Sebagai sahabat yang baik memilih menemani Caca daripada diabaikan Edgar pasti sibuk mengobrol apa saja dengan teman kuliahnya. "Kamu jadi liburan?" ulangnya.Caca menaikkan alis. "Mau saja dibohongi Bagus, aku ada klien di Bogor jadi sekalian menginap di puncak itung-itung refreshing otak.""Jadi Bagus bohong bilang kamu liburan mau melupakan Abian?" tampang Malika terlihat geram. "Sialan."Gadis yang dibalut kemeja cokelat mengangguk, menyesap lagi jus jambu sampai kerongkongan benar-benar basah. Alasan mengenakan kemeja karena kliennya bukan orang sembarangan.
Bunyi nyaring ponsel mengejutkan Caca, dia terpaksa mengeluarkan ponsel dari tas mungil yang biasa dibawa keluar. Caca baru saja pulang dari rumah menuruti rengekan mamanya persis anak kecil meminta anaknya pulang. Jadilah Caca menginap satu hari. "Kenapa?" Caca malas-malasan menjawab. "Kamu sudah balik ke apartemen belum? Lupa kalau ada janji bertemu calon pengantin?" Caca mengerutkan kening cukup dalam. "Calon pengantin?" Bagus tertawa. "Ah, jadi kamu sudah pikun. Kita mau ketemu Chessy." Caca menghempaskan tubuh ke sofa memanjang di ruang tamu, dia lupa kalau Chessy baru tunangan, hanya mengundang keluarga besarnya. Padahal Caca yang heboh mengabarkan beritanya ke Malika serta Bagus. Mendadak ketularan sifat pelupa Chessy. Efek bertemu Abian masih tersisa. "Aku sudah di apartemen," ujarnya sebelum memutus sambungan telepon, tapi suara bel apartemen langsung terdengar. Dengan malas-malasan Caca membuka pintu, lalu mendengkus se
Chessy melangkah lebar menyusuri koridor apartemen di lantai sebelas, menuju ke unit 118 tempat sahabatnya tinggal dengan empat ekor kucing. Kadang-kadang Chessy heran, Camelia mau menghabiskan waktu mudanya merawat kucing-kucing.Tangannya merogoh ponsel di tas clutch begitu mendengar alunan lagu 'My love', setengah mengumpat menebak orang yang menelepon."Chessy. Mas nggak bisa antar kamu ketemu Arsa," ujar suara di seberang.Rambut melewati bahu yang baru dicat cokelat mengentak-entak selagi langkahnya terayun. Chessy berdecak kesal melirik dress putih selutut dan merias wajahnya sehingga terkesan niat banget menemui orang asing, paksaan sang mama dengan ceramah panjang lebar. "Oke, lagian aku malas bertemu.""Chessy, Mas nggak mau terlibat kalau kamu diusir dari rumah," sahut suara di ujung telepon tanpa rasa iba. Padahal sendirinya puluhan kali menolak perempuan yang disodorkan mamanya.Chessy berpikir sejenak, dia bisa saja
Bagus baru saja merebahkan tubuh ke sofa empuk warna marun pilihan maminya. Tidak ada orang yang menyambut untuk menawarkan teh seperti di rumah. Bagus terbiasa sendiri asalkan bisa berdekatan dengan Caca.Kemeja biru, dasi, dan sepatu pantofel sudah terlepas. Sekarang hanya ada kaus putih membalut otot-otot memesona. Seharian Bagus lelah menghadapi karyawan perempuan yang menargetkan dirinya sampai meminta bolak-balik untuk modus.Risiko orang ganteng, begitu pikirnya.Bagus menatap layar ponsel di genggaman yang menyala, menggulir gawainya untuk melihat chat masuk. Sementara badannya masih bertumpu pada sandaran sofa.Chessy : Pulang belum?Melihat pengirim pesan, dalam pikirannya sudah menebak kalau perempuan yang hobi merepotkan akan merecoki hidupnya. Saking lelahnya, Bagus meletakkan ponsel ke meja tanpa berniat membalas chat tidak penting.Chessy : GusChessy : PChessy : Balik belum sih? Aku dari siang di tempat C
Abian tidak mau memaksa adiknya ikut, hanya ingat dulu Caca suka merajuk minta ditemani menikmati ikan bakar dengan olesan bumbu gurih di restoran dekat kantornya. "Mas kangen sama kamu, Ca," gumamnya. Abian menarik napas panjang, dia sudah memasuki lift dan akan turun ke lantai dasar. Di dalam lift kepalanya dipenuhi nama Caca, yang berubah akhir-akhir ini. Sekarang adiknya seakan membangun dinding pembatas. Setelah sampai di lantai dasar, Abian segera melangkah ke arah mobil hitam yang terparkir di luar. Senyumnya mengembang selagi berpapasan dengan karyawan, memang Abian ramah pada siapa pun. Tidak heran orang-orang nyaman berada di dekat Abian. Lima belas menit berlalu, dia sudah sampai di restoran seafood dan menemukan perempuan yang dicintainya duduk sendiri. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Abian datang. Namun, kecantikannya tidak pudar apalagi dipoles make up mahal. Sekarang Abian menghampiri dan hendak mengusap pipi yang dit
"Are you okay?" tanya Bagus berkali-kali melirik Caca yang sedang menyandarkan bahu lelah ke kursi mobilnya. "Memang aku kenapa?" Caca pura-pura terkekeh, padahal hatinya menjerit. Caca memang patah hati melihat interaksi Adelia dan orang yang dicintai. Apalagi saat keduanya dansa berdua, dan Caca terpaksa dansa dengan Bagus sehingga laki-laki berwajah baby face itu senang sekali. Tapi, Caca memutuskan akan lebih kuat. Apalagi saat mendengar Adelia dengan sombong mengingatkan posisinya di hati Abian. Caca tidak mau terlihat lemah, dia menahan diri agar tidak tersulut emosi. Barulah saat Adelia hendak mengejeknya lagi, dengan gerakan santai Caca menumpahkan sisa cocktailnya ke gaun merah marun yang membalut tubuh ideal Adelia sampai perempuan itu hendak memaki. "Sorry, aku nggak sengaja," ucap Caca tadi bertepatan dengan mamanya datang. Arnita langsung meminta maaf, sedangkan Adelia kembali memasang ekspresi sok baik. Adelia
Malam ini merupakan anniversary papa dan mamanya yang ke sebelas. Mau tak mau, Caca hadir ke acara sederhana yang dihadiri keluarga besarnya. Caca juga sudah jauh-jauh hari membeli tiket liburan untuk kado pernikahan mama dan papanya agar meluangkan waktu berdua. "Mama dan Papa selamat, ya?" Caca memeluk tubuh ramping sang mama yang dibalut long dress putih. Kemudian beralih ke sang papa yang terlihat tampan diusia tak muda lagi. "Makasih, Sayang. Mama kira kamu lupa saking sibuknya. Mama kangen kamu nggak datang-datang, tiap Mama mau ke sana kamu bilang akan pergi ketemu klien." Mamanya merajuk. Kadang-kadang Arnita bertingkah seperti anak kecil menyindir Caca jarang sekali pulang. Mamanya paling tidak bisa melihat formasi anaknya tidak lengkap dan belum merelakan anak gadisnya tinggal terpisah. Caca tersenyum memeluk lagi mamanya sebentar. "Mana mungkin aku lupa, selalu berlebihan deh, Mama." "Yang penting sekarang anak kita berkumpul, Ma."