"Are you okay?" tanya Bagus berkali-kali melirik Caca yang sedang menyandarkan bahu lelah ke kursi mobilnya.
"Memang aku kenapa?" Caca pura-pura terkekeh, padahal hatinya menjerit.
Caca memang patah hati melihat interaksi Adelia dan orang yang dicintai. Apalagi saat keduanya dansa berdua, dan Caca terpaksa dansa dengan Bagus sehingga laki-laki berwajah baby face itu senang sekali.
Tapi, Caca memutuskan akan lebih kuat. Apalagi saat mendengar Adelia dengan sombong mengingatkan posisinya di hati Abian. Caca tidak mau terlihat lemah, dia menahan diri agar tidak tersulut emosi.
Barulah saat Adelia hendak mengejeknya lagi, dengan gerakan santai Caca menumpahkan sisa cocktailnya ke gaun merah marun yang membalut tubuh ideal Adelia sampai perempuan itu hendak memaki.
"Sorry, aku nggak sengaja," ucap Caca tadi bertepatan dengan mamanya datang. Arnita langsung meminta maaf, sedangkan Adelia kembali memasang ekspresi sok baik.
Adelia tersenyum, sebelah tangannya mengusap-usap gaun yang terkena cocktail. "Nggak apa-apa, kok."
"Sebagai permintaan maaf, gimana kalau pakai gaun aku dulu. Kayaknya ada yang ditinggal di rumah." Caca menawarkan dengan senyuman mengejek. Dia akan senang melihat ekspresi Adelia kesal harus memakai gaunnya.
Acara anniversary papa dan mamanya memang berlangsung di halaman rumah yang sudah didekorasi tema outdoor. Warna hijau dan putih mendominasi sesuai selera Arnita.
Adelia melirik ke arah Caca dengan tak suka, kalau saja tidak mengingat ada calon mertua. Pasti sudah memaki Caca habis-habisan. Adelia memang pintar sekali berwajah dua, sampai Caca takjub sama aktingnya.
"Sayang, Caca benar. Ukuran badan kalian kayaknya sama. Sebentar lagi mau dansa sama Abian, 'kan?"
Ada yang menusuk mendengar mamanya mendukung Adelia, dia tahu mamanya akan melakukan apa saja demi kebahagiaan Abian. Termasuk membiarkan keduanya dansa tanpa mengetahui anak gadisnya terluka.
Tapi, Caca menahan rasa sakitnya. Dia cukup puas menyaksikan Adelia menahan geram harus mengenakan gaunnya yang jauh dari kata seksi atau glamor apalagi milik Caca, calon adik ipar yang tidak disukainya. Rata-rata gaun Caca itu simpel. Dipakai juga jarang, paling saat acara penting. Dan Caca tahu sekali selera model berkelas seperti Adelia.
Perempuan itu meringis. "Aku bersihkan saja ke kamar mandi, Tante."
"Lho, mending pakai punya Caca saja. Ayo Mama antar." Arnita mengapit lengan calon menantunya.
Caca tersenyum pahit mendengar Arnita menyebutkan dirinya Mama pada Adelia. Seakan-akan sudah menganggap perempuan sialan itu menantu resmi.
"Caca." Arnita menoleh ke anaknya agar ikut mengantar. Bagaimana juga itu masih kamarnya dan semua isinya privasi sang anak.
"Mama masuk saja, aku mau cari Bagus. Mama punya kuncinya, kan?"
Berkali-kali Caca mengatur pernapasan mengingat adegan di acara anniversary mamanya. Kemesraan Abian dan Adelia paling mengganggu pikiran.
"Ca?" Bagus menoleh lagi mendapati perempuan yang malam ini semakin cantik dibalut gaun putih sedang melamun.
Caca tergagap dan panggilan Bagus menyadarkan dari lamunan. "Eh, iya."
"Kenapa sih menunggu orang yang jelas-jelas tidak mengharapkan kamu." Bagus berdecak seakan-akan memberi kode kalau ada dirinya siap menerima.
Caca memiliki kecerdasan di atas rata-rata menurun dari sang ayah. Dia lalu terkekeh. "Ngarep ya kamu, aku tahu kode-kodenya."
"Namanya usaha." Bagus menyengir selagi melajukan mobilnya pelan ke apartemen.
Bagus cukup senang melihat Caca kembali tegar, selama mengenal perempuan di sampingnya. Caca memang bukan gadis cengeng kecuali melibatkan hubungan Abian.
"Berhenti berharap, Gus. Lagian aku heran, perempuan tuh pada kesengsem sama kamu cuma di-PHP."
Memang Caca tidak pernah mencantumkan nama Bagus dalam rencana masa depannya. Dia tidak berniat membalas perasaan Bagus, baginya cukup bersahabat dan tidak akan kehilangan Bagus gara-gara cinta.
"Aku maunya kamu, Hon." Bagus menaik turunkan alisnya. Caca hanya menatap muak mendengar alasan Bagus tidak berubah dari dulu, namun selalu merespons wanita-wanita yang mendekati tanpa menjadikan salah satunya pacar.
Hobi Bagus membuat perempuan menangis gara-gara patah hati sering membuat ketiga sahabatnya geleng-geleng. Bahkan ada yang terang-terangan meminta Bagus jadi pacarnya di depan umum, juga masih ditolak.
Menurut Malika perasaan Bagus pada Caca yang tidak kunjung dibalas adalah karma sering melukai perempuan.
Ketiga sahabatnya memang tidak pernah iba pada Bagus, juga tidak pernah merasa sungkan menyusahkan Bagus kapan saja butuh. Seakan-akan Bagus dilahirkan untuk mengurus ketiga sahabat perempuannya, terutama Chessy yang naik taksi saja takut diculik.
"Ca, kenapa sih kita nggak coba dulu?" Bagus tidak menyerah, apalagi mengetahui kalau saingan terberatnya akan menikah. Jelas merasa ada kesempatan terbuka lebar.
"Ngaco!"
Bagus mengerang sedih, entah berapa ratus kali ditolak Caca sejak dulu. Hebatnya ia masih setia menunggu status sahabat naik menjadi sepasang kekasih.
"Besok acaranya mau ke mana?" Bagus mengganti topik pembicaraan dan akan mencoba peruntungan lain kali. Jangan harap Bagus akan mundur teratur. Cintanya pada Caca sudah menempati bagian terdalam.
Caca mengedikkan bahu. "Nggak tahu, mungkin akan menemui klien mungkin. Kemarin bilang mau atur jadwal ketemu."
Hidup Caca tidak bergantung pada orang tua. Dia bisa membayar sewa apartemen dan membeli kebutuhannya dengan hasil menulis. Namanya tidak perlu ada di buku, asalkan bayaran sesuai. Itu prinsip Caca yang lebih suka mendapatkan uang banyak daripada terkenal.
Caca tumbuh dari keluarga berada apalagi saat Abian bergabung ke perusahaan sang ayah. Nama perusahaannya semakin terkenal di dunia bisnis. Abian seorang arsitek yang semua rancangannya terbukti sukses. Tidak heran kalau banyak pihak mau bekerja sama dengannya.
Tapi, Caca selalu menolak jatah bulanan dari sang papa selagi bisa mendapatkan uang sendiri dari jasanya sebagai gost writer.
***
"La, tolong kirim ke saya laporan buat proyek pembangunan apartemen Herlin. Saya mau review secepatnya."
Perempuan yang dipanggil Lala mengangguk, dia adalah staf di kantornya. Saat ini Abian sibuk menangani beberapa proyek, bahkan harus ada di kantor usai malamnya merayakan anniversary mama dan papanya.
Lala kerjanya cekatan sekali dan Abian sangat percaya pada staf-nya ini. Terbukti hasil kerjanya tidak pernah mengecewakan. Lima tahun sudah bergabung dengan KA Architects.
"Ya sudah saya tunggu laporannya di meja," ujarnya sebelum memasuki ruang kerja yang luas dengan jendela besar menampilkan pemandangan Jakarta yang didominasi gedung bertingkat.
"Baik, Pak." Lala mengangguk.
Abian harus menyelesaikan pekerjaan sebelum jam makan siang karena Adelia semalam sudah mengajak makan seafood bersama.
Setelah kelar review proyek apartemen mewah dan mal besar yang harus di submit besok. Abian mengecek ponselnya mendapati banyak sekali chat masuk dari tunangannya.
"Astaga, jam makan siang sudah lewat sepuluh menit." Abian mendesah panjang, padahal sudah berusaha secepat mungkin menyelesaikan pekerjaan.
Panggilan dari Caca di smartphone-nya mendahului sebelum Abian mengirim balasan untuk tunangannya.
"Mas, aku mau ke kantor, ya. Soalnya aku baru ketemu klien di dekat sini." Suara Caca terdengar di ujung telepon.
Abian sedang merapikan map-nya, sedangkan sebelah tangan menempelkan ponsel ke daun telinga. Dia mendesah pelan, merasa bersalah menolak permintaan adik kesayangannya, namun Adelia pasti sudah menunggu dengan kesal.
"Ca, Mas mau makan siang sama Mbak Adelia. Kalo kamu mau gabung nggak apa-apa, Mas akan senang." Abian paham ada ketegangan antara keduanya, entah apa masalahnya. Dan Abian berharap keduanya bisa akrab.
Terdengar helaan napas panjang dari seberang. "Oh, ya sudah aku pulang saja. Sekarang waktu luang Mas cuma milik Adelia!"
Abian menggeleng, dia sudah berjalan menuju lift untuk menyusul Adelia di restoran yang sudah ditentukan.
"Kamu bicara apa, Ca," ujarnya merasa heran dengan tingkah Caca berubah menyebalkan akhir-akhir ini.
Abian tidak mau memaksa adiknya ikut, hanya ingat dulu Caca suka merajuk minta ditemani menikmati ikan bakar dengan olesan bumbu gurih di restoran dekat kantornya. "Mas kangen sama kamu, Ca," gumamnya. Abian menarik napas panjang, dia sudah memasuki lift dan akan turun ke lantai dasar. Di dalam lift kepalanya dipenuhi nama Caca, yang berubah akhir-akhir ini. Sekarang adiknya seakan membangun dinding pembatas. Setelah sampai di lantai dasar, Abian segera melangkah ke arah mobil hitam yang terparkir di luar. Senyumnya mengembang selagi berpapasan dengan karyawan, memang Abian ramah pada siapa pun. Tidak heran orang-orang nyaman berada di dekat Abian. Lima belas menit berlalu, dia sudah sampai di restoran seafood dan menemukan perempuan yang dicintainya duduk sendiri. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Abian datang. Namun, kecantikannya tidak pudar apalagi dipoles make up mahal. Sekarang Abian menghampiri dan hendak mengusap pipi yang dit
Bagus baru saja merebahkan tubuh ke sofa empuk warna marun pilihan maminya. Tidak ada orang yang menyambut untuk menawarkan teh seperti di rumah. Bagus terbiasa sendiri asalkan bisa berdekatan dengan Caca.Kemeja biru, dasi, dan sepatu pantofel sudah terlepas. Sekarang hanya ada kaus putih membalut otot-otot memesona. Seharian Bagus lelah menghadapi karyawan perempuan yang menargetkan dirinya sampai meminta bolak-balik untuk modus.Risiko orang ganteng, begitu pikirnya.Bagus menatap layar ponsel di genggaman yang menyala, menggulir gawainya untuk melihat chat masuk. Sementara badannya masih bertumpu pada sandaran sofa.Chessy : Pulang belum?Melihat pengirim pesan, dalam pikirannya sudah menebak kalau perempuan yang hobi merepotkan akan merecoki hidupnya. Saking lelahnya, Bagus meletakkan ponsel ke meja tanpa berniat membalas chat tidak penting.Chessy : GusChessy : PChessy : Balik belum sih? Aku dari siang di tempat C
Chessy melangkah lebar menyusuri koridor apartemen di lantai sebelas, menuju ke unit 118 tempat sahabatnya tinggal dengan empat ekor kucing. Kadang-kadang Chessy heran, Camelia mau menghabiskan waktu mudanya merawat kucing-kucing.Tangannya merogoh ponsel di tas clutch begitu mendengar alunan lagu 'My love', setengah mengumpat menebak orang yang menelepon."Chessy. Mas nggak bisa antar kamu ketemu Arsa," ujar suara di seberang.Rambut melewati bahu yang baru dicat cokelat mengentak-entak selagi langkahnya terayun. Chessy berdecak kesal melirik dress putih selutut dan merias wajahnya sehingga terkesan niat banget menemui orang asing, paksaan sang mama dengan ceramah panjang lebar. "Oke, lagian aku malas bertemu.""Chessy, Mas nggak mau terlibat kalau kamu diusir dari rumah," sahut suara di ujung telepon tanpa rasa iba. Padahal sendirinya puluhan kali menolak perempuan yang disodorkan mamanya.Chessy berpikir sejenak, dia bisa saja
Bunyi nyaring ponsel mengejutkan Caca, dia terpaksa mengeluarkan ponsel dari tas mungil yang biasa dibawa keluar. Caca baru saja pulang dari rumah menuruti rengekan mamanya persis anak kecil meminta anaknya pulang. Jadilah Caca menginap satu hari. "Kenapa?" Caca malas-malasan menjawab. "Kamu sudah balik ke apartemen belum? Lupa kalau ada janji bertemu calon pengantin?" Caca mengerutkan kening cukup dalam. "Calon pengantin?" Bagus tertawa. "Ah, jadi kamu sudah pikun. Kita mau ketemu Chessy." Caca menghempaskan tubuh ke sofa memanjang di ruang tamu, dia lupa kalau Chessy baru tunangan, hanya mengundang keluarga besarnya. Padahal Caca yang heboh mengabarkan beritanya ke Malika serta Bagus. Mendadak ketularan sifat pelupa Chessy. Efek bertemu Abian masih tersisa. "Aku sudah di apartemen," ujarnya sebelum memutus sambungan telepon, tapi suara bel apartemen langsung terdengar. Dengan malas-malasan Caca membuka pintu, lalu mendengkus se
"Jadi kamu mau liburan demi melupakan Abian. Percaya sama aku pasti sia-sia."Caca mengangkat bahu, tangannya mengaduk-aduk jus jambu dengan sedotan lalu menyesap perlahan. Mata beningnya melirik ke jam tangan guess berulangkali. "Lama, ya?""Sebentar lagi paling, maklum dia pejabat pasti sibuk banget." Malika tadinya menemani Edgar bertemu temannya, kebetulan melihat Caca duduk sendirian. Sebagai sahabat yang baik memilih menemani Caca daripada diabaikan Edgar pasti sibuk mengobrol apa saja dengan teman kuliahnya. "Kamu jadi liburan?" ulangnya.Caca menaikkan alis. "Mau saja dibohongi Bagus, aku ada klien di Bogor jadi sekalian menginap di puncak itung-itung refreshing otak.""Jadi Bagus bohong bilang kamu liburan mau melupakan Abian?" tampang Malika terlihat geram. "Sialan."Gadis yang dibalut kemeja cokelat mengangguk, menyesap lagi jus jambu sampai kerongkongan benar-benar basah. Alasan mengenakan kemeja karena kliennya bukan orang sembarangan.
Caca mematut di depan cermin mengenakan gaun yang akan dipakai ke pernikahan Chessy. Sejak kemarin Malika serta Bagus heboh mengajak ke mal mencari gaun baru. Caca menolak dengan alasan koleksi yang jarang dipakai masih memenuhi isi lemari. Setelah dipikir-pikir jodoh tidak bisa ditebak. Sahabatnya yang memiliki sederet list kelakuan minus dan gagal move on sejak dilepehkan sadis oleh sang mantan. Tiba-tiba menyebar undangan akan dinikahi pria ganteng sekaligus kaya. Lamunan terjeda oleh ponsel yang bergetar bergetar sebentar, memunculkan pesan masuk dari Bagus. Tangannya terulur menggeser posisi smartphone yang ada di meja. Bagus : Sepuluh menit lagi aku tunggu di pintu. Caca : Oke. Dia meraih tas clutch untuk menjejalkan ponsel ke dalamnya. Lalu kembali menatap cermin lanjut merias tipis-tipis wajahnya agar tidak malu-maluin dibawa ke kondangan. Kelar merias wajah, mengenakan jam tangan guess, lalu meraih heels yang sudah dise
Caca mengecek pesan-pesan yang masuk ke gawainya, salah satunya dari klien di Bogor mengajak bertemu di jam makan siang. Sebelum jari-jari lentiknya tergerak membalas pesan, ia sempat-sempatnya mengambil ikat rambut di meja dan menguncir tinggi-tinggi agar angin di balkon semakin menyentuh leher jenjangnya. Pesan masuk terus beruntun, terakhir dari fotografer yang mengingatkan jadwal pemotretan. Perempuan yang kini duduk manis balkon kamar ditemani laptop serta satu mug cokelat hangat buru-buru meneruskan pesan ke modelnya. Ya, sekalipun yakin kalau Chessy besok bisa lupa. Selain menjadi ghost writer juga merangkap menjadi asisten model sekaligus artis yang sepi job. Siapa lagi kalau bukan gadis menyusahkan yang harus diakui sahabat. Caca mencatat ke note yang tergeletak di sebelah laptop. Lalu matanya mengedar ke pemandangan hijau yang menenangkan di depan. Kelopak matanya terpejam sesaat selagi menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk meme
"Ca, apa segitu darutatnya sampai harus pindah sekarang?" sindir Abian mengantar sang adik ke apartemen baru seakan-akan bencana akan terjadi kalau pindahnya ditunda. Gadis yang dibalut kaus putih berlapis sweter berdecak. "Terus?" Ia melolot galak ke arah kakaknya. "Emang wajib nunggu Mas tunangan dulu sama Adelia?" "Memang apa salahnya, enggak lama ini." Abian merapatkan pintu dengan sebelah tangan, satunya menarik koper cokelat besar memasuki ruangan dan menilai apartemen sederhana minim perabot yang dipilih adiknya, memastikan layak untuk ditempati Caca. Perempuan itu, Camelia yang sejak kecil akrab dipanggil Caca sedang meletakkan kardus berisi buku-buku ke apartemen barunya. Dia sengaja bergerilya mencari tempat tinggal baru demi mengurangi frekuensi bertemu sang kakak. "Kita udah bahas di rumah, ya, Mas. Udah Mas fokus saja sama Adelia." "Mbak Adelia," koreksi Abian, berkali-kali mengingatkan kalau umur calon tunangannya lebih tua darip
Caca mengecek pesan-pesan yang masuk ke gawainya, salah satunya dari klien di Bogor mengajak bertemu di jam makan siang. Sebelum jari-jari lentiknya tergerak membalas pesan, ia sempat-sempatnya mengambil ikat rambut di meja dan menguncir tinggi-tinggi agar angin di balkon semakin menyentuh leher jenjangnya. Pesan masuk terus beruntun, terakhir dari fotografer yang mengingatkan jadwal pemotretan. Perempuan yang kini duduk manis balkon kamar ditemani laptop serta satu mug cokelat hangat buru-buru meneruskan pesan ke modelnya. Ya, sekalipun yakin kalau Chessy besok bisa lupa. Selain menjadi ghost writer juga merangkap menjadi asisten model sekaligus artis yang sepi job. Siapa lagi kalau bukan gadis menyusahkan yang harus diakui sahabat. Caca mencatat ke note yang tergeletak di sebelah laptop. Lalu matanya mengedar ke pemandangan hijau yang menenangkan di depan. Kelopak matanya terpejam sesaat selagi menghirup oksigen sebanyak mungkin untuk meme
Caca mematut di depan cermin mengenakan gaun yang akan dipakai ke pernikahan Chessy. Sejak kemarin Malika serta Bagus heboh mengajak ke mal mencari gaun baru. Caca menolak dengan alasan koleksi yang jarang dipakai masih memenuhi isi lemari. Setelah dipikir-pikir jodoh tidak bisa ditebak. Sahabatnya yang memiliki sederet list kelakuan minus dan gagal move on sejak dilepehkan sadis oleh sang mantan. Tiba-tiba menyebar undangan akan dinikahi pria ganteng sekaligus kaya. Lamunan terjeda oleh ponsel yang bergetar bergetar sebentar, memunculkan pesan masuk dari Bagus. Tangannya terulur menggeser posisi smartphone yang ada di meja. Bagus : Sepuluh menit lagi aku tunggu di pintu. Caca : Oke. Dia meraih tas clutch untuk menjejalkan ponsel ke dalamnya. Lalu kembali menatap cermin lanjut merias tipis-tipis wajahnya agar tidak malu-maluin dibawa ke kondangan. Kelar merias wajah, mengenakan jam tangan guess, lalu meraih heels yang sudah dise
"Jadi kamu mau liburan demi melupakan Abian. Percaya sama aku pasti sia-sia."Caca mengangkat bahu, tangannya mengaduk-aduk jus jambu dengan sedotan lalu menyesap perlahan. Mata beningnya melirik ke jam tangan guess berulangkali. "Lama, ya?""Sebentar lagi paling, maklum dia pejabat pasti sibuk banget." Malika tadinya menemani Edgar bertemu temannya, kebetulan melihat Caca duduk sendirian. Sebagai sahabat yang baik memilih menemani Caca daripada diabaikan Edgar pasti sibuk mengobrol apa saja dengan teman kuliahnya. "Kamu jadi liburan?" ulangnya.Caca menaikkan alis. "Mau saja dibohongi Bagus, aku ada klien di Bogor jadi sekalian menginap di puncak itung-itung refreshing otak.""Jadi Bagus bohong bilang kamu liburan mau melupakan Abian?" tampang Malika terlihat geram. "Sialan."Gadis yang dibalut kemeja cokelat mengangguk, menyesap lagi jus jambu sampai kerongkongan benar-benar basah. Alasan mengenakan kemeja karena kliennya bukan orang sembarangan.
Bunyi nyaring ponsel mengejutkan Caca, dia terpaksa mengeluarkan ponsel dari tas mungil yang biasa dibawa keluar. Caca baru saja pulang dari rumah menuruti rengekan mamanya persis anak kecil meminta anaknya pulang. Jadilah Caca menginap satu hari. "Kenapa?" Caca malas-malasan menjawab. "Kamu sudah balik ke apartemen belum? Lupa kalau ada janji bertemu calon pengantin?" Caca mengerutkan kening cukup dalam. "Calon pengantin?" Bagus tertawa. "Ah, jadi kamu sudah pikun. Kita mau ketemu Chessy." Caca menghempaskan tubuh ke sofa memanjang di ruang tamu, dia lupa kalau Chessy baru tunangan, hanya mengundang keluarga besarnya. Padahal Caca yang heboh mengabarkan beritanya ke Malika serta Bagus. Mendadak ketularan sifat pelupa Chessy. Efek bertemu Abian masih tersisa. "Aku sudah di apartemen," ujarnya sebelum memutus sambungan telepon, tapi suara bel apartemen langsung terdengar. Dengan malas-malasan Caca membuka pintu, lalu mendengkus se
Chessy melangkah lebar menyusuri koridor apartemen di lantai sebelas, menuju ke unit 118 tempat sahabatnya tinggal dengan empat ekor kucing. Kadang-kadang Chessy heran, Camelia mau menghabiskan waktu mudanya merawat kucing-kucing.Tangannya merogoh ponsel di tas clutch begitu mendengar alunan lagu 'My love', setengah mengumpat menebak orang yang menelepon."Chessy. Mas nggak bisa antar kamu ketemu Arsa," ujar suara di seberang.Rambut melewati bahu yang baru dicat cokelat mengentak-entak selagi langkahnya terayun. Chessy berdecak kesal melirik dress putih selutut dan merias wajahnya sehingga terkesan niat banget menemui orang asing, paksaan sang mama dengan ceramah panjang lebar. "Oke, lagian aku malas bertemu.""Chessy, Mas nggak mau terlibat kalau kamu diusir dari rumah," sahut suara di ujung telepon tanpa rasa iba. Padahal sendirinya puluhan kali menolak perempuan yang disodorkan mamanya.Chessy berpikir sejenak, dia bisa saja
Bagus baru saja merebahkan tubuh ke sofa empuk warna marun pilihan maminya. Tidak ada orang yang menyambut untuk menawarkan teh seperti di rumah. Bagus terbiasa sendiri asalkan bisa berdekatan dengan Caca.Kemeja biru, dasi, dan sepatu pantofel sudah terlepas. Sekarang hanya ada kaus putih membalut otot-otot memesona. Seharian Bagus lelah menghadapi karyawan perempuan yang menargetkan dirinya sampai meminta bolak-balik untuk modus.Risiko orang ganteng, begitu pikirnya.Bagus menatap layar ponsel di genggaman yang menyala, menggulir gawainya untuk melihat chat masuk. Sementara badannya masih bertumpu pada sandaran sofa.Chessy : Pulang belum?Melihat pengirim pesan, dalam pikirannya sudah menebak kalau perempuan yang hobi merepotkan akan merecoki hidupnya. Saking lelahnya, Bagus meletakkan ponsel ke meja tanpa berniat membalas chat tidak penting.Chessy : GusChessy : PChessy : Balik belum sih? Aku dari siang di tempat C
Abian tidak mau memaksa adiknya ikut, hanya ingat dulu Caca suka merajuk minta ditemani menikmati ikan bakar dengan olesan bumbu gurih di restoran dekat kantornya. "Mas kangen sama kamu, Ca," gumamnya. Abian menarik napas panjang, dia sudah memasuki lift dan akan turun ke lantai dasar. Di dalam lift kepalanya dipenuhi nama Caca, yang berubah akhir-akhir ini. Sekarang adiknya seakan membangun dinding pembatas. Setelah sampai di lantai dasar, Abian segera melangkah ke arah mobil hitam yang terparkir di luar. Senyumnya mengembang selagi berpapasan dengan karyawan, memang Abian ramah pada siapa pun. Tidak heran orang-orang nyaman berada di dekat Abian. Lima belas menit berlalu, dia sudah sampai di restoran seafood dan menemukan perempuan yang dicintainya duduk sendiri. Wajahnya terlihat kesal saat melihat Abian datang. Namun, kecantikannya tidak pudar apalagi dipoles make up mahal. Sekarang Abian menghampiri dan hendak mengusap pipi yang dit
"Are you okay?" tanya Bagus berkali-kali melirik Caca yang sedang menyandarkan bahu lelah ke kursi mobilnya. "Memang aku kenapa?" Caca pura-pura terkekeh, padahal hatinya menjerit. Caca memang patah hati melihat interaksi Adelia dan orang yang dicintai. Apalagi saat keduanya dansa berdua, dan Caca terpaksa dansa dengan Bagus sehingga laki-laki berwajah baby face itu senang sekali. Tapi, Caca memutuskan akan lebih kuat. Apalagi saat mendengar Adelia dengan sombong mengingatkan posisinya di hati Abian. Caca tidak mau terlihat lemah, dia menahan diri agar tidak tersulut emosi. Barulah saat Adelia hendak mengejeknya lagi, dengan gerakan santai Caca menumpahkan sisa cocktailnya ke gaun merah marun yang membalut tubuh ideal Adelia sampai perempuan itu hendak memaki. "Sorry, aku nggak sengaja," ucap Caca tadi bertepatan dengan mamanya datang. Arnita langsung meminta maaf, sedangkan Adelia kembali memasang ekspresi sok baik. Adelia
Malam ini merupakan anniversary papa dan mamanya yang ke sebelas. Mau tak mau, Caca hadir ke acara sederhana yang dihadiri keluarga besarnya. Caca juga sudah jauh-jauh hari membeli tiket liburan untuk kado pernikahan mama dan papanya agar meluangkan waktu berdua. "Mama dan Papa selamat, ya?" Caca memeluk tubuh ramping sang mama yang dibalut long dress putih. Kemudian beralih ke sang papa yang terlihat tampan diusia tak muda lagi. "Makasih, Sayang. Mama kira kamu lupa saking sibuknya. Mama kangen kamu nggak datang-datang, tiap Mama mau ke sana kamu bilang akan pergi ketemu klien." Mamanya merajuk. Kadang-kadang Arnita bertingkah seperti anak kecil menyindir Caca jarang sekali pulang. Mamanya paling tidak bisa melihat formasi anaknya tidak lengkap dan belum merelakan anak gadisnya tinggal terpisah. Caca tersenyum memeluk lagi mamanya sebentar. "Mana mungkin aku lupa, selalu berlebihan deh, Mama." "Yang penting sekarang anak kita berkumpul, Ma."