Hideyoshi menatap genggaman tangannya pada sebilah pedang kokohnya. Cukup lama perhatiannya tertuju pada senjata baru kesayangannya ini. Jiwanya terasa terhisap ke dalamnya. Dia meraba ukiran pada pegangannya, lalu menjalar ke sebilah besi dari sisi tajam maupun tumpulnya. Dingin. Begitu menaklukan. Besi tipis hasil karya pengrajin katana ini begitu dingin dan menaklukan hati. Hideyoshi jadi penasaran dengan kondisi hati pengrajinnya pada waktu membuatnya. Sungguh mengingatkannya kembali pada udara malam pegunungan saat duel satu lawan satu sampai mati itu bergulir. Rasanya memang serupa. “Hi….de? Apakah kau siap?” karena menyadari Hideyoshi begitu lama memperhatikan setiap detail katana yang digenggamnya, Jin yang mungkin tak sabar untuk latihan duel dengan Hide menyapa. Nada bicaranya meragu. Mungkin Jin masih sungkan jika mengganggu jalan pikiran Hide saat ini. Padahal, tak ada salahnya jika dia memang ingin mencoba membuyarkan lamunan silam Hide yang kelihatannya belum bisa dit
Nara 1925 Papan Yayasan Yatim Piatu “Himawari” terjatuh ke tanah akibat kobaran api yang semakin menjalar. Di sudut kamar tidur, seorang anak laki-laki berusia sekitar sebelas tahun hanya bisa memeluk lutut. Peluh membasahi kulit, bagaikan lilin yang mencair karena api yang menyala di sumbu. Kalau sudah terpojok seperti ini, memang tak ada yang dapat dilakukan selain menunggu lidah api menjilat nyawa. “Hideee! Hideeee!” suara pemilik panti terdengar di telinga mungil Hide. O bāchan alias nenek pemilik yayasan yatim piatu itu begitu mengkhawatirkan keselamatan anak-anak pantinya. Semuanya sudah berhasil dituntun keluar. Hanya satu orang yang entah di mana keberadaannya. Namanya Hide. Kegemaran dari anak yang usianya paling muda di panti ini adalah melamun. “Hideeee! Aku tahu kau tak senang berbicara! Tapi, aku mohon kali ini berteriaklah untuk membuatku tahu di mana keberadaanmu saat ini!” lengkingan suara O bāchan berusaha menembus asap-asap yang dihasilkan dari kobaran api. “Uhuk! U
Langkah kaki Fadjar gontai saat dirinya berdiri di depan bangunan kosong dengan pintu besar bergembok. Toko Jepang Banzai rupanya sudah tutup selama seminggu. Sungguh menjadi kenyataan yang sulit untuk diterima. Mungkin akan lebih gampang mengakui jika memang sejak dahulu kala, toko Jepang ini tidak pernah ada. “Ti….dak mungkin,” Betapa terkejutnya Fadjar atas fakta yang tersaji di hadapannya. Toko Banzai tutup, bukan sementara waktu, melainkan untuk selamanya. Tak ada lagi pembeli yang saling bercengkrama satu sama lain di depan pintu toko. Berlalu sudah pemandangan bagaimana para pelanggan pribumi, berdarah peranakan, maupun keturunan Eropa saling berinteraksi mengenai pembelian perabot rumah tangga. Tentara-tentara pribumi, maupun Hindia Belanda, berikut dengan para pegawai negeri sipil tak lagi dapat mencuci seragam di binatu yang juga disediakan oleh toko Banzai ini. Poernomo yakin, banyak orang yang kehilangan dengan keberadaan toko ini. Melihat tidak adanya kehidupan sekecil
Banyak kata terlontar.Banyak jalan diarahkan.Aku hanya menunduk dan menemukan bayanganku di daratan.Bahagia dapat berdiri tanpa sandaran.Kata didengar telinga.Jalan dilampaui kaki.Namun, suka-suka hati dan pikirku ingin mendengar dan melampaui yang mana.***Untuk kedua kawanku bernama mata....Janganlah kau sebegitu percayanya dengan apa yang kau lihat!Tempat-tempat itu....Kota-kota itu....Bagaimana jika hanya fatamorgana?Tak masalah jika kebangkitanmu tidak sempurna dan penuh goyah.Daripada kau terus terperosok di titik itu.Dunia ini penuh gravitasi.Jatuh itu ke bawah.Penangkalnya hanya....Bangkit!Karena bayanganmu di bawah kaki sana berharap kau ta
Permainan catur tak berpapan…. Apakah permainan bisa dilanjutkan jika papannya tak ada? Menurutku, tak masalah. Selama ada pion, kekuatan apa pun bisa dihimpun. Tak hanya dihimpun. Bisa juga dilawan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang ingin dilawan? Apakah kawan? Bisa jadi. Karena bagaimana pun juga, permainan catur tak serupa dengan permainan dunia. Warnanya bukan putih suci, maupun hitam pekat seperti pada pion catur. Wajar jika jadi banyak kerancuan prasangka. -Kang Jang Hyuk- *** Ruang tamu kantor pemerintah Hindia Belanda kedatangan tamu sore ini. Bukanlah suatu hal yang kelewat membanggakan bagi calon dokter bernama lengkap Fadjar WongsoTjitro atas kehadirannya di ruangan berubin tegel ini. Pemuda asli pribumi ini justru begitu was-was. Dia merasa wajib untuk memenuhi panggilan dari pemerintah pusat, tetapi dia sendiri ketakutan akan sesuatu yang hendak disampaikan kepadanya. Derit pintu memancing Fadjar untuk menoleh ke arah pintu masuk. Seorang pelayan pribumi b
Kedua mata Fadjar hanya tertuju pada sorot mata Jang Hyuk yang datar. Bibir kelu dalam beberapa detik. Rasa-rasanya, berbagai kata dan percakapan dapat menyudutkan setiap langkah. Fadjar lebih memilih untuk membiarkan Jang Hyuk bercerita banyak. “Apa tanggapan je sejauh ini?” Jang Hyuk masih berbicara dalam Bahasa Belanda yang mulai dicampur bahasa Indonesia. Dia melontarkan kalimat tanya seperti ini karena dapat membaca situasi. Dia sadar jika Fadjar enggan membuka mulut untuk sementara waktu. Tentu saja dia merasa dirugikan. Bagaimana pun caranya, dokter muda itu harus membuka mulut saat ini juga. “Hmm,” Fadjar menurunkan pandangnya, “tanggapan apa?” kemudian, dia kembali menatap Jang Hyuk. Jang Hyuk membuka mulut, tetapi tak ada kata yang terlontar. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Dia berprasangka jika ada sesuatu yang Fadjar sembunyikan darinya. “Maaf,” Jang Hyuk sedikit menundukkan kepala. Lalu, dia menaruh sikutnya di atas meja dan memajukan badannya. Dia mulai berbisik kepa
Ombak menggulung angkuh sampai menerjang dinding bebatuan pelabuhan Sunda kelapa. Berkali-kali. Seandainya saja deburan itu bisa berkomunikasi, akankah tujuannya memang ingin menghancurkan dinding bebatuan yang sebenarnya tak kokoh ini? Pemerintah Hindia Belanda terlihat setengah hati membangunnya. Sudah banyak laporan yang masuk untuk memperbaiki, tetapi eksekusi tak kunjung datang. Dr. Fadjar WongsoTjitro duduk bersila menghadap timur. Dia memincingkan mata, mencoba menerobos kaki langit yang sedari kecil ingin dia ketahui ada apa saja di atas sana. Konon orang mati naik ke atas langit. Jika memang begitu adanya, apakah Fadjar harus mati sekarang agar dia dapat melihat apa yang ada di atas langit sana? Tidak! Fadjar belum boleh mati dan belum mau mati, bahkan tidak pernah akan mau mati. Tugas dokter muda ini masih terlampau banyak. Dia harus memerdekakan bangsa dan negaranya. Baru setelah itu, mungkin boleh untuk mati. Tidak juga. Fadjar ingin ilmu yang dia pelajari selama ini
"Tuan Dokter Fadjar WongsoTjitro, maaf saya mengganggu waktu je lagi,” suara Kang Jang Hyuk menggema di ruang tamu kantor pemerintahan Hindia Belanda. Ruangan ini tentu tak asing bagi Fadjar. Setiap kali dia bertemu dengan mata-mata Hindia Belanda asal Joseon ini, tempatnya selalu di ruang penuh foto para gubernur Jenderal Hindia Belanda ini. Kedua mata Fadjar tertuju pada rokok yang dijepit jemari telunjuk dan jari tengah Jang Hyuk. Bara merah kekuningan itu merontokan puntung rokok. Semakin lama, ukurannya semakin kecil. Tentunya bukan karena dihisap oleh Jang Hyuk, tetapi karena pemuda Joseon itu tengah menantikan sesuatu sejak tadi. Sesuatu yang dapat menyudahi keheningan di antara Jang Hyuk dan Fadjar. Apalagi kalau bukan pernyataan Fadjar yang begitu penting, tak hanya bagi Jang Hyuk, tetapi juga jajaran pemerintah Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa pada saat ini, banyak pihak yang tergantung pada Fadjar. Mirisnya, bagi Fadjar sendiri, dia tak tahu alasan apa yang membuat sem
Hideyoshi Sanada dan kawan-kawan…. Dr. Fadjar Wongsotjitro dan kawan-kawan… Kang Jang Hyuk…. Mereka semua memang berdiri di titik-titik yang berbeda, tetapi sebenarnya apa yang mereka perjuangkan itu sama, yaitu…. Suatu hal yang terbaik bagi bangsa dan negaranya. Sampai saat ini, entah kisah apa yang menyebar mengenai kisah para mata-mata Jepang di tanah Batavia sebelum kedatangan para tentaranya. Eksistensi mereka pun masih dipertanyakan. Satu hal yang pasti, keberadaan toko-toko Jepang di tanah Batavia zaman Hindia Belanda itu benar adanya. Caranya menarik hati pelanggan pun luar biasa hebatnya. Kelima murid Shitaro Watanabe bisa jadi memang mata-mata, bisa jadi memang pendekar pedang, atau bisa jadi memang pelayan toko.
Kang Jang Hyuk tak pernah ragu dengan penglihatannya. Deretan tentara yang berdiri di bawah sana adalah para tentara Nippon. Mereka nyata ada di tanah Batavia. Mereka berseragam lengkap dan membawa senjata. Mimpi buruk itu akhirnya datang juga. Arak-arakan para tentara Nippon mengepung kantor pemerintah Hindia Belanda. Sudah tak ada lagi harapan jika memang niat mereka adalah menjajah. “A….apa mau mereka datang ke sini?” asisten gubernur jenderal Hindia Belanda menoleh ke arah Jang Hyuk. “Kalau sudah begini, kau baru ketar-ketir mencari bantuanku!” Jang Hyuk hanyalah seorang manusia biasa. Dia akan memberikan apa yang dibutuhkan oleh kawan seperjuangannya. Akan tetapi, jika dia dikhianati, dia tak segan untuk berbalik memojokkan pihak yang awalnya dia kira rekan. “Mati saja kalian di tangan Nippon!” refleks, Jang Hyuk meraih dokumen-dokumen mengenai Lima Samurai Batavia yang tergeletak di atas meja, yang menurut pemerintah Hindia Belanda tidak ada artinya. Jang Hyuk benar-benar saki
Aku tak sempat bermesraan dengan kesedihan. Dunia terasa berputar jauh lebih cepat selepas kau pergi. Berjalan pun terasa berlari. Aku terengah-engah. Sedangkan berlari? Aku merasa kehilangan dua kaki. Bukan berarti aku tak berduka. Akan tetapi, air mata ini tak punya waktu untuk menetes. Angin sudah mengeringkannya sebelum tanganku menyekanya. Waktu sudah menggerus silam sebelum benak berkompromi pada hati untuk mengenang. Mungkin ini cara semesta untuk membuatku lupa akan semua kekosongan ini. Aku yang dulu sungguh berbeda dengan aku yang sekarang. Aku yang dulu begitu dekat denganmu, sekarang sendirian. Apakah lebih baik jika aku yang dulu dan aku yang sekarang itu sama? Yaitu, sama-sama tak merasakan keberadaanmu. Kalau sudah begitu, air mata pun tak perlu repot-repot menyalahi angin yang mengeringkannya. Namun, jika memang seperti itu, berarti seumur hidup, aku tak tahu bagaimana rasanya dicintai dan mencintai. Lebih baik sempat daripada tidak sama sekali. Aku tak
Patah hati di musim semi, saat bunga-bunga Sakura merah jambu bermekaran, saat langit berwarna biru cerah dengan goresan pelangi yang ceria. Hanya angin sepoi-sepoi yang membelai lembut rambutku dan mengeringkan air mata, tetapi dia jugalah yang menjatuhkan kelopak sakura ke dalam secangkir teh hijau yang hendak kuseruput. Aku mencoba untuk tak mengutuk siapa pun. Biarlah semua rasa sakit ini kutelan di tengah dunia yang sedang penuh suka cita. Aku tak mencoba menutupi, tetapi mereka memang sedang ingin merayakan kesenangan saja. Dari kejauhan, kulihat seorang gadis mencoba menangkap beberapa sakura dari bawah pohon. Punggung tangan mungilnya katanya kedinginan, maka dari itu ada tangan kekasihnya yang menggenggamnya. Tangan yang lebih besar dan hangat. Tangan yang membuatku teringat akan genggaman erat di musim gugur lalu. Jatuh cinta pada musim gugur, saat daun-daun kering berguguran, saat ranting-ranting pohon tanpa daun mengukuhkan kesepian yang tak kumengerti dan asing rasan
"Ayame-sama, para murid Shitaro sudah sampai di ruang makan,” suara Yukiko terdengar lirih di telinga Ayame. Meski dia sedang membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sedari tadi seolah bukanlah apa yang ada di sekelilingnya. Pikirannya sejak tadi mengendap di perjalanan hidupnya ketika pertama kali menginjak tanah Batavia. Bukanlah suatu hal yang selalu menyenangkan jika dikenang. Peristiwa awal yang mengakibatkan dirinya berada di Batavia pun sebenarnya adalah luka yang begitu dalam. Kedua mata Ayame masih tertuju pada cermin yang ada di hadapannya. Dari pantulan cermin, dia bisa melihat tempat tidur berkelambu yang selama ini menemaninya mengarungi malam demi malam di Batavia. Tentu saja, dia tidak bisa tidur. Langit malam Batavia adalah saksi bisu dari air mata, keringat, serta keresahan yang dialami Ayame. Dia bernapas, tetapi terasa tak ada udara yang masuk dan menyegarkan pikiran dan hatinya. Dia baru menyadari bahwa sudah lama sekali dia bernapas dengan cara seperti ini. Bera
Sudah sejak tahun 1912, pemerintah Hindia Belanda melarang adanya PSK atau Pekerja Seks Komersil. Kebijakan ini sendiri dilakukan semenjak adanya konvensi dunia antiperdagangan perempuan dan anak. Sebenarnya, Jepang juga menjadi salah satu negara yang menandatanganinya. Oleh karena itulah, Ayame tak dapat meneruskan profesinya sebagai Geisha di Hindia Belanda. Berbeda dengan kebudayaan negeri Sakura yang memang mencetak Geisha tak hanya sekedar perempuan penghibur, di luar negeri, salah satunya Hindia Belanda, citra dari Geisha tentu saja memang identik dengan prostitusi. Hidup di Batavia adalah perjuangan bagi seorang Ayame Uchida. Dengan kemampuan menari, mengenakan kimono, menjahit kimono, dan memimpin upacara minum teh yang sebenarnya memang diajarkan oleh semua geisha, wanita ini menjadikan semuanya sebagai modal untuk mencari sesuap nasi. Hasilnya tak dapat dikatakan melimpah, tetapi untungnya saja cukup. “Shi….taro Watanabe?” Ayame tentu saja tak dapat menyembunyikan ekspresi
"Arigatou….. Arigatou….,” entah sudah berapa kali Ayame melontarkan ucapan terima kasih hari ini. Selama berada di Batavia, terasa kebahagiaan selalu hadir kepadanya, menghinggapi jiwanya, penawar luka di hatinya. Meski apa yang telah negaranya lakukan kepadanya di hari lalu masih berbekas di benak, keberuntungan-keberuntungan yang didapat Ayame selama di Batavia membuatnya tak terlalu memikirkan hal-hal tak enak itu. “Nona Ayame, kenalan saya ada yang ingin diperkenalkan juga dengan upacara minum teh minggu ini. Apakah nona dapat ke rumahnya di Weltevreden juga?” majikan Ayame yang memiliki bar di pinggir Batavia kembali menawarkan pekerjaan bagi Ayame. Pundi-pundi siap menyambut gadis itu. “Arigatou,” Ayame menganggukkan kepala. Ada untungnya juga dia menjadi geisha di masa lalu. Dia jadi turut mempelajari bahasa Belanda. Dia paham segala hal yang dibicarakan oleh majikannya kepadanya. Walaupun, Ayame sendiri baru bisa menjawabnya dengan Bahasa Jepang. Itulah alasan Ayame tak langs
Buat apa berhasil menjadi fantasi pikiran ribuan lelaki, tetapi memiliki kehidupan sendiri bagaikan fantasi termahal yang kelihatannya selamanya tak akan pernah terjadi. Ayame Uchida hanya bisa memperhatikan refleksi wajahnya di pantulan cermin riasnya. Kulitnya yang putih dipoles dengan bedak cair yang jauh lebih putih. Bibirnya yang ranum memerah juga dipoles dengan lipstik yang jauh lebih merah bergelora. Alis bulan sabitnya semakin ditebalkan dengan arsiran pensil hitam yang semakin gelap. “Halus dan berkilaunya rambut panjang Nona Ayame. Di kota ini, rasanya aku belum pernah menyisir rambut pelangganku seindah ini,” perias membelai lembut rambut panjang Ayame. “Te…rima kasih,” Ayame menganggukan kepala dengan senyum yang meragu. Dia sendiri menangkap keraguan di mimiknya sendiri pada refleksi cermin. Sembari itu, dia perhatikan kuku-kuku lentik perias menyisipkan jepit rambut bunga Sakura. “Sungguh cantik seperti biasa,” Nyonya pemilik penginapan termahal di kota Kyoto datang
Cinta…. Ayame Uchida tak pernah merasakannya sepanjang hidup. Bicara soal hidup, memangnya, apa sebenarnya hidup itu? Berkali-kali, dalam beberapa lipatan detik, pertanyaan yang sama memenuhi pikiran. Ayame berusaha mencari jawaban mengenai definisi dari kehidupan itu sendiri. Sampai di suatu titik, dia menyadari bahwa dia memang tak memilikinya. Sangat menyedihkan! Semakin sering Ayame memikirkan filosofi dan definisi dari kehidupan, maka akan semakin sering pula dirinya menyadari bahwa kehidupan yang dijalaninya bukanlah miliknya secara utuh. Ayame hanya mengetahui caranya bernapas, meyakini adanya peredaran darah dalam jengkal raganya, dan merasakan adanya detakan jantung. Sisanya berupa gerak tangan, langkah, senyuman, bahkan suasana hati tak bisa dia tunjukkan secara jujur. Dia tak dapat menunjukkan apa adanya kepada dunia yang luas ini. Mungkin saking luasnya, larangan demi larangan datang silih berganti. “Jika anda tak pernah merasakan cinta dalam kehidupan, apa arti Sak