Setelah menghangatkan diri dari salju-salju yang menempel pada tubuhnya sehabis pertarungan tadi, Aredel langsung masuk ke dalam kamar di mana Aciel sedang beristirahat. Aredel tengah duduk di kasur dengan tatapan sedihnya yang mengarah pada pria bersurai merah di kasur tersebut.
Pria itu terbaring lemah, dengan wajahnya yang pucat, serta bibirnya yang kering. Sudah hampir tiga jam berlalu, dan hari sudah mulai malam tapi pria bersurai merah itu belum pulih juga. Aredel khawatir, membuat perempuan berusia lima ratus tahun itu menggunakan sihir penyembuhanya untuk menghangatkan tubuh Aciel, namun hasilnya nihil. Aciel tetap belum bangun dari tidurnya.
“Padahal sudah aku hangatkan berkali-kali, kenapa dia tidak bangun juga?” batin Aredel khawatir.
Kekasih Aciel itu lesu, menghela napasnya kasar. “Maaf yah Aciel … aku tidak bisa melindungimu.” Aredel menangkupkan tangan kanannya ke pipi Aciel, lalu mengelus-elus pipi tersebut dengan ibu jarinya.
Tok
Aredel mencengkram kuat bahu pria bersurai merah di hadapannya ini, untuk menahan kegugupannya. Wajahnya kini sudah bertambah merah, begitupun juga Aciel. Seiring berjalannya waktu Aciel semakin mendekatkan wajahnya ke wajah cantik perempuan yang kini tengah duduk di pangkuannya.“Aku bisa merasakan deru napasnya,” batin Aredel.“Wajahnya memerah sama sepertiku, apa jantungnya juga berdegub dengan kencang?” batin Aredel lagi seraya menatap manik keemasan milik pria bersurai merah di depannya.“Aku … lapar,” ucap Aciel setelah berhasil membuat jarak antara wajah dia dan Aredel hanya berkisar lima senti.“Ya?” Aredel bingung, dia mengedip-ngedipkan matanya berulang kali berusaha untuk mencerna apa yang baru saja Aciel bilang tadi.“K-kau ingin m-makan?” tanya Aredel sekali lagi untuk memastikan.“Iyah aku lapar. Bukankah kau tadi yang menawariku makan?” bisik Aciel
Laboraturium Akademik Kesehatan Mental dan Tubuh Makhluk Hidup Ruangan seluas lima belas meter dengan tinggi sepuluh meter itu dipenuhi oleh orang-orang dengan jas-jas putih, berkacamata besar, serta sarung tangan. Beberapa dari mereka sibuk mencatat, mengetikkan sesuatu pada inblet mereka masing-masing. Atau bahkan beberapa dari mereka sibuk dengan peralatan-peralatan seperti pipet tetes, labu erlenmenyer, dan tabung reaksi. “Kau sudah menguji sample nomer 1150?” tanya salah satu orang pada perempuan berambut pirang. “Belum, aku belum mengujinya. Aku bingung, sepertinya kita mengambil sample racun dari Tuan Owen sangatlah sedikit jadi kurang untuk bahan percobaan,” jawab perempuan berambut pirang tesebut. “Kita ke kurangan Iodin,” sahut salah satu orang. “Tenang saja, kita bisa paka---“ jawab salah satu orang terpotong. “Talc dan Salicyl Acid juga habis,” sahut orang lain. “Habislah sudah kita, Profe
Hari Pertama Sehari setelah Tuan Putri Aurora memerintahkannya untuk mencari tahu sesuatu tentang laboraturium Penelitian Ilmu Pengetahuan Alam dan Teknologi, dia langsung menyiapkan barang-barang yang diperlukannya untuk masuk ke dalam lab tersebut. Tuan Owen duduk di kursi kecil, samping ranjang rumah sakit. Ya, dia sedang berada di rumah sakit sekarang, lebih tepatnya di kamar inap Irimie. Dia sedang menunggu Tuan Putri Aurora. Beliau bilang dia akan mengunjungi Irimie hari ini sekaligus memberikan robot penjaganya untuk mejaga Irimie, dan memberikan sesuatu pada Tuan Owen. “Irimie aku tau kau gadis kuat, kakakmu pasti sedang mencarikan obat untuk menyembuhkan mu.” Tuan Owen mengelus surai panjang Irimie yang warnanya merah mirip sekali seperti warna rambut Kakanya, Aciel. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya suara ketukan pintu pun datang juga. Dari pintu tersebut muncullah seorang Putri memakai gaun biru muda selutut, dengan bawahny
Setelah memotret tabung-tabung, serta benda lainnya yang menurutnya mencurigakann. Akhirnya dia membuka pintu ruangan tersebut. Pria bersurai coklat itu mulai menengokkan kepalanya ke kanan, dan ke kiri melihat apakah ada orang yang lewat atau tidak. “Ini aneh, aku masuk dengan surat izin resmi, bahkan langsung dari keluarga kerajaan tapi mengapa terasa seperti maling?” gumamnya seraya berjalan santai di koridor lab tersebut. “Ruangan dua puluh, dua satu, dua dua ….” Tuan Owen bergumam ketika melihat huruf-huruf yang tertulis di pintu tiap ruang tersebut. “Semua ruangannya penuh, mana lagi yang gagang pintunya berwarna hijau yah?” tanya pria bersurai coklat itu pada diri sendiri. Mata pria baruh baya itu jeli, memperhatikan gagang pintu tiap ruangan. Hingga beberapa detik kemudian, dia menemukan pintu dengan gagang yang pintu berwarna merah. Dia memutar pelan gagang pintu tersebut, lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangan itu. Tida
Tuan Owen kembali ke istana kerajaan. Kali ini berbeda dengan yang kemarin, saat dia sampai di depan pintu istana ternyata tak disangka-sangka kedua robot penjaga itu ramah dan langsung mempersilahkan Tuan Owen masuk. “Silahkan Tuan Owen, Putri Aurora telah menunggu,” ujarnya. Tuan Owen menganggukkan kepalanya singkat, berkata terima kasih pada makhluk besi itu sebelum berjalan masuk ke dalam istana yang megah tersebut. Ini bukan pertama kalinya dia masuk ke dalam istana,. Namun dia tetap takjub ketika melihat ke dalam isi istana tersebut. Dinding-dinding istana yang di penuhi foto-foto Raja yang pertama hingga Raja Adelard, yakni Raja yang keseratus. Corak dinding yang berwarna coklat milo, dengan motif bunga anggrek berwarna coklat gelap, sangat kontras dengan bingkai foto-foto tersebut yang berwarna krem. Tak lupa dengan adanya furniture-furniture modern seperti meja terbang, tempat sampah penghancur otomatis yang berada di pojok ruangan, da
Aciel tengah duduk di ruang tamu bersama dengan Aredel yang kini sedang menyuapi Felix dengan sepotong buah apel. Aciel mengerucutkan bibirnya sebal, karena sudah setengah jam berlalu tapi Aredel malah lebih memilih menyuapi burung Phoenix itu dari pada Aciel yang baru saja bangun dari pingsannya. “Padahal aku yang sakit harusnya aku yang disuapi,” pikir pria bersurai merah itu kesal. Dia berdecih sebal, lalu mengambil piring berisi buah apel hijau itu dari tangan Aredel. “Kenapa Aciel? Felix sedang makan.” “Aku juga lapar! Aku ingin makan apel agar bisa cepat sehat!” ucap Aciel dengan bibirnya yang maju itu. “Kau baru makan siang tadi, apa itu tidak cukup?” tanya Aredel seraya mencoba mengambil piring tersebut dari tangan Aciel. “Tidak cukup!” ketus Aciel lalu memasukan dua sekaligus potongan apel ke dalam mulutnya. “Jangan makan buru-buru, nanti tersedak.” Aredel mengusap ibu jarinya di pinggir bibir Aciel, membersihkan sisa-sisa pot
Kamar yang berisi seorang manusia, dan seorang elf tersebut lenggang. Laki-laki bersurai merah itu menyunggingkan senyuman nakalnya kemudian menarik wajah perempuan yang ada di depannya dengan lembut, membuat si empunya menutup kedua matanya. “Aredel … kenapa kau memejamkan matamu?” goda laki-laki di depannya yang tiba-tiba menghentikan tangannya. Perempuan bersurai putih itu membuka kedua matanya, wajahnya panas nan memerah bak kepiting rebus di dalam kuali. Aredel menggelengkan kepalanya cepat kemudian berbalik membelakangi pria bersurai merah itu. Aciel tertawa kecil kemudian memeluk tubuh mungil Aredel dari belakang. “Jangan peluk aku! Kau menyebalkan!” ketus Aredel dengan mulutnya yang mengerucut. “Wah … sepertinya seseorang kecewa karena tidak jadi di cium,” goda Aciel seraya membalikkan tubuh Aredel, agar kembali berhadapan dengannya. “Ti-tidak! Sudahlah aku ingin tidur,” gugup Aredel kemudian membalikkan lagi badannya membelakangi Acie
Aredel menghela napasnya kasar, menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri. “Aciel, lupakan apa yang aku katakan, fokus saja menyetir.” Aciel mengerutkan dahinya bingung. Kecurigaannya terhadap perempuan bersurai putih di depannya ini kian membesar. “Kenapa dia tidak ingin membicarakannya sih? Dia benar kekasihku bukan? Kenapa susah sekali untuk terbuka denganku?” batin Aciel. Pria bersurai merah itu kesal. Batinya terus menduga hal-hal buruk yang bisa saja terjadi. “Kalian jika ingin bertengkar tolong jangan di sini, aku ingin tidur.” Rayzeul berkata asal, kemudian menyandarkan dirinya di sandaran kursi. “Kau ini selalu tidur, disuruh mengendarai mini jet tidak mau.” Aciel mendengus sebal ketika mendengar penuturan dari Rayzeul. Meskipun niat Rayzeul baik, untuk mencairkan suasana tapi tetap saja itu membuat Aciel kesal. “Kalau kau tidak bisa mengatakannya … tidak apa-apa kok, aku sebenarnya hanya penasaran.” Aciel tersenyum manis ke arah Aredel seray
Sejak Aredel kembali, keadaan Aciel dan Rayzeul berubah. Mereka nampak lebih semangat, dan sering tertawa bersama. Kekhawatiran mereka akan keadaan perempuan bersurai putih itu menghilang. Karena dia telah kembali, dan bahkan sudah melakukan banyak hal berempat. Seperti berjalan-jalan, mencari sesuatu yang aneh di hutan, atau mencoba penemuan baru Rayzeul. Pip Pip Pip “Dalam hitungan ketiga … dia akan meledak. Satu dua ….” Dor Semua orang bertepuk tangan. Termasuk Aciel dan Aredel. Mereka layaknya kedua orang tua yang bangga saat melihat Rayzeul dan Irimie sedang mendemontrasikan alat buatan mereka. “Mereka keren!” seru perempuan bersurai putih itu dari kejauhan. “Mereka pasti berhasil! Kalau begitu ayo!” Grep Pria bersurai merah itu menarik tangan Aredel. Dia tertawa, seraya membawa perempuan cantik bersurai pendek itu ke suatu
Satu bulan kemudian.Hari-hari yang dijalani Aciel sangat berat.Bukan hanya tentang Aredel yang belum kembali, tapi juga tentang pekerjaannya yang bertambah. Akibat adanya perang kemarin, banyak sekali pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.Misalnya mengembangkan senjata baru, mini jet untuk perang, dan menjinakan robot-robot perang kemarin agar bisa digunakan kembali.Tentu saja dia tidak sendiri melakukan hal itu. Bersama dengan timnya yang lain, dan Irimie serta Rayzeul yang membuat amunisi-amunisi seperti bom.Dar “Dasar ahli kimia menyebalkan! Sudah aku bilang jangan coba-coba dulu dengan senjata itu!”Aciel berteriak marah. Lantaran pistol gel merahnya meledak begitu saja ketika Irimie dan Rayzeul menambahkan sesuatu.“Kita kan sedang ingin mencoba! Siapa tahu berhasil bukan?” tanya Irimie kesal.“Lihat … apakah itu berhasil? Kau membuatnya menjadi potongan be
“Aredel! Hei bangun! Kau tidak bisa meninggalkanku!”Suara teriakan pria bersurai merah itu menggema di medan pertempuran.Dia putus asa. Terus menerus meneriaki nama Aredel. Meskipun si empunya hanya bisa diam bergeming. Tanpa menyahut sekalipun.“Kau bilang akan hidup selamanya … tapi kenapa hanya dengan tertusuk pisau saja kau sekarat begini huh?!”Aciel tidak terima. Dia terus menggenggam tangan Aredel yang kini tengah diobati oleh Rayzeul.“Aciel … kau harus menerimanya. Itu bukanlah pisau biasa, pisau it---“ ucapan Ratu Tauriel terputus.“Aku tidak peduli! Seharusnya dia bisa hidup selamanya! Aku mau di---“BughRayzeul meninju pipi Aciel kencang. Pria bersurai merah itu diam, tak bisa berkata-kata. “Dasar sialan! Bisakah kau diam?! Bukan hanya kau yang bersedih di sini! Apakah kau tidak membayangkan bagaimana sedihnya Ibu Aredel?!”
“Aredel … kenapa aku merasa telingaku gatal ya?” tanya Aciel tiba-tiba.“Di sebelah mana?”“Kiri … apakah mungkin?”Aredel tertawa. Dia menidurkan tubuhnya di atas rumput hijau sambil menatap jutaan bintang di langit. “Ada yang membicarakan hal buruk tentangmu.”“Siapa yang berani membicarakanku?!” Aciel kesal. Dia melipat tangannya di dada sambil menatap datar Aredel.“Mungkin Irimie dan Rayzeul sedang membicarakanmu sekarang.” Perempuan bersurai putih itu menarik tangan Aciel lembut. Agar dia berbaring di sebelahnya.“Bagaimana bisa? Ugh aku tidak suka melihat adikku berdekatan dengan Rayzeul!” ujar Aciel kesal sambil merebahkan dirinya di samping Aredel.“Kenapa? Kau cemburu?”“Tidak. Aku hanya takut kalau Irimie akan menyukainya. Bagaimana kalau nanti Rayzeul mengkhianati adikku?” Wajah Aciel nampak kesa
Serpihan bintang langit malam menghiasi latar belakang kedua insan yang tengah bercengkrama, membuat makan malam di pinggir air terjun ini menjadi romantis.Perempuan bersurai putih itu kesusahan. Ini pertama kali untuknya memasakkan sebuah hidangan.Bahkan jika diingat terakhir kali, dia lupa kapan pernah masak.“Aku tidak bisa masak Aciel,” ujar Aredel pasrah sambil terus membersihkan sisik ikan.“Aku tahu. Kalau begitu kau harus belajar masak dengan Irimie.” Aredel menghela napasnya kasar. Mendengar pria bersurai merah itu menjawab sesuatu yang tidak mungkin, terdengar sangat menyebalkan di telinganya.“Dia tidak ada di sini. Bisakah kita langsung meminta saja makanan jadi? Daripada aku harus susah-susah membuatkanmu makanan,” keluh Aredel kesal dengan bibirnya yang mengerucut gemas.“Lihat betapa menggemaskannya dia,” batin pria bersurai merah itu senang.Aciel tertawa lalu menghampi
ZrasshHujan turun di seluruh Kerajaan Cartenzeul. Seperti tanda berkah dan kesedihan karena perang balas dendam ini telah berakhir. Mereka semua yang berada di medan perang satu persatu kembali, ke rumah mereka masing-masing.“Kau akan pulang ke kerajaan elf?” tanya Irimie sok akrab dengan Rayzeul.Pria bersurai putih itu mengangkat bahunya cuek. “Entahlah. Aku juga tidak tahu harus ke mana sekarang. Aku ingin kembali ke rumahku di Hutan Lhokove tapi rasanya malas.”“Bagaimana kalau kau tinggal di sini? Aku dengar kau mempunyai kemampuan kimia yang hebat? Kau bisa mendapatkan pekerjaan yang layak dengan kemampuan itu di kerajaan kami.”Seseorang dari belakang berbicara.Perempuan anggun bersurai kuning keemasan tersenyum ramah. Menatap pria bersurai putih itu lembut.“Tuan Putri ingin merekrutku?” tanya Rayzeul tanpa basa-basi.Putri yang kerap disapa Aurora itu mengangg
Sesaat setelah Aredel mengucapkan kata-kata itu. Mulut Tauriel terbuka.Dia ikut bernyanyi, bersama para peri dengan bahasa kuno yang tidak Aredel mengerti.Cahaya terang mulai kembali keluar dari lingkaran sihir di bawah mereka.SplashDan sesaat setelah cahaya itu redup, Aredel pingsan. Dia terbaring lemas di sebelah kekasihnya, Aciel.Kedua tangan Ratu nampak sibuk. Tangannya bergerak, menyentuh dada Aredel dan Aciel.Cahaya berwarna biru muda keluar dari dada Aredel.Suara nyayian Tauriel dan para peri terdengar semakin ramai. Cahaya tersebut terbang, melayang halus di udara.Para peri yang menari itu nampak bahagia sambil menyentuh cahaya berbentuk bulat itu. Mereka membawa cahaya itu hingga mendarat tepat di dada Aciel.“Bagus … empat kali lagi,” batin Tauriel.Mereka melakukan hal tersebut berulang kali, hingga akhirnya sampai di ketiga kalinya.Para peri berhenti menyanyi
“Apa itu benar?” tanya Aredel dengan manik hijau yang bergetar. Perempuan bersurai hitam nan anggun dan berwajah tegas itu menghampiri Aciel. Dia berjongkok dan meletakkan tangannya di kening pria bersurai merah itu. Sudut bibirnya naik lalu melirik ke arah Aredel dan Tauriel. “Kalian harus cepat. Waktunya tidak lama lagi,” ujar Nyram dengan wajah datar. Bola mata Aredel membesar. Dia memegang erat kedua tangan Tauriel, sambil berjongkok di depannya. “Aku tidak apa-apa. Tolong berikan saja nyawaku pada Aciel. Aku tidak bisa membiarkannya mati begitu saja.” Tauriel menatap penuh ragu elf yang sudah dia anggap seperti anaknya itu. Dia menggeleng pelan sambil menatap dalam manik hijau Aredel. “Setelah aku pikir-pikir ulang … sepertinya tidak. Apakah kau memikirkan bagaimana nasib ibumu nanti saat mendengarmu koma?” lirih Tauriel. Manik hijau Aredel membulat. “Koma? Jadi kau tidak mati?” tanya Aredel lagi. “Tidak. Tapi kau sulit un
Perempuan bersurai putih itu melesat cepat. Dia sudah bertekad untuk membebaskan Morie dari kurungan yang dibuat Ratu Tauriel.“Aku harus menyelamatkan Aciel! Harusnya aku yang terkena tombak es itu bukannya kau!” teriak Aredel dalam hati.Tubuh mungilnya meliuk-liuk handal. Dengan tekad sekeras baja, dan rasa penyesalan sebesar matahari … Aredel berjanji akan menyelamatkan Aciel.“Aku tidak bisa membiarkan Aciel mati karena kelalaianku,” batin perempuan bersurai putih itu.PyuhHembusan angin tornado tak membuat langkah perempuan cantik itu gentar. Dia mengeluarkan sihir yang baru dia pelajari dari Ratu Tauriel. Yaitu membuat tubuh menjadi tembus apapun. Sehingga tidak ada serangan yang bisa mengenai tubuhnya.Perempuan itu menghembuskan napasnya perlahan. Aliran energi sihirnya yang terasa sejuk mulai menyebar dari atas kepala hingga ke ujung kaki.PyuhDia berhasil.Tor