Keesokan harinya, aku dan mama berangkat meninggalkan kota kelahiranku. Kali ini kami tidak ke Surabaya lalu Malang lagi, kali ini kami ke Yogyakarta lalu Solo. Rumah Sakit di Solo terkenal bagus sehingga mama memutuskan untuk membuat brace skoliosisku di sana.Selama berada di Yogyakarta, kami berdua menginap di rumah kakaknya papa. Mereka sangat ramah kepada kami dan perhatian kepadaku, seperti keluarga kakaknya mama saat kami berada di Malang."Jadi, kapan kalian pergi ke Rumah Sakit Ortopedi Solo?" tanya tante yang duduk di depan mama."Lusa, kata kak Kadek besok sudah penuh, makanya lusa baru pergi ke sana," jawab mama sambil mengarahkan pandangannya ke paman.Pria yang duduk di depanku menganggukkan kepalanya. Kami lanjut membicarakan tentang rencana kami selama beberapa hari kedepan serta skoliosisku. Rasanya belakangan ini aku sering mendengar kelainan tulang belakang itu dibicarakan membuatku bosan."Hari ini kalian istirahat saja dulu, kalian pasti capek. Besok atau kapan-ka
Aku menghabiskan waktuku selama kurang lebih 2 minggu dengan rekreasi ke tempat wisata setempat. Paman dan tante mengajak aku dan mama jalan-jalan ke Candi Borobudur, Candi Prambanan, dan tempat wisata lain.Awalnya tinggal di sini tidak terlalu membosankan karena hampir setiap hari jalan ke luar. Namun, lama-kelamaan mulai jadi membosankan setelah semua tempat rekreasi sudah kami kunjungi. Aku, mama, dan keluarga paman pun hanya berdiam diri di rumah saja.Hari demi hari; minggu demi minggu pun berlalu. Akhirnya mama mendapat telepon dari pihak Rumah Sakit Ortopedi Solo kalau brace skoliosisku sudah jadi. Kami diminta untuk mengambilnya sesegera mungkin."Brace-nya sudah jadi, Ma?" tanyaku memastikan apakah aku tidak salah dengar."Iya, Mama kasih tahu pamanmu dulu," jawab mama.Kuanggukkan kepalaku untuk merespons perkataannya. Kulihat mama bangkit dari ranjang dan melangkah keluar dari ruangan ini. Aku pun jadi sendirian di dalam kamar tidur yang sunyi dan sepi ini.Aku memutuskan
Aku membuka kelopak mataku yang berat dan melihat hitam pekat. Hari masih gelap, matahari masih belum terbit. Aku terbangun dari tidurku yang tidak nyenyak. Rasa sakit pada rusuk kananku membuat aku terbangun dan kesulitan tidur.Aku mengubah posisi tubuhku dari berbaring menjadi duduk di atas ranjang. Kuangkat tanganku dan memegangi tali yang mengeratkan brace skoliosisku. Aku sangat ingin membukanya dan melepaskan pelindung punggung ini.Bunyi yang cukup nyaring itu menggema ke sepenjuru ruangan saat aku melepaskan tali pengikat brace ini. Aku pun tersentak kaget dan mulai panik, takut kalau mama terbangun. Kuarahkan pandanganku ke arah mama yang tidur di sampingku."Kenapa kamu melepas brace-mu?" Suara mama terdengar lesu saat menanyakan pertanyaan itu.Jantungku berdebar dengan kencang saat mengetahui kalau mama terbangun dari tidurnya, pertanyaan yang barusan dia tanyakan pun tak kalah membuatku semakin panik. Aku takut dia akan marah kalau tahu aku melepas brace-ku."Rusuk kanan
Beberapa jam kemudian, akhirnya aku dan mama sampai di kota asal kami. Perjalanan udara yang memakan waktu hampir 4 jam itu terasa sangat lama karena tidak melakukan apa-apa. Kami dijemput oleh papa dengan menggunakan mobil."Freya~ Gimana kabarmu?" sapa papa."Baik, Pa," jawabku singkat."Brace-nya tidak nyaman, ya?" tanya papa lagi kepadaku.Aku hanya menganggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaannya. Papa yang berjalan di samping kananku pun menarik sebuah senyuman lembut lalu menepuk-nepuk pundakku, seolah-olah memberikan aku semangat.Kami memasukkan barang-barang bawaan kami ke bagasi mobil. Aku disuruh langsung masuk ke mobil dan tidak perlu membantu mama dan papa. Aku pun menuruti perintah mereka."Woi, mana oleh-oleh buat aku?" tanya kakak kepadaku.Baru saja masuk ke mobil, aku sudah ditagih buah tangan oleh kakak laki-lakiku. Kulemparkan sebuah senyuman kesal kepada pemuda yang duduk di jok depan. Kakak pun merespons aku dengan memutar matanya."Minta saja sama mama. Aku
Aku melangkahkan kakiku dengan terpaksa, berjalan menuju gedung SMP. Mama tidak mengizinkan aku bolos sekolah walaupun hanya untuk hari ini saja. Di sisi lain, papa membolehkan aku untuk istirahat di rumah karena baru saja pulang dari Yogyakarta.Aku memutuskan untuk turun sekolah walaupun sebenarnya aku enggan melakukannya. Aku tidak punya pilihan lain. Selama tindakanku bisa mencegah terjadinya pertengkaran di antara mereka, dengan ringan hati aku akan melakukannya.Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang panjang dan lapangan olahraga yang luas sambil melihat-lihat sekelilingku. Pemandangan ini membuatku bernostalgia dengan apa yang sudah kulalui selama ini.Aku mengalihkan panadanganku ke anak-anak tangga yang akan kunaiki. Akhirnya aku menginjakkan kakiku lagi di tempat yang bagaikan neraka ini. Aku harus mempersiapkan mentalku sebelum bertemu dengan orang-orang yang selalu membuliku."Tenanglah, semuanya akan baik-baik saja," gumamku sambil mengelus dada.Naiklah aku ke lantai
Jam istirahat, aku mengeluarkan kotak bekalku dari dalam ransel setelah guru keluar dari kelas. Kubuka tutup wadah makanan ini dan menatap kosong masakan di dalamnya. Entah kenapa, aku tidak nafsu makan walaupun masakan ini adalah menu kesukaanku; sapi lada hitam.Tiba-tiba ada yang menendang kaki mejaku. Perabotan yang terbuat dari kayu ini pun tergeser dan mengeluarkan bunyi derit. Aku tersentak kaget karena terkejut dan sontak menoleh ke arah orang yang menendang mejaku.Kudapati Celestine dan anggota gengnya berdiri di samping kananku. Pemimpin dari kelompok itu menatapku dengan tatapan tajam, sedangkan anak buahnya ikut melemparkan tatajam tajam kepadaku."Hey, ayo ikut sama kami," ajak Celestine dengan nada tegas.Sebelum aku sempat membalas ajakannya yang bernada seperti memberiku sebuah perintah, Celestine lebih dulu membalikkan badannya dan melangkah meninggalkan aku. Anggota gengnya pun mengekori dia keluar dari ruangan ini.Aku terdiam di tempat dudukku, tidak langsung bera
"Apaan nih?" heran Celestine."Buset, betulan pakai baju zirah dong," celetuk anggota gengnya.Dia membuka lebar bajuku sehingga brace skoliosisku jadi terlihat lebih jelas. Saat mereka asik mengamati dan mengomentari brace-ku, aku sudah pasrah dan tidak memberontak lagi, membiarkan siswi-siswi itu berbuat sesuka mereka.Aku memandang kosong pintu WC yang tertutup rapat di belakang Celestine. Hatiku berharap akan ada seseorang yang datang untuk menolongku, seorang guru akan lebih baik. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang masuk ke ruangan ini, seolah-olah ada yang menghalangi di luar."Eh, tolong lepasin baju zirahnya, aku mau coba pakai," ucap Christina yang kini ikut berjongkok di samping pemimpinnya.Aku melebarkan mataku saat mendengar perkataan siswi tomboy itu. Aku langsung meronta-ronta lagi dan tidak mengizinkan Christina untuk mencoba mengenakan brace skoliosisku. Aku takut dia merusak pelindung punggungku yang biaya pembuatannya lumayan mahal."Tidak! Tidak boleh! Lepasin a
Selama jam pelajaran ketiga sampai istirahat ke-dua, aku menyendiri di atap sekolah. Aku yang selama ini tidak pernah membolos kelas, untuk pertama kalinya aku tidak mengikuti pelajaran. Meskipun begitu, tidak ada satu orang pun yang mencariku.Aku membungkukkan badanku dan menopang daguku dengan kedua telapak tanganku. Aku jadi bisa membungkuk dan tidak kaku seperti robot lagi karena tidak mengenakan brace skoliosisku.Aku mengalihkan pandanganku dari benda berbahan gips yang berdiri di samping kakiku. Mataku menatap kosong pemandangan kota kelahiranku yang masih asri ini. Pepohonan hijau dan langit biru membuat hatiku terasa tenang.Kupejamkan kedua mataku dan menghembuskan napas panjang. Aku menikmati hembusan angin sepoi-sepoi yang sejuk. Untung saja saat ini langit lagi berawan. Jadi, cuaca terasa tidak begitu panas.Tiba-tiba terdengar bunyi derit pintu terbuka dari belakangku. Aku pun menoleh ke arah sumber bunyi. Aku mendapati Celestine beserta anggota gengnya baru saja naik k
'Waktu berlalu dengan cepat. Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun. Tak terasa 4 tahun sudah berlalu sejak aku terbangun dari koma. Banyak hal telah kulalui sejak hari itu.'Waktu aku turun ke sekolah untuk mengikuti UN, aku dikejutkan dengan perubahan sikap teman-teman sekelasku yang mendadak jadi akrab denganku, padahal dulu sebagian besar dari mereka menjauhiku. Di sisi lain, geng Celestine dikucilkan oleh semuanya.'Aku juga lulus dari SMP yang merupakan masa-masa terindah, tetapi juga masa-masa tersuram dan menyakitkan bagiku. Tak kusangka aku bisa mendapatkan nilai yang cukup tinggi pada UN walaupun sempat ketinggalan materi. Semua ini berkat bantuan Vania dan Jonathan.'Naik ke SMA, aku, Vania, dan Jonathan masuk ke sekolah yang berbeda. Meskipun begitu, persahabatan kami tetap berlanjut walaupun terpisah oleh sekolah ataupun terpisah oleh pulau. Saat libur panjang, kami akan berkumpul dan bermain bersama seperti dulu.'Aku lega masa-masa SM
“Tadi mama ngomongin apa sama suster di luar?” tanyaku begitu mama masuk ke kamar.“Hanya ngomongin masalah kecil kok, tidak usah khawatir,” jawab mama.Aku tidak bertanya lagi walaupun rasa penasaranku masih belum terpuaskan. Aku tidak perlu terlalu memikirkannya karena mama tidak akan berbohong atau menyembunyikan sesuatu, dia selalu mengatakan apa adanya.“Alex, ayo pulang,” ajak mama.Mendengar mama mengajaknya untuk pulang ke rumah, kakak langsung bangkit dari kursi dan melangkah menghampiri mama. Sebelum mereka berdua keluar dari ruangan ini, aku menahan mereka dengan berkata:“Cepat sekali kalian pulang, kenapa tidak lebih lama-lama di sini untuk menemaniku?” tanyaku dengan nada memelas.Aku tidak ingin ditinggal sendirian karena nanti aku akan kesepian. Aku masih ingin bersama mama dan kakak setelah lama tidak bertemu mereka. ‘Yah, walaupun sebenarnya aku sudah bertemu mereka lewat ilusi yang kulihat waktu terjebak di alam bawah sadarku.’“Kami tidak bisa, Freya. Kalau mama ti
"Jadi, bagaimana nasibnya Celestine dan kawan-kawannya, orang tua mereka, dan pak Yere?" tanyaku kepada Vania dan Jonathan yang berdiri di samping ranjangku.Vania langsung mendengus kesal dan memutar bola matanya saat mendengarku menyebut orang-orang yang merupakan penyebab aku nekat bunuh diri. Tak hanya Vania, Jonathan juga tampak kesal saat mendengar orang-orang itu disebut."Celestine dan kawan-kawannya hanya didiskors saja. Mereka diberi keringanan karena sudah kelas 9 dan sebentar lagi mau UN." Jonathan menjawab pertanyaanku."Enak betul mereka tidak dikeluarkan dari sekolah, mentang-mentang sebentar lagi mau UN. Seharusnya mereka mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatan mereka," timpal Vania sambil menyilangkan kedua tangannya di dada dan mengerucutkan bibirnya.Aku terdiam setelah mendapatkan jawaban dari mereka. Ada sedikit kekecewaan di dalam hatiku saat mengetahui geng Celestine tidak dikeluarkan dari sekolah, padahal aku sudah sangat menderita atas perbuatan mer
Banyak hal sudah terjadi saat aku koma selama 1 bulan setengah. Kudengar, semua orang di sekolah heboh saat aku melompat dari atap. Siswa-siswi yang menyaksikan kejadian tragis itu mengalami syok berat hingga trauma sehingga membutuhkan perawatan psikologis.Para guru berusaha keras meredakan kericuhan itu dan menenangkan murid-murid walaupun mereka sendiri juga sangat syok. Mobil ambulan melaju ke rumah sakit, membawaku yang kritis untuk segera mendapatkan tindakan medis.Polisi pun sampai datang ke sekolah. Geng Celestine mengakui bahwa merekalah yang membuliku. Mereka juga memberi tahu polisi kalau pak Yeremia menerima suap dari orang tua mereka supaya tidak ikut campur dengan apa pun yang mereka lakukan.Aku tidak menyangka Celestine dan anggota gengnya berani melaporkan orang tua mereka sendiri, padahal mereka tahu betul apa yang akan terjadi pada orang tuanya kalau mereka melaporkannya ke polisi. Kini aku tahu; mereka benar-benar sudah berubah.Tak hanya itu saja, kasus bunuh di
Entah sudah berapa lama aku berjalan di dalam kehampaan ini. Kali ini aku tidak berjalan sendirian lagi karena 'kembaranku' menemani aku. Kami berjalan bersama sambil mengobrolkan beberapa hal. Ada saatnya kami sama-sama diam saat tidak ada topik.Aku melirik ke sosok yang penampilannya sama persis denganku. Dia berjalan dengan pandangan lurus ke depan, tidak mempedulikan aku yang sedang meliriknya. Aku pun mengalihkan pandanganku dan menghembuskan napas panjang."Sampai kapan kita akan berjalan begini terus?" tanyaku memecahkan keheningan."Sampai kita menemukan 'pintu keluar'," jawabnya.Aku ber oh ria, menanggapi jawaban darinya dengan kurang antusias. Ini sudah yang ke-5 kalinya aku mendengar jawaban yang sama. Mungkin dia sendiri juga sudah bosan mendengar pertanyaan yang sama sebanyak 5 kali.Ngomong-ngomong soal 'pintu keluar', sudah pasti merupakan jalan untuk keluar dari alam bawah sadarku, entah itu benar-benar berupa pintu, portal, atau apalah itu. Aku tidak tahu apa 'kemba
Aku mendorong 'kembaranku' dengan kuat agar dia menjauh dariku. Aku melangkah mundur untuk memperluas jarak di antara kami sambil memegangi lenganku yang terasa sedikit sakit karena tadi dicengkeram olehnya."Memangnya kenapa kalau aku masih ingin tetap hidup? Itu semua sudah tidak ada artinya! Saat aku siuman nanti, orang-orang pasti akan kecewa padaku dan membenciku karena sudah nekat bunuh diri!" balasku dengan suara yang meninggi.Napasku terengah-engah setelah meneriakkan kalimat-kalimat yang panjang itu. Aku menatap 'kembaranku' dengan tatapan tajam, seolah-olah menantangnya untuk membalas perkataanku. Sosok yang wujudnya sama persis denganku itu hanya menatapku dalam diam.Setelah hening selama sesaat, akhirnya dia membuka mulutnya dan bertanya, "Kenapa kamu berpikir orang-orang akan kecewa dan membencimu? Apa kamu tidak berpikir mereka akan bereaksi sebaliknya? Bersyukur dan senang karena kamu masih hidup?"Mendengar pertanyaan-pertanyaan yang konyol itu membuatku merasa geli.
Tiba-tiba pandanganku seperti berputar dengan sangat cepat. Aku memejamkan kedua mataku dengan rapat dan memegangi kepalaku yang terasa seperti mau meledak. Jeritan yang nyaring pun keluar dari mulutku.Jeritanku menggema, menciptakan perulangan suara yang tiada henti. 1 menit, 10 menit, 100 menit, aku tidak tahu sudah berapa lama suaraku menggema seperti itu, masih tak kunjung berhenti juga gemanya.Aku membuka kedua mataku yang tertutup secara perlahan-lahan. Begitu aku membuka mataku, aku menyadari diriku tidak berada di sekolah. Hampa. Hanya warna putih saja yang kulihat."Apa aku jadi buta? Kenapa aku tidak bisa melihat apa-apa?" tanyaku.Pertanyaan yang kutanyakan itu menggema seperti suara jeritanku tadi. Kedua suara itu bercampur aduk menjadi satu. Terulang tanpa henti, volume dari gema itu sedikit pun tidak berkurang walaupun beberapa waktu telah berlalu.Situasi yang sangat aneh ini membuatku takut, terlebih lagi karena aku tidak tahu apa yang terjadi padaku. 'Kenapa aku bis
Entah sudah berapa hari telah berlalu, akhirnya aku diperbolehkan untuk pulang ke rumah dan bisa kembali bersekolah seperti biasa lagi. Aku melangkahkan kakiku untuk memasuki rumah yang sudah lama tidak kutinggali.Aku memandang perabotan-perabotan yang mengisi rumah ini. Tidak ada yang berubah, semuanya masih sama seperti apa yang ada di dalam ingatanku. Meskipun begitu, aku merasa sedikit asing dengan rumah yang sudah kutinggali sejak aku lahir.Aku menghentikan langkahku dan mengedarkan pandanganku ke sekitar. 'Rasa janggal apa ini? Apa aku melupakan sesuatu yang penting?'"Freya, kenapa kamu bengong saja di sana?" Terdengar suara mama bertanya kepadaku.Mendengar pertanyaan itu, aku langsung tersadar dari lamunanku dan sontak menoleh ke arah sumber suara. Kudapati mama, papa, dan kakak berdiri di belakangku, sambil dengan tatapan khawatir memandang ke arahku."Kamu kenapa, Nak? Kamu sakit lagi?" tanya papa dengan tampang cemas.Aku menjawab pertanyaan papa dengan sebuah gelengan k
Telingaku menangkap suara yang samar-samar. Walaupun aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas, entah kenapa aku merasa suara itu terdengar sedih. Kubuka kelopak mataku secara perlahan.Cahaya yang menyilaukan langsung menyambutku begitu aku membuka kedua mataku. Sangat-sangat terang sampai hanya warna putih saja yang terlihat olehku. Perlahan-lahan, mataku mulai beradaptasi dan aku mulai bisa melihat dengan lebih jelas.Kudapati ada beberapa figur manusia berdiri di sampingku, ada juga yang duduk di sisiku. Meskipun penglihatanku buram, aku masih bisa mengenali siapa saja yang berada di dekatku saat ini.Pandanganku tertuju pada wanita yang duduk di sisiku. "Mama ...?""Freya!" seru mama dengan suara parau.Mama langsung memelukku dengan erat. Kurasakan ada cairan hangat yang mengalir menuruni pipiku. Itu bukan air mataku, melainkan air matanya mama. Dia menangis dengan histeris sambil mendekapku dengan erat, seolah-olah takut kehilangan aku."Freya, maafkan kami, Nak ...." Papa yang